Review Manusia dan Kebudayaan
Keanekaragaman Makhluk Manusia dan Kebudayaan
Terdapat tiga pandangan pada orang Eropa dalam melihat masyarakat dan kebudayaan makhluk manusia. Pertama, manusia adalah makhluk yang beraneka-macam atau poligenesis dan menganggap orang-orang berkulit putih adalah makhluk yang paling kuat dan baik. Pandangan yang kedua adalah bahwa manusia hanya diciptakan sekali saja atau monogenesis, yaitu dari satu makhluk induk dan semua makhluk lain merupakan keturunan nabi Adam. Mereka berpendapat keanekaragaman manusia dan kebudayaannya dari tinggi hingga rendah, yang merupakan akibat dosa yang pernah dilakukan Nabi Adam.
Manusia dan kebudaayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, sementara itu pendukung kebudayan adalah makhluk manusia itu sendiri. Maskipun manusia akan mati, tapi kebudayaan yang dimiliki akan diwariskan pada keturunannya, begitu seterusnya.
Kebudayaan mengenal ruang dan tempat tumbuh berkembangnya, dengan mengalami perubahan, penambahan dan pengurangan.
Konsep Kebudayaan
Istilah kebudayaan berasal dari kata kerja bahasa latin colere yang artinya bercocok tanam. Dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi (budi/akal) yaitu berupa cipta, karsa, dan rasa.
Kroeber dan C. Kluchkohn, mengutarakan bahwa yang dimaksud kebudayaan adalah seluruh pola tingkah laku baik eksplisit dan implisit yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol yang akhirnya membentuk suatuu yang khas pada kelompok tertentu.
R.Linton dalam tulisannya membagi kebudayaan meliputi yang tampak (overt culture) dan bagian yang tidak tampak (covert culture). Menurut Honigman, kebudayaan yang tidak tampak adalah ide, gagasan, dan berbeda dari yang tampak yang dapat dilihat dengan pancaindera.
Pembatasan kebudayaan yang diberikan oleh para ahli antropologi dipengaruhi konsep yang didasarkan pada fakta sosial dan kesadaran kolektif dari E.Durkheim. Bagi mereka struktur sosial adalah dasar utama dari masyarakat, an budaya atau adat istiadat. Dalam studi perubahan kebudayaan, struktur sosial dianggap bagian statis, sedangkan bagian yang dinamis adalah interaksi sosial.
Budaya sebagai sistem pemikiran mencakup sistem gagasan, konsep-konsep, aturan-aturan serta pemaknaan yang mendasari dan diwujudkan dalam kehidupan melalui proses belajar. Sehingga Geertz berpendapat bahwa kebudayaan adalah sistem pemaknaan milik bersama dan kebudayaan adalah hasil dari proses sosial bukan perorangan.
Selanjutnya, sistem pemaknaan ini mempunyai sua sisi, yaitu aspek kognitif dan aspek evaluatif. Malalui aspek kognitif, akan didapatkan pengetahuan yang memungkinkan para penganutnya mampu melihat dunianya, masyarakatnya, bahkan dirinya. Atau dapat dikatakan aspek kognitif menentukan orientasi kelompok terhadap tempat hidupnya. Sedangkan melalui aspek evaluatif dapat diperoleh pengetahuan/kepercayaan yang ditransformasikan menjadi nilai-nilai yang pada akhirnya mengkristal menjadi sistem nilai. Sistem nilai ini yang menentukan apa yang akan diambil atau diputuskan oleh seseorang terhadap kehidupannya.
Ekologi dan Homeostatis
Manusia sebagai salah satu bentuk organisme, melalui sistem gagasan yang dikembangkan dan dimilikinya, mampu menyesuaikan diri sebagai bagian dari ekosistem. Suatu perubahan ekologis juga dapat membuat manusia menyesuaikan berbagai gagasan mereka, misalnya tentang kosmologi, suksesi politik, kesenian dan sebagainya. Terpeliharanya keseimbangan sistem atau homoestatis merupakan kekuatan yang mengatur perimbangan alam (the balance of nature).
Ekologi Budaya
Ekologi budaya atau cultural ecology, yaitu ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan tertentu. Inti kebudayaan dalam konteks ekologi budaya, seperti halnya ekologi pada umumnya, merupakan bidang penelitian yang ada batas-batasnya dan bukan merupakan ilmu yang komprehensif.
Determinisme Lingkungan dan Posibilisme
Dalam konteks antropologi saat ini, sudut pandang ekologi lebih mengarah pada upaya untuk mendapatkan kerangka analisis, dalam kajian mengenai pengaruh-mempengaruhi antara manusia dengan isi alam ini, tujuannya untuk melihat manusia dan latar belakangnya. Apakah melalui pemahaman yang bersumber antropogeografi atau posibilisme.
Dahulu, studi kebudayaan ditekankan pada keterkaitan perilaku manusia dengan lingkungannya atau environmental determinism. Pendekatan yang lebih dikenal geographical determinism atau etnographic environmentalism, yang mendasarkan pandangan bahwa lingkungan akan berperan terhadap pembentukan kebudayaan di suatu suku bangsa.
Pada umumnya, istilah environmentalism, dipakai untuk mengelompokan suatu pemikiran yang beranggapan bahwa perilaku sosial-budaya dari makhluk hidup ditentukan oleh berbagai faktor yang kompleks, tetapi dalam proses pembentukannya lebih ditentukan oleh tempat dimana mereka tinggal.
Sebagian besar penganut paham environmentaalism mempunyai pendapat bahwa perbedaan perilaku sosial makhluk hidup, termasuk bentuk fisik dan kejiwaan, adalah karena mereka hidup di wilayah yang beriklim berbeda.
Menurut Geertz, ketidakpastian kedua pendekatan bersumber dari kurang kuatnya dasar konsepsi yang digunakan. Keduanya memisahkan antara karya manusia dan proses alam menjadi dua bisang pengaruh yang berlawanan, yaitu kebudayaan sebagai karya manusia dan lingkungan merupakan proses alam.
Pemikiran mereka cenderung lebih merupakan ethnograpic environmentalism daripada geographical determinism. Pandangan tersebut juga relevan untuk dikaitkan dengan pemikiran geographical determinism, dimulai dari pemikiran Friederich Ratzel pada abad XIX yang mencoba mengkaji tulisan etnografi secara sistematis lalu dikaitkan dengan aspek geografi. Selanjutnya karya Ratzel dinilai sebagai dasar pemikiran paham anthropogeographical. Menurutnya, perbedaan wilayah tempat tinggal dapat dipakai untuk menjelaskan keanekaragaman kebudayaan manusia di bumi.
Untuk kedepannya, kedudukan para environmentalis dalam konteks penelitian ekologi, antropologi dan geografi menjadi lebih jelas. Pendapat F.Ratzel dan pengikutnya didasarkan atas bentuk-bentuk paradigma mekanistik, dikaitkan secara sederhana sebagai sebab tidak langsung, dan di sana sini diberi tambahan ruang lingkup hubungan dialektik antarakesejarahan dengan faktor-faktor material.
hay erin sayang, semoga cepat sembuh.
oh ya, tia mau kasih saran ini sedikit aja hihi, ini tulisannya belum dikategorikan haha
makasih erin cantik muehehe
semangat ngeblognya erina dengan membagikan informasi yang bermanfaat mengenai sosiologi maupun antropologi :thumbup
lebih lengkap kalau ditambah sumber artikel yang kamu review rin :rate
semangat ngeblog yah kakak 🙂
semangat ngeblog 🙂
kaka judulnyaa 😀
good:)