Malisa Ladini
Seperti mata air yang terjun dari atas puncak menerjang arus.
Negeriku menyiratkan air mata yang bercampur dengan angan.
Angan yang melesat di bebatuan emas, perak, dan romansa hamba uang.
Segalanya ada, tersuguhkan, membuat penghuni negeri ini terbelalak.
Tak sebanding dengan para bualan janji yang terlontar dari para politisi.
Mulutnya berbusa menguntai wacana dengan balutan retorika yang menyihir.
Rakyat bersimpati pada sebuah kedok pemimpin negeri yang licik.
Suara dibeli, apa lah arti demokrasi.
Kisruh moral, budaya kleptokrasi terus menghantui diantara jajaran meja petinggi.
Menyelipkan rupiah dibalik dasi yang kian rapih.
Ada jeritan ribuan orang kecil yang hampir mati.
Sedang para wakil melipat tangannya, dengan sorot mata congkak, berkata “Kami Pelayanan kalian”
Saat nasionalisme sejati terganti dengan “nasionalisme uang”.
Pun yang bernegara dengan banyak sadapan, lobi-lobi yang menjijikkan.
Negeri ini sedang merindu, dimanakah negarawan sejati.
Jika kesemuanya usang dicaci, pembenar tak jua lebih benar, penghakim tak jua lebih hakim.
Perut sendiri kenyang, adalah sahwat yang tak bisa dibendung lagi.
Dengan alasan mengemban amanah, serigala berbulu domba pun jadi.
Sang Berkepentingan merajai, menjadi saksi kunci, kemana kah gelontoran rupiah di negeri ini.
Bisakah kita protes, jika kalah posisi, tak ada yang lain, bentuk lah ahli waris negeri yang unggul dan tahan akan bius rayu suap.
Komentar Terbaru