AGAMA SEBAGAI FAKTOR KONFLIK

Hallo sahabat blogger, kali ini saya akan membagikan tugas mata kuliah saya yaitu makul Sosiologi Agama di semester lima. Saya mendapatkan pembahasan agama sebagai faktor konflik.

Untuk lebih lanjutnya simak bacaan di bawah ini.

 

  1. Agama Menurut Sosiologi

Agama dalam pengertian sosiologi adalah gejala sosial yang umum dan dimiliki oleh seluruh masyarakat yang ada di dunia ini, tanpa kecuali. Ia merupakan salah satu aspek dalam kehidupan sosial dan bagian dari system osial suatu masyarakat. Agama juga bisa dilihat sebagai unsure dari kebudayaan suatu masyarakat di samping unsure-unsur yang lain, seperti keseian, bahasa, system mata pencaharian, system peralatan, dan system organisasi sosial.

Dilihat dari sudut kategoti pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya, yaitu sebagai berikut:

  1. Segi kejiwaan (psychological state), yaitu suatu kondisi sebjektif atau kondisi dalam jjiwa manusia, berkenaan dengan apa yang dirasakan oleh penganut agama. Kondisi inilah yang biasa disebut kondisi agama, yaitu kondisi patuh dan taat kepada yang disembah. Kondisi itu hampir sam adengan konsep “Religious Emotion”dari Emile Durkheim. Emosi keagamaan seperti itu merupakan gejala individual yang dimiliki oleh setiap “makhluk Tuhan”. Dimensi religiositas merupakan inti dari keberagaman. Inilah yang membangkitkan solidaritas seagama. Inilah yang membangkitkan solidaritas beragama, dan menjadikan seseorang menjadi orang yang saleh dan takwa.

Segi psikologis ini sangat sulit diukkur dan susah diamati karena merupakan milik pribadi pemeluk agama. Pengungkapan keberagamaa segi psikologis ini baru bisa dipahami ketika telah menjadi sesuatu yang diucapkan atau dinyatakan dalam perilaku orang yang beragama tersebut.

  1. Segi objektif (objective state), yaitu segi luar yang disebut juga kejadian objektif, dimensi empiris dari agama. Keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan. Segi objektif inilah yang bisa dipelajari dengan menggunakan metode ilmu sosial. segi kedua ini mencakup adat-istiadat, upacara keagamaan, bangunan, tempat-tempat peribadatan, cerita yang dikisahkan, kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang dianut oleh suatu masyarakat.

Meskipun agama berkaitan dengan berbagai keharusan, ketundukan, dan kepatuhan, tetapi setiap ketaatann itu bisa disebut agama, bergantung pada siapa ketaatan itu diperuntukkan dan atas dasar motivasi apa itu dilaksanakan. Ketaatan dan kepatuhan pihak yang kalah perang kepada pihak yang menang perang, ketaatan rakyat suatu negara kepada pemerintahnya, dan hormatnya bawahan kepada atasan di suatu kantor, tidak bisa disebut agama dalam kacamata keilmuan. Selain ketundukan dan kepatuhan, masih ada cirri khas yang merupkan ahal terpenting pada semua agama, yaitu kepatuhan yang dibarengi rasa spiritualitas dan religiositas yang sakral.

Berdasarkan hasil studi para ahli sosiologi, dapat diketahui bahwa agama merupakan suatu pandangan hidup yang harus diterapkan dalam kehidupan individu ataupun kelompok. Keduanya mempunyai hubungan saling mempengaruhi dan saling bergantung (interdependence) dengan semua factor yang ikut membentuk struktur sosial di masyarakat mana pun. Tidak begitu persis dengan apa yang digambarkan oleh Karl Marx yaitu anggapan bahwa agama hanya merupakan salah satu factor bangunan atas, yang pembentukannya dipengaruhi bangunan pokok, yaitu struktur ekonomi (system-sistem perhubungan dan kekuatan-kekuatan produktif). Dari pendapat Karl Marx tersebut lebih komprehensif. Sosiolog modern ini memberi komentar berdasarkan beberapa hasil studinya tentang beberapa lembaga sosial di berbagai tipe masyarakat, baik dulu maupun kini. Hasil studinya menunjukkan bahwa terjadi kerjasama menunjukkan tentang betapa pentingnya lembaga agama dan pengaruhnya atas semua lembaga sosial lainnya, baik lembaga keluarga, politik, ekonomi, hukum, maupun pendidikan.

