Dalam Filsafat Sosial dikenal sekurang-kurangnya tiga paradigma ontologik/ epistimologik yang bisa saling bertentangan dan berada dalam gerakan saling menggeser untuk ”merebut posisi mainstream”, namun bisa pula bisa bersifat komplementer untuk saling mengisi. Ketiga paradigma itu ialah (1) yang moral-teologikal (Aristotelian), (2) yang rasional (Cartesian), dan (3) yang saintifik (Galilean). Pokok-pokok pikiran ketiga paham paradigmatik tersebut, adalah sebagai berikut.
1. Paradigma Moral-Teologik-Kausatif Aristotelian
Aristoteles (384-322 SM) lahir di Stagira, Yunani Utara dari ayah seorang dokter di Macedonia. Pada usia 18 tahun Aristoteles belajar di Akademi Plato di Athena dan tetap di akademi ini sampai meninggalnya Plato, kemudian kembali ke Athena mendirikan sekolah Lyceum. Karya Aristoteles antara lain tentang logika (Organon): Kategoriai; Peri Hermeneias; Analytika Protera; Analytika Hystera; Topika; dan Peri Spohistikoon.
Paradigma moral-teologik Aristoteles berpangkal pada pandangan ontologikmetafisika yang kental dengan—pengaruh gurunya yakni—pandangan idealistis dan teleologis dari Plato . Aristoteles menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh sang pencipta, penyebab pertama (causa prima) yang dilengkapi oleh seperangkat sistem keteraturan dan ketertiban (order). Alam semesta merupakan adalah suatu dunia ideal, keseluruhan organis yang saling berhubungan, suatu sistem idea-idea (forms) yang abadi dan tetap. Ketertiban alam telah ditetapkan sebelumnya (pre-established) yang kesemua realitas terpusat dan ditentukan, diprogram, dan ditata oleh serba keserasian oleh sang pencipta; keserasian yang sempurna (perfect harmony), ini ditentukan oleh sang pencipta (teologik). Kesemua realitas juga tunduk kepada keselaran dan keserasian. Dalam kenyataan dunia makhluqi, wujud kenyataan Sang Causa prima adalah dalam keselaran, keharmonisan, dan keseimbangan.
Realitas adalah universal. Ia merupakan obyek yang dipilahkan dalam form (bentuk) dan matter (materi). Menurut Aristoteles, objek-objek adalah partikular sebagai substansi yang nyata: (i) meteri mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda tetapi bentuk permulaan tidak berubah; (ii) materi merupakan asas kebolehjadian sedangkan bentuk merupakan asas kenyataan atau actual: materi dan bentuk itu menyatu. Aristoteles menyatukan materi dan bentuk ini. Ia memasukkan sebab ke dalam tindakan (estelechy) pendekatan terhadap kesatuan dari semua benda menjadi tujuan (teleology) dari alam semesta; bentuk-bentuk adalah kekuatan yang bertujuan—yang diciptakan oleh pikiran itu sendiri; setiap organisme menjadi suatu hal melalui tindakan dari idea tujuan; bentuk dan materi merupakan suatu yang abadi. Karenanya haruslah materi tunduk pada hukum kausalitas, yang mutlak berlaku pada ciptaan tuhan, tetapi tidak berlaku pagi sang pencipta. Dengan demikian sebab (causa) itu sarat (padat) dengan nilai-nilai (values loaded).
Realitas makhluk di alam semesta ini, telah menjadi anggapan aksiomamtik bagi Aristoteles yang dipahaminya sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut nomos atau
‘order’ dalam bahasa Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti ‘sudah tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya’. Paradigma Aristotelian ini bertolak dari anggapan aksiomatik bahwa seluruh kenyataan alam semesta itu pada hakikatnya adalah suatu totalitas kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang sempurna, dan serba berkeselarasan (harmony) sejak awal mulanya. Rancang bangun ontologik Aristotelian didasarkan atas satu kausa utama (kausa prima) yang diimplementasikan dalam empat kausa. Kausa prima ada pada diri Tuhan sedangkan empat kausa lainnya berada dalam realitas selain tuhan (makhluk). Keempat kausa atau sebab itu adalah : (i) sebab bahan (material) berupa materi yakni bahan-bahan untuk membuat bangunan konstruksi rumah misalnya; (ii) sebab bentuk (forma) berupa ide tentang benda-benda alam dan juga yang dipahami oleh pikiran; (iii) sebab kerja (efisien) berupa aktivitas manusia; dan (iv) sebab tujuan (final) berupa target yang hendak dicapai atas suatu rencana kegiatan. Kaualitas ini berlaku bagi semua realitas makhluk kecuali sang causa prima. Causa prima yang menciptakan empat kausa tersebut, tetapi ia sendiri tidak perlu tunduk kepada kausalitas yang ia ciptakan.
Episteme Aristotelian—yang memahamkan semesta sebagai suatu tertib tunggal yang pre-established, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik (<teleos=tujuan: baca kausa finalis, sebab bertujuan) yang mendalilkan kebenaran bahwa semesta ini merupakan suatu tertib kodrati yang telah sempurna, yang tidak hanya ‘tak akan dapat diganggu’ akan tetapi juga oleh sebab itu juga ‘tak boleh diganggu’, tak ayal lagi lalu dipahamkan pula sebagai suatu nomos yang sekaligus norma (ialah moral Tuhan). Implementasi dalam epistemologi, bahwa dalam ilmu pengetahuan bagi Aristoteles terbentuk dalam logika ilmiah dengan empat jenis pengetahuan; (i) definisi dan silogisme yang membahas penjelasan yang berpeluang (possibility) dan proses pembuktian; (ii) ilmu pengetahuan yang benar dengan pemikiran lurus terdiri atas (a) pengetahuan khusus yang diperoleh melalui metode silogisme (deduktif); (b) tujuan pengetahuan untuk membuktikan secara lengkap melalui serangkaian silogisme; (c) pembuktian yang valid melalui logika deduktif; (iii) sumber pengetahuan dari persepsi indra; dan (iv) dalam proses pemikiran memerlukan penguasaan konsep-konsep.
Paradigma teologik-kausatif Aristotelian ini memiliki pengaruh sampai hampir 20 abad. Kuatnya pengaruh tersebut karena para pemikir sesudahnya terus melakukan kritik dan tanggapan di wilayah Timur Tengah. Pada saat itu Eropa sedang mengalami abad kegelapan yang lelap. Pemikir dari Timur Tengah antara lain al Kindi (873 M.), al Farabi (870 M.), ibn Sina (Aveciena=1037), serta ibn Rusyd (Averoes=1126) . Saat terjadi keredupan pengaruh, pada masa renaisanse, Nama Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dapatlah disebut sebagai salah seorang representasi paham Aristotelian ini dari masa yang lebih mutakhir. Sebagai pemikir dalam garis Aristotelian, Leibniz mau bernalar pada alur yang metafisikal, yang berlangsung di dunia Sollen (alam keharusan, as what ought to be), dan bukan di dunia Sein (alam kenyataan, as what it is). Alam pemikiran Leibniz amat dikuasai oleh pemikiran metafisik yang meyakini kebenaran tentang kehidupan semesta yang telah dikuasai imperativa keselarasan yang telah terwujud secara pasti sejak awal mulanya. Inilah yang disebut a pre-established harmonius order. Leibniz bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan Mahakuasa dan Mahasempurna itu ada, dan Dialah pencipta semesta ini (Baca: causa prima dari Aristoteles). Penciptaan tentulah didasari oleh suatu intensi dan alasan yang mengisyaratkan adanya suatu tujuan final (causa finalis) yang Illahi. Bagi Leibniz, keteraturan yang berkeselarasan tanpa pertentangan ini dapat digambarkan sebagai suatu orkestra sebagai suatu pre-established harmony sebagaimana dimaksudkan oleh Leibniz. Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang oleh Leibniz disebut monad yang independen) telah “memainkan” bagian masing-masing yang sekalipun masing-masing bertindak sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total lalu menjadi berkeselarasan.
2. Paradigma Rasional Cartesian
Cartesian merupakan predikat yang disematkan kepada Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf dan ahli matematika Perancis yang lahir di La Haye Touraine, anak keluarga bangsawan. Dia belajar ilmu pasti dan filsafat Skolastik. Ia senang merantau antara lain ke Jerman, Belanda, Italy, dan Perancis yang kemudian menemukan ketenangan dan menetap di negeri Belanda sejak 1629-1649. Pada masa inilah Descartes banyak menulis karya ilmiah antara lain Discours de la Methode (diterbitkan 1937), Meditationes de Prima Philosophia
(1641), Principia Philosopiae (1644), dan Les Passiones de L’ame (1650). Melalui tulisantulisan tersebutlah ia kemudian terkenal dengan sebutan Cartesian.
Dalam buku Discours de la Methode (1937), Descartes mendobrak total seluruh pemikiran yang berasal dari tradisi dan otoritas dengan menempatkan rasio subjek sebagai titik pangkalnya yang menyatakan bahwa manusia yang berfikir sebagai pusat dunia. Subjektivitas Descartes mengacu pada aktivitas rasio subjek9. Ia memandang prinsip matematika sebagai paradigma dalam seluruh jenis pengetahuan manusia. Bagian dari aliran rasionalisme ini menggunakan asumsi ontologi-kosmologi yang berpandang bahwa alam memiliki struktur matematis. Descartes menolak semua kebenaran apabila tidak dapat dideduksi dengan prinsip matematika yang berangkat dari pengertian-pengertian umum yang kebenarannya tidak dapat diragukan (clear and distinct). Semua fenomena alam dapat dijelaskan dengan cara deduksi matematika. Sebagaimana dinyatakan Gordon :
”….René Descartes, in his Discourse on Method (1637), established the mechanistic conception of the world as a fundamental philosophical principle of science. In this book, he announced the invention of analytical geometry, important in itself.” …… the conception of reality as consisting of mechanistically linked phenomena.
Epistemologi makrokosmos dan mikrokosmos. Descartes telah mematematikkan alam dan berkesimpulan bahwa alam raya (makrokosmos) adalah mesin raksasa. Alam bekerja sesuai dengan hukum-hukum mekanik. Segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan sebagai tatanan dan gerakan dari bagian-bagianya. Kehidupan dan spiritualitas dalam alam raya tidak ada tujuan. Adapun manusia (mikrokosmos) juga seperti itu yang di dalamnya terdapat unsur ruh dan tubuh. Cara pandang dualisme seperti ini pada gilirannya menciptakan pola pikir yang serba dikotomis melalui logika biner.11
Pada garis besarnya, fokus kajian rasionalisme Descartes adalah (i) menekankan akal budi (rasio) sebagi sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi. (ii) Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. (iii) Pengalaman hanya dipakai untuk mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memperoleh pengalaman. Akal dapat menurunkan kebenaran dari dirinya, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti. Adapun ciri-ciri rasionalisme adala (i) tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran; (ii) keyakinannya bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu; (iii) kebenaran bermakna sebagai keberadaan ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Cara kerja rasionalisme adalah (i) memulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti; (ii) aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia; (iii) Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman; dan (iv) Ide tersebut sudah ada "di sana" sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia, karena ia terlihat dalam kenyataan tersebut, pun akan mengandung ide pula. Adapun tiga asumsi paradigma Cartesian adalah (i) subjektif-antroposentrik; (ii) dualisme; dan (iii) mekanistikdeterministik . Pertama, subjektif-antroposentrik merepresentasikan modus khas kesadaran modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Descartes mengembalikan skema pendekatan metafisis dengan menolak cara-cara yang bersifat tradisional.
Kedua, dualisme. Prinsip ini memilahkan realitas atas subjek dan objek, manusia dan alam yang menempatkan superioritas subjek atas subjek. Dualime memisahkan secara mendasar antara kesadaran dan materi, ruh dan tubuh, jiwa dan benda, serta nilai dan fakta. Gordon menguraikan:
“Descartes made a hard categorical distinction between ‘body’ and ‘mind’, which stimulated intense efforts by metaphysicians to re-establish a monistic unity, which still continues in the present day. Even philosophers who regard metaphysics as meaningless nonsense, and are scornful of these early attempts to resolve the Cartesian dualism, have nevertheless had to contend with some very difficult problems that are posed by it.”
Ketiga mekanistik-deterministik. Realitas dipahami dengan memilah-milahkan hal atau benda menjadi bagian kecil, yang dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif. Hasil penelitian dari bagian-bagian kecil itu digeneralisasikan untuk keseluruhan. Namun titik-tolak utama dalam penggeralisasian itu dalam pandangan Descartes, mendasarkan pada kenyataan bahwa alam dan dunia hanyalah merupakan prinsip logika deduksi (matematika) yang berpulang berupa prinsip-prinsip yang telah benar dengan sendirinya (self-evident primary propositions). Prinsip matematika bermula dari aksioma dan asas-asas. Asas-asas ini membentuk titik tolak untuk deduksi yang melalui asas ini disusunlah proposisi.
3. Paradigma Saintifik Galilean
Paradigma Galilean, mengacu kepada pemikir Galileo Galilei (1564-1642) yang lahir di Pisa, Itali. Ia belajar dan kemudian mengajar di Universitas Pisa. Beberapa tahun kemudian ia bergabung dengan Universitas Padua dan menetap di sana hingga 1610. Pada masa inilah produktivitas temuan ilmiah Galileo tersalurkan. Karya tulis Galileo antara lain: Letter to the Grand Duchess Christina (1636); the Assayer (1623); Dialogue in the Two Chief Word Systems (1632); Discourse on Two New Sciences (1638).
Galileo, amat berjasa pada ilmu fisika dan astronomi, khususnya penggunaan teleskop untuk observasi. Ia menemukan rumus-rumus matematik untuk hukum fisika. Galileo juga mengembangkan prinsip observasi objektif serta analisa teoritis yang rasional yang kemudian menjadi sifat pendekatan ilmiah dalam ilmu pengetahuan, itulah yang dikenal dengan prinsip causa effect, sebab akibat. Dari penemuannya itu Galileo membuka jalan formulasi sistematik atas hukum mekanika fisika yang dikemukakan Isaac Newton (1642-1727) dalam kurun satu setengah abad kemudian. Tapi ia sempat bertentangan dengan gereja Katolik, bahkan bukunya, Dialogue on the Chief System of the World dilarang. Pertentangannya dengan Gereja menyangkut pemihakan Galileo pada teori Copernicus, yang mengatakan, matahari adalah pusat sistem planet, bukan bumi sebagaimana yang diyakini Gereja, dalam ajaranajaran kitab sucinya. Melalui buku Letter on Sunpots (1613), Ia menerima teori Copernicus. Galileo dipanggil Gereja diadili dan diminta menjelaskan pendapatnya. Pada akhirnya Galileo mampu meyakinkan kebenaran teori Copernicus pada Gereja. Disitulah ia dianggap mempengaruhi para agamawan untuk menerima suatu teori ilmiah yang dasarnya penelitian empiris, bukan kitab suci. Namun kendati demikian ia tidak mengklaim bahwa ilmu pengetahuan tidak lebih unggul dari agama.
Pandangan ontologi-metafisika Galileo dapat digambarkan bahwa alam semesta tidaklah harmoni, serasi, selaras, dan seimbang, melainkan terdiri dari unsur-unsur yang beragam dan penuh kesemrawutan (chaos), bagaikan keberserakan dedaunan yang terjatuh dari pepohonan di musim gugur. Kesemrawutan seperti ini merupakan koreksi total atas peradaban manusia yang terjadi selama hampir 19 abad, tidak bergeming dari pengaruh paradigma normative-teologik-kausatif Aristotelian. Galileo menetapkan paradigma yang berbeda. Secara cerdas dan cermat Galileo menetapkan fenomena dan pengamatan empiris sebagai titik tolak ilmu pengetahuan. Ia meralat teori Aristoteles yang mengajarkan bahwa benda yang lebih berat, membutuhkan waktu jatuh lebih cepat dari pada benda yang lebih ringan. Melalui eksperimen, Galileo berkesimpulan bahwa benda ringan dan benda berat jatuh pada kecepatan yang sama kecuali sampai batas mereka berkurang kecepatannya akibat pergeseran udara. Alam semesta itu pada hakikatnya merupakan himpunan fragmen—pada perkembangannya disebut ‘variabel’—yang jumlahnya tak terhingga, yang secara interaktif berhubungan dalam suatu proses “kocokan” yang berlangsung secara berterusan tanpa mengenal titik henti, sampai kelak tiba pada titik finalnya. Semesta adalah jaringan kausalitas, eksis di tengah alam indrawi yang objektif, berada di luar rencana dan kehendak siapapun, yang karena itu tak sekali-kali tunduk kepada imperativa alami yang berlaku universal.
Hakekat pengetahuan (episteme) Galilean berangkat dari premis dasar ontologikmetafisika bahwa alam semestra dan isinya merupakan himpunan fragmen yang terdiri dari variable-variabel yang jumlahnya tidak terhingga. Hubungan antar unsur dalam fragmen itu selalu dapat disaksikan sebagai suatu yang faktual dan aktual. Hubungan antar variable berlangsung secara kausal-mekanistik. Setiap gejala dapat diidentifikasi yang karenanya memiliki kecenderungan-kecenderungan (trend) dalam pergerakannya. Ilmu penegetahuan (science) manusia berlangsung di ranah yang indrawi—penglihatan, pendengaran, pencecapa, perasa, perabaan, dan penciuman. Proses hubungan antar-unsur selalu dapat disimak sebagai sesuatu yang faktual dan aktual. Hubungan antar-variabel itu berlangsung secara kausalmekanististik di tengah alam objektif (yang karena itu tunduk kepada imperativa alami yang berlaku universal serta berada di luar rencana dan kehendak sesiapapun. Kecuali objektif, hubungan antar-fragmen itu berlangsung di ranah yang indrawi, dan yang karena itu pula selalu dapat disimak sebagai sesuatu yang faktual dan aktual. Hubungan kausal antar variabel itu berlangsung secara mekanististik dan dapat direproduksi, dan oleh sebab itu pula setiap kejadian atau terjadinya peristiwa selalu dapat diprakirakan atau bahkan diramalkan. Penguasaan atas berbagai hubungan kausal antar-faktor variabel ini dapat dilakukan untuk memproduksi hubungan-hubungan baru dalam kombinasi antar-variabel yang akan menghasilkan fakta-fakta baru yang sebagian besar tidak diprakirakan sebelumnya. Dari pengetahuan tentang dan penguasaan atas berbagai kausa dan effek yang tak kunjung final inilah lahirnya ilmu pengetahuan (science=sains) berikut berbagai metodenya untuk memanipulasi hubungan-hubungan sebab-akibat ke arah ragam-ragamnya yang tak hanya bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga teknologik. Pada intinya, paradigma Galillean berpandangan bahwa hukum alam semesta sebagai keteraturan hasil akhir proses yang acak sebab-akibat antar-faktor.
Daftar Pustaka
Adib, Mohammad
2011 Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Cetakan Ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Flew, Antony
1983 Dictionary of Philosophy. London: Pan Book.
Gordon, Scott
1993 The History and Philosophy of Social Science, New York: Paperback Routledge.
Hakim, Em. Lukman.
2010 “Teori Pertukaran George Homans” dalam Suyanto dan Amal. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang: Aditya Media Publishing.
Harianto, Husein.
2010 Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Hitti, Phillip, K.
1974 History of the Arabs. London: Macmillan Press.
Homans, George
1974 Social Behavior: Its Elementary Form. Social Behavior: Its Elementary Form. Edisi Revisi. New York: Harcourt Bace Jovanovich.
Mudhofir, Ali
2001 Kamus Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi).
2010 Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muakhir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Wignjosoebroto, Soetandyo
2010 “Tentang Teori, Konsep, dan Paradigma dalam Kajian tentang Manusia, Masyarakat, dan Hukumnya. Makalah. https://blog.unila.ac.id/pdih/files/ 2009/04/babi_teori-dan-paradigma.pdf. diakses 1 Februari 2011 jam 23.23 wib.