Relasi Warok-Gemblak: Homoseksualitas di Jawa
Permasalahan mengenai seksualitas selalu menjadi bahan kajian yang menarik bagi banyak kalangan. Banyak masyarakat yang menganggap bahwa seksualitas adalah permasalahan privat dan mentabukannya untuk dibicarakan di ranah publik. Namun disisi lain karena dianggap sebagai hal yang tabu, maka permasalahan mengenai seksualitas telah menjadi fenomena yang membuat penasaran dan menarik perhatian banyak orang.
Dalam kajian – kajian ilmu sosial, khususnya antropologi, permasalahan seksualitas bukan hanya sekedar menyangkut persoalan biologis, namun juga memiliki dimensi lain seperti religi, psikologi, dan sosial-budaya. Banyak orang selama ini memahami seksualitas sebatas istilah seks. Padahal antara seks dengan seksualitas merupakan hal yang berbeda. Menurut Zawid (1994), kata seks sering digunakan dalam dua hal, yaitu berkaitan dengan aktivitas seksual genital, dan sebagai label gender (jenis kelamin). Sedangkan seksualitas memiliki arti yang lebih luas karena meliputi bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut terhadap orang lain melalui tindakan yang dilakukannya seperti, sentuhan, ciuman, pelukan, senggama, atau melalui perilaku yang lebih halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata (Purnawan, 2004). Dengan demikian maka seksualitas sebenarnya merupakan sebuah konsep, konstruksi sosial terhadap nilai, orientasi, dan perilaku yang berkaitan dengan seks.
Studi – studi mengenai seksualitas setidaknya mengenal tiga jenis orientasi dan perilaku seksual yaitu heteroseksual, homoseksual dan biseksual. Namun, di dalam studi seksualitas, wacana – wacana mengenai homoseksual lebih mendapat perhatian khusus karena keberadaanya yang banyak menjadi isu kontroversial dalam masyarakat, terutama pada masyarakat yang memiliki religiusitas kuat dimana homoseksualitas dianggap bertentangan dengan ajaran – ajaran agama.
Homoseksual atau homofilia dapat difenisikan sebagai gejala dan prilaku yang ditandai oleh ketertarikan secara emosi dan seks, pada seseorang terhadap orang lain yang sama jenis kelaminnya (Oetomo, 2001). Homofilia dapat dijumpai di mana saja dalam kehidupan manusia karena secara biologis-psikologis manusia dilengkapi dengan kemampuan untuk melakukan tindakan seks yang jauh lebih banyak macamnya daripada hanya senggama penis dengan vagina (Oetomo, 2001).
Secara teoritis, homoseksualitas dapat diartikan sebagai rasa tertarik secara perasaan baik itu kasih sayang atau hubungan emosional dan secara erotik, baik secara predominan maupun ekslusif terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik. Homoseksual lebih tepatnya mengacu pada orang, baik laki-laki ataupun perempuan yang memakai orientasi homoseksualnya sebagai kriteria pokok dalam mendefinisikan identitasnya atau lebih dikenal dengan istilah Gay untuk pria dan Lesbian untuk wanita.
Dorongan untuk mencintai sesama jenis ini ada secara alami dan terdapat di dalam kebudayaan di seluruh dunia. Kita dapat melihat bagaimana sejarah homoseksualitas manusia merupakan sejarah yang panjang, dan terbentuk sejak ribuan tahun yang lalu. Homoseksualitas bukanlah fenomena yang baru ditemukan saat ini, namun telah dikenal sejak sebelum masa kehidupan modern. Dalam kisah – kisah beberapa agama besar dunia (Kristen dan Islam) yang telah ditulis ribuan tahun lalu, fenomena homoseksual sudah menjadi topik yang diperbincangkan dalam kitab – kitab suci. Dalam Al-Qur’an maupun Alkitab terdapat kisah Nabi Luth beserta umat homoseksual di kota Sadum (Sodom), dimana kaum homoseksual dianggap sebagai kaum terlaknat sehingga Tuhan kemudian menimpakan bencana kepada mereka karena tidak mau mengikuti seruan Nabi Luth untuk kembali pada “jalan yang benar” yaitu meninggalkan kehidupan homoseksual.
Nampaknya konstruksi homoseksual sebagai suatu perilaku menyimpang di dalam ajaran agama telah berpengaruh besar dalam membentuk konstruksi sosial budaya mengenai homoseksualitas. Sebagian besar masyarakat di dunia mengkategorikan homoseksualitas sebagai suatu kelainan seksual, bahkan ada yang menganggapnya sebagai perilaku seksual menyimpang. Oleh sebab itu eksistensi kaum homoseksual pada banyak masyarakat cenderung bersifat terselubung dan menjadi sub-kultur yang ekslusif, marginal dan terdiskriminasi. Kaum homoseksual merasa bahwa keberadaan mereka belum sepenuhnya dapat diterima di masyarakat sehingga tidak semua kaum homoseks berani terus terang dengan keadaaan mereka.
Istilah homoseks sendiri muncul pada tahun 1869 dalam bidang ilmu psikiatri di Eropa. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Karl-Maria Kertbeny dan menjadi populer ketika dipergunakan oleh Richard Freiherr von Krafft-Ebing dalam buku yang berjudul Psychopathia Sexualis (dalam https://id.wikipedia.org). Dalam buku tersebut penjelasan mengenai homoseksualitas mengacu pada fenomena psikoseksual yang berkonotasi klinis. Pada masa itu homoseksualitas dianggap sebagai satu bentuk kelainan jiwa (mental disorder). Oleh karena dianggap sebagai penyakit jiwa, maka para penderita homoseksual pada masa lalu diharuskan menjalani terapi penyembuhan agar memiliki orientasi seksual heteroseksual. Akan tetapi sejak tahun 1974, homoseksual kemudian dikeluarkan dari daftar gangguan mental dalam Digital and Statistical Manual of Mental Disorder, yaitu buku panduan untuk menganalisis gangguan mental yang dibuat American Psychiatric Association.
Dengan melihat sejarah panjang homoseksualitas tersebut, dapat dipahami bahwa fenomena homoseksualitas bukanlah suatu fenomena yang baru muncul di era modern, melainkan sudah dikenal lama dalam peradaban manusia. Fenomena homoseksual merupakan fenomena universal yang dapat kita temui di berbagai masyarakat. Kita bisa melihat misalnya, bahwa di antara 15 Kaisar Roma yang pertama, konon, 14 adalah homoseksual. Bahkan Michel Foucault, Alexander The Great dan Leonardo Da Vinci pun adalah homoseksual.
Begitu pula pada masyarakat di Indonesia, ternyata kita dapat menemukan fenomena homoseksualitas sejak masa lalu. Menurut Dede Oetomo, seperti dikutip dari bukunya Memberi Suara pada Yang Bisu (2001), bahwa banyak kebudayaan di Indonesia yang sebenarnnya telah melembagakan praktek – praktek homoseksualitas dalam praktek kebudayaannya. Hal ini dapat ditemukan misalnya dalam The Acehnese karya seorang antropolog ahli Aceh, C Snouck Hurgronye yang menyebutkan bahwa laki-laki Aceh pada masa itu sangat menggemari budak dari Nias. Budak-budak lelaki yang remaja tersebut, dalam posisinya sebagai penari (seudati). Dalam tarian Seudati yang dimainkan oleh laki – laki, beberapa diantara penarinya diambil dari remaja laki – laki yang berasal dari keluarga miskin di pedalaman. Tarian yang umumnya diperagakan 15-20 pria dewasa atau disebut dalem atau aduen ini, juga menyertakan seorang anak laki-laki kecil nan tampan. Sang anak, disebut sadati, didandani mirip perempuan. Mereka umumnya berasal dari Aceh pegunungan atau Nias. Anak-anak ini direkrut melalui “transaksi” antara dalem dan orangtuanya. Orangtua berharap anak mereka dipelihara dalem supaya memperoleh hidup layak.
Kisah erotisme tari Seudati tersebut juga dapat ditemukan dalam naskah kuno berjudul Hikayat Ranto, tulisan Leube Isa di Pidie (Gatra, 2003). Menurut Hikayat tersebut, tak satu pun perantau Aceh yang berkebun lada di Pidie bisa pulang dengan jiwa bersih. Rusaknya orang rantauan itu karena jauh dari anak-istri sehingga untuk mengusir sepi, mereka berjudi, mabuk, dan bercinta dengan anak muda.
Menurut Prof.Dr. T Ibrahim Alfian (dalam Gatra, 2003), apa yang dituturkan Snouck Hurgronje dan juga Hikayat Ranto memang realitas kehidupan Aceh di masa lalu. Fenomena homoseksual Aceh masa lampau itu, menurut Ibrahim Alfian, muncul karena ketatnya norma yang membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan lajang. Oleh karena ketatnya pembatasan relasi lelaki dan wanita, sehingga terkadang pelampiasan seksual tercurah pada sesama jenis.
Dalam tulisan Dede Oetomo (2001) disebutkan pula bahwa praktek homoseksual juga terjadi dalam kebudayaan masyarakat Makassar. Di sana ada seorang laki-laki yang disebut kawe dan diberi tugas menjaga pusaka dengan jabatan yang dinamai bissu. Seorang bissu mengenakan pakaian perempuan, dan berperilaku homoseks atau menjauhi kontak dengan perempuan, diduga demi sakralitas pusaka-pusaka yang dijaganya. Bissu menjadi orang yang cukup disegani di dalam masyarakat karena peran sosial dan ritualnya yang penting.
Sedangkan pada satu suku bangsa di Papua, terdapat tradisi untuk menyodomi anak laki – laki yang menginjak remaja sebagai proses inisiasi untuk menjadi dewasa. Untuk menjadi dewasa, dalam pandangan suku tersebut seorang anak laki – laki harus diberi cairan laki – laki (sperma) dari orang dewasa supaya ia dapat menjadi kuat dan gagah, dan proses pemberian cairan laki – laki tersebut dilakukan dengan cara menyodomi anak remaja tersebut.
HOMOSEKSUALITAS DALAM MASYARAKAT JAWA
Di dalam masyarakat Jawa, praktek homoseksualitas bukanlah sesuatu yang baru. Wacana – wacana homoseksualitas di Jawa telah muncul semenjak abad 19. Menurut Benedict Anderson (dalam Oetomo, 2001) yang pada pertengahan tahun 1964 pernah melakukan studi di Indonesia menemukan bahwa dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra Jawa abad ke-19, ternyata ditemukan cerita – cerita mengenai adegan seks antar lelaki. Kitab yang ditulis para pujangga kraton di masa Sunan Pakubuwono IV ini memuat adegan homoseksual secara gamblang.
Dalam salah satu bagian di Serat Centhini dibicarakan tentang bagaimana praktek homoseksualitas dilakukan oleh para tokoh cerita tersebut. Misalnya dalam kisah perjalanan Mas Cebolang. Ada satu adegan dalam buku panjang itu bagaimana Adipati Wirasaba melakukan hubungan seksual dengan Mas Cebolang alias Mas Ngali, seorang putra pertapa yang tengah mengembara di abad ke-17. Mas Cebolang digambarkan sebagai pemuda yang cantik, satuhu lamun binagus/lir lanyapan munggeng kelir/amung pasemone wadon (pemuda yang rupawan/bagaikan tokoh dalam wayang/dengan raut muka kewanita – wanitaan). Centhini menyebut hubungan seks itu dengan istilah jambu dan jinambu. Sang adipati pada akhirnya dikisahkan sebagai pihak yang kesakitan, tepatnya pada anus.
Homoseksualitas tidak hanya dikenal dalam wacana kesusastraan Jawa, namun juga terdapat dalam praktek kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini bisa kita lihat di Ponorogo, Jawa Timur dalam sebuah tradisi hubungan warok – gemblak. Keberadaan warok dan gemblak di Ponorogo tidak dapat dilepaskan dari kesenian rakyat yang disebut Reog yang telah menjadi trademark Kabupaten Ponorogo (Digdoyo, 2004). Kesenian ini diduga peninggalan tradisi Kerajaan Hindu Kediri yang berkuasa sekitar tahun 1045 hingga tahun 1222 Masehi. Karena itu pentas Reog tidak pernah lepas dari pakem cerita peperangan antara Kerajaan Bantar Angin dan Kediri.
Warok merupakan tokoh utama dalam pertunjukan reog. Warok dalam reog diterjemahkan sebagai sosok yang dikenal sebagai seseorang yang menguasai ilmu kesaktian (ngelmu) dalam pengertian kejawen, atau menguasai kepandaian beladiri dan kesaktian. Ia juga sering berperan sebagai pemimpin lokal informal dengan banyak pengikut. Dalam pentas, sosok warok lebih terlihat sebagai pengawal atau punggawa raja Klana Sewandana (bagi warok muda) atau sesepuh dan guru (bagi warok tua). Dalam pentas – pentas reog, sosok warok muda digambarkan tengah berlatih mengolah ilmu kanuragan, digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam. Sementara warok tua digambarkan sebagai pelatih atau pengawas warok muda yang digambarkan berbadan kurus, berjanggut putih panjang, dan berjalan dengan bantuan tongkat.
Kisah keberadaan warok tidak dapat dilepaskan dari legenda Warok Suromenggolo yang masyhur pada masa kerajaan Majapahit. Warok Suromenggolo, yang diperkirakan hidup pada permulaan Kerajaan Majapahit mengawali kisah mistis itu. Warok itu memiliki pusaka berupa kolor sakti yang dapat digunakan untuk membunuh lawan. Selain itu ia juga memiliki pusakayang lain, luyung bang, yang dapat digunakan untuk menghidupkan orang mati.
Dikisahkan, putri Warok Suromenggolo bernama Cempluk jatuh cinta pada Subroto, putra penguasa Trenggalek. Akan tetapi ternyata Subroto juga dicintai oleh putri seorang warok lain, Warok Surogentho yang bernama Suminten. Singkat cerita kedua warok tersebut akhirnya berperang tanding demi membela anak – anak mereka. Akhir pertarungan tersebut dimenangkan oleh Warok Suromenggolo, setelah ia berhasil membunuh Surogentho dengan cara menyabetkan kolor saktinya.
Kisah kolor sakti Suromenggolo telah melahirkan legenda kedigdayaan warok yang jadi kebanggaan masyarakat Ponorogo. Oleh sebab itu istilah “Warok” kemudian digunakan sebagai sebutan bagi orang yang dianggap sakti, digdaya dan memiliki kelebihan fisik maupun supranatural. Warok dicitrakan sebagai orang kuat yang disegani. Keberadaan warok kemudian menjadi tokoh sentral dalam kesenian reog, dan menjadi pemimpin sebuah kelompok reog yang beranggotakan 20 – 30 orang. Peranan warok ternyata tidak hanya di dalam pentas reog dan lingkup kelompok kesenian reog tersebut, namun juga memiliki peranan dalam kehidupan sosial masyarakat Ponorogo. Warok juga dianggap sebagai tokoh, sesepuh, dan pemimpin di masyarakat. Oleh sebab itu peranan warok tidak berbeda jauh dengan peranan tokoh masyarakat lain seperti kepala desa, guru, kyai atau tokoh masyarakat lainnya (Digdoyo, 2004)
Dalam kesenian reog, selain warok sebagai tokoh sentral, juga dikenal keberadaan tokoh pembarong yaitu orang yang membawa “barongan” serta gemblak atau remaja laki – laki berparas tampan yang menjadi pendamping warok. Relasi antara warok dan gemblak tersebutlah yang kemudian dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk relasi homoseksual yang telah melembaga dalam tradisi reog ponorogo.
