Pengguna Bahasa Dialek di Masyarakat

Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa Rumpun Austronesia yang dituturkan oleh masyarakat Suku Jawa di Indonesia dan berbagai wilayah perantauan lainnya.

Menurut jumlah penutur dan wilayah sebarnya, Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa terbesar di dunia dengan jumlah penutur asli sekitar 80 juta orang, dan merupakan bahasa lokal terbesar dan terbanyak penggunanya di Indonesia.

  • Dialek Banten

Dialek Banten mulai dituturkan di zaman Kesultanan Banten pada abad ke 16. Di zaman itu, Bahasa Jawa yang diucapkan di Banten tidak ada bedanya dengan Bahasa Jawa Dialek Cirebon, sedikit diwarnai Dialek Tegal-Banyumas. Asal muasal Kesultanan Banten memang berasal laskar gabungan Demak dan Cirebon yang berhasil merebut wilayah pesisir utara Kerajaan Sunda Pajajaran. Namun, Bahasa Jawa Banten mulai terlihat bedanya, apa lagi daerah penuturannya dikelilingi daerah penuturan Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi (Melayu).

Bahasa Banten atau Dialek Banten ini dituturkan di bagian utara Kabupaten Serang, Kota Serang, Kota Cilegon dan daerah barat Kabupaten Tangerang. Dialek ini dianggap sebagai dialek kuno juga banyak pengaruh Bahasa Sunda dan Bahasa Betawi.

Dialek Banten terdapat dua tingkatan. Yaitu tingkatan bebasan (krama) dan standar. Dalam Dialek Banten, pengucapan huruf ‘e‘, ada dua versi. Ada yang diucapkan ‘e‘ saja, seperti pada kata “teman”. Dan juga ada yang diucapkan ‘a‘, seperti pada kata “apa”.

Contoh Dialek Banten tingkat bebasan :

  • Pripun kabare ? Kakang ayun ning pundi ?
  • Sampun dahar dereng ?
  • Permios, kule boten uning griyane kang Haban niku ning pundi ?
  • Kasihe sinten ?

Contoh Dialek Banten tingkat standar :

  • Kepremen kabare ? Sire arep ning endi ?
  • Wis mangan durung ?
  • Punten, kite ore weruh umahe kang Haban kuwen ning endi ?
  • Arane sape ?

  • Dialek Tegal-Banyumas

Dialek Tegal-Banyumas atau Basa Ngapak adalah kelompok bahasa Bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah (Pemalang, Tegal, Brebes, Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purbalingga, dan Banjarnegara). Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek Bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan Bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan Bahasa Jawa Kuno (Kawi). Sedangkan Dialek Tegal juga merupakan salah satu kekayaan Bahasa Jawa, selain Banyumas. Meskipun memiliki kosa kata yang sama dengan Dialek Banyumas, pengguna Dialek Tegal tidak serta-merta mau disebut ngapak karena beberapa alasan antara lain : perbedaan intonasi, pengucapan, dan makna kata.

Implikasi selanjutnya adalah pada perkembangan Bahasa Jawa yang melahirkan tingkatan-tingkatan bahasa berdasarkan status sosial. Tetapi pengaruh budaya feodal ini tidak terlalu signifikan menerpa masyarakat di wilayah Banyumasan. Itulah sebabnya pada tahap perkembangan di era Bahasa Jawa modern ini, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara bahasa Banyumasan dengan Bahasa Jawa standar sehingga di masyarakat Banyumasan timbul istilah bandhekan untuk merepresentasikan gaya Bahasa Jawa standar, atau biasa disebut bahasa wetanan (timur).

Dibandingkan dengan Bahasa Jawa Dialek Yogyakarta dan Surakarta, Dialek Tegal-Banyumas banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran ‘a‘ tetap diucapkan ‘a‘ bukan ‘ό‘. Jadi jika di Surakarta orang makan ‘segό‘ (nasi), di wilayah Banyumas orang makan ‘sega‘. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enak dengan suara huruf ‘k‘ yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan Basa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

Sebagian besar kosakata asli dari dialek ini tidak memiliki kesamaan dengan Bahasa Jawa standar (Surakarta-Yogyakarta) baik secara morfologi maupun fonetik.

  • “inyong” : saya
  • “rika” : kamu (Banyumas)
  • “koen”  : kamu (Tegal)
  • “kepriwe” : bagaimana (Banyumas)
  • “kepriben” : bagaimana (Tegal)
  • Dialek Surakarta-Yogyakarta

Bahasa Jawa Dialek Surakarta-Yogyakarta (Mataraman) adalah dialek Bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan Yogyakarta, termasuk pula daerah-daerah di bagian tengah Pulau Jawa (memanjang dari Kabupaten Blitar di timur hingga Kabupaten Kendal di barat). Dialek ini merupakan Bahasa Jawa baku dan menjadi standar bagi pengajaran Bahasa Jawa baik di dalam negeri maupun secara internasional.  Bahasa Jawa Surakarta-Yogyakarta sejatinya merupakan pengembangan Bahasa Jawa baru gaya Mataraman, dengan bercirikan dialek “ό” (å) dalam berbagai kosakatanya, membedakannya dengan Bahasa Jawa kuno yang berdialek “a” (mirip Dialek Tegal-Banyumasan).

Wilayah geografis Dialek Surakarta-Yogyakarta :

  • Wilayah Barat
    • Eks Karesidenan Semarang (Semarang, Salatiga, Demak, dan Grobogan)
    • Sebagian Kabupaten Magelang
  • Wilayah Tengah
    • Eks Karesidenan Surakarta dan Karesidenan Yogyakarta
  • Wilayah Timur
    • Eks Karesidenan Madiun dan Karesidenan Kediri
    • Bagian barat Kabupaten Jombang dan selatan Kabupaten Malang……

Bahasa Jawa baku mengenal undhak-undhuk basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa dalam berbahasa. Dialek Surakarta sendiri biasanya menjadi rujukan dalam hal ini. Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti Bahasa Korea dan Bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik, undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.

Terdapat tiga bentuk utama variasi, yaitu ngoko (“kasar”), madya (“biasa”), dan krama (“halus”). Di antara masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific) dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa semacam ini….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: