Muara Ilmu

The way to get started is to quit talking and begin doing

KEUNIKAN MASYARAKAT SUKU TENGGER

Berbeda Tetapi Tetap Satu

Sebuah artikel etnografi, yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat suku Tengger dan ritual yang biasa mereka lakukan di Bromo. check this out!Desa Ngadas merupakan salah satu desa yang letaknya tak jauh dari gunung Bromo. Masyarakat yang berada di desa Ngadas merupakan suku Tengger, sehingga mayoritas yang tinggal di desa Ngadas beragama hindu. Terlihat dari depan masing-masing rumah warga, terdapat pura kecil yang menandakan bahwa mereka menganut agama hindu. Agama hindu yang mereka anut adalah hindu dharma, sama seperti masyarakat Bali. Perbedaannya di Bali terdapat sistem kasta, sedangkan pada masyarakat Bromo tidak. Masyarakat desa Ngadas hidup rukun berdampingan, tidak hanya dengan penduduk yang seagama tetapi dengan penduduk yang berbeda agama hubungan sosial diantara mereka harmonis.

Ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat hindu di Bromo hampir sama dengan ritual-ritual yang dilakukan oleh masyarakat hindu di Bali, tetapi ada sedikit perbedaan dalam pelaksanaannya. Contoh dari perbedaan itu, ketika orang hindu di Bali memberikan sesajen di pura. Isi dari sesajen itu beragam dan lengkap dibandingkan dengan masyarakat Tengger ketika menyajikan sesajen isinya biasa saja tetapi pada intinya mewakili tujuan dari pemberian sesajen. Sesajen-sesajen tersebut tidak boleh terinjak karena itu merupakan pantangan bagi orang hindu sendiri. Sesajen-sesajen yang diletakkan di pura setiap minggu biasanya hari selasa kliwon diganti dengan sesajen yang baru.

Pada masyarakat Tengger terdapat upacara-upacara yang rutin dilakukan diantaranya adalah upacara yang dilakukan secara individu yaitu:

  1. Upacara Sayut atau tujuh bulanan dilakukan oleh wanita yang sedang mengandung dan usia kandungannya memasuki bulan ketujuh. Upacara dilakukan secara turun temurun, apabila nenek moyangnya melakukan upacara sayut maka keturunan selanjutnya juga harus melaksanakan upacara sayut. Wanita yang menjalankan proses upacara ini akan diberikan mantra-mantra semacam doa agar bayi yang ada didalam kandungannya baik-baik saja. Upacara ini dipimpin oleh dukun pandita.
  2. Upacara Tugel Gombak untuk laki-laki dan Tugel Kancung untuk perempuan. Dalam upacara ini dilakukan prosesi pemotongan rambut sekitar pusar rambut kepala anak-anak yang menginjak usia lima tahun.
  3. Upacara Ngruwat yaitu dilakukan jika ada dua bersaudara laki-laki atau anak tunggal berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Upacara ini bertujuan untuk mensucikan anak agar tidak mendapat malapetaka.
  4. Upacara Kawiahan atau pernikahan, upacara ini hampir sama seperti ijab qabul bila di agama islam.
  5. Upacara mendirikan rumah yaitu semacam slamatan yang dilakukan oleh warga ketika sedang membangun rumah.
  6. Upacara kematian atau biasa disebut dengan ngaben seringkali dilakukan oleh Masyarakat hindu di Bali, sedangkan di Tengger jarang diadakan ngaben. Adat pada masyarakat hindu di Tengger, ketika orang sudah meninggal jasadnya dikuburkan menggunakan peti namun lebih baik jasad dibungkus dengan kain kafan layaknya orang islam dan mereka mempercayai bahwa jasad dikubur karena manusia berasal dari tanah sehingga saat meninggal harus kembali ke tanah. Beberapa orang ingin tetap melaksanakan upacara kematian, namun yang dibakar pada upacara tersebut bukan jasadnya tetapi replika dari jasad tersebut. Replika jasad biasa disebut petra. Replika tersebut berbentuk seperti orang, bahan yang digunakan untuk membuat replika adalah dedaunan. Kemudian replika itu dibakar di punden yang letaknya berdekatan di kompleks rumah warga juga ladang. Apabila berada di punden maka orang-orang tidak boleh berkata sembarangan atau melakukan sesuatu yang tidak pantas di lingkungan sekitar punden, karena punden dianggap sebagi tempat suci. Ketika keluarga dari orang yang sudah meninggal telah mampu maka keluarga akan mengadakan upacara ntas-ntasan yang bertujuan untuk mensurgakan jasad yang sudah meninggal.

 

Ada beberapa upacara yang dilakukan secara bersamaan oleh masyarakat Tengger, yaitu upacara kasada yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Upacara ini diadakan untuk memenuhi perjanjian antara nenek moyang suku tengger dan Dewa Kusuma dan orang Tengger memberikan sesaji kemudian sesaji itu diletakkan di Pura Poten dan kawah Bromo. Upacara ini dilakukan saat bulan purnama dan masyarakat tengger berkumpul di pura Poten terlebih dahulu, sebelum memasukkan sesaji yang telah mereka bawa ke dalam kawah bromo.

Kemudian diadakan upacara Karo yang bertujuan untuk pemujaan Sang Hyang Widhi, menghormati leluhur, memperingati asal-usul manusia untuk kembali pada kesucian dan memusnahkan angkara murka.

Desa Ngadas dan desa Wonokerto merupakan desa yang terletak persis bersebelahan. Namun kepercayaan penduduk desa Wonokerto dan desa Ngadas berbeda. Penduduk desa Ngadas hampir 99% beragama hindu, sedangkan penduduk desa Wonokerto mayoritas beragama islam. Beberapa penduduk Wonokerto sebenarnya berasal dari Ngadas, tetapi karena mereka dari pihak laki-laki atau perempuan yang menikah dengan orang islam dari desa Wonokerto maka tempat tinggal pihak tersebut harus pindah ke desa Wonokerto. Hal ini bukan berarti mereka dikeluarkan dari daerahnya maupun sukunya, tetapi memang adatnya sudah seperti itu bahwa orang islam harus tinggal di desa Wonokerto. Walaupun hal ini terlihat seperti ada kesenjangan, tetapi sebenarnya tidak. Karena mereka masih saling bergotong royong seperti desa-desa lainnya. Apabila ada orang yang sedang membangun rumah, maka warga yang lain ikut membantu mendirikan rumah. Ketika ada yang mempunyai hajat, warga-warga yang lain turut membantu. Lalu ketika penduduk desa Wonokerto merayakan idul fitri, penduduk desa Ngadas turun menuju desa Wonokerto untuk bersilaturahmi dan sebaliknya ketika penduduk desa Ngadas merayakan upacara karo, maka penduduk desa Wonokerto naik menuju desa Ngadas untuk bersilaturahmi karena upacara karo sendiri mirip seperti hari raya orang islam.

Beberapa penduduk desa Ngadas dan desa Wonokerto menjalin kerjasama dibidang pertanian. Misalnya penduduk Wonokerto bekerja di ladang penduduk Ngadas, maupun sebaliknya. Rata-rata dari mereka bekerja di sektor pertanian, dan pariwisata. Di sektor pertanian, sebagian mempunyai tanah sendiri dan berladang pada tanah sendiri, kemudian pada sektor pariwisata banyak penduduk yang bekerja sebagai sopir jeep yang mengantarkan turis-turis menuju kawah bromo dan tempat wisata lainnya, ada juga yang menjual atau sekedar menyewakan berbagai perlengkapan seperti: jaket, sarung tangan, kupluk untuk para turis yang ingin mengatasi hawa dingin. Karena kebanyakan dari mereka berpendidikan paling tinggi SMP maka pekerjaan yang mereka lakukan bernilai sama, tidak ada kelas-kelas sosial tertentu yang terlihat mencolok. Kelas sosial tertinggi di dalam masyarakat tengger adalah kepala desa juga dukun pandita. Kepala desa yaitu orang yang memimpin seluruh warga yang berada di desa tertentu dan dukun pandita sebagai orang yang disucikan untuk memimpin upacara tertentu. Dukun pandita ditetapkan atau dipilih berdasarkan kemampuannya. Biasanya dukun pandita yang terpilih masih termasuk dalam satu keluarga dengan dukun pandita sebelumnya. Hal ini bukan berarti nepotisme, karena untuk menjadi seorang dukun pandita yang dipercayai oleh masyarakat tengger harus memiliki kemampuan yang baik dan yang pantas untuk dijadikan panutan. Dukun pandita minimal harus sekolah hingga SMA agar dapat mengenal dan memahami filsafat-filsafat Tengger. Proses menjadi dukun pandita tidak mudah, penilaian untuk menjadi seorang dukun pandita dapat dilihat saat dilaksanakannya upacara kasada lalu diadakan mulunan untuk melihat apakah sang dukun mendapatkan wahyu atau tidak. Wahyu tersebut dapat dilihat dari cara mereka mengucapkan mantra lancar atau tidak.

Berbagai upacara dan ritual-ritual lain yang ada pada masyarakat Tengger merupakan sedikit dari banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia. Kehidupan sosial masyarakatnya patut dijadikan contoh, sikap toleransi dan saling menghargai dapat mewujudkan semangat integrasi pada masyarakat Tengger. Karena adanya perbedaan diantara mereka menjadikan mereka lebih mengenal arti persatuan dan kesatuan. Seperti itulah yang seharusnya terjadi pada seluruh masyarakat di Indonesia yang tetap menjunjung tinggi arti dari bhineka tunggal ika.

 

posted by Agus Salim in ANTROPOLOGI and have No Comments

Place your comment

Please fill your data and comment below.
Name
Email
Website
Your comment

Skip to toolbar