Kebudayaan Jawa sudah sejak lama dikenal akan kehalusan, kelemah lembutan dan kesopanannya, namun pada masa lalu masyarakat Jawa juga dikenal akan kekerasannya ini juga terlihat dalam cerita wayangannya yaitu pada perang Barata Yuda. Kekerasan juga terlihat ketika peperangan pada masa kerajaan, konflik yang terjadi antara Pakubuwono III dan Mangkubumi ini di dalangi oleh Belanda dan diakhiri dengan perjanjian Giyanti yang berisi terbaginya Mataram menjadi dua yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta.
Kekerasan terus berlanjut sampai masa reformasi tahun 1998. Pada saat itu masyarakat melakukan gerakan pisowanan ageng yaitu masa yang besar menghadap ke raja untuk meminta supaya Soeharto di lengserkan. Dalam gerakan pisowanan ageng ini juga terdapat simbol yang terkait dengan konteks alus dan kasar. Simbol alus dan kasarini juga nampak pada pertunjukan tari bambangan-cakil yang menunjukan peperangan antara Arjuna (simbol halus) dan Buto Cakil (simbol kasar) halus. Secara kasta watak alus biasanya dimiliki oleh satria, bangsawan, dan priyayi. Sedangkan watak kasar dimiliki oleh wong cilik, anak muda, dan wong sabrang (orang asing).
Orang Jawa juga sering berkomunikasi lewat gerakan atau perkataan seperti “Dupak Bujang” (harus menggunakan tendangan kaki), dilakukan oleh wong cilik, “Semu Mantri” komunikasi yang dilakukan oleh mantri, dan “Esem Buati” komunikasi ini dilakukan oleh priyayi tinggi, untuk berkomunikasi dia cukup mesem maka orang lain yang diajak berkomunikasi sudah tanggap maksudnya.
Potensi kekerasan pada saat gerakan pisowanan ageng sangat besar karena perut lapar dapat memicu kemarahan masa, maka dari itu raja memerintahkan warga untuk menaruh makanan sepanjang jalan yang dilewati masa untuk mencegah adanya kekeran yang dapat timbul karena amarah dan perut yang lapar.
Artikel ini diambil dari tugas review religi dan etika jawa
Oleh Nugroho Trisnu Brata