Bukan hanya anda, semua orang tak selalu konsentrasi ketika membaca. Dalam sebuah penelitian baru yang diterbitkan di jurnal Asosiasi Ilmu Psikologi, para peneliti merekam pergerakan mata selama membaca dan menemukan bahwa mata tetap bergerak ketika pikiran melayang, tapi mata tidak bergerak dengan cara yang sama ketika anda memperhatikan.

Membaca

Seorang ilmuwan psikologi di Universitas Pittsburgh, Erik Reichle tertarik dengan bagaimana otak mengontrol pergerakan mata. “Tujuannya ialah untuk memahami bagaimana hal-hal seperti pemahaman kata dan perhatian visual mengontrol pergerakan mata,” katanya.

Kebanyakan orang yang mempelajari membaca berpendapat bahwa mata mengambil sampel informasi pada halaman dan pikiran yang membaca pada dasarnya mengambil apa yang diberikan tanpa memberikan petunjuk kembali ke mata.

Reichle menduga bahwa itu salah, dan berpendapat bahwa mengobservasi pembacaan tanpa berpikir akan menjadi sesuatu yang menarik untuk memberikan pencerahan apa yang terjadi ketika pikiran sibuk. Dia melakukan penelitian tersebut bersama Andrew E. Reineberg dari Universitas Pittsburgh dan Jonathan W. Schooler dari Universitas California, Santa Barbara.

Empat mahasiswa prasarjana di Universitas Pittsburgh menjadi sukarelawan untuk proyek itu. Tiap-tiap orang datang ke lab untuk sesi membaca 12 atau lebih pembacaan selama satu jam tentang Sense dan Sensibility karya Jane Austen, bacaan itu dipilih karna itu “cukup mudah tapi agak membosankan,” kata Reichle. “Kami mulai dengan The Trial karangan Kafka, tapi orang-orang menganggapnya terlalu menyita perhatian.” Saat para mahasiswa membaca buku di layar, komputer melacak pergerakan mata mereka. Mereka diminta untuk menekan tombol yang ditandai dengan huruf “Z” ketika mereka tahu bahwa mereka tidak lagi fokus membaca.” Komputer juga menanyakan setiap beberapa menit apakah mereka memperhatikan atau kehilangan fokus.

Mata melakukan hal berbeda ketika seseorang memperhatikan daripada pikirannya melayang. Dalam pembacaan normal, mata memperhatikan satu kata, kemudian dengan cepat pindah ke kata lain. Mata lebih banyak meluangkan waktu pada kata-kata yang kurang umum. Akan tetapi, ketika pikiran seseorang melayang, mata tidak mengikuti pola-pola ini. Mata juga memperhatikan lebih lama pada setiap kata.

“Hal tersebut hampir mirip mata yang secara mekanis lambat,” kata Reichle. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat umum di bidangnya merupakan kesalahan, malahan, ketika orang membaca, pergerakan matanya sangat terhubung dengan pemrosesan bahasa yang berjalan di otak.

Para peneliti memperbandingkan dua gaya nyanyian klasik dan Hindustan untuk menemukan penyembuhan gangguan berbicara.

Penyembuhan Gangguan Berbicara Dengan Bernyanyi

Nyanyian Hindustan yaitu gaya nyanyian tradisional India Utara, dan nyanyian klasik seperti musik Puccini, Mozart dan Wagner, sangat bervariasi dalam teknik dan bunyi. Saat ini para peneliti patologi cara-bicara-bahasa di Universitas Missouri sedang memperbandingkan kedua gaya tersebut dengan harapan menemukan penyembuhan tremor laringeal yang merupakan gangguan vokal yang berhubungan dengan banyak gangguan neurologis yang bisa menyebabkan kesulitan-kesulitan berat dalam berkomunikasi.

Bunyi atau suara dihasilkan di dalam laring yang terletak di dalam leher. Tremor vokal atau suara timbul ketika laring mengalami kekejangan pada waktu berbicara yang menghasilkan suara mendesah dengan nada yang selalu berubah-ubah. Orang-orang yang menderita penyakit Parkinson dan gangguan-gangguan serupa lainnya kerapkali menunjukkan tremor vokal. Saat ini para patolog cara-bicara-bahasa hanya bisa membantu para pasien untuk mengontrol tremor. Dengan memahami fisiologi di balik fluktuasi atau kenaikan nada yang disengaja atau tidak disengaja, peneliti Universitas Missouri berharap menemukan langkah penyembuhan atau pengobatan.