 

  1. Agama dan Indikasi Konflik

Agama sebagai factor konflik sepintas kelihatan sangat paradoks. Di satu sisi, agama dipandang sebagai sumber moral dan nilai, sedangkan di sisi lain dianggap sebagai sumber konflik. Menurut Afif Muhammad, agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda. Hal tersebut seperti yang disinualir oleh Johan Efendi yang menyatakan bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan, namun pada waktu yang lain menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti dicatat dalam sejarah, menimbulkan peperangan (Kahmad,2002).

Banyak diindikasikan bahwa terjadinya konflik yang ada di masyarakat berawal dari manusia. Secara lebih tegas, konflik muncul dari ulah tangan manusia. oleh karena itu, pembahasan mengenai agama sebagai factor konflik akan melihat dari segi penganut agamanya, bukan agamanya, untuk mengidentifikasi timbulnya konflik. Penganut suatu agama adalah manusia dan manusia merupakan bagian dari masyarakat. Sehingga masyarakat akan menjadi lahan terjadinya konflik. Pembahasan mengenai agama menjadi factor terjadinya konflik memang bermula pada para penganut agamanya. Penganut agama adalah orang yang menyakini dan mempercayai suatu ajaran agama. Keyakinannya itu akan melahirkan bentuk perbuatan baik atau buruk, yang biasa disebut amal perbuatan dalam Islam. Mereka menyakini perbuatan baik atau buruk melalui rangkaian proses dalam memahami dan mempelajari ajaran agama yang mereka yakini itu. Oleh karena itu setiap penganut memiliki perbedaan dalam menginterpretasikan pemahaman agamanya, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Sehingga akibatnya dari perbedaan pemahaman tersebut dapat menimbulkan cikal bakal konflik yang terjadi di masyarakat yang tidak dapat dihindarkan. Dari situlah mengapa agama memiliki potensi yang dapat melahirkan berbagai bentuk konflik (intoleransi) yang diakibatkan oleh perbedaan pemahaman terhadap ajaran agama.

Terdapat dua pendekatan untuk sampai pada pemahaman terhadap agama. Pertama, agama dipahami sebagai suatu doktrin dan ajaran; dan kedua, agama dipahami sebagai aktualisasi dari doktrin tersebut yang terdapat dalam sejarah. Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yanag dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Dan dalam pengalaman suatu ajaran agama (aktualisasi doktrin) oleh para pemeluknya, tampak kesenjangan jika dibandingkan dengan doktrin agamanya (Kahmad, 2002). Oleh karena itu setiap agama ada istilah dakwah meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda.  Dakwah tersebut merupakan cara untuk mensosialisasikan ajaran agama. bahkan tidak jarang masing-masing agama menjastifikasi bahwa agamanya merupakan agama yang paling benar. Dari situlah kemudian muncul sentiment agama karena masing-masing agama saling menegakkan kebenarannya sehingga benturan antaragama sulit dihindari.

Pada tataran ini agama tidak hanya menjadi factor pemersatu (intergrative factor) tetapi juga factor disintegrative ( disintegrative factor). Factor disintegrative timbul karena agama itu sendiri memiliki potensi yang melahirkan intoleransi agama itu memiliki potensi yang melahirkan intoleransi (konflik), baik karena factor internal ajaran agama itu sendiri maupun karena factor eksternalnya yang sengaja dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan mengatasnamakan agama.

Di Indonesia, kasus-kasus intoleransi lebih sering disebabkan oleh factor eksternal yang bersifat dan berada di ranah politik. Banyak kasus yang memicu adanya sejumlah karusuhan di berbagai daerah, sering kita dengan dengan dalih mengatasnamakan agama. Tampaknya, dalam perpolitikan Indonesia, ada kecenderungan agama disejajarkan dengan persoalan kesukuan dan rasisme (rasialisme). Dalam kaitan ini, kiranya perlu dipertimbangkan pandangan Nurcholish Madjid dalam Kahmad, 2002, yang menyarankan agar agama tidak disejajarkan dengan suku dan ras sebagaimana yang sering menjadi sebab konflik dalam dunia perpolitikan Indonesia. justru sebaliknya, dengan adanya agama dapat memberikan dampak positif berupa daya pemersatu (sentripetal) yang dapat dibangun dan mencari terobosan baru dalam rangka menciptakan iklim kehidupan beragama yang lebih harmonis dalam masyarakat.

  1. Agama dan Konflik Sosial

Agama dalam fungsinya memiliki fungsi yang positif dan fungsi negative. Dengan perubahan zaman, tidak dapat di punkiri bila terjadi perubahan social dalam masyarakat. Fungsi yang negative antara lain dengan adanya fakta perpecahan antar manusia yang semuanya bersumber dari agama. Perpecahan tidak akan terjadi jika tidak ada konflik terlebih dahulu. Dalam hal ini karena adanya krisis agama yang ada di masyarakat pada umumnya, dan kurangnya kesadaran bahwa sebenarnya agama yang mengajarkan kita solidaritas terhadam manusia yang lainnya. Adapun bentuk konflik social yang bersumber dari agama, antara lain ebagai berikut.

 

 

  • Perbedaan doktrin dan sikap mental

Konflik merupakan kategori sosiologis yang bertolak belakang dengan pengertian perdamaian ataupun kerukunan. Adanya konflik dapat di sebabkan proses asosiatif ( proses yang mempersatukan ), dan ada juga yang berasal dari proses dissosiatif ( sifatnya memecahkan atau menceraikan. Dalam konteks ini konflik menjadi fakta social yang ada di masyarakat yang dapat melibatkan minimal dua pihak yang berbeda agama. Adanya bentrok dalam permasalahna yang terjadi pada zaman dahulu hingga sekarang. Misalnya umat Kristen Gereja Purba dengan umat Yahudi. Itulah salah satu bentuk konflik yang terjadi pada agama.  Pada kasus ini yang menjadi permasalahan adalah adnya perbedaan iman manusia. Mereka memberikan doktrin-doktrin masyarakat beragam untuk membela agama mereka masing-masing, untuk mengakui kebenaran agama mereka. Hal tersebut yang menjadikan adanya konflik yang tumbuh dari persoalan agama.

Adananya sikap yang membenarkan agama masing-masing, maka menimbulkan polemic dan kontrofeksi pada masyarakat beragama. Dengan adanya rasa ingin menang sendiri maka dengan mengalahkan pihak lain dan pada akhirnya belum pernah menghasilkan dampak yang positif, akan tetapi dampak negative yang selalu muncul. Satu-satunya jalan yang dapat di tempuh ialah kembali kepada prinsip kebebasan untuk memeluk agama di sukai dan asas saling menghormati kepercayaan orang lain, selaras dengan piagam PBB tentang Deklarasi Hak-hak asasi manusia tahun 1948 (Hendropuspito,1983: 153).

Sikap mental keagamaan, semua agama pada umumnya akan mengajarkan kebaikan pada pemeluk agamanya masing-masing. Kaena agama merupakan pedoman bagi manusia untuk menuju keyakinan yang di yakini, dan pengharapan yang di ingoinkan manusia dalam agamanya. Seperti halnya sikap sikap yang baik ( seperti persaudaraan, cinta kasih, kesatriaan, tolong menolong dan lain-lain).  Sikap yang di ajarkan oleh agama sangat membantu manusia dalam menjalankan hidup masing-masing. Akan tetapi dalam persoalan beragama, manusia mempunyai sifat yang negative juga, seperti religious, prasangka, dan intoleransi. Gejala sifat yang negative tersebut bias terjadi karena adanya rasas kebanggan terhadap agama masing-masing.

Dari adanya sifat yang negative dan poditif maka akan memberikan pemahaman terhadap manusia untuk memilih agama masing-masing,  akan tetapi [permasalahan yang ada pada agama membuat bentrok atau kehancuran yang sangat besar, seperti adanya ISIS dan kaum-kaum lainnya , yang ingin menghancurkan agama yang lain.

  • Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama

Perbedaan suku dan ras dengan adanya agama bukan menjadi penghalang untuk terciptanya hidup yang rukun antar saudara. Akan tetapi dari perbedaan suku dan ras tersebut menjadikan sebuah konflik yang dapat timbul dengan adnya perbedaan. Tidak hanya itu. Dari semua perbedaan melalui suku dan etnis menjadikan suatu kebudayaan yang berbeda. Pada umumnya etnis orang yang berkulit puih dan etnis orang yang berkulit hitam mendapatkan perlakuan yang berbeda, sebab adanya deskriminasi terhadap rasa au etnis tertentu yang di anggap sebagai pembeda dalam kehidupan. Dalam bukunya Hendropuspito,1983: 157 keyataan bahwa ada ketegangan yang berabad-abad sudah berjalan antara ras kulit putih yang beragama Kristen dan ras yang berwarna yang beragama non-Kristen, maka penulis berpendirian bahwa perbedaan agama Bersama-sama dengan perbedaan ras memperlebar jrang permusuhan yang sudah ada antara bangsa-bangsa yang bersangkutan.

Melalui konflik pendiskriminasian maka akan mengawali sebuah kehancuran dalam beragama. Sehingga perbedaan tersebut membuat masyarakat ada yang tidak nyaman.

  • Perbedaan Tingkat Kebudayaan

Agama merupakan suatu unsur kebudayaan, yang dapat kita lihat secara jelas dengan adanya setiap daerah mempunyai kebudayaan yang berbeda. Dengan adanya budaya yang berbeda-beda agama berperan penting dalam menjunjung tinggi kebudayaan yang ada di daerah tersebut, terkadang adanya deskriminasi antar budaya satu dengan budaya lain maka akan memberikan rasa bangga diri terhadap kebudayaan yang di miliki.

Kebudayaan pada suatu daerah tidaklah sama, akan tetapi budaya memiliki tingkatan-tingkatan sendiri, dalam hal ini budaya di bedakan menjadi 2, yaitu kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah. Jadi dalam pembedaan maka terlihat betul dalam tingkat perbedaannya.

Agama mengamankan masyarakat manusia dan menampilkannya di depan manusia dalam istilah nilai-nilai dan mengajak manusia salaing menghormati dan menghargai satu sama lain. Fungsi agama dalam hal ini ialah bahwa agama menangkap dunia ini dalam pengertian-pengertian ini dalam hal yang serba suci dan serba adikodrati dan demikian memberikan arti yang lebih tinggi daripada arti sehari hari. Manusia mendapatkan inspirasi untuk hidup dari agama.adanya asumsi bahwa agama memainkan peranan dominan dalam menciptakan budaya masyarakat dan melestarikan alam semesa. Jika asumsi yang di pandang tidak sesuai maka fungsi agama tidak berfungsi (disfungsional).

  • Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama

Masalah mayoritas dan minoritas golongan, menjadi sebuah permasalahan yang ada di agama. Hal ini dapat menimbulkan adanya konflik social , dari fenomena konflik social tersebut mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralistis penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas dalam agama.

Secara umum sudah di ketahui bahwasaanya agama-agama besar di dunia tidak mempunyai penganut yang sama atau pemeluk agama yang sama, termasuk Indonesia yang mayoritas agama penduduknya adalah agama Islam. Dampak mayoritas dan minoritas dapat di perdebatkan, sehingga  menimbulkan konflik antara kepentingan yang berbeda-beda pada tempat dan saat yang sama mudah menimbulkan benturanantara golongan yang berkepentingan. Akan mengakibatkan hal yang tidak di inginkan,seperti halnya konflik yang terjadi di Aceh, Jawa Barat,  Sulawesi, minoritas Kristen mengalami kerugian fisik akibat dari pembakaran gedung-gedung ibadat.

Dalam konflik mayoritas-mayoritas ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.antara lain,

  • Agama di ubah menjadi suatu ideologi
  • Prasangka mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya
  • Mkitos dari mayoritas

Mayoritas keagamaan yang mengembangkan suatu ideologi bagi mayoritas tersebut, maka akan menimbulkan ideologi yang bercampur dengan mitos yang penuh emosi, dimana kepentingan keagamaan dan kepentingan politik luluh dalam satu kesatuan, hal itu akan menimbulkan suatu keyakinan bahwa kelompok mayoritas yang menentukan jalannya masyarakat dan berkuasanya mayoritas tersebut.karena mayoritas yang menganggap hak dan kewenangan yang di miliki menjadi suatu kekuasaan mereka.

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: