Tradisi Lisan
Sejarah lisan tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasai keterbatasan dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sejarah lisan menurut perimbangan antar berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi anatar manusia. Sisi afektif dan emosi dalam penelitian sejarah paling menonjol dalam sejarah lisan, karena dalam sejarah lisan kita berdialog dengan orang-orang hidup.
Berikut macam-macam tradisi lisan yang ada di masyarakat :
- Pantun Sunda
Tradisi ini merupakan penceritaan bersyair orang Sunda (Jawa Barat) dengan diiringi oleh musik kecapi. Tradisi ini biasanya dilakukan sebelum atau sesudah upacara tradisional, misalnya pernikahan, dan merupakan hiburan tunggal. Juru pantun menyanyi sesuai irama kecapi yang ia petik dalam skala pentatonik (lima nada). Kecapi Sunda itu biasanya berbentuk perahu dengan 18 senar. Sebelum bermain pantun biasanya juru pantun akan berpuasa beberapa hari dan membakar kemenyan.
Pantun Sunda biasanya berisi kisah cerita dari masa Kerajaan Hindu Pajajaran. Cerita itu ditampilkan secara bersamaan antara percakapan dan nyanyian. Salah satu pantun Sunda yang terkenal adalah Lutung Kasarung, syairnya terdiri atas 1.000 baris dan berasal dari abad 15. Semula, tradisi ini disampaikan oleh pendongeng profesional yang berkelana dari desa ke desa. Maksudnya untuk mengajarkan kepercayaan agama, sejarah, mitologi, sopan santun, dan lain-lain. Dalam perkembangannya, tradisi ini berubah menjadi cerita anak-anak.
- Tanggomo
Tradisi ini berbentuk puitis sastra lisan dan berasal dari Gorontalo, Sulawesi Utara. Syair tanggomo biasanya menceritakan kisah yang sedang hangat atau peristiwa menarik setempat. Sumber cerita berasal dari dongeng, mitos, dan legenda yang berupa rekaan tetapi didasarkan pada peristiwa sejarah. Sumber lain berasal dari peristiwa rekaan sang ta motanggomo sendiri atau kepercayaan setempat.
Semula, ta motanggomo seperti seorang sejarawan. Ia mencari dan mengumpulkan beragam peristiwa. Berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan fakta yang jelas. Baru kemudian dia akan membuat ceritanya dalam bentuk syair. Dalam pertunjukan itu ta motanggomo bisa membuat ceritanya agar lebih nyata, bisa memperpanjang atau memperpendek cerita. Untuk memperkuat makna, ia bisa menggunakan beragam gaya bahasa dan analogi, dengan diiringi alat musik kecapi, gambus, serta rebana. Dengan menyaksikan tanggomo itu, orang tidak akan ketinggalan dalam mengikuti peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Ada dua cara orang bisa menampilkan tanggomo sendiri. Pertama, motidupapa artinya belajar pada seorang guru (mo tanggomo) secara langsung. Disini ia mengandalkan hafalan, namun setelah meninggalkan gurunya, ia mengandalkan kreativitasnya. Kedua, swadidik artinya seseorang menerima atau mendengarkan tanggomo secara tidak langsung. Bisa dipasar, pesta, atau dijalan. Selanjutnya, ia bebas menampilkan tanggomo itu sesuai gayanya sendiri. Ia tidak lagi mengandalkan ingatan atau hafalan, tetapi daya cipta.
- Makyong
Tradisi ini semula berasal dari Pattani, Muangthai, namun berkembang ke selatan hingga pesisir Melayu. Makyong merupakan pertunjukan teater dimana unsur-unsur drama, tari, musik, mimik, dan sebagainya tergabung menjadi satu. Semula, tradisi ini dipertunjukan dikalangan atas Istana Kelantan dan Riau Lingga hingga tahun 1700-an. Fungsinya bukan untuk menghibur tetapi penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sultan dan istrinya dianggap wakil Tuhan, maka makyong dianggap persembahan kepada Tuhan. Kini tradisi itu dianggap suci dimana panjak (seorang pemain gamelan) mengawalinya dengan membaca doa. Doa diucapkan untuk menghasilkan kekuatan gaib sehingga bisa mengikat orang untuk datang. Penari makyong juga memanjatkan doa dan memberi sesaji, agar bisa percaya diri dan menguasai pertunjukan. Dibagian akhir pertunjukan, panjak membaca doa lagi untuk meminta para dewa agar kembali kesurga.
Dalam perkembangannya, makyong berubah menjadi pertunjukan desa sebagai hiburan atau upacara peyembuhan. Kisah yang dimainkan sebagian besar berasal dari warisan cerita-cerita Istana Kerajaan Melayu, biasanya berbentuk prosa tanpa naskah. Makyong antara lain terdiri atas punakawan (pengasuh) yang mengenakan topeng, wak petanda (ahli pembintangan atau orang bijak), serta para pemain yang semua diperankan oleh kaum perempuan. Salah satu kisah yang paling disukai dalam tradisi makyong adalah dewa muda.