“Gaya-gaya nyanyian Hindustan dan klasik sangat berbeda,” kata Nandhu Radhakrishnan yang merupakan profesor komunikasi sains dan gangguan di Sekolah Profesi Kesehatan. “Dalam nyanyian Hindustan, para penyanyi menggunakan ‘Taan’ untuk memodulasi nada dengan sengaja, di lain pihak para penyanyi klasik menggunakan vibrato untuk meninggirendahkan nada secara tidak sengaja. Berbekal pengetahuan ini, kita bisa mengembangkan terapi khusus untuk menyembuhkan tremor vokal atau tremor laringeal.”

Radhakrishnan merupakan peneliti pertama yang mempelajari fisiologi nyanyian Hindustan. Dia bekerja bersama Ronald Scherer dari Universitas Negara Bagian Bowling Green di Ohio, dan Santanu Bandyopadhyay yang merupakan seorang guru vokal di Benggala Barat, India. Dalam studinya, dia menemukan beberapa perbedaan antara nyanyian Hindustan dan klasik. Utamanya, nyanyian Hindustan memiliki keistimewaan naik turun nada cepat yang disengaja yang Radhakrishnan sebut sebagai “gerak Taan”. Sebaliknya, para penyanyi klasik menggunakan modulasi vokal seperti vibrato untuk membuat perpindahan halus di antara nada-nada.

Para penyanyi klasik menggunakan apa yang dikenal sebagai forman (puncak-puncak spektrum bunyi) penyanyi untuk mempertinggi jangkauan frekuensi tertentu yang enak didengar dengan cara merendahkan laringnya dan melebarkan sistem vokal. Namun para penyanyi Hindustan tidak menggunakan forman penyanyi. Tanpa hal ini, para penyanyi Hindustan bernyanyi pada volume yang lebih rendah dibandingkan dengan para penyanyi klasik, dan suara nyanyian mereka terdengar sangat mirip dengan suara berbicara mereka. Radhakrishnan juga mengamati bahwa nyanyian Hindustan memerlukan pelafalan tepat lirik, sebagaimana notasi mengarahkan pelafalan dalam musik klasik.

Untuk membuka rahasia nyanyian Hindustan, Radhakrishnan merekam seorang guru nanyian India yang menyanyikan gerak Taan tunggal berulang-ulang. Walaupun para penyanyi biasanya menyanyikan beberapa fluktuasi nada ini berturut-turut, Radhakrishnan hanya merekam satu gerak untuk mengisolasi tekniknya bagi studi ilmiah. Radhakrishnan menggunakan peralatan yang mengukur variabel-variabel seperti tekanan paru-paru, durasi di mana lipatan-lipatan vokal terbuka atau tertutup, dan rasio di mana udara keluar dari laring.

Studi tersebut dipublikasikan baru-baru ini di Journal of Voice. Beberapa bulan mendatang, Radhakrishnan akan mempublikasikan studi lainnya tentang gerak Taan yang memfokuskan pada aspek-aspek performa teknik tersebut.

Menurut penelitian baru, mengenakkan pakaian renang berwarna putih atau biru muda dapat melindungi anda dari serangan ikan hiu.

Ikan Hiu Ternyata Buta Warna

Para peneliti menemukan bahwa mata ikan hiu, termasuk hiu sapi dan hiu harimau, tidak didesain untuk membedakan warna jadi mata mereka hanya melihat dunia dalam hitam dan putih.

Hal itu berarti bertentangan dengan warna biru muda laut, akan lebih baik mengenakkan pakaian renang yang berwarna cerah untuk mengurangi kekontrasan atau perbedaan warna dengan air.

Studi tersebut mendukung statistik dari International Shark Attack File (ISAF) yang menunjukkan bahwa kebanyakan serangan ikan hiu terjadi pada penyelam atau peselancar yang mengenakkan pakaian untuk air yang berwarna hitam.

Tim peneliti di Universitas Western Australia dan Universitas Queensland memeriksa mata 17 spesies ikan hiu termasuk, hiu sapi, hiu harimau, hiu karang dan hiu Port Jackson.

Mereka menemukan bahwa retina mata mereka hanya memiliki satu kerucut (cone atau detektor cahaya) yang hanya dapat mendeteksi terang atau gelap. Hal tersebut berarti satu buah apel yang berwarna merah hanya sesuatu yang bercorak gelap bagi mereka.

Sebaliknya manusia memiliki tiga kerucut untuk membedakan warna, merah, hijau dan biru.

Seperti yang dilansir oleh Telegraph (18/01/11), Profesor Nathan Hart, pemimpin penelitian tersebut, mengatakan bahwa penglihatan ikan hiu bisa dibandingkan dengan menonton televisi hitam putih.

“Apabila ikan hiu kurang dalam penglihatan warna, hal tersebut berarti bahwa kekontrasan terang lebih penting untuk mendeteksi dan mengidentifikasi obyek-obyek,” tuturnya.

“Kita boleh menggunakan informasi ini untuk membantu mendesain kapal selancar kecil dan pakaian renang yang kurang menarik perhatian atau lebih memuakkan bagi ikan hiu untuk mengurangi serangan terhadap orang-orang.

“Kita juga boleh menggunakannya untuk mendesain umpan pancingan panjang yang kurang menarik bagi ikan hiu dan mengurangi jumlah ikan hiu yang mati karena tertangkap pancingan setiap tahun.”

Profesor Hart mengatakan bahwa lebih banyak penelitian diperlukan untuk menentukan pola mana yang berfungsi paling baik untuk mengelakkan ikan hiu.

“Langkah selanjutnya ialah melihat pada perilaku,” katanya.

Walaupun kebanyakan ikan bertulang (bony fish, Osteichthyes) memiliki beberapa penglihatan warna, ikan paus, lumba-lumba dan anjing laut diyakini juga hanya memiliki satu kerucut.

Penelitian baru itu mengejutkan karena ikan hiu merupakan salah satu pemburu yang paling hebat di dunia.

Hingga saat ini, para ahli meyakini bahwa kesuksesan evolusioner ikan hiu berada pada sistem sensor yang sangat teradaptasi, termasuk penglihatan.

Akan tetapi sekarang kelihatan bahwa ikan hiu sebenarnya mengandalkan mekanisme yang lain juga, yang kombinasinya memperkenankan keefektifan makhluk tersebut dalam berburu.

Studi tersebut dipublikasikan di Naturwissenschaften (Sains Alam).

Kloning telah mengalami kemajuan pesat selama 15 tahun terakhir yang dimulai dari domba yang dinamakan Dolly hingga seekor kuda bernama Prometea.

Hewan Kloning
Dolly, Kloning Domba Pertama – Foto: Wikimedia

Sekalipun demikian, masalah etika serta akibat yang ditimbulkan dari hal itu menjadi bahan perdebatan sengit. Berikut ini merupakan 5 hewan hasil kloning yang dianggap menyebabkan kontroversi menurut Nick Collins seorang jurnalis Telegraph.

Domba Bernama Dolly

Kehadiran Dolly merupakan peristiwa penting dalam teknologi genetika yang menunjukkan bahwa para ilmuwan bisa membalikkan waktu selular dengan mengkonversi sel domba dewasa menjadi embrio yang kemudian tumbuh menjadi domba baru.

Kelahirannya menyulut perdebatan sengit tentang etika dan akibat kloning. Seorang penulis mengklaim bahwa Dolly “menatap anda dengan kedua mata merahnya yang penuh kebencian”.

Sanggahan etika yang menentang kloning hewan diperkuat ketika domba tersebut dikritik pada tahun 2003 setelah mengidap penyakit paru-paru. Hewan tersebut ditimpa dengan masalah-masalah kesehatan juga menderita karena artritis prematur.

Tikus Bernama Cumulina

Cumulina merupakan yang pertama dari 50an tikus identik sepanjang tiga generasi yang dibuat di Universitas Hawai pada tahun 1998.

Hewan kloning tersebut dinamakan Cumulina karena dia dibuat dari DNA sel-sel kumulus yang mengelilingi telur yang sedang berkembang pada indung telur tikus betina.

Cumulina merupakan hewan pertama yang dikloning dari sel-sel dewasa yang bertahan hingga masa dewasa dan menghasilkan dua seperindukan sehat.

Gaur (Bos Gaurus) Bernama Noah

Noah hewan gaur (spesies dari Asia Tenggara yang mirip bison), merepresentasikan percobaan pertama yang dilakukan oleh para ilmuwan untuk mengkloning hewan yang terancam punah.

Para ilmuwan di Amerika berharap bisa mengambil langkah besar dalam upaya melindungi spesies yang terancam punah dengan melahirkan kloningan gaur di sebuah peternakan di Iowa.

Namun Noah mati sesaat setelah lahir pada tahun 2001.

Kucing Bernama CC

CC atau Carbon Copy yang lahir pada tahun 2001 merupakan hewan peliharaan pertama yang dikloning.

Para ilmuwan berharap bahwa menciptakan carbon copy kucing bisa menawarkan jutaan pemilik piaraan kesempatan untuk membangkitkan hewan peliharan kesayangan keluarga.

Namun walaupun Rainbow yang merupakan kucing orisinil bertubuh gemuk dan memiliki warna putih dengan bintik-bintik coklat, coklat muda dan keemasan, CC bertubuh ramping dengan warna putih dan belang abu-abu. Lebih lagi, kedua kucing tersebut memiliki sifat berbeda, Rainbow pendiam tapi CC suka bermain.

Sapi Bernama Vandyk-K Integ Paradise 2

Hewan ini merupakan salah satu dari tiga yang dikembangkan dari sel-sel yang diambil dari sapi yang memenangkan berbagai perlombaan bernama Vandyk K Integ Paradise di Amerika. Embrio-embrio yang dibekukan dari kloning tersebut ditanamkan pada induk-induk pengganti di Inggris.

Vandyk-K Integ Paradise 2 menjadi pusat pembicaraan ketika daging dari keturunan kloning tersebut masuk pasaran.

Bahan untuk tindikan yang terbuat dari baja tahan karat atau stainless steel dan titanium lebih cenderung mengumpulkan bakteri.

Tindikan di Lidah

Walaupun tindikan yang terbuat dari metal atau logam lebih kentara dari yang terbuat dari plastik, baja yang terdapat dalam mulut juga mengumpulkan lebih banyak bakteri, para peneliti melaporkan dalam edisi Journal of Adolescent Medicine yang akan datang.

Penelitian tersebut merupakan tambahan mutakhir terhadap sekumpulan laporan yang mengindikasikan bahwa bahan tindikan dari logam dapat menyebabkan infeksi, merusak gusi dan gigi.

Dr. Ines Kapferer dari Innsbruck Medical University di Austria dan para koleganya mengidentifikasi 68 wanita dan 12 pria, berumur rata-rata 23 tahun, yang memiliki tindikan di lidah. Para peneliti memeriksa kesehatan gigi dan gusi pada setiap relawan dan mengeluarkan bahan tindikan tersebut. Para relawan kemudian secara acak ditugaskan untuk menggunakan bahan tindikan baru yang terbuat dari stainless steel, titanium, polypropylene (polimer plastik) atau polytetrafluorethylene (teflon). Setelah dua minggu, para ilmuwan mengeluarkan bahan tindikan tersebut dan menyeka bagian lidah, lubang tindikan dan tiap-tiap bahan untuk tindikan itu sendiri.

Uji terhadap 80 jenis bakteri yang berhubungan dengan penyakit atau infeksi menunjukkan bahwa 67 dari 80 spesies telah terakumulasi secara substansial lebih banyak pada bahan tindikan yang terbuat dari stainless steel daripada polimer, dan 28 jenis bakteri muncul lebih banyak pada titanium daripada polimer.

Banyak dari bakteri ini biasanya muncul dalam bentuk biofilm yaitu suatu gabungan bakteri, sel, lipid, protein, untaian molekul gula dan substansi lainnya yang sifatnya melekat yang terbentuk pada permukaan-permukaan. Para peneliti berspekulasi bahwa permukaan stainless steel lebih kondusif bagi pembentukan biofilm daripada plastik.

Beberapa biofilm sudah jelas diketahui, seperti plak gigi dan lendir yang menyebabkan bebatuan basah menjadi licin atau menyelimuti bagian dalam pipa rumah tangga. Biofilm menyediakan rumah dan perlindungan bagi bakteri yang menyebabkan mereka sulit untuk disingkirkan, kata Sharukh Khajotia, seorang ilmuwan biomaterial gigi di Pusat Kesehatan Universitas Oklahoma di Kota Oklahoma, yang tidak termasuk dalam tim peneliti.

“Biofilm membentuk perlindungan bagi bakteri,” tuturnya. Hal ini berarti bahwa bakteri yang menginap di sana tidak dengan mudah ditemukan oleh antibiotik sebagaimana bakteri yang bebas berkeliaran lainnya. Banyak studi yang perlu dilakukan untuk memahami mengapa biofilm melekat lebih baik pada permukaan-permukaan tertentu daripada yang lainnya dan faktor apa yang mempengaruhi pembentukan biofilm, kata Khajotia. “Ini merupakan langkah awal yang baik.” Demikian seperti yang dikutip ScienceNews (14/01/11).

Selain itu, menindik lidah menempatkan seseorang pada resiko infeksi mulut yang dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya, seperti yang telah ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya. Sebagai contoh, tindikan pada bagian oral atau mulut telah dihubung-hubungkan dengan kasus langka hepatitis C, sindrom toxic shock, bisul atau nanah di otak, dan infeksi jantung yang disebut endokarditis. Para peneliti memperhatikan bahwa beberapa bakteri yang dalam jumlah banyak ditemukan pada bahan tindikan juga muncul dalam infeksi-infeksi sistemik.

Pemasangan bahan untuk tindikan, cincin atau benda-benda lain pada lidah dapat juga merusak gigi dan gusi di sekitarnya. Dalam penelitian baru tersebut, para peneliti menemukan dalam pemeriksaan pertama mereka terhadap para relawan bahwa lebih dari satu per empat telah mengalami penyusutan jaringan gusi di belakang gigi, meskipun dalam usia muda. Hal tersebut terjadi di mana bahan untuk tindikan bersentuhan dengan gusi. Para relawan rata-rata telah memiliki tindikan di lidah selama lima tahun. Dari 80 relawan dalam studi ini, empat di antaranya giginya pecah. Proses ini terjadi lebih sering terjadi dengan bahan yang terbuat dari logam atau metal ketimbang yang terbuat dari plastik, menurut penelitian sebelumnya.

Pria yang memiliki jari manis lebih panjang dari jari telunjuk cenderung beresiko terkena kanker prostat, menurut penelitian baru.

Pria Dengan Jari Manis Lebih Panjang Beresiko Kanker Prostat
Foto: Flickr

Hubungan antara ukuran jari dan kanker prostat tersebut sangat kuat sampai-sampai para peneliti meyakini bahwa tes sederhana itu bisa menjadi bagian dari keseluruhan proses skrining penyakit itu.

Penelitian tersebut yang dipimpin oleh Universitas Warwick dan The Institute of Cancer Research (ICR) menemukan bahwa para pria dengan jari manis lebih panjang dari telunjuk lebih cenderung mengembangkan penyakit kanker prostat selama hidup mereka ketimbang para pria yang memiliki panjang jari yang sebaliknya.

Ketika menyangkut resiko mengembangkan penyakit tersebut sebelum mereka berumur 60 tahun, hubungannya bahkan lebih besar pada pria dengan jari manis lebih panjang yang memiliki peluang 87 persen lebih tinggi.

“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa panjang jari relatif dapat digunakan sebagai tes sederhana bagi resiko kanker prostat, khususnya pada para pria di bawah 60 tahun,” tutur rekan peneliti Profesor Ros Eeles dari ICR dan The Royal Marsden NHS Foundation Trust.

Dia menambahkan, “Penemuan yang menarik ini mengindikasikan bahwa pola jari bisa saja digunakan untuk menseleksi para pria yang beresiko untuk melakukan skrining saat ini, mungkin mengkombinasikannya dengan faktor-faktor lain seperti riwayat keluarga atau pengujian genetik.” Demikian seperti yang dikutip dari Telegraph (01/12/10).

Selama kurun 15 tahun dari tahun 1994 hingga 2009, para peneliti mewawancarai lebih dari 1.500 pasien kanker prostat juga lebih dari 3.000 kasus-kasus sehat.

Para pria tersebut diperlihatkan serangkaian gambar-gambar berbagai pola panjang jari dan diminta untuk mengidentifikasi satu yang paling mirip dengan tangan kanan mereka.

Pola panjang jari yang paling umum yang terlihat pada lebih dari setengah pria dalam studi tersebut ialah jari manis yang lebih panjang dari telunjuk.

Para pria yang jari manis serta telunjuknya sama panjang (sekitar 19 persen) memiliki resiko kanker prostat yang sama, tapi para pria dengan jari manis lebih panjang dari telunjuk 48 persen beresiko terkena kanker prostat.

Panjang relatif jari manis dan telunjuk ditetapkan sebelum lahir, dan diduga berhubungan dengan tingkat hormon seks testosteron yang terekspos ke bayi dalam rahim.

Kadar testosteron lebih tinggi sama dengan jari manis yang lebih panjang, para peneliti sekarang meyakini bahwa banyak terekspos testosteron sebelum kelahiran mempertinggi kemungkinan terkena kanker prostat di kehidupan selanjutnya.

Penelitian sebelumnya menemukan hubungan antara eksposur terhadap hormon-hormon sewaktu dalam rahim dan pengembangan penyakit-penyakit lainnya termasuk kanker payudara (yang terhubung dengan eksposur estrogen yang lebih tinggi pada bayi dalam rahim) dan osteoartritis (yang terhubung dengan jari manis lebih panjang dari telunjuk).

Testosteron diketahui merupakan penggerak penyakit prostat begitu penyakit itu muncul, tapi hal ini menunjukkan bahwa hormon tersebut juga merupakan satu penyebab utama.

Profesor Ken Muir, rekan peneliti dari Universitas Warwick mengatakan, “Studi kami mengindikasikan bahwa tingkat hormon yang terekspos pada bayi dalam rahimlah yang bisa berdampak puluhan tahun kemudian.”

Dia menambahkan, “Seiring berlangsungnya penelitian kami, nantinya kami dapat melihat jangkauan lebih jauh faktor-faktor yang bisa saja berperan dalam pengembangan penyakit tersebut.”

Emma Halls, Kepala Prostate Action, yang membantu pendanaan karya tersebut yang dipublikasikan di British Journal of Cancer mengatakan, “Penelitian ini membawa kami satu langkah lebih dekat terhadap penentuan faktor-faktor resiko kanker prostat yang mungkin merupakan masalah terbesar dalam pemikiran saat ini mengenai pencegahan dan perawatan penyakit tersebut.”

“Namun, kami masih jauh dalam hal mengurangi jumlah para pria yang meninggal karena kanker prostat setiap tahun dan memerlukan lebih banyak penelitian dan pendidikan di semua bidang untuk mencapai tujuan ini,” simpulnya.

Jika para pria dengan jari manis lebih panjang dari telunjuk cenderung kaya menurut penelitian lainnya, maka para pria tersebut cenderung punya banyak uang untuk mencegah atau mengobati kanker prostat mereka. Dan jika hal tersebut benar adanya, alam memang menjaga keseimbangannya, dengan kata lain alam itu adil.

Kurkumin yang merupakan bahan kimia pada bumbu kari, berpotensi mencegah atau mengobati kerusakan hati dari suatu kondisi yang dikenal sebagai penyakit hati berlemak atau fatty liver disease, menurut penelitian baru Universitas Saint Louis.

Bumbu Kari Cegah Kerusakan Hati
Masakan Kari – Foto: wikimedia

Kurkumin terdapat pada tumbuhan kunyit atau kunir yang sudah digunakan ribuan tahun oleh orang Tiongkok sebagai obat tradisional.

Penelitian baru tersebut menyoroti potensi kurkumin bumbu kari dalam mengkaunter jenis penyakit hati berlemak yang kian lazim yang disebut non-alcoholic steatohepatitis (NASH). Terhubung dengan obesitas dan pertambahan berat badan, NASH mempengaruhi 3 hingga 4 persen orang dewasa A.S. dan bisa menyebabkan suatu jenis kerusakan hati yang disebut fibrosis hati dan mungkin sirosis, kanker hati dan kematian.

Anping Chen, Ph.D yang merupakan koresponden dan direktur penelitian di bagian patologi Universitas Saint Louis mengatakan: “Laboratorium saya mempelajari cara-cara alami untuk mencegah dan mengobati kerusakan hati ini.” Seperti yang dikutip dari Physorg.

“Walaupun penelitian pada hewan dan uji klinis manusia dibutuhkan, penelitian kami menunjukkan bahwa kurkumin bisa saja menjadi satu terapi efektif untuk mengobati dan mencegah fibrosis hati yang terhubung dengan non-alcoholic steatohepatitis (NASH).”

Tingkat leptin darah yang tinggi, glukosa dan insulin lazim ditemukan pada pasien-pasien manusia yang menderita obesitas dan diabetes tipe 2 yang mungkin menjadi penyebab fibrosis hati yang berhubungan dengan NASH.

Karya terakhir Chen menguji pengaruh kurkumin terhadap fungsi kadar tinggi leptin dalam proses fibrosis hati in vitro atau dalam latar laboratorium terkontrol.

“Leptin memerankan fungsi yang sangat penting dalam pengembangan fibrosis hati,” katanya.

Kadar tinggi leptin mengaktifkan sel-sel stellata hepatik yang merupakan penyebab produksi berlebihan protein kolagen yang merupakan fitur utama fibrosis hati. Para peneliti menemukan bahwa di antara aktifitas lainnya, kurkumin mengeliminasi efek leptin pada pengaktifan sel-sel stellata hepatitik sehingga mengganggu perkembangan kerusakan hati.

https://endo.endojournals.org/cgi/content/abstract/151/9/4168

Para ilmuwan berpikir bahwa merekam mimpi orang-orang merupakan sesuatu yang mungkin dilakukan dan berencana untuk melakukan hal tersebut kemudian mengartikannya, menurut laporan baru.

Merekam Mimpi
Ilustrasi Orang Bermimpi – gbr. mediaspin

Mereka mengklaim telah mengembangkan suatu sistem yang memungkinkan mereka untuk merekam aktifitas otak tingkat tinggi.

Sebelumnya, satu-satunya cara untuk mengakses mimpi orang-orang, para psikolog menanyakan tentang mimpi tersebut setelah dialami oleh seseorang kemudian mencoba untuk mengartikan atau menginterpretasikannya.

Seperti yang dikutip dari Telegraph, Dr. Moran Cerf mengatakan: “Kami ingin membaca mimpi orang-orang.”

Dia berharap bisa membandingkan ingatan orang tentang mimpinya dengan visualisiasi elektronik aktifitas otaknya.

Dia mengatakan: “Tak ada jawaban jelas mengapa manusia bermimpi dan salah satu dari pernyataan yang ingin kami jawab ialah kapan kita benar-benar menciptakan mimpi ini?” Sebagaimana yang dikutip dari BBC.

Ilmuwan tersebut meyakini bahwa penelitian terakhirnya menunjukkan bahwa neuron-neuron atau sel-sel otak tertentu seseorang terhubung dengan obyek-obyek atau konsep-konsep khusus.

Dia menemukan bahwa neuron tertentu bercahaya ketika seorang relawan memikirkan tentang aktris Marilyn Monroe yang terkenal seksi.

Jika sebuah basis data dibuat mengedintifikasikan berbagai neuron dengan konsep-konsep, obyek-obyek dan orang-orang, hal tersebut akan memungkinkan untuk “membaca pikiran subyek”, menurut Dr. Cerf.

Namun, Dr. Roderick Oner yang merupakan seorang psikolog klinis dan ahli mimpi mengatakan bahwa visualisasi seperti ini akan terbatas ketika menginterpretasi “narasi mimpi kompleks”.

Lagi pula untuk mendapatkan gambaran terinci mengenai neuron-neuron seseorang, para subyek harus mempunyai elektroda-elektroda yang ditanamkan jauh ke dalam otak dengan melakukan operasi pembedahan.

Para peneliti Nature menggunakan data dari pasien-pasien yang memiliki elektroda tertanam untuk memonitor dan merawat mereka yang menderita gangguan otak.

Namun Dr. Cerf mengatakan dia berharap bahwa hal tersebut bisa mungkin dilakukan pada tahap mendatang untuk memonitor orang-orang tanpa operasi pembedahan.

Dia mengatakan merupakan suatu hal yang “fantastis” untuk bisa membaca pikiran pasien-pasien koma yang tak bisa berkomunikasi.

Dia menambahkan: “Kita bisa berlayar dengan imajinasi kita dan berpikir tentang semua hal yang bisa kita lakukan jika kita memiliki akses ke otak seseorang dan memvisualisasikan pikiran mereka. Sebagai contoh, daripada repot-repot menulis surel, anda bisa hanya memikirkannya saja; atau aplikasi futuristik lainnya yaitu memikirkan suatu aliran informasi dan menuliskannya di depan mata anda.”

Perkembangan gadget yang tidak mungkin dibendung saat ini menuntut para penggunanya semakin sering mengisi ulang baterai gadget mereka. Dari powerbank, charger tenaga matahari yang dipasangkan pada jaket, hingga sepatu yang dapat mengisi ulang baterai smartphone menjadi contoh betapa pesat inovasi bidang ini. Bahkan seorang ilmuwan material bernama Sang-Woo Kim beserta timnya dari Universitas Sungkyunkwan, Korea Selatan memperkenalkan sebuah kain yang mampu membangkitkan energi listrik hanya dengan menggerak-gerakkan kain tersebut.

Prinsip kerja kain pintar ini cukup sederhana yakni dengan memanfaatkan efek triboelektrik yang dapat membangkitkan listrik statik seperti pada saat Anda menggosokkan sebuah balon ke rambut Anda sehingga rambut akan ikut berdiri seakan tarik-menarik dengan balon. Kain ini tersusun atas dua lapisan bahan dengan jenis berbeda, sehingga jika kain ini diberi stimulus gerakan akan terjadi perpindahan elektron dari sisi yang satu ke yang lainnya. Dengan adanya perpindahan elektron ini maka akan tercipta beda potensial.

  

Kain pintar yang masih dalam tahap pengembangan ini diklaim mampu menghasilkan energi listrik sebesar 120V dan 65 μA per 4 cm2 jika menggunakan lapisan bahan silver dan nanopatterned polydimethylsiloxane. Sedangkan jika menggunakan bahan non-nanopatterned polydimethylsiloxane maka akan menghasilkan energi listrik sebesar 30V dan 20 μA. Energi listrik yang dihasilkan oleh kain pintar ini memang belum cukup besar untuk mengisi ulang baterai gadget Anda, namun dengan pengembangan yang kontinyu dapat dipastikan nantinya Anda hanya perlu berolahraga untuk dapat mengisi ulang baterai smartphone Anda.

Tim dari Korea Selatan KAIST dengan robot humanoidnya DRC-HUBO, berhasil menjuarai kompetisi robot humanoid DARPA yang diselenggarakan 5-6 Juni lalu. HUBO berhasil menyelesaikan delapan tantangan yang ada dalam waktu 44 menit 28 detik. Dengan ini mereka berhak membawa pulang hadiah uang tunai senilai US$ 2juta atau setara Rp 26miliar.


The Running Man, robot yang dibuat oleh tim dari Institute for Human and Machine Cognition Florida Amerika Serikat berhasil merebut juara kedua dengan menyelesaikan 8 tantangan dalam waktu 50 menit. Di posisi ketiga yakni tim Tartan Rescue dengan robotnya CHIMP yang berhasil menyelesaikan 8 tantangan dalam waktu 55 menit. Juara kedua dan ketiga tersebut berhak atas hadiah senilai US$ 1juta dan US$ 500.000.

 photo IMG_3929.jpg

DARPA Robotics Challenge (DRC) terinspirasi oleh adanya bencana ledakan reaktor nuklir di Fukusima Jepang akibat gempa dahsyat di tahun 2011 lalu. Kebutuhan akan peran robot sebagai asisten manusia dalam menghadapi bencana semacam ini disadari perlu untuk dikembangkan. DRC menantang 25 robot humanoid untuk melewati 8 tantangan seperti mengendarai kendaraan berat, membuka pintu, memutar valve, menaiki tangga, membuat lubang di tembok menggunakan alat bor tangan, dan lain sebagainya.

 photo IMG_3927.jpg

“Ini adalah akhir dari DARPA Robotics Challenge, namun menjadi awal bagi masa depan manusia untuk dapat bekerja bersandingan bersama robot sehingga mengurangi resiko bahaya bencana,” ungkap Direktur DARPA Arati Prabhakar. “Saya sangat bangga kepada semua tim yang berpartisipasi dan bergabung ke dalam komunitas DRC serta ikut membantu percepatan kemajuan teknologi robot untuk beberapa tahun ke depan.”


Skip to toolbar