MateriAntropologi Kelas XI Bab I Mawujudkan Masyarakat Multikultural di Indonesia

Kepulauan Indonesia secara strategis terletak diantara dua pusat peradaban besar dunia, India dan Cina. Karena lokasinya yang istimewa itu, Indonesia begitu peka dengan pengaruh-pengaruh dalam kebudayaan yang dibawa oleh orang-orang yang lalu lalang dalam lalu lintas perdagangan dan menjadi daerah tujuan beberapa gelombang migrasi.

Indonesia adalah suatu negara yang terdiri dari berbagai kepulauan yang letaknya agak berjauhan dengan daerah yang satu dengan yang lain. Akibatnya timbullah perbedaan unsur budaya dalam sistem religi atau kepercayaan. Perbedaan ini timbul akibat dari unsur-unsur budaya lokal yang tidak sama namun perbedaan ini memperlihatkan watak yang esensial. Akan tetapi hal inilah yang merupakan keuntungan karena semakin bertambahnya unsur-unsur dalam sistem religi atau kepercayaan dalam tiap daerah di Indonesia. Dalam suatu hal, berbagai agama pribumi tidak bisa dibandingkan karena mereka terbatas pada suatu kebudayaan dan hanya diwariskan dari generasi ke generasi (Russel, 2008: 72).

N. Söderblom (1866-1931) dalam bukunya Das Werden des Gotten-Glauben (1916) menyatakan bahwa “Keyakinan yang paling awal yang menyebabkan terjadinya religi dalam masyarakat manusia adalah keyakinan akan adanya kekuatan sakti (mana) dalam hal-hal yang luar biasa dan yang gaib” (Koentjaraningrat, 2007 :78). Sistem religi atau kepercayaan adalah bentuk mainstream dari spiritualitas, dimana spiritualitas menjadi akar dari setiap agama-agama lokal. Namun sistem religi dapat diakui sebagai agama “besar” jika memiliki sifat yang universal, artinya sistem religi atau kepercayaan tersebut harus menyeluruh bukan bersifat eksklusif untuk suatu masyarakat tertentu.

Sejarah mencatat bahwa agama-agama “besar” di Indonesia bukanlah hadir dalam ruang hampa yang tanpa sistem kepercayaan terhadap kekuasaan Yang Maha Kuasa. Agama-agama tersebut berkembang dan beradaptasi terhadap nilai-nilai luhur lokalitas yang telah ada sebelumnya. Perjalanan panjang Indonesia justu menunjukkan bahwa agama lokal bersikap begitu ramah terhadap agama-agama besar yang datang ke Indonesia seperti Hindu-Budha, Islam, Khatolik, dan Kristen Protestan. Terjadi percampuran beberapa unsur-unsur budaya yang menghasilkan bentuk baru dalam budaya tersebut.

Memasuki abad ke-21 pada kenyataannya secara geografis Indonesia dengan 6000-an pulau yang didiami, 300-an suku, 400-an bahasa, dan lebih dari 6 agama dan kepercayaan yang diakui negara merupakan bentuk dari hasil pertemuan berbagai pengaruh budaya yang semakin kompleks dan dengan kekuatan-kekuatan globalisasi yang tidak henti-hentinya membentuk budaya dan masyarakat Indonesia. Muhammad Ali menjelaskan bahwa “Pada kenyataannya, tidak ada keberagaman yang benar-benar self-sufficient (cukup dengan sendirinya) dan benar-benar murni. Sepanjang sejarah, keberagaman senantiasa mengalami dialektika antara diri manusia dan lingkungannya (Ali, 2003: 77).

Sebuah pekerjaan besar dari bangsa ini adalah mewujudkan suatu bentuk masyarakat multikultural yang pluralisme, tanpa ada sekat-sekat pemisah yang menghalangi cita-cita tersebut. Namun, apakah keinginan tersebut dapat terjadi ?.

A. Definisi Agama Lokal Dan Agama Negara

Menurut Durkheim (1954), konsepsi-konsepsi yang dimiliki manusia tentang Tuhan mencerminkan pengaturan sosial kehidupan mereka. Tuhan atau setidaknya pemahaman manusia tentang Tuhan tercipta dalam citra masyarakat (Ali, 2003; 33). Keyakinan dalam sistem religi atau kepercayaan agama lokal merupakan wujud dari gagasan dan konsepsi dari alam pikiran manusia. Alam pikiran manusia tersebut menyangkut sistem nilai dan sistem norma.

Sistem religi atau kepercayaan agama lokal merupakan bentuk keyakinan yang eksklusif. Keyakinan ini merupakan nilai-nilai luhur lokalitas yang telah ada dan hanya terbatas pada suatu kebudayaan dan hanya diwariskan dari generasi ke generasi. Sesungguhnya bukanlah keyakinan tetapi perasaanlah yang menciptakan sistem religi atau kepercayaan agama lokal. Subagya menyebutnya sebagai agama etnis, agama suku, agama preliterate atau agama sederhana. Ia juga menyatakan bahwa agama asli yang ditemukan dalam penelitian berjumlah 40 agama asli, walaupun ia yakin bahwa jumlah seluruhnya lebih dari pada itu (Sukamto, 2002: 35).

Agama menurut bahasa Sansekerta bermakna “tidak kacau”A berarti tidak dan Gama berarti kacau (Abbas, 1957: 19). Sedangkan dalam Kamus Jawa Kuno-Indonesia agama berarti suatu doktrin atau ajaran tradisional yang suci. Hal ini menunjukkan bahwa agama merupakan suatu yang dianut dan dianggap pasti dan mengikat bagi yang mempercayainya atau bisa disebut bahwa agama berarti aturan-aturan.

Agama negara merupakan agama yang diakui keberadaannya oleh Undang-Undang. Agama negara adalah agama Hindu, Budha, Islam, Khatolik, Kristen, dan Kong Hu chu. Sedangkan agama lokal merupakan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional dan hanya diwariskan dari generasi ke generasi.

B. Mengkritisi Undang-Undang tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama

Dalam pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat tersebut sudah merupakan bentuk diskriminasi dari keberagaman agama yang ada di Indonesia, karena Negara hanya mengakui agama yang Monotheisme. Padahal tidak semua agama yang ada di Indonesia bersifat monotheisme tetapi politheisme. Dengan adanya pembatasan agama berdasarkan pada pasal 29 ayat 1 jelas tidak berdasar dilihat dalam kacamata disiplin ilmu, karena Negara dalam hal ini Pemerintah tidak dapat mempertanggungjawakan secara ilmiah dalam suatu disiplin ilmu.

Pada hal konsep monotheisme dan politheisme terdapat dalam ajaran agama Hindu. Sebaliknya, dalam ajaran Budha lebih kearah non-theisme yang berarti tidak mengenal konsep Tuhann sebagai Personal God. Begitu juga dalam agama Kristen terdapat konsep Trinitas yang terdiri dari Bapa, Putra dan Roh Kudus yang kemudian menyatu menjadi satu. Namun dalam penafsirannya terdapat perbedaaan dari tiap orang.

Tahun 1965 diterbitkannya Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Dengan adanya Undang-Undang ini semakin memperuncing sekat-sekat kebebasan antar umat beragama, seperti yang termuat dalam pasal 29 ayat 2 yang menjamin kemerdekaan para pemeluk agama untuk beribadah sesuai agama dan kepercayaannya. Harusnya dibuat suatu bentuk Undang-Undang yang mengatur mengenai kemajemukan kehidupan beragama bukannya mengatur tentang eksklusifisme suatu agama.

Berdasarkan fakta sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia jelas sekali bahwa agama-agama “besar” yang datang ke Indonesia telah mengalami percampuran budaya dengan budaya lokal yang menghasilkkan bentuk budaya baru. Jelas sekali kemurniaan dari agama-agama “besar” tersebut sudah tercampur dengan budaya lokal.

Pada prinsipnyya keberadaan Undang-Undang ini membuat pemerintah terlalu jauh mengintervensi masalah keyakinan. Seharusnya masalah keyakinan merupakan wilayah pribadi masing-masing antara seseorang dengan Yang Maha Kuasa.

C. Mewujudkan Masyarakat Multikultural

Keyakinan keagamaan dalam sistem sosial adalah consensus. Berdasarkan kajian Durkheim (1965) mengenai totemisme sebelumnya, Parsons mereduksi peranan ritual agama dalam menciptakan dan memelihara solidaritas. Orang-orang yang memiliki bersam keyakinan dan ritual agama akan menyandang komunitas moral dan interaksi antara ritual bersama dan keyakinan bersama sehingga menciptakan kohesi yang berakar dari satu sama lain.

Agama dan budaya manjadi problematik ketika memiliki implikasi horizontal. Yaitu, ketika satu keberagamaan atau keberbudayaan seseorang atau kelompok tertentu bergesekan dengan keberagamaan atau keberbudayaan orang atau kelompok lain (Ali, 2003: 87). Sebagian orang atau kelompok agama kadang terelalu bersikap resisten terhadap tradisi, sementara sebagian lagi lebih fleksibel menerima tradisi lama maupun baru.

Negara Indonesia perlu mengembangkan dan mewujudkan nasionalisme egalitarian. Artinya negara menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh kembangnya kemajemukan agama yang ada. Tetapi pada saat yang sama membangun kebangsaan yang setara antara orang atau kelompok yang berbeda itu agar tercipta kerukunan beragama.

Multikulturalisme Indonesia juga harus menggambarkan pendekatan yang aktif dan proaktif dalam menghadapi tantangan-tantangan dan peluang-pekuanng yang diakibatkan kemajemukan itu sendiri. Jangan sampai tiap orang atau kelompok agama saling membentengi diri dari interaksi yang dilakukakan oleh orang atau kelompok agama lainnya.

Seperti yang tertuang dalam Ketetapan MPR RI No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan Dan Kesatuan Indonesia, disebutkan bahwa arah kebijakan yang dilakukan pemerintah adalah manjadikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa sebagai sumber kehidupan berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkuat akhlak dan moral penyelenggara negara dan masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN

Abbas, Z. N. 1957. Perkembangan Pemikiran Terhadap Agama. Medan: Firma Islamiyah.

Ali, M. 2003. Teologi Pluralis-multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjaln Kebersamaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2010. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesai Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. 2010. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Russel, B. 2008. Bertuhan Tanpa Agama. (Ed.) Louis Greenspan dan Stephen Anderson. Yogyakarta: Resist Book.

Sukamto. 2002. Agama Rakyat Versus Agama Negara. Sejarah, 8(2): 29-45.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: