Muara Ilmu

The way to get started is to quit talking and begin doing

RUWATAN CUKUR RAMBUT GIMBAL DI DIENG

RUWATAN CUKUR RAMBUT GIMBAL DI DIENG

 Masyarakat Jawa sebagai salah satu golongan etnis di Indonesia tampak mempunyai sikap hidup yang berbeda dengan golongan etnis lainnya. Asal- usul orang jawa, tradisi orang jawa merupakan salah satu landasan sikap hidup orang jawa. Untuk mengungkap sikap orang Jawa diperlukan pengetahuan asal- usul dan kehidupannya menurut adat serta tradisinya.

Kabupaten Wonosobo termasuk wilayah Propinsi Jawa Tengah. Wonosobo merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian 270-2.250 meter di atas permukaan laut. Sebagai ibu kota Kabupaten,Wonosobo mempunyai ketinggian 772 meter di atas permukaan laut. Daerah Wonosobo dikelilingi oleh gunung Sindoro, pegunungan Dieng, dan gunung Perahu.

Di daerah Wonosobo terdapat bermacam-macam budaya, salah satunya adalah Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Dieng. Ritual ini bertujuan untuk mengembalikan rambut gimbal kepada yang Maha Kuasa, dan agar pemilik rambut gimbal yang menitipkan pada anak tersebut rela rambutnya dicukur serta di kembalikan kepada Sang Khalik. Selain itu si anak yang dicukur rambutnya agar memperoleh keberkahan dan kesehatan. Diharapkan dengan penyusunan makalah ini, para pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang tradisi ruwatan rambut gimbal ini.

 

Sejarah Rambut Gimbal; Titisan Leluhur Dieng

Konon kabarnya, Anak Gimbal Dieng adalah titisan dari Kyai Kolodete. Kyai Kolodete dianggap sebagai luluhur pendiri Dieng. Leluhur ini bukan sesosok gaib, melainkan sesosok manusia yang pertama kali membuka tanah Dieng. Ia hidup pada masa kejayaan Mataram. Kyai Kolodete ini memiliki rambut gimbal.

Syahdan, Kyai Kolodete dikenal sebagai seorang pemimpin, seorang penasihat dan seorang yang sangat berpengaruh dalam masyarakat di daerah Kawedanan Kertek dan sekitarnya. Jabatan formalnya adalah sebagai kebayan desa Tegalsari, Kertek, Wonosobo.

Kyai Kolodete berkeinginan bisa memajukan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga dan masyarakatnya. Maka, agar keinginannya lebih bisa direalisasikan, beliau bermaksud menjadi Lurah. Maksud ini mendapat dukungan kuat dari masyarakatnya. Masyarakat sudah menganggap bahwa dari sifatnya dan sikapnya, Kyai Kolidete dipandang telah memenuhi syarat sebagai Lurah.

Pada suatu hari, Kyai Kolodete mencalonkan diri untuk menjabat sebagai sebagai Lurah. Permohonan ini diajukan ke pemerintah pusat, yaitu Mataram. Namun, tanpa diketahui alasannya, permintaan itu ditolak. Ditolaknya permintaan itu membuat hati masyarakat menjadi kecewa.

Demikian juga dengan Kyai Kolodete. Beliau merasa malu terhadap rakyatnya. Sebagai pertanggungan jawab atas ditolaknya permohonan tersebut, beliau ingin mengasingkan diri dari keramaian dan ingin bertapa di Dataran Tinggi Dieng. Sebelum bertapa, beliau berpesan kepada rakyatnya:

“Mung semene wae anggonku njuwita Pamarintah, aku arep menjang Dieng

(Hanya sampai sekian aku mengabdi kepada Pemerintah, aku akan ke Dieng).

Dalam setiap doanya, beliau memohon kepada sang Khaliq supaya cita-citanya dahulu, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan masyarakat bisa terkabul. Meski ia jauh menyepi tetapi ia tetap begitu mencintai rakyatnya. Tanda bukti kecintaan Kyai Kolodete kepada masyarakatnya berharap bisa direstui sang Khaliq. Tanda bukti itu ialah supaya anak cucunya nanti di kemudian hari akan berambut gimbal seperti halnya rambut Kyai Kolodete. Dan, permohonan itu benar-benar dikabulkan sang Khaliq.

Sampai sekarang di Dataran Tinggi Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak berambut gimbal. Oleh masyarakat, anak berambut gimbal ini disebut Anak Gimbal dan dianggap titisan Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu. Namun, cerita itu bukan versi satu-satunya tentang Kyai Kolodete dan Anak Gimbalnya.

Ada versi cerita lain tentang Kyai Kolodete dan rambut gimbal yang berkaitan dengan mitos Nyi Roro Kidul, penguasa Ratu Selatan Jawa. Cerita ini disadur dari penuturan Mbah Naryono, pemangku adat Dieng Kulon, Kec. Batur, Kabupaten Banjarnegara.

Syahdan, datangnya rambut gimbal sebenarnya berasal dari Ratu Laut Kidul. Ratu Laut Kidul menitipkan rambut gimbal kepada Tumenggung Kolodete. Tumenggung Kolodete adalah seorang panglima dari Keraton Yogyakarta yang sedang mengasingkan diri di kawasan Dieng.

Singkatnya, keturunan gaib dari Tumenggung Kolodete akan mempunyai rambut gimbal. Keturunan gaib ini adalah anak bajang titipan Nyi Roro Kidul. Suatu saat rambut gimbal anak bajang akan diminta kembali oleh Ratu Laut Kidul. Pengembalian rambut gimbal dilakukan melalui ruwatan dimana rambut gimbal yang diruwat dilarung ke saluran air yang mengalir ke Laut Selatan Jawa.

Satu lagi versi cerita tentang Kyai Kolodete. Kali ini saya peroleh berhubungan dengan sejarah Wonosobo. Konon ceritanya bahwa Kyai Kolodete merupakan satu dari tiga tokoh yang mendirikan Kota Wonosobo, yakni bersama dengan Kyai Walik dan Kyai Karim.

Kyai Walik merancang tata kota Wonosobo. Kyai Karim menjadi peletak dasar-dasar pemerintahan di Wonosobo.Dan, Kyai Kolodete pergi ke Wonosobo bagian utara di kawasan Dieng membuat perkampungan. Ketiga tokoh itu menjalin kerjasama yang erat, saling mendukung dan melengkapi demi memajukan perkampungan Wonosobo.

Kyai Kolodete bersama keluarga dan pengikutnya membabat alas Dieng yang masih perawan. Tujuannya adalah untuk dijadikan perkampungan penduduk, lahan pertanian, dan ladang sebagai sumber penghidupan. Kyai Kolodete kemudian diyakini menjadi ‘merkayangan’ atau penguasa Dieng.

Kyai Kolodete ini memiliki rambut gimbal semenjak kecil. Menurut mitosnya, lantaran rambut gimbalnya begitu mengganggu, sebelum meninggal Kyai Kolodete berpesan agar anak cucunya membantu dalam menghadapi gangguan rambut itu. Maka, diwariskanlah rambut gimbalnya pada anak-anak Dataran Tinggi Dieng hingga sampai sekarang.

Ada benang merah yang bisa menghubungkan versi-versi cerita leluhur Dieng dan muasal Rambut Gimbal. Semua sama-sama membicarakan Kyai Kolodete. Semua sepakat bahwa Kyai Kolodete adalah leluhur Dieng yang ‘menitiskan’ rambut Gimbal kepada bocah-bocah Dieng.

 

 

Prosesi Ruwatan Anak Gimbal

Bagaimana melakukan Ruwatan Anak Gimbal? Masyarakat Dieng memiliki dua pilihan menu. Bisa memilih secara mandiri atau massal. Pertimbangannya menyesuaikan kemampuan keluarga yang meruwat anak gimbalnya.

Jika keluarganya sendiri bisa memenuhi permintaan dan memiliki biaya menyelenggarakan, ruwatan secara mandiri bisa dilaksanakan. Namun, jelas ruwatan secara mandiri membutuhkan biaya besar. Harus menanggung segala biaya seremoni ruwatan. Saya bisa bayangkan pasti hanya keluarga ‘borjuis’ Dieng yang bisa melakukan ruwatan Anak Gimbal secara mandiri.

Maka, masyarakat Dieng lebih banyak memilih meruwat anak gimbalnya secara massal. Masyarakat ‘urunan’ gotong royong melakukan ruwatan. Biaya dan tenaga ruwatan ditanggung bersama. Tentunya, ruwatan secara massal ini juga akan lebih meriah. Ribuan masyarakat Dieng berbondong-bondong datang memenuhi lokasi. Bisa dikatakan, ruwatan massal sekaligus menjadi pesta rakyat Dataran Tinggi Dieng.

Lazimnya, setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa atau bulan Agustus adalah saat pelaksanaan Ruwatan. Namun, ruwatan tetap bisa dilaksanakan di luar waktu lazimnya. Tak jadi masalah kapanpun ruwatan dilakukan.

Dalam pelaksanaannya, prosesi ruwatan ditandai dengan pembacaan doa di rumah Pemuka Adat Dieng terlebih dulu. Kemudian dilanjutkan dengan kirab arak-arakan Anak Gimbal yang diruwat menuju Kompleks Candi Arjuna. Halaman rumah Pemuka Adat menjadi tempat pemberangkatan Kirab. Kirab ini menyertakan barang-barang permintaan Anak Gimbal dan ‘uborampe’ sesaji berupa nasi tumpeng, ayam panggang, dan jajanan pasar. Kirab juga dimeriahkan dengan beragam pentas seni dari penduduk sekitar.

Kirab berjalan dengan mengelilingi kawasan Dieng sebagai upaya napak tilas. Napak tilas ini menuju beberapa tempat, yaitu candi Dwarawati, komplek candi Arjuna, candi Gatotkaca, candi Bima, sendang Maerokotjo, telaga Balekambang, kawah Sikidang, komplek pertapaan Mandalasari, kali Kepek dan komplek pemakaman Dieng. Pada saat kirab berjalan, para anak gimbal akan dilempari beras kuning dan uang koin.

Kirab lalu singgah ke Dharmasala untuk dilakukan jamasan Anak Gimbal di Sendang Sedayu. Tatkala memasuki sendang Sedayu, anak-anak gimbal berjalan dinaungi oleh Payung Robyong di bawah kain kafan panjang di sekitar sendang sambil diiringi musik Gongso. Air untuk jamasan tersebut ditambah kembang tujuh rupa (sapta warna) dan air dari Tuk Bimalukar, Tuk Sendang Buana (Kali Bana), Tuk Kencen, Tuk Goa Sumur, Kali Pepek dan Tuk Sibido (Tuk Pitu).

Setelah penjamasan selesai, anak-anak rambut gimbal dikawal menuju tempat pencukuran, yakni di kompleks Candi Arjuna. Prosesi pencukuran rambut gimbal merupakan puncak prosesi Ruwatan Anak Gimbal.

Prosesi Ruwatan pencukuran Rambut Gimbal dipimpin langsung Pemuka Adat Dieng. Namun begitu, orang yang mencukur tidak harus Pemuka Adat Dieng. Orang-orang yang ditunjuk adat, misal Bupati dan Pejabat Pemerintah dapat menjadi pencukur rambut Anak Gimbal. Pencukuran dilakukan di halaman Candi Puntadewa, Kompleks Candi Arjuna. Setelah rambut gimbal selesai dicukur, potongan rambut itu diletakkan pada cawan berisi air dari Bima Lukar dan bunga setaman.

Setelah pencukuran, acara dilanjutkan dengan doa dan tasyakuran. Lalu, semua ‘uborampe’ prosesi dibagikan kepada para pengunjung. Konon ceritanya itu dapat membawa berkah pada yang membawanya.

Ritual terakhir dalam ruwatan anak gimbal adalah melarung potongan rambut. Larung dilakukan di tempat yang terdapat air yang mengalir ke pantai selatan Jawa. Lokasi larung rambut gimbal ini dilakukan di Sendang Sukorini, Kali Tulis. Biasanya juga dilakukan di Telaga Warna. Tempat-tempat itu memiliki hubungan dengan Samudera Hindia.

 

MAKALAH TRADISI RUWATAN CUKUR RAMBUT GIMBAL DI DIENG

(SEBUAH KAJIAN BUDAYA DI KABUPATEN BANJARNEGARA-WONOSOBO)

Oleh: Endah Dwi Anggraeni Mahasiswi Universitas Negeri Semarang

posted by Agus Salim in ANTROPOLOGI SMA,SOSIOLOGI & ANTROPOLOGI and have No Comments

Place your comment

Please fill your data and comment below.
Name
Email
Website
Your comment

Skip to toolbar