Menengok Pemikiran Pierre Bordieu, Kekerasan Simbolik Di Dalam Sekolah

Riwayat Singkat Bourdieu Pierre Felix Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlanticues), di selatan Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah seorang petugas pos desa. Ia mendapatkan pendidikan Lycée (SMA) di Pau, sebelum pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan akhirnya masuk keEcole Normale Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris di Ecole Normale Supérieure pada tahun 1951. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru Lycée di Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan dunia militer dan dikirim ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair. Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris mengajar sampai 1964. Bourdieu memegang jabatan Direktur Kajian di École Pratique des Hautes Études (yang kemudian menjadi École des Hautes Études en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan seterusnya. Sejak 1981, ia menjabat ketua jurusan Sosiologi di Collége de France, di seksi Vie. Di Prancis, ia mendirikan Centre for the Sociology of Education and Culture. Dia sudah menulis beberapa buku, antara lain Sociologie de l’Algérie (1958; The Algerians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility, 1996), and Sur la télévision (1996; On Television, 1998).

Tema-tema bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi. Bourdieu menikah dengan Marie-Clarie Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia meninggal karena kanker pada usia 71 tahun pada 23 Januari 2002. Konsep Dasar Bourdieu Bourdieu merupakan sosiolog yang pemikirannya banyak diwarnai dengan ide-ide filosofis. Berikut ini beberapa konsep-konsep yang nantinya sangat bermanfaat untuk menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep pendidikan dan sekolah. 1. Modal Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang). Bourdieu menyebut istilah modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital), modal simbolik (symbolic capital). Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti pertemanan, dan bentuk terlembagakan terwujud dalam keanggotaan kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah. Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal, pemilihan tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial. 2. Kelas Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang serupa. Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga. Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi. Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas lain. Kedua, kelas borjuasi kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan. Ketiga, kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan. 3. Habitus Konsep habitus bukanlah konsep yang diciptakan Bourdieu. Bourdiue hanya memperluas kembali konsep habitus yang dikemukakan Marcel Mauss, Norbert Elias, Max Weber, Durkheim, Hegel, dan Edmund Husserl dengan istilah yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Pada awalnya, habitus diistilahkan dengan hexis, kemudian diterjemahkan Thomas Aquinas ke dalam bahasa Latin dengan istilah habitus. Habitus juga dapat dirumuskan sebagai sebuah sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup (lifestyle), nilai-nilai (values), watak (dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman. Teori Bourdieu lahir dijiwai oleh keinginannya untuk memadukan semangat antara objektivisme dan subjektivisme. Dalam aliran pemikiran objektivisme, terlalu menekankan pada peranan struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya, disini kaum objektivisme lebih melihat secara makro atau biasa disebut dengan aliran strukturalis seperti Durkheim,Marx, Saussure dan lainnya. Di sisi lain, pemikiran subjektivisme lebih melihat pada sisi mikro, yaitu menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya, tokoh subjektivisme misalnya seperti Weber, Sartre, dan lainnya. Bourdieu menentang kedua pemikiran ini dan ingin menggabungkan diantara keduanya. Karena menurut Bourdieu, tidak semua hal di pengaruhi secara mutlak atau dominan oleh struktur maupun oleh aktor, tetapi ada pengaruh timbal balik dari keduanya. Sehingga Bourdieu berusaha untuk membuat hubungan dialektik antara struktur objektivisme dan fenomena subjektivisme. Untuk menggambarkan perhatian Bourdieu terhadap hubungan dialektika antara struktural dan cara aktor membangun realitas sosialnya, Bourdieu memberikan nama pada orientasi pemikirannya sebagai “Strukturalisme Genetis”. Bourdieu mendefinisikan strukturalisme genetis dengan cara berikut: Analisis struktur objektif tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur mental individual yang hingga taraf tertentu merupakan produk penggabungan struktur sosial; juga tak dapat dipisahkan dari analisis asal-usul struktur sosial itu sendiri; ruang sosial dan kelompok yang menempatinya adalah produk dari perjuangan historis (di mana agen berpartisipasi sesuai dengan posisi mereka di dalam ruang sosial dan sesuai dengan struktur mental yang menyebabkan agen dapat memahami ruang sosial ini). Pada dasarnya dalam pandangan Bourdieu, yang disebut sebagai objektivisme adalah suatu pengetahuan objektif yang mengandung dominasi dan dalam kondisi ini, individu tidak bisa menolaknya. Otomatis dominasi yang dimaksud disini berasal dari dorongan yang ada pada luar individu itu sendiri, yakni apa yang dinamakan struktur. Sedangkan pengertian dari subjektivisme sendiri adalah mengarah pada tindakan individu yang bertindak atau melakukan sesuatu diluar struktur. Upaya Bourdieu untuk menjembatani antara objektivisme dengan subjektivisme, dapat dilihat dari konsep Bourdieu tentang habitus dan arena ( lingkungan / ranah) dan hubungan dialektik antara keduanya. Habitus berada di dalam pikiran aktor, sedangkan arena ( lingkungan / ranah ) berada di luar pikiran aktor. Meskipun sebenarnya semua konsep dari Bourdieu saling berkaitan dan mempengaruhi. Sehingga dalam kasus upacara bendera yang dilakukan disekolahan oleh murid-murid dan pengajar, dapat dikatakan sekolahan dan halaman sekolah sebagai tempat upacara sekolah berlangsung memiliki arti objektitivis karena sekolah disini memiliki peranan sebagai struktur yang menentukan aktor dan lingkungan sosialnya serta berada diluar dari pikiran aktor yang disebut Bourdieu sebagai arena atau ranah. Sedangkan upacara bendera lebih dipandang sebagai subjektivis, yakni lebih melihat pada sisi mikro menekankan pada tindakan aktor dalam analisisnya tentang upacara bendera yang mana disebut Bourdieu sebagai habitus karena pemaknaan upacara bendera ini berada di dalam pikiran aktor. Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis (Reza A.A Wattimena: 2012). Setiap kelas akan memiliki habitus yang berbeda-berbeda. Habitus inilah yang kemudian dipaksakan kelas dominan kepada kelas terdominasi. Kelas dominan akan selalu memaksakan habitusnya melalui berbagai mekanisme kekuasaan. 4. Kekerasan dan Kekuasaan Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Untuk menjalankan aksi dominasi melalui kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah dikenali. Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas dominan tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian disebut sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide teoretis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dapat dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus. Modal Simbolik dan Kekerasan Simbolik Modal (capital) yang dimaksud Bourdieu, secara mendasar tidak berbeda dengan modal (capital) dalam ekonomi. Bahkan Bourdieu, membuat kategori atau tipe dari bentuk modal (capital) yakni berupa; economy capital, social capital, cultural capital (modal ekonomi, sosial dan budaya). Dan setiap modal memiliki komoditasnya masing-masing, misalnya; ekonomi berupa sumber daya uang (money resouces), modal sosial berupa jejaringan sosial, kenalan orang berpengaruh (social network influence people), dan modal budaya berupa wawasan, pengetahuancara berpikir yang dianggap dapat membuat suatu identitas, budaya berupa wawasan, pengetahuan, cara berpikir yang dianggap dapat membuat suatu identitas, budaya tertentu sebagai budaya yang “tinggi” (high culture) dan legitmate. Adapun kompetensi-kompetensi keilmuan, penguasaan bahasa atau “lingustic capital” juga merupakan bagian modal budaya, penguasaan bahasa, gaya, berbicara dengan menggunakan bahas yang sesuai (properly) dengan kelas sosial tertentu dapat melegitimasi status sosial tertentu pula. Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing di telinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”, sebagian besar di antara kita akan mengarahkannya pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Masih jelas di ingatan kita berbagai kasus kekerasan terjadi di sepanjang tahun ini antara lain kasus kekerasan etnik dan atas nama agama di Poso dan Lampung, kekerasan terhadap jurnalis, kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah masalah yang sangat serius. Kasus kekerasan berikutnya yang cukup marak adalah kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Menurut Nanang Martono (2012), Kekerasan atau bullying di sekolah, sering dilegitimasi dengan alasan “menegakkan disiplin” di kalangan siswa atau mahasiswa misalnya kekerasan yang dilakukan guru karena siswa tidak mengerjakan PR, ribut dikelas dan bolos serta kekerasan yang dilakukan sesama siswa saat ospek. Selain alasan menegakkan disiplin juga dapat terjadi karena motif menunjukkan rasa solidaritas, proses pencarian jati diri, serta kemungkinan adanya gangguan psikologis dalam diri siswa. Misalnya, tawuran antar pelajar yang dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang membela “teman” atau “membela sekolahnya”. Fenomena ini disebut oleh Durkheim sebagai “kesadaran kolektif” dalam kelompok siswa dimana terjadi konflik antara dua atau tiga siswa dari sekolah atau “gank” yang berbeda, dapat berimbas pada tawuran antarpelajar yang melibatkan puluhan siswa dari sekolah yang berbeda atau kelompok yang berbeda dan bisa berakibat tewasnya beberapa pelajar. Uraian di atas merupakan sebuah fenomena kekerasan fisik dan psikologis yang wujudnya mudah dikenali dan dampaknya mudah untuk diamati. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi di sekolah setiap hari. Bentuk kekerasan tersebut adalah “kekerasan simbolik”. Konsep ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dari Perancis. Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk “memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kelompok kelas bawah yang didominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagai habitus. Akibatnya masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya “dibuang jauh-jauh”. Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk memaksakan habitusnya, salah satunya melalui lembaga pendidikan. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana anak-anak disekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta berbagai atribut atau cara berpakaian kelompok kelas atas yang juga harus dilakukan kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, siswa dari kelas bawah dipaksa untuk berbusana “layaknya” kelas atas, mereka dipaksa menerima habitus kelas atas. Bagi Marx, modal (capital) bukanlah sebuah relasi sederhana, melainkan sebuah proses, di dalam mana berbagai gerakan adalah selalu (berupa) modal. Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial. Modal simbolik adalah setiap spesis modal yang dipandang melalui skema klasifikasi, yang ditanamkan secara sosial. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ini akan berhadapan dengan agen yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Maka, hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik (symbolic violence). Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang adil. Ini adalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang benar. Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial. Dalam tulisan-tulisan teoretisnya, Bourdieu menggunakan beberapa terminologi ekonomi untuk menganalisis proses–proses reproduksi sosial dan budaya, tentang bagaimana berbagai bentuk modal cenderung untuk ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bagi Bourdieu, pendidikan formal mewakili contoh kunci proses ini. Keberhasilan pendidikan, menurut Bourdieu, membawakan keseluruhan cakupan perilaku budaya, yang meluas sampai ke fitur-fitur yang seakan-akan bersifat non-akademis, seperti: gaya berjalan, busana, atau aksen. Anak-anak dari kalangan atas (privileged) telah mempelajari perilaku ini, sebagaimana juga guru-guru mereka. Sedangkan anak-anak berlatar belakang kalangan bawah tidak mempelajarinya. Anak-anak kalangan atas dengan demikian tanpa banyak kesulitan cocok dengan pola-pola yang diharapkan oleh guru-guru mereka. Mereka terkesan patuh. Sedangkan anak dari kalangan bawah terlihat sulit diatur, bahkan ― suka menentang. Bagaimanapun, kedua macam anak ini berperilaku sebagaimana yang didiktekan oleh latar belakang asuhannya. Bourdieu menganggap, kemudahan atau kemampuan alamiah pembedaan (distinction) pada faktanya adalah produk dari kerja sosial yang berat, yang sebagian besar dilakukan para orangtua mereka. Hal itu melengkapi anak-anak mereka dengan kecondongan-kecondongan perilaku serta pikiran, yang memastikan mereka sanggup berhasil dalam sistem pendidikan, dan kemudian dapat mereproduksi posisi kelas orangtuanya dalam sistem sosial yang lebih luas. Modal budaya (seperti: kompetensi, keterampilan, kualifikasi) juga dapat menjadi sumber salah-pengenalan dan kekerasan simbolik. Karena itu, anak-anak dari kelas pekerja dapat melihat keberhasilan pendidikan teman sebayanya –yang berasal dari kelas menengah– sebagai sesuatu yang selalu sah. Mereka melihat hal yang sering merupakan ketidaksetaraan berdasarkan kelas, dilihat sebagai hasil kerja keras atau bahkan kemampuan alamiah. Bagian kunci dari proses ini adalah transformasi warisan simbolik atau ekonomi seseorang (seperti: aksen atau harta milik) menjadi modal budaya (seperti: kualifikasi universitas) suatu proses di mana logika ranah-ranah budaya dapat menghalangi atau menghambat, tetapi tidak dapat mencegah. Sekolah sebagai Arena Terjadinya Kekerasan Simbolik Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya (cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut Illich- hidden curriculum, sekolah memengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. Kelas dominan memaksakan kelas terdominasi untuk bersikap dan mengikuti budaya kelas dominan melalui sekolah. Sekolah hampir selalu menerapkan budaya kelas dominan dalam aktivitasnya. Siswa dari latar belakang kelas bawah (kelompok minoritas di sekolah) mengembangkan cara berbicara dan bertindak yang biasa digunakan kelas dominan atau yang biasa diistilahkan Bourdieu dengan habitus. Sekolah-sekolah menurut Bourdieu merupakan tempat untuk menyosialisasikan habitus kelas dominan sebagai jenis habitus yang alami dan memosisikan habitus kelas dominan sebagai satu-satunya habitus yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap anak (siswa) seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut. Menurut Bourdieu: … budaya elite begitu dekat dengan budaya sekolah, sehingga anak-anak dari kelas menengah ke bawah hanya dapat memperoleh sesuatu yang diberikan kepada anak-anak dari kelas-kelas terdidik –gaya, selera, kecerdasan- dengan usaha yang sangat keras. Pendeknya, berbagai sikap dan kemahiran yang kelihatannya natural dalam anggota kelas terdidik dan yang lazimnya diperkirakan datang dari mereka, tepatnya karena sikap-sikap dan kemahiran itu adalah budaya kelas tersebut. Dengan cara ini, habitus kelas dominan ditransformasikan menjadi bentuk modal budaya yang diterima begitu saja oleh sekolah-sekolah dan bertindak sebagai alat seleksi yang paling efektif dalam proses-proses reproduksi sebuah masyarakat yang hierarkis. Mereka yang memiliki habitus yang sesuai (dengan habitus kelas dominan) akan menerima keberhasilan, sementara mereka yang tidak mampu menyesuaikan habitusnya, akan mengalami kegagalan. Agar kelas bawah dapat mengalami keberhasilan, maka ia harus melakukan –apa yang disebut- proses borjuasi, meniru habitus kelas dominan. Habitus kelas dominan selalu diposisikan sebagai habitus yang paling baik dan paling sempurna. Pernyataan di atas semakin menunjukkan bahwa sekolah akan selalu menciptakan ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun sistem pendidikan memberikan akses seluas-luasnya bagi semua kelas, namun sistem ini tetap tidak akan menguntungkan bagi kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas dominan memiliki modal budaya yang jauh melebihi kapasitas kelas bawah. Bagi Bourdieu, peserta didik dari kelas dominan lebih diuntungkan karena memiliki modal budaya. Mereka beruntung berkat asal keluarga yang memungkinkan mendapatkan kebiasaan budaya (membaca, menulis, diskusi), latihan-latihan dan sikap yang langsung membuat mereka lebih siap bersaing di sekolah. Mereka juga mewarisi pengetahuan dan keterampilan, serta selera yang sangat mendukung pengembangan budaya yang dituntut oleh sistem pendidikan di sekolah. Privilese budaya ini mengemuka karena familiaritas mereka dengan karya-karya seni dan sastra berkat kunjungan teratur mereka ke museum, nonton teater dan konser serta kegiatan sejenis lainnya. Sebaliknya, peserta didik yang berasal dari kelas bawah, satu-satunya akses ke budaya luar adalah sekolah. Bagi lapisan kelas bawah sekolah merupakan bentuk akulturasi budaya. Perilaku di dalam budaya universitas mengandaikan isi dan modalitas proyek profesional yang merupakan budaya kelas dominan. Pengajaran budaya mengandaikan corpus pengetahuan, keterampilan termasuk dalam cara berbicara atau bertutur kata yang biasanya dimiliki kaum terdidik. Kebiasaan membaca tumbuh di perpustakaan rumah, modal budaya berkembang dengan pembiasaan melihat pertunjukan-pertunjukan pilihan yang berkualitas. Kemampuan percakapan yang bersifat alusif yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang terdidik berkembang dalam kalangan sosial tertentu. Warisan budaya seperti itu biasanya diwariskan secara tidak langsung, penuh diskresi, bahkan dapat dikatakan tanpa upaya metodis atau tindakan yang kelihatan karena telah menjadi bagian dari habitus kalangan terdidik. Untuk itu, tidak mengherankan bila bagi kalangan elite, pendidikan merupakan kelanjutan kelangsungan pewarisan budaya dan bagian dari strategi kekuasaan, sedangkan untuk kelas miskin sekolah merupakan simbolisasi akses ke kalangan elite. Sekolah menjadi satu-satunya alat yang mampu menjanjikan harapan keberhasilan sosial, sedangkan untuk kalangan atas sistem pendidikan menjamin pelanggengan privilese mereka. Selain itu, sekolah juga beroperasi dalam batasan-batasan habitus tertentu, akan tetapi sekolah juga bereaksi terhadap kondisi eksternal yang berubah-ubah. Sekolah selalu beradaptasi dengan kondisi di luar dirinya, seperti menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, perkembangan teknologi yang turut memengaruhi kinerja dan fungsi sekolah. Sekolah menawarkan berbagai “fungsi” positif yang dinilai berpihak pada kelas bawah, akan tetapi sebenarnya fungsi-fungsi tersebut tidak jauh bedanya sebagai fungsi mempertahankan dominasi kelas atas yang dominan. Ketika tenaga ahli banyak dibutuhkan dalam dunia kerja, maka sekolah pun berlomba-lomba memberikan keterampilan bagi individu dari kelas bawah, seperti kursus komputer, menjahit, bahasa asing, perbankan, dan sebagainya. Individu kelas bawah tersebut sebenarnya digiring untuk mengikuti habitus kelas dominan, mereka diciptakan untuk melayani kelas dominan guna memenuhi kebutuhan akan kelas pekerja. Individu kelas bawah diciptakan untuk menjadi kelas bawah pula dalam dunia kerja. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih banyak menyediakan habitus kelas dominan. Kegiatan les piano atau les-les musik yang ditawarkan lebih banyak berpihak pada selera, keinginan, kegemaran, atau bahkan bakat yang dimiliki kelas dominan. Sekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi yang lebih, sehingga mampu membayar biaya les tambahan. Kehadiran berbagai lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai cara praktis dalam mengerjakan soal ujian mengindikasikan masih kurangnya materi yang disampaikan guru di sekolah. Pemisahan materi ini, bahkan merupakan proses yang disengaja untuk memaksa siswa mengikuti kegiatan pelajaran tambahan ini. Artinya, secara tidak langsung siswa yang berasal dari kelas bawah tidak akan mampu mendapatkan materi pelajaran secara penuh, karena sebagaian materi yang lain akan disampaikan melalui bimbingan belajar. Siswa dari kelas bawah juga tidak akan mendapatkan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian. Sekali lagi, cara-cara ini hanya akan diperoleh bila siswa mengikuti bimbingan belajar yang tentu saja berbiaya mahal. Dengan demikian, sekolah telah menjadi tempat yang paling strategis untuk berlangsungnya praktik-praktik kekerasan simbolik. Proses ini terjadi ketika siswa dari kelas bawah secara tidak sadar dipaksa untuk menerima semua habitus kelas dominan melalui, misalnya, berbagai peraturan sekolah yang hanya mengakomodasi kelas habitus kelas dominan, memberikan materi, baik melalui kurikulum formal maupun kurikulum tersembunyi yang sekali lagi tidak pernah disadari siswa kelas terdominasi: melalui kurikulum, melalui bahasa, melalui kegiatan ekstrakurikuler, dan mekanisme lainnya. Setiap hari mereka selalu “dikenalkan” dengan habitus kelas dominan, mereka dikenalkan dengan budaya, kebiasaan, gaya hidup, selera, cara berpakaian, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata, cara bertindak “yang baik” menurut kelas dominan. Akan tetapi, mereka selalu menganggap hal tersebut sebagai sebuah keharusan, sebuah hal biasa yang sudah diatur “dari sananya”, sehingga mereka pun akhirnya menerima habitus kelas dominan dengan lapang dada. Padahal di sisi lain, mereka tidak sadar bila habitus mereka telah diinjak-injak, dicampakan, dibuang, dianggap sebagai habitus yang tidak berguna di sekolah. Habitus mereka tidak boleh dibawa di sekolah; di sekolah mereka harus berperilaku layaknya kelas dominan. Mereka harus mengenakan berbagai atribut yang notabene bukanlah habitus mereka: berdasi, bersepatu, mereka juga dipaksa berseragam (meskipun mereka tidak mampu membeli seragam dan sepatu), dan lebih parah lagi, warna dan jenis sepatu pun sering kali diatur sedemikian rupa-warna sepatu harus hitam; ketika pelajaran olahraga, siswa harus memakai sepatu khusus olahraga. 1. Habitus sebagai latarbelakang yang mengeksistensikan upacara bendera. Habitus adalah struktur mental atau kognitif, yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosialnya. Habitus menggambarkan serangkaian kecenderungan yang mendorong pelaku sosial atau aktor untuk beraksi dan bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus merupakan produk dari sejarah, sebagai warisan dari masa lalu yang dipengaruhi oleh struktur yang ada. Habitus sebagai produk dari sejarah tersebut, menciptakan tindakan individu dan kolektif dan karenanya sesuai dengan pola yang ditimbulkan oleh sejarah. Kebiasaan individu tertentu diperoleh melalui pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi. Pengalaman hidup individu yang didapat dari hasil sejarah tersebut, kemudian terinternalisasi dalam dirinya, untuk kemudian mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya (habitus mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan individu). Upacara bendera sebagai produk dalam sejarah menghasilkan tindakan baik secara individu ataupun kolektif sampai sekarang ini yang tetap eksis. Fenomena ini dapat kita lihat setiap hari senin pagi atau pada peringatan hari nasional di setiap sekolah baik tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Selain memahami upacara sebagai produk sejarah, tentu kita juga perlu untuk mengetahui alasan mengapa individu-individu yang ada di sekolahan itu secara kolektif tetap melaksanakan upacara bendera. Serangkaian skema internalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsikan, memahami, mengapresiasikan, reka dan evaluasi mengenai upacara bendera yang mereka lakukan itulah yang dinakaman oleh Bourdieu sebagai habitus. Karena sudah dijelaskan di awal bahwa habitus berkenaan mengenai struktur mental atau kognitif seseorang yang berhubungan dengan dunia sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial yang diduduki. Sehingga habitus akan berbeda-beda, tergantung dimana dan bagaimana posisi individu tersebut dalam kehidupan sosial. Sehingga seseorang yang menduduki posisi yang sama dalam dunia sosial, cenderung akan memiliki kebiasaan yang sama. Dalam pengertian ini, habitus dapat pula menjadi fenomena kolektif. Sehingga dalam sekolahan individu yang memiliki posisi yang sama misalkan seorang murid akan memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan hal yang sama dan ini mengakibatkan mereka memeliki kebiasaan yang sama seperti fenomena kolektif upacara bendera. Karena menurut Bordieu, habitus semata-mata mengusulkan apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk di lakukan. Dalam menentukan pilihan, aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan kesadaran, meski proses pembuatan keputusan ini mencerminkan berperannya habitus. 2. Sekolah dan Upacara Bendera Sebagai Arena Pertarungan. Arena adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia akan mendapatkan posisi terbaik dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Dalam ranah pendidikan, misalnya dalam suatu kelas terjadi sebuah kompetisi antar individu yaitu sesama murid. Dalam ranah tersebut, seorang murid yang memiliki pengetahuan paling banyak maka ia dapat memenangkan pertarungan dalam ranah kelas tersebut. Misalnya dapat mengerjakan ujian dengan lancar, dapat menjawab semua pertanyaan dari guru, dapat ikut aktif dalam diskusi, dan lain-lain dibanding dengan murid lain yang kurang pengetahuannya. Demikian juga ketika upacara bendera berlangsung terjadi kompetisi bagi peserta upacara baik yang terjadi antar murid atau murid dengan pengajar. Ini dapat dilihat pengajar biasanya berbaris tidak dihalaman sekolah dengan murid-murid, melainkan ada tempat khusus bagi pejabat sekolah tersebut yang lebih nyaman tanpa terik matahari seperti yang dialami murid-murid sekolah. Selain itu kemudahan ijin untuk tidak mengikuti upacara juga dirasa sulit bagi siswa dan mudah bagi pengajar. Ini dimungkinkan karena pengajar tadi di dalam arena yakni sekolah memiliki posisi yang dianggap lebih tinggi yakni sebagai pengajar, yang dalam istilah jawa guru itu adalah sosok yang digugu lan ditiru ( menjadi panutan dan dicontoh). Kompetisi juga berlangsung diantara murid terkadang setiap sekolah memiliki aturan sendiri untuk menata barisan murid pada waktu upacara. Kebanyakan murid cenderung ingin berdiri dibarisan paling belakang, akan tetapi biasanya dalam upacara wanita selalu diposisi baris depan dan setelah perempuan baru laki-laki. Itupun di urutkan dari yang memiliki tinggi badan paling rendah sampai ke paling tinggi. Penentuan posisi berdiri ini tidak jarang menjadi pertarungan antar murid. Mereka yang memiliki postur tinggi tentu mendapatkan posisi yang paling diinginkan oleh murid yang lain yakni paling belakang. Sekolah sebagai suatu arena ini dikontrol oleh modal yang dimiliki setiap orang yang menduduki suatu posisi dalam arena tersebut. Karena menurut Bourdieu modallah yang memungkinkan orang mengendalikan nasibnya sendiri maupun orang lain. A. Modal Simbolik Yang Menjadi Modal Terjadinya Kekerasan Simbolik. Bagi Bourdieu modal yang dimiliki individu dalam lingkungan sosialnya yang digunakan untuk menentukan posisi dalam suatu arena. Modal itu harus selalu di produksi dan direproduksi kembali. Menurut Bourdieu terdapat empat jenis modal, yaitu modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, dan modal simbolik. 1. Modal ekonomi: segala bentuk modal yang dimiliki yang berupa materi, misalnya uang, emas, mobil, tanah, dan lain-lain. 2. Modal sosial: terdiri dari hubungan sosial yang bernilai antara individu, atau hubungan-hubungan dan jaringan hubungan-hubungan yang merupakan sumberdaya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Misalnya seorang mahasiswa kenal baik dengan seorang dosen. 3. Modal kultural: meliputi berbagai pengetahuan yang sah. Misalnya ijazah, cara berbicara, cara bergaul, cara pembawaan diri (sopan santun). 4. Modal simbolik: berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Misalnya posisi atau jabatan seseorang sebagai kepala pemerintahan. Distribusi kapital menentukan posisi atau kelas agen di dalam sistem sosial. Kelas yang dominan adalah kelas yang memiliki jumlah (akumulasi) terbesar dari keempat bentuk kapital, sedangkan kelas bawah atau kaum marginal adalah pemilik kapital yang paling sedikit. Secara logis, maka kelas pemilik kapital adalah kelas yang paling dominan. Dalam dunia sekolah sebagai suatu arena tentu terlihat juga posisi kelas masing-masing agen. Misalnya seorang kepala sekolah tentu memiliki fasilitas yang lebih baik dari pada guru / pengajar biasa contoh ruang kerja. Ini dikarenakan kepala sekolah memiliki modal yang lebih dibanding pengajar biasa misalnya modal kultural yakni surat keputusan sebagai kepala sekolah dari dinas terkait. Terlebih seorang murid tentu memiliki posisi kelas yang lebih rendah dibandingkan seorang pengajar. Tidak jarang seorang murid cenderung lebih menuruti perintah seorang guru dari pada orang tuanya sendiri. Ada ketakutan yang lebih, jika ia membangkang kepada seorang guru misalnya takut diberi nilai jelek sehingga mendorong dia untuk menuruti perintah guru yang terkadang ia merasa berat menjalankan. Ini menunjukkan seorang pengajar memiliki modal kultural dan simbolik yang lebih yaitu soal pengetahuan dan prestise atau kehormatan yang lebih yang yang mampu mengatur atau istilah Bourdieu menentukan nasib orang lain. Kekerasan simbolik sangat erat kaitannya dengan modal simbolik, karena kekerasan simbolik hanya dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok yang memiliki modal simbolik. Modal simbolik di dalam bentuknya yang berbeda-beda dipersepsikan dan diakui sebagai legitimate, yang memiliki legitimasi, mendapat pengakuan dan diterima publik secara luas. Legitimasi sebagai sebuah proses, menggambarkan proses yang mengarah pada legitimitas, pada sesuatu yang mendapat pengakuan yang sah dan benar. Legitimitas sangat penting bagi semua kelompok sosial, bagi semua pelaku sosial, karena taruhannya adalah kelestarian atau perubahan struktural yang mapan, kelestarian, dan perubahan hubungan-hubungan kekuasaan. Dengan demikian realitas sosial bukan hanya merupakan hubungan-hubungan kekuasaan, tetapi juga merupakan hubungan-hubungan makna. Untuk itulah diperlukan kekuasaan simbolik, kekuasaan yang dapat mendesak penerimaan hukum-hukum dan memaksanya sebagai legitim dengan menyembunyikan hubungan kekuasaan yang mendasari kekuasaannya. Pada lingkup arena yang dinamakan sekolah kekuasaan secara legitimasi tentu ada pada seorang kepala sekolah. Seseorang baik pengajar atau murid cenderung memberi penghormatan lebih kepada kepala sekolah, dibanding agen-agen lain yang menempati posisi pada arena yang dinamakan sekolah. Misalnya saja ketika upacara pada hari-hari nasional, seorang kepala sekolah seringkali ditunjuk sebagai komandan upacara. Modal simbolik erat kaitannya dengan kekuasaan simbolik. Memiliki modal simbolik berarti memiliki sumber potensi untuk mendapatkan kekuasaan simbolik. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan yang dapat dikenali dari tujuannya untuk mendapatkan pengakuan. Artinya, sebuah kekuasaan (baik ekonomi, politik, budaya, atau yang lain) yang memiliki kemampuan untuk tidak dapat dikenali bentuk aslinya, kekerasannya, atau kesewenang-wenangannya. Kekuasaan simbolik sering kali memakai bentuk-bentuk lain yang lebih halus agar tidak mudah dikenali. Inilah yang membuat kelompok yang terdominasi seringkali merasa tidak keberatan untuk masuk kedalam sebuah lingkungan dominasi. Bourdieu menyebut ini sebagai kekerasan simbolik. Upacara dapat dikatakan sebagai bentuk kekerasan simbolik yang terdapat di dunia pendidikan jika ada kelompok yang merasa terdomonasi. Kelompok yang sering terdominasi adalah tentu mereka yang memiliki posisi yang paling rendah dalam arena sekolah, yakni mereka yang menguasai atau memiliki modal paling kecil. Kelompok terdominasi itu tentu sangat jelas yakni murid atau siswa, yang memiliki khususnya modal simbolik paling rendah. Yakni berkaitan kehormat atau prestise yang dimiliki seorang murid dengan pengajar atau bahkan kepala sekolah, tentu jauh berbeda dimaknai oleh agen-agen atau aktor yang terdapat dalam arena tersebut. Yang mana seakan itu menjadi sah dan dilegitimasikan dalam ranah atau arena yang dinamakan sekolah. Murid sabagai kelompok yang terdominasi salah satunya dominasi terlihat ketika upacara bendera berlangsung. Secara tidak sadar murid dikondisikan dengan apa yang dinamakan “tertib”. Murid seakan dibuat untuk tenang tidak banyak bicara, baris dengan rapi dan fokus perhatian pada upacara bendera. Selain itu, kata tertib juga pada pakaian yang dikenakan. Misalnya harus pakai pakaian osis, dengan baju dimasukkan kedalam, pakai ikat pinggang hitam, sepatu hitam dan topi. Tanpa disuruh secara sadar mereka melakukan itu yang mungkin bagi sebagian merasa agak berat. Tapi disini posisi modal simbolik yang dimiliki oleh pengajar khususnya bagi guru bimbingan konseling, yang sering difigurkan sebagai sosok yang galak dan kejam bagi murid. Pengajar memiliki andil besar dalam melestarikan kekerasan secara halus yang dinamakan Bourdieu sebagai kekerasan simbolik dalam arena yang disebut upacara bendera.  
Daftar Pustaka
Bordieu, Pierre. 1990. An Introduction to the work of Pierre Bordieu. London: Macmillan Press Ltd
Bordieu, Pierre. 2009. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Yogyakarata: Jalasutra
Douglas J. Goodman. 2013. Teori Sosiologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
George Ritzer. 2012. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Pelajar Harker, Richard. 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktek: Jalasutra: Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: