Kali ini saya akan memposting artikel tugas kuliah semester 5 pada mata kuliah antropologi pendidikan mengenai kebijakan zonasi sekolah.
Yuk, Langsung saja membaca dan memahami isi artike dibawah ini
Kebijakan zonasi dalam PPDB memiliki dampak-dampak langsung ataupun tidak langsung yang terjadi dalam waktu pendek dan jangka panjang. Pertama, terbukanya akses orang miskin pada pendidikan berkualitas. Ini merupakan dampak positif yang langsung bisa dirasakan. Kebijakan zonasi membuka akses pendidikan bermutu pada keluarga-keluarga dengan kemampuan sosial ekonomi pas-pasan yang umumnya berkorelasi dengan tingkat prestasi akademis yang pas-pasan pula. Kedua, sekolah menjadi lebih heterogen jika dilihat dari profil siswa, baik dari sisi latar belakang keluarga, tingkatan ekonomi, maupun kemampuan akademis. Heterogenitas dapat membuka wawasan komunitas sekolah (guru, karyawan, peserta didik) tentang keragaman yang menjadi fondasi kebinekaan bangsa Indonesia. Ketiga, dari sisi hak memperoleh pendidikan berkualitas, sistem zonasi membatasi minat, bakat, dan preferensi individu peserta didik untuk memilih sekolah yang mereka inginkan. Persoalan ini memang sudah diatasi dengan kebijakan kuota 5 persen untuk anak-anak berprestasi agar bisa bersekolah di sekolah yang mereka inginkan tanpa melalui ketentuan zonasi. Namun, kuota ini tetap saja membatasi aspirasi setiap siswa dan orangtua untuk memberikan hak pendidikan yang berkualitas bagi putra-putri mereka. Kebijakan zonasi dalam PPDB tidak hanya memiliki dampak, baik yang positif maupun negatif, melainkan juga menyisakan persoalan yang harus diselesaikan dengan cepat pada masa depan. Persoalan yang muncul bisa terjadi karena faktor demografis, psikologis, dan budaya. Pertama, dari sisi demografis, kebijakan zonasi alih-alih menghilangkan paradigma sekolah elite dan bukan, justru dalam jangka panjang akan memperlebar jurang ketimpangan kualitas. Sekolah-sekolah favorit dan elite umumnya berada di pusat kota. Harga tanah yang tinggi di kota hanya akan terjangkau oleh keluarga-keluarga kaya yang umumnya sudah sangat sadar akan arti penting pendidikan. Keluarga kaya tetap akan memperoleh layanan pendidikan bermutu, sedangkan keluarga miskin, yang umumnya berada di pinggiran, juga akan memperoleh akses pendidikan dengan kualitas pinggiran berdasarkan sistem zonasi. Kedua, dari sisi psikologis, akan terjadi ketidaknyamanan. Guru merasa tidak nyaman karena kemapanan dan stabilitas yang mereka rasakan selama ini terusik. Sekolah dengan kualitas baik memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap peserta didik sehingga guru yang terbiasa hanya mengelola anak-anak pandai dan bermotivasi tinggi akan mengalami frustrasi ketika berjumpa dengan peserta didik dengan kualitas akademis yang jauh dari ekspektasi mereka. Jika ini berlangsung terus, pada masa depan sekolah yang sudah baik malah menjadi turun kualitasnya. Ketiga, peserta didik dari kalangan miskin akan mengalami benturan kebudayaan di sekolah baru. Siswa akan kaget dengan ekspektasi tinggi para guru dan kebiasaan-kebiasaan belajar di sekolah baru. Jika tidak diatasi, persoalan ini akan menjadi kendala integrasi bagi siswa dari latar belakang ekonomi dan kemampuan akademis yang rendah.
Persoalan yang muncul akibat kebijakan zonasi memerlukan tanggapan dan sikap yang segera harus dilakukan agar per- soalan PPDB ini tidak membingungkan masyarakat luas. Agenda pertama adalah pemerintah harus segera memastikan bahwa kualitas sekolah, baik di kota-kota besar maupun di pedesaan, atau di pinggiran juga memiliki kualitas yang setara, dari sisi sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga pendidikan, serta kualitas pengajaran dan pemelajaran. Kedua, pemerintah perlu merombak mentalitas para guru yang selama ini hanya ingin mengajar di sekolah elite dan perkotaan yang memiliki peserta didik dengan kemampuan akademis baik. Guru perlu didorong agar memiliki komitmen pengajaran kepada semua peserta didik tanpa diskriminasi. Paradigma pendidikan yang berpusat pada siswa perlu menjadi acuan untuk menentukan pendampingan dan fasilitasi peserta didik dalam belajar sesuai dengan minat, bakat, dan perbedaan cara belajar yang mereka miliki. Ketiga, beberapa pemerintah daerah sudah memiliki mekanisme PPDB tersendiri. Mekanisme ini perlu segera disinkronisasi agar selaras dengan peraturan baru PPDB.