Hai Semua…
Kali ini saya memposting salah satu tugas Mata Kuliah Penulisan Karya Ilmiah Populer yakni tentang opini saya terhadap fenomena mudik lebaran.
Mudik, kata tersebut sangatlah fenomenal bagi masyarakat Indonesia, terutama saat menjelang lebaran. Fenomena mudik lebaran menjadi sebuah tradisi tahunan bagi masyarakat Indonesia. Fenomena mudik lebaran ini selalu saja menyita banyak perhatian. Betapa tidak, pada moment tersebut masyarakat akan beramai-ramai untuk bermigrasi sementara ke kampung halamannya. Bahkan eksistensi mudik lebaran ini selalu saja terjadi disetiap tahunnya.
Andre Moller mencatat bahwa dalam tradisi mudik merupakan fenomena unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS) misalnya juga dikenal tradisi yang hampir serupa dengan mudik, yakni ritus Christmas Day dan Thanksgiving Day. Namun, mudik Christmas dan Thanksgiving hanya sebagai sarana untuk berkumpulnya keluarga inti . Namun, fenomena itu tidak sedahsyat di negara kita yang tidak hanya melibatkan sebuah `keluarga besar‘ karena negara juga sampai harus turun tangan untuk ikut mengatur demi kelancaran mudik itu sendiri.
Bagi masyarakat Indonesia, mudik lebaran memanglah sebuah moment yang sangat penting, karena secanggih apapun teknologi komunikasi saat ini tidaklah mampu untuk mengatasi persoalan terhalangnya jarak dan waktu. Bagi masyarakat komunal seperti kita ini, lebaran dijadikan sebuah ajang silaturrahmi yang tidak hanya bisa disampaikan lewat teknologi komunikasi saja karena silaturrahmi seperti itu yang hanya bisa dilihat secara dua dimensi tersebut selalu dianggap belum sempurna kecuali sudah diselesaikan melalui pertemuan fisik meskipun hanya sekedar bersalam-salaman saja.
Bisa jadi mudik lebaran tidaklah sesederhana itu, tidak sesimpel apa yang dibayangkan, dan tidak hanya sekedar menemui orang tua dan keluarga besar untuk bersalam-salaman dan bersua saja. Namun pada dasarnya, kita dapat melihat bahwa dibalik itu semua terdapat interaksi simbolis yang memiliki makna yang sangat luas. Seperti halnya yang dikatakan oleh Mead bahwa orang bertindak berdasarkan makna simbolik yang muncul dalam sebuah situasi tertentu. Adanya mudik tersebut dijadikan sebuah media untuk menyalurkan kerinduan kepada orang tua, keluarga, teman, atau bahkan sebagai media untuk menyalurkan kerinduan mereka terhadap kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan. Harapannya adalah ketika mereka kembali kekampung halamannya, kerinduan yang sudah lama terpendam dapat tersalurkan sehingga disaat mereka pulang atau arus balik, mereka seolah-olah mendapatkan energi yang baru untuk kembali melakukan aktivitasnya seperti biasa.
Namun tradisi mudik lebaran kini juga tidak lagi sekedar sebagai ajang silaturahmi, tetapi sudah menjadi ajang pamer keberhasilan materi, karena mereka ingin juga diakui eksistensi keberhasilannya. Pada kenyataannya bahwa sebuah pengakuan itu memang mahal. Tidak semua kaum urban di kota besar datang dengan kemampuan skill yang mumpuni, sehingga tidak semuanya dapat memenuhi impiannya untuk hidup mapan di kota besar. Namun secara psikologis mereka memerlukan legitimasi akan keberhasillannya. Namun harapan itu belum sepenuhnya terpenuhi bahkan mungkin tenggelam. Maka momen lebaran-lah dipergunakan sebagai unjuk eksistensi kaum urban untuk menunjukkan legitimasi keberhasilannya hidup di kota besar. Padatnya arus lalu-lintas, jauhnya perjalanan dan mahalnya aneka kebutuhan pada bulan ramadhan dan lebaran tidak menghalangi mereka untuk mudik ke kampung halamannya masing-masing. Kepada orang tua, keluarga, dan tetangga di kampung halaman, mereka dengan bangga meninggikan status sosialnya. Status sosial tersebut ditandai dengan pamer kendaraan, baju baru lengkap dengan pernak-pernik perhiasan dan lain sebagainya. Penampilan masyarakat yang mudik dengan memamerkan status sosial itu adalah untuk memperlihatkan kepada keluarga atau pada kalangan kerabat dan masyarakat bahwa status sosial mereka meningkat karena dinilai telah sukses di rantau. Namun ironisnya, justru banyak penampilan mereka yang `kamuflase` atau mengelabui orang, karena faktanya banyak sekali kejadian para pemudik yang memaksakan diri, seperti kendaraan yang dibawanya hanyalah sekedar rental saja ataupun yang sudah jauh-jauh hari membeli kendaraan bermotor secara kredit untuk dipamerkan di kampung halamannya masing-masing, namun begitu kembali ke kota kendaraan tersebut dengan sengaja dibiarkan ditarik kembali oleh dealer karena menunggak cicilan.
Dari beberapa hal tersebut, kita juga dapat melihat bahwa eksistensi mudik lebaran kini sudah semakin bergeser dari makna awalnya, yakni bersilaturahmi. Adanya perasaan gengsi atau tidak mau kalah dengan kesuksesan yang diraih saudara atau teman di kampung halaman bisa menjadi salah satu pemicu bahwa persepsi mudik selama ini selalu identik dengan ajang pamer kesuksesan, meskipun masih banyak pula para pemudik lainnya yang memang mudik karena rindu dengan sanak keluarga dan lebih mementingkan silaturahmi daripada sekedar menjadi ajang pamer semata.
Namun, akan jauh lebih baik lagi jika pada awalnya saat mudik lebaran kita bersama-sama memiliki tujuan yang mulia, yakni untuk saling bersilaturahmi kembali diarahkan ke tujuan semula. Para pemudik jangan lagi mempunyai pikiran bahwa mereka harus membawa sesuatu yang baru setiap kali mudik. Melainkan para pemudik haruslah bersikap apa adanya saja, apabila ada kelebihan rezeki memang tidak salahnya membawakan oleh-oleh buat keluarga yang nantinya bisa membuat mereka senang. Tetapi apabila keadaan ekonimnya masih kurang menguntungkan akan lebih baik jika tidak perlu untuk memaksakan diri, karena pastinya keluarga di desa juga akan mengerti dan memahaminya. Karena pada dasarnya yang sebenarnya mereka inginkan adalah berkumpul dan bersilaturahmi di hari raya Idul Fitri sebagai sebuah eksistensi dari lebaran itu sendiri.
Recent Comments