Dalam falsafah Jawa guru diartikan sebagai sosok teladan yang harus “digugu lan ditiru”. “Digugu” arti yang dekat dalam bahasa nasional adalah dipercaya. Apapun yang dilakukan oleh seorang guru “dipercaya” bahwa itu merupakan suatu kebaikan, suatu kebenaran. Sedangkan “ditiru” dalam bahasa indonesia artinya dicontoh, diikuti, menjadi teladan bagi orang-orang yang berada di sekiranya. Yang “digugu dan ditiru” dari guru adalah semua apa yang melekat pada dirinya, baik perkataan maupun perbuatannya.
Kita juga mendapatkan definisi tentang guru dalam Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Pengertian guru diperluas menjadi pendidik yang dibutuhkan secara dikotomis tentang pendidikan.
Tanpa mengesampingkan definisi tentang guru di atas, pada hakikatnya kita semua adalah seorang guru dan/atau pendidik. Setidaknya kita menjadi guru bagi anak-anak kita sendiri. Selanjutnya saya menyebut guru dan siswa, baik pada pendidikan formal maupun informal.
Artikel kecil ini di buat pada saat mejadi pembicara dalam seminar Hari Guru Tahun 2015 di Jurusan Matematika FMIPA Unnes, dengan judul artikel yang sama. Materi dalam bentuk PPT dapat di unduh dalam tautan di akhir artikel bagian 1 di bawah.
Pada kajian kali ini akan di bahas aspek kecil yaitu komunikasi/dialog/perkataan yang terjadi antara guru dan siswa. Ada kalanya siswa kita tidak seperti apa yang kita harapkan, terutama dari segi kemampuann yang diperlihatkan selama dia belajar. Jika kita dihadapkan dalam persoalan tersebut, Al Quran telah mengajarkan kepada kita bagaimana cara kita bersikap, bertutur kata yang tertuang dalam beberap ayat-Nya.
1. Qaulan Layyina
“Mungkin” secara tidak sadar kita sering berkata dengan keras atau dengan nada tinggi kepada siswa. Sering ketika kita baru memasuki ruang kelas, didapati siswa kita ramai, maka kita akan bersuara “Hallo..anak-anak..”. Tetapi anak-anak masih tetap ramai dalam pembincangannya, maka suara dari mulut kita semakin tinggi, “anak-anak..diam!”. dan semakin keraslah kita, “DIAM!!!”. Atau kata-kata kasar tersebut muncul ketika melihat siswa-siswa sedikit tidak disiplin.
Pesan Ibn ’Athaillah dalam kitab Al-Hikam
Setiap perkataan yang terucap, selalu mencerminkan keadaan hati yang mengucapkannya.
Pada saat seperti itu, jika kita tidak bisa mengendalikannya, maka satu hari itu hati kita akan dipenuhi dengan kemarahan. Bahayanya lagi, akan timbul bencana yang lebih besar yang ditimbulkan oleh kemarahan tersebut.
Sekarang, cobalah lihat dalam firman Allah surat At Thoha ayat 44. [20; 44]
- maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.
Lihatlah, betapa Al Quran mengajarkan bagaimana berbicara. Kepada seorang Fir’aun yang perbuatanya sudah diluar batas kemanusiaan, yang dia dijamin masuk neraka. Nabi Musa. A.S diminta untuk tidak berbicara dengan emosi, dengan perkataan yang keras, melainkan dengan kata-kata yang lemah lembut (qaulan layyina). Ingatlah, ketika kita berbicara kasar, maka sesungguhnya kita sedang mengajarkan kepada siswa kita untuk menjadi seorang pemarah. Diakhir surat tersebut juga terucap sebuah doa, sebuah harapan “mudah-mudahan dia (Fir’aun) sadar atau takut”. Yah, kekerasan ternyata akan semakin menjadi jika di lawan dengan kekerasan. Kekerasan hanya dapat dipadamkan dengan kelemahlembutan. Berpikir ulanglah 100 kali, jika kita akan berkata-kata kasar dengan siswa atau dengan anak kita. Selalu panjatkan doa-doa untuk mereka.
Bersambung…..
Unduhan materi dalam bentuk PPT, klik di sini
Artikel ini juga sudah di tulis di website :herisutarto.com