Poerwowijoyo (dalam Fauzannafi, 2005:127) menjelaskan bahwa keberadaan gemblak dalam kelompok pertunjukan reog adalah sebagai peraga jaranan atau penari jathil, dan selalu diperankan oleh laki – laki remaja berparas tampan yang berusia antara 10 hingga 17 tahun. Lebih lanjut dijelaskan bahwa persyaratan penari jathil (gemblak) haruslah laki – laki karena seorang warok sesuai dengan ajaran perguruannya sangat dilarang kesengsem atau jatuh cinta dengan perempuan. Jika mereka jatuh cinta pada perempuan maka kekebalannya akan hilang, kulit menjadi empuk, tulang menjadi rapuh dan perut menjadi seperti gedebog pisang.
Keberadaan dan eksistensi relasi warok – gemblak tersebut cenderung dapat diterima oleh masyarakat lokal karena telah menjadi bagian dari tradisi setempat, dan sang warok meskipun diketahui memiliki hubungan gemblak tetap menjadi tokoh yang dihormati dan disegani oleh para anggota kelompoknya maupun oleh masyarakat di sekitarnya.
WAROK DAN GEMBLAK: SEBUAH RELASI HOMOSEKSUALITAS DI JAWA
Munculnya relasi warok – gemblak tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemunculan warok itu sendiri, dan bagaimana seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan untuk dapat ditahbiskan sebagai seorang warok. Di dalam kesenian reog ada dua macam warok, yaitu warok tua (sesepuh) dan warok muda. Warok tua dianggap sebagai pengayom dan pemimpin kelompok reog, serta berperanan sebagai guru yang akan mewariskan ilmunya kepada beberapa warok muda yang ada dalam kelompok tersebut. Sementara warok muda merupakan warok yang masih dalam proses menuntut ilmu kanuragan dari gurunya, yaitu warok tua.
Untuk menjadi warok muda, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Salah satu syaratnya adalah tubuh harus “bersih” karena akan “diisi” dengan kekuatan dan kesaktian. Oleh sebab itu calon warok harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak bersentuhan dengan perempuan. Jadi seandainya seorang warok telah memiliki istri, maka setelah ia memutuskan untuk menjadi warok sang istri tidak boleh lagi digauli secara seksual.
Setelah persyaratan diatas terpenuhi, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok. Persyaratan persyaratan di atas juga harus tetap dijalankan selama seseorang masih menjadi warok. Jika ada yang dilanggar, maka kesaktian sang warok akan hilang dengan sendirinya.
Dari segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok itulah kemudian muncul apa yang disebut dengan “gemblakan” (Aji; 2007). Gemblakan merupakan suatu upaya para warok untuk menyalurkan hasrat dan emosi seksualitasnya kepada sesama jenis, karena secara jelas warok dilarang berhubungan seksual dengan perempuan. Oleh sebab itu kemudian warok memiliki gemblak, yaitu anak laki-laki usia 12 – 17 tahun berparas tampan dan terawat yang dipeliharanya sebagai “klangenan”. Seorang gemblak memiliki peranan dalam pertunjukan reog, yaitu sebagai penari jathilan atau jaranan yang didandani menyerupai wanita. Namun selain peranan dalam pentas pertunjukan, peranan seorang gemblak juga akan berlanjut dalam kehidupan pribadi sang warok yang menjadi pengasuhnya.
Untuk mendapatkan seorang gemblak, warok harus melakukan pinangan sebagaimana halnya tradisi dalam perkawinan masyarakat Jawa untuk meminang istri. Seorang gemblak dipilih oleh warok berdasarkan ketampanan dan kebersihannya. Biasanya, sang warok meminang gemblak dengan mas kawin beberapa ekor sapi betina dan sebidang tanah. Setelah dipinang, gemblak yang artinya anak laki-laki pilihan akan dipenuhi segala kebutuhannya, dan diperlakukan seperti seorang “istri” selain istrinya yang asli.
Kesediaan seseorang untuk menjadi gemblak atau menyerahkan anaknya menjadi gemblak sebenarnya lebih didasari oleh motivasi ekonomi. Gemblak kebanyakan berasal dari kalangan keluarga yang kurang mampu, karena keluarga yang kurang mampu berharap mendapatkan penggantian materi atas kerelaaannya menyerahkan anak laki – lakinya sebagai gemblak kepada warok. Selain untuk kepentingan ekonomi keluarga, kesediaan menyerahkan anak menjadi gemblak juga sebagai upaya memberikan jaminan kehidupan dan kesejahteraan bagi anak tersebut karena segala keperluan hidupnya ditanggung oleh sang warok.
Dalam kehidupan warok, gemblak kemudian ikut tinggal di rumah warok. Gemblak selain menemani tidur warok juga bertugas untuk membersihkan rumah, menyiapkan makanan dan minuman, atau memelihara binatang peliharaan sang warok. Jika sang warok bepergian, gemblak biasanya selalu diajak serta karena dengan membawa gemblak dan diketahui banyak orang, hal tersebut merupakan sebuah kebanggaan bagi warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan adalah ciri khas dari relasi khusus antara warok dengan gemblaknya.
Kepemilikan seorang warok atas gemblak selain untuk menjaga kesaktian dan untuk kepentingan pentas reog, juga memiliki fungsi sebagai simbol status sosial. Semakin banyak gemblak yang dimiliki maka semakin tinggi pula status sosial atau prestise dan wibawa yang dimiliki oleh seorang warok. Oleh sebab itu seorang warok yang senior dan terkenal dapat memiliki gemblak hingga 5 – 6 orang.
Seorang gemblak secara alami seiring dengan proses menuju dewasa akan melepaskan diri sebagai seorang gemblak. Namun dapat pula terjadi seorang warok karena merasa telah bosan dengan gemblakannya kemudian memutuskan untuk mengembalikan gemblak kepada keluarganya meskipun masih berusia remaja. Setelah selesainya hubungan dengan gemblak tersebut, warok juga biasanya kemudian memberikan modal sebagai bekal kehidupan gemblaknya misalnya dengan memberikan seekor sapi.
PENUTUP
Fenomena hubungan warok – gemblak memang merupakan fenomena yang unik di dalam masyarakat Jawa. Meskipun hanya spesifik berada di wilayah Jawa Timur, lebih khusus lagi di Kabupaten Ponorogo dan tidak dapat mencerminkan satu kebudayaan dominan Jawa, namun setidaknya keberadaan fenomena warok – gemblak menunjukkan bahwa permasalahan seksualitas merupakan fenomena yang universal. Begitu pula keragaman bentuk dan relasi seksualitas merupakan fenomena yang dapat terjadi dimana saja, bahkan juga sangat mungkin ada di lingkungan kita sendiri.
Fenomena hubungan warok – gemblak meskipun tidak sesemarak pada masa – masa hingga pertengahan abad ke-20, masih dapat bertahan dalam tradisi masyarakat Ponorogo dan dapat diterima dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari peranan warok yang cukup menonjol dalam kehidupan sosial masyarakat setempat. Keberadaan warok sebagai orang yang dianggap memiliki kelebihan, kesaktian dan daya supranatural telah membentuk seorang warok menjadi sosok teladan dan kharismatis. Adapun relasi homoseksualitas yang dijalani warok, dalam kacamata masyarakat dianggap sebagai konsekuensi yang harus dijalani untuk mempertahankan kesaktian dan kelebihan warok, bukan semata– mata demi pelampiasan nafsu seksual.
Dinamika bentuk relasi warok dan gemblak saat ini juga telah banyak mengalami transformasi. Jika pada masa lalu hubungan tersebut banyak terjadi untuk kepentingan seksualitas fisikal, maka pada saat ini hubungan – hubungan yang masih bertahan lebih banyak didasari kepentingan psikis tanpa melibatkan relasi seksual secara fisik, misalnya sekedar menemani mengobrol atau menemani saat makan (Fauzannafi, 2005:129).
Jika dianalisis lebih lanjut dari ciri – ciri yang menandainya, relasi warok–gemblak dapat dikategorikan sebagai relasi yang bersifat patron-klien. Sebagaimana dikemukakan Scott dalam Ahimsa-Putra (2007), ada beberapa ciri hubungan patron klien yang bersifat khas yaitu: 1) terdapatnya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran dan kedudukan; 2) adanya sifat tatap muka (face to face character); dan 3) sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexybility).
Relasi patron-klien yang melandasi hubungan warok dan gemblaknya nampaknya memang menjadi pengikat yang membuat hubungan tersebut dapat berjalan dengan baik. Prinsip resiprositas dan saling membutuhkan dirasakan oleh warok yang merasa perlu menjaga kesaktian dan kewibawaan, serta juga memerlukan pelampiasan emosi seksualitasnya yang dikekang dalam koridor aturan untuk tidak boleh berhubungan dengan perempuan. Sementara gemblak beserta keluarganya memerlukan jaminan ekonomi dan penghidupan yang lebih baik yang akan diperoleh dari warok yang secara status sosial dan ekonomi berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan mereka.
Sebagai catatan terakhir, jika kita memahami fenomena warok–gemblak sebagai fenomena homoseksualitas, maka homoseksualitas yang terjadi dalam relasi tersebut merupakan homoseksualitas yang dikonstruksikan oleh konteks sosial – budaya yang ada, bukan semata – mata dorongan genetis ataupun psikis untuk menjadi homoseksual, karena pada kenyataannya banyak warok yang sebelumnya telah menikah dengan perempuan. Preferensi warok dan gemblak untuk menjadi homoseksual bukanlah semata karena orientasi seksual mereka mengarah pada orientasi homoseksual, namun lebih dikarenakan adanya “orientasi kebutuhan sosial dan rasional” untuk menyiasati pantangan berhubungan dengan perempuan, ataupun demi kepentingan ekonomi bagi gemblak. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dede Oetomo (2001) dimana ia mengatakan dalam pandangan sosio-konstruksionis, gender dan seksualitas merupakan konstruksi yang tidak selalu stabil atau terberi (given) melainkan dibentuk dan dirajut oleh masyarakat dalam konteks ruang dan waktu yang beraneka ragam.
DAFTAR RUJUKAN
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. Patron dan Klien di Sulawesi Selatan Sebuah Kajian Fungsional-Struktural. Yogyakarta: Kepel Press.
Aji, Kresno. 2007. Sisi Lain Kehidupan Warok. 19 Agustus. Dalam https://opensource.jawatengah.go.id
Digdoyo, Eko. 2004. Posisi dan Peranan Warok pada Masyarakat Ponorogo. Yogyakarta: Tesis S2 Antropologi Sekolah Pascasarjana UGM.
Fauzannafi, Muhammad Zamzam. 2005. Reog Ponorogo Menari di Antara Dominasi dan Keragaman. Yogyakarta: Keppel Press.
Majalah Gatra. 2003. Hikayat Kaum Pentol Korek. 4 Oktober. Dalam https://www.gatra.co.id.
Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Yogyakarta: Galang Press.
Purnawan, I. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pada Anak Jalanan di Stasiun Kereta Api Lempuyangan Jogjakarta. Yogyakarta: Skripsi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM.
Wikipedia Indonesia. 2010. Homoseksualitas. Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas.