Haii semua.. kali ini saya memposting tugas kuliah saya di semester 5 yaitu tugas Mata Kuliah Sosiologi Gender mengenai Konstruksi Gender dalam Pola Asuh Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Keluarga sangat berpengaruh dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang memiliki peran dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian anak adalah pola asuh yang diterapkan orangtua.
Pola asuh berasal dari dua kata yaitu pola dan asuh. Pola dapat diartikan sebagai corak tenun, corak batik, potongan kertas yang dipakai mal untuk memotong bakal baju. Sedangkan asuh berarti memelihara dan mendidik anak kecil. Secara umum pola asuh dapat diartikan sebagai corak atau model memelihara dan mendidik anak (Godam, 2008). Oleh karena itu, orang tua dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengasuh sangat tergantung pada pemahaman mereka terhadap gender. Konsep gender sendiri dipahami sebagai perbedaan status sosial yang dibuat oleh manusia dan mendarah daging dalam masyarakat. Orang tua sangat berperan penting dalam membentuk seseorang menjadi maskulin dan feminim karena konsep gender tersebut merupakan hasil dari sosialisasi yang diberikan kepada anak-anak sejak mereka masih kecil dengan melalui pola asuh bukan didasari perbedaan jenis kelamin. Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua dalam memahami konsep gender dengan jenis kelamin supaya tidak terjadi perbedaan perlakuan atau mengistimewakan salah satu jenis kelamin.
Yang dimaksud pola asuh dalam pembahasan ini yaitu sistem, cara atau pola yang digunakan atau diterapkan oleh orang tua terhadap anak dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan tugas dan fungsinya dalam keluarga maupun masyarakat. Sistem atau cara tersebut meliputi cara mengasuh, membina, mengarahkan, membimbing dan memimpin anak. Pola ini tentu saja dalam setiap keluarga mempunyai pola yang berbeda antara satu keluarga dengan keluarga yang lainnya. Begitupun dengan pola asuh yang ada di keluarga saya, bisa jadi juga akan berbeda dengan pola asuh yang ada di keluarga lain atau bahkan ada sedikit kesamaan. Sebelum memaparkan lebih lanjut, saya akan memaparkan latar belakang keluarga saya terlebih dahulu.
Latar belakang dari keluarga ayah
Ayah saya lahir di Pemalang pada tanggal 1 April 1958 dan ayah saya dibesarkan di sebuah desa yaitu Desa Sewaka Kecamatan Pemalang Kabupaten Pemalang. Ayah saya merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dimana kedua saudara ayah saya adalah laki-laki dan satu perempuan. Ayah saya dilahirkan dari keluarga petani. Sehingga sumber penghasilan utamanya didapatkan dari hasil panen. Kakek dan nenek saya adalah orang yang cukup keras dan tegas dalam mendidik putra-putrinya. Bahkan kakek saya akan jauh lebih keras dan tegas kepada putra laki-lakinya, termasuk ayah saya. Meskipun begitu, walaupun dari kelurga petani dan hidup sederhana. Kakek dan nenek saya sangat mementingkan pendidikan. Oleh karena itu mereka selalu bekerja keras agar mampu menyekolahkan putra-putrinya. Kakek dan nenek saya selalu mengajarkan kepada putra-putrinya untuk selalu bekerja keras dan bersungguh-sungguh agar dapat menggapai cita-citanya dan tidak menjadi seperti kakek dan nenek saya yang hanya dapat mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar (SD). Setelah pulang sekolah ayah saya dan kedua saudara laki-lakinya selalu untuk membantu kakek mengolah sawah dan melakukan pekerjaan yang berat dan kasar, dari mulai membajak sawah hingga harus mengangkat gabah dan beras. Sementara saudara perempuan dari ayah saya akan membantu ibu dalam urusan domestik dan ketika ada salah satu yang tidak mau menuruti perintah dari kakek dan nenek maka akan selalu diberi hukuman, dari hukuman yang ringan sampai ke hubungan yang berat, semua itu tergantung dari kesalahan mereka masing-masing.
Latar belakang dari keluarga ibu
Ibu saya adalah anak ke tujuh dari sembilan bersaudara. Ketiga saudaranya adalah laki-laki dan saudara-saudara yang lainnya adalah perempuan. Ibu saya lahir di Pemalang 25 November 1963. Kakek dan nenek saya adalah petani dan memiliki beberapa lahan sawah yang cukup banyak. Kakek dan nenek saya juga sempat mengenyam pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD). Akan tetapi, pandangan mereka terhadap pendidikan juga cukup bagus, hal tersebut dapat dilihat dari tingkat pendidikan anak-anaknya. Dimana anak laki-lakinya akan disekolahkan sampai tingkat SLTA sedangkan yang perempuan disekolahkan sampai tingkat SLTP. Harapan dari kakek dan nenek saya kepada anak laki-laki adalah saat mereka lulus dari SLTA, mereka akan diminta untuk membantu mengolah lahan persawahan milik kakek dan diperbolehkan juga bagi mereka yang ingin merantau ke luarkota. Sementara bagi anak-anak perempuannya setelah lulus SLTP mereka disuruh untuk membantu urusan domestik dan mereka tidak diperbolehkan untuk merantau keluar kota seperti saudara laki-lakinya, bahkan mereka setelah SLTP pun sudah langsung menikah. Kakek saya adalah orang yang tegas dan keras, beliau juga bijaksana dan penyayang. Namun, jika salah satu anaknya baik itu anak laki-laki maupun anak perempuan ada yang melanggar perintahnya ataupun tidak mematuhinya maka akan dipukul dengan menggunakan tongkat yang selalu ia bawa kemana-mana. Namun, tidak semua kesalahan akan dihukum seperti itu, semuanya akan tegantung dari seberapa besar kesalahan yang telah diperbuatnya.
Latar belakang keluarga saya
Saya merupakan seorang anak yang lahir di Pemalang pada tanggal 22 Februari 1997. Saya merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Ayah dan ibu saya hanya memiliki tiga orang anak dan ketiga-tiganya adalah anak perempuan semua. Meskipun kedua orangtua saya berasal dari keluarga petani namun mereka tetap mengenyam pendidikan. Ayah saya adalah orang yang paling pandai diantara ketiga saudaranya, sehingga hanya ayah saya saja yang mampu mengenyam pendidikan hingga ketingkat sarjana dengan menggunakan uang hasil kerjanya sendiri. Sementara ibu saya hanya sampai lulusan SMP. Karena setelah ibu saya lulus SMP, beliau sudah dipinang oleh ayah saya.
Kedua orang tua saya selalu menganggap pendidikan adalah hal yang penting untuk membantu kehidupan dimasa depan. Apalagi mereka hanya memiliki anak perempuan saja, sehingga mereka selalu menuntut anak-anaknya agar dapat menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. Sehingga, ayah saya sebagai tulang punggung keluarga selalu bekerja keras demi mewujudkan prinsipnya tersebut dan semua jerih payah ayah saya akhirnya dapat terwujud dengan menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi. Ayah saya adalah seorang PNS yang menjadi guru agama di SD Negeri 02 Paduraksa, sementara ibu saya hanyalah seorang ibu rumah tangga. Karena ayah saya hanya memiliki anak perempuan saja, ayah selalu memiliki prinsip bahwa anak-anaknya harus mengikuti jejak si ayah yakni menjadi seorang guru. Pada dasarnya ayah saya memiliki prinsip tersebut berdasarkan pengalaman hidupnya. Ayah saya merasa sangat kesulitan untuk mencari penghasilan demi mewujudkan cita-citanya menjadi seorang sarjana. Karena itulah ayah saya menginginkan anak-anaknya juga dapat bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Ayah saya juga menuntut kami agar menjadi seorang guru, karena ayah saya selalu beranggapan bahwa ketika anak perempuan telah lulus dan menjadi sarjana, pekerjaan yang cocok untuk anak perempuan hanyalah menjadi seorang guru.
Sedangkan ibu saya, dalam hal pekerjaan beliau tidak menuntut harus menjadi apa karena yang terpenting bagi ibu anak-anaknya dapat lulus sarjanapun beliau sudah bangga. Ayah saya juga sebenarnya menginginkan seorang anak laki-laki, hal itu terlihat sangat jelas ketika waktu itu ayah mengatakan kepada saya bahwa beliau sangat menginginkan anak laki-laki yang nantinya akan disekolahkan ke akademi kepolisian. Namun karena keinginannya itu tidak dapat terwujud, ayah terkadang masih menyuruh saya untuk sekolah di akademi kepolisian. Ayah saya adalah orang yang keras dan tegas seperti kakek, namun dia juga sangat penyayang. Sementara ibu adalah orang yang paling baik dan paling penyayang didunia ini. Dalam membentuk kepribadian dan akhlak yang baik, orang tua saya selalu mengajarkan kepada kami akan nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan kebudayaan jawa.
Ayah saya selalu mengajarkan kepada kami agar menjadi anak yang memiliki akhlak mulia, berbakti, rajin, bekerja keras, mandiri, dan tangguh. Sementara ibu saya selalu mengajarkan kami agar menjadi anak yang berbakti, lemah lembut, sopan, dan memiliki kasih sayang dan kepedulian yang tinggi baik itu terhadap saudara-saudara kandungnya maupun orang lain. Semua itu diajarkan oleh mereka dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Bahkan sampai saat inipun mereka selalu menasehati kami dengan hal-hal yang baik dan positif. Dan ketika salah satu dari kami melakukan kesalahan, maka mereka akan menasehatinya terlebih dahulu agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang telah diperbuatnya.
Perspektif Gender dalam Pola Asuh Keluarga
Keluarga merupakan bagian terkecil dalam masyarakat. Menurut UU No. 10 Tahun 1992, keluarga diartikan sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah yang terdiri suami-istri, suami-istri dan anak, bapak dengan anak atau ibu dengan anak. Di dalam sebuah keluarga juga telah diatur berbagai tugas masing-masing dari setiap anggota keluarga. Hal tersebut dipengaruhi oleh adanya konstruksi gender yang dibuat oleh budaya masyarakat sekitar dimana keluarga tersebut tinggal.
Wahyuni menjelaskan bahwa pola asuh merupakan model dan cara pemberian perlakuan seseorang kepada orang lain dalam suatu lingkungan sosial. Dengan kata lain pola asuh adalah model atau cara dari orang tua memperlakukan anak dalam lingkungan keluarga sehari hari, baik perlakuan yang berupa fisik maupun psikis. Sikap orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, pengalaman masa lalu yang berhubungan erat dengan pola asuh atau sikap orang tua mereka, nilai yang dianut, tipe dari kepribadian, kehidupan perkawinan, serta alasan orang tua mempunyai anak (dalam Gunarsa,1995:87)
Gender adalah sifat yang diletakkan atau dilekatkan pada laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari konstruksi peran sosial dan budaya. Sehingga konstruksi masyarakat terhadap peran setiap individu dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh adanya perbedaan jenis kelamin yang sudah tertanam dalam akal dan pikiran masyarakat dan telah menjadikan sebuah budaya. Hal ini sependapat dengan argumen dari Mill seorang tokoh dari kaum nurture yang mengatakan bahwa pembagian kerja secara seksual adalah sesuatu yang wajar, bersumber pada perbedaan struktur genetis dari laki-laki dan wanita yang dipandang sebagai suatu konstruksi sosial budaya dimana perbedaan peran sosial laki laki dan perempuan bukan merupakan kodrat alam (dalam Budiman, 1985:5).
Dalam masyarakat jawa yang sebagian besar masih menerapkan sistem tradisional-patriarki mereka tidak begitu menganggap keberadaan wanita, hampir seluruh keputusan keluarga berada di tangan laki-laki. Hal ini juga diungkapkan oleh Handayani dalam pandangan kaum feminis pada umumnya, kultur Jawa adalah sebuah kultur yang tidak memberi tempat bagi kesejajaran antara laki-laki dan perempuan (2004:3). Sistem tradisional-patriarki ( yaitu masyarakat yang selalu memposisikan laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada perempuan) kita dapat melihat dengan jelas adanya pemisahan yang tajam bukan hanya pada peran gender tetapi juga pada sifat gender (De Vries, 2006:5). Hal tersebut tergambar dalam pola asuh keluarga dari ayah dan ibu saya, pola asuh yang diberikan oleh nenek dan kakek terhadap ayah dan ibu saya berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan baik dalam hal bersikap, pendidikan maupun dalam hal pekerjaan.
Recent Comments