BAB I
Pendahuluan
- Latar belakang masalah
Pulau jawa merupakan pulau terpadat di Indonesia, hampir 60% dari peduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Pulau Jawa tidak hanya ditempati oleh suku bangsa Jawa, namun juga suku bangsa Sunda dan berbagai suku bangsa lain yang bertransmigran ke Jawa. Sebagai penduduk terpadat, Jawa juga menjadi suku bangsa terbesar di Indonesia. Seperti halnya suku bangsa lain, suku bangsa Jawa juga memiliki banyak ritual adat yang mengikat anggotanya. Dalam setiap bentang wilayahnya suku bangsa Jawa dibagi atas daerah pesisiran dan daerah pedalaman. Derah pesisir terbagi atas pesisir wetan yang bentang wilayahnya dari semarang ketimur sampai Indramayu. Sedangkan pesisir timur membentang dari wilayah semarang ke timur sampai Bayuwangi. Sedangkn daerah pedalaman adalah daerah jauh dari pantai dan dekat dengan daerah keraton Jogjakarta dan Solo.
Kudus merupakan bentang wilayah Jawa yang masuk dalam pesisir wetan. Kudus adalah salah satu daerah kebudayaan Jawa yang terletak di daerah pesisir utara pulau Jawa di sebelah timur Semarang. Sebagai masyarakat pesisir masyarakat Kudus mudah dalam menerima hal-hal baru yang datang dan diakulturasi dengan budaya Kudus. Islam datang dimulai dari pesisirsehingga mengakibatkan banyaknya budaya masyarakat Kudus yang mendapat pengaruh Islam. Hal ini juga terjadi pada ritus pengsuhan bayi baru lahir yang dilakukan masyarkat suku bangsa Jawa di Kudus yang banyak bergeser dari unsur Kejawen yang merupakan agama asli suku bangsa Jawa.
Anak adalah sesuatau yang didambakan kehadirannya oleh setiap pasangan suami istri, bukan hanya pasangan suami istri namun juga kerabat dan masyarakat umun. Dalam masyarakat Jawa jika terdapat pasangan suami istri yang melahirkan seorang anak meraka akan berdatangan untuk menyambut sang bayi tersebut. Sebagai wujud kegembiraan masyarakat akan berbondong-bondong datang dan meramaikan rumah pasangan suami istri yang baru melahirkan sang bayi. Masyarakat Jawa biasa menyebutynya dengan jagongan,. Acara jagongan ini tidaklah sakral atau memiliki makna spritual tertentu, melainkan hanya sebagai wujud suka cita masyarakat atas kelahiran sang bayi sebagai pewaris kebudayaan.
Bayi dalam suku bangsa Jawa dianggap sebagai sosok yang masih suci, kosong, dan rentan akan gaodaan dan gangguan. Oleh karena itu perlu dilakukan beberapa ritual dan selamatan untuk sang bayi. Acara selametan dan ritual adat lainnya dilakukan untuk menjaga keselamtan sang bayi dari sosok jahat seperti roh halus dan sebagai harapandan do’a untuk kehidupan sang bayi kelak dewasa. Upacara selametan dan ritul-ritual ini telah dilakukan selama bayi masih berupa janin atau masih berada dalam kandungan ibu sampai beumur sekitar satu tahun. Dalam upacara selametan dan ritual bayi berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu yang pertama, untuk keselamatan dan kesehatan sang bayi. Yang kedua, sebagai harapan dan do’a kehidupan sang bayi kelak dewasa. Dalam upacara selamatan untuk keselamatan dan kesehatan sang bayi terdapat dua macam yaitu formal dan non formal. Uapaca selamatan Formal dilakukan dengan melibatkan orang banyak dan mengundang masyarakat yang dilakukan pada hari-hari tertentu seperti puputan. Sedangkan selamtan nonformal adalah kegiatan yang dilakukan tanpa harus melibatkan orang banyak dan dapat dilakukan kapan saja seperti memberikan jimat sebagai pelindung bayi.
Upacara yang kedua adalah sebagai harapan dan do’a-do’a untuk kehidupan sang bayi. Upacara ini dilakukan sebagai do’a dan harapan agar ketika dewasa memiliki kepribadian yang baik, berkarya, dan jalan kehidupannya selalu diberi kemudahan sesuai harapan orang tua. Ritual ini bisa digabungakan dengan upacara selamatan yang wujufdkan dalam bentuk simbol-simbol, bisa juga berdiri sendiri yang memang sengaja dilakukan seperti upacara tedhak sinten.
Dalam mayarakat Kudus terutama di desa Glagahwaru yang 100% penduduknya beragama Islam, upacara selametan dan ritual telah banyak dipengaruhi oleh budaya Islam, sehingga dalam setiap upacara selametan dan ritual adat akan berbau Islam ternasuk dalam upacara selametan bayi yang baru dilahirkan. Hampir setiap upacara selamatan yang dilakukan pada bayi yang baru lahir terdapat budaya Islam yang ikut serta didalamnya. Misalnya, dalam masyarakat desa Glagahwaru sebelum berbagai upacara adat dilakukan bayi yang baru lahir akan segera di Adzani oleh bapaknya. Masyarakat percaya bahwa bayi yang suci dan masih kosong harus diisi oleh hal-hal yang positif agar kelak dewasa menjadi anak yang baik. Budaya mengadzani bayi merupakan budaya islam yang dijadikan sebagai ajaran yang wajib dilakukan pada bayi dari setiap muslim.
- Rumusan masalah
- Bagaimana cara pengasuhan bayi baru lahir dalam ritus-ritus Jawa Islam di Kudus?
- Bagaimana makna dari setiap kegiatan pengasuhan bayi baru lahir dalam ritus-ritus Jawa Islam di Kudus?
- Bagaimana pengaruh Islam dalam pengasuhan bayi baru lahir dalam ritus-ritus Jawa Islam di Kudus?
- Tujuan
- Untuk mengetahui bagaimana cara dan pola pengasuhan bayi baru lahir dalam ritus-ritus Jawa Islam di Kudus
- Untuk mengetahui makna dari setiap kegiatan yang dilakukan dalam pengasuhan bayi baru lahit dala ritus-ritus Jawa Islam di Kudus
- Untuk mengetahui seberapa jauh Islam mempengaruhi budaya Jawa terutama pada pengasuhan bayi dalam ritus-ritus Jawa Islam di Kudus
- Manfaat
Manfaat penelitian ini untuk menggali nilai-nilai budaya yang ada dalam ritual adat Jawa Islam dalam pengasuhan bayi baru lahir pada masyarakat Kudus. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
- Penulis, dapat memperdalam wacana ritual adat Jawa terhadap bayi baru lahir yang ada dalam masyarakat Kudus, serta dapat ikut berapresiasi sebagai sarana untuk melestarikan budaya jawa.
- Pembaca dan peneliti lain, dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengeanai budaya Jawa khususnya pada ritual adat Jawa terhadap bayi baru lahir di Kudus yang mendapat pengaruh Islam. Selain itu bagi peneliti lain yang akan meneliti bidang ini dapat bermanfaat sebagai sumber referensi dan dapat memotivasi untuk mengemsbangkan konsep-konsep lain yang belum ditemukan dalam penelitian ini.
- Pembatasan Istilah
Penegasan istilah dimasudkan agar ada kesamaan pemahaman terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian “Pengasuhan Bayi Baru Lahir dalam Ritus-Ritus Jawa Islam di Kudus”. Istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
- Bayi baru lahir
Bayi dalam kamus besar bahasa Indonesia merupakan anak yang baru saja dilahirkan. Sedangkan menurut beberapa ahli, Bayi adalah seorang makhluk hidup yang belum lama lahir (Muchtar, 2002). Menurut Soetjiningsih (2004), bayi adalah usia 0 bulan hingga 1 tahun, dengan pembagian sebagai berikut: a.Masa neonatal, yaitu usia 0 – 28 hari 1)Masa neonatal dini, yaitu usia 0 – 7 hari 2)Masa neonatal lanjut, yaitu usia 8 – 28 hari b.Masa pasca neonatal, yaitu usia 29 hari – 1 tahun Bayi merupakan manusia yang baru lahir sampai umur 1 tahun, namun tidak ada batasan yang pasti. Pada masa ini manusia sangat lucu dan menggemaskan tetapi juga rentan terhadap penyakit dan kematian. Oleh karena itu pada masyarakat Jawa terdapat beberapa ritual khusus dalam pengasuhan bayi agar selamat dari beberapa kemungkinan.
Bayi yang dimaksud penulis adalah anak yang baru dilahirkan dalam rentan usia 0-1 tahun.
- Ritus-ritus Jawa Islam
Ritus atau ritual dapat diartikan sebagai tata cara dalam upacara keagamaan yang telah ditentukan yang telah menjadi kebiasaan. Sistem upacara itu sendiri adalah suatu bentuk reaktualisasi adanya sistem kepercayaan. Jadi ritus dengan kepercayaan dan agama tidak dapat dipisahkan, keduanya akan saling berdampingan. Sedangkan Jawa Islam adalah hasil dari asimilasi budaya Jawa dan Islam yang dipadukan. Jadi ritus Jawa Islam adalah tata upacara kegamaan dalam budaya Jawa Islam yang ditelah disepakati bersama oleh masyarakat.
Ritus yang dimaksudkan penulis adalah ritus yang dilakukan oleh masyarakat Undaan di Kabupaten Kudus yang merupakan hasil asimilasi budaya Jawa dan Ajaran Islam.
- Pengasuhan Bayi
Dalam KBBI Pengasuhan berasal dari kata asuh yang artinya membimbing, mendidik, dan merawat anak kecil suapca dapat mandiri. Pengasuhan adalah proses, cara mengasuh anak kecil untuk mendukung perkembangan fisik dan mental yang juga meliputi emosional, sosial, spiritual dan intelektual anak dari bayi hingga dewasa.
Pengasuhan bayi yang dimaksud peneliti adalah proses, cara mengasuh bayi untuk menjaga keselamatan bayi dari kemungkinan buruk yang mengarah pada penyakit dan bahkan kematian.
- Masyarakat Kudus
Masyarakat merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut sistem adat istiadat tertentu yang besifat kontinyu dan yang terkait oleh identitas bersama (Koentjaraningrat, 1990: 146). Masyarakat Kudus adalah sekelompok masyarakat yang tinggal di daerah Kudus dan menjalankan budaya-budaya Kudus serta memegang teguh kepercayaan tersebut. Disini penulis membatasi pada masyarakat Kudus di kecamatan undaan dan khussusnya di desa Glagahwaru.
BAB II
LANDASAN TEORI
- Landasan Teori
Untuk mengetahui makna dan cara pengasuhan bayi dalam ritus-ritus Jawa digunakan pendekatan teori yang berorientasi kepada upacara religi. Terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk mengkaji fenomena ini antara lain;
- Teori W. Robertson Smith tentang upacara bersaji. Terdapat tiga hal penting yang dikemukakan oleh Smith, yang pertama bahwa selain sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga merupakan suatu perwujudan dari religi atau agama. Hal yang menarik Smith adalah bahwa dalam banyak agama upacaranya itu tetap tetapi latar belakang, keyakinan, maksud, atau doktrinnya berubah. Gagasan kedua bahwa upacara religi atau agama yang biasanya dilakukan oleh masyarakat pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersamapsam memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Gagasan ketiga mengenai fungsi sesaji bahwa upacara bersaji sebagai upacara yang gembira dan meriah tetapi juga keramat, bukan sebagai upacara yang khidmat dan keramat (koentjaraningrat:67-68).
- Teori KT. Preusz tentang asas-asas religi. Preusz menyatakan bahwa pusat dari sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan kekuatan-kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan gaib. Dalam hal itu Preusz menganggap bahwa tindakan ilmu gaib dan tindakan religi itu hanya sebagai dua aspek dari satu tindakan dan menganggap bahwa upacara religi bersifat gaib. Menurut Preusz ritus atau upacara religi akan bersifat kosong tak bermakna apabila tingkah laku manusia didalamnya didasarkan pada akal rasional dan logika. Preusz juga berpendapat bahwa upcara religi dan tongkah laku akan mempengaruhi sistem keyakinan dan ajaran religi (Koentjaraningrat:69-70).
- Tinjauan Pustaka
Dalam buku Yana MH bab 14 yang berjudul “Pengasuhan Anak Sejak Lahir di Kalangan Masyarakat Jawa” menyatakan bahwa terdapat beberapa upacara selamtan yang dilakukan pada bayi yang baru lahir. Upacara pertama adalah Brokohan, Upacara brokohan merupakan upacara yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa untuk menyambut hadirnya warga baru dalam keluarga, yaitu si bayi sebagai ungkapan rasa syukur. Seluruh upacara kelahiran ini bertujuan agar sejak saat kelahiran sampai pertumbuhan masa bayi selalu mendapat karunia keselamatan dan perlindungan dari Tuhan. Unsur kata brokohan berasal dari kata bahasa Arab barokah yang mengandung makna: mengharapkan berkah. Upacara brokohan diselenggarakan pada sore hari setelah kelahiran anak dengan mengadakan selamatan atau kenduri yang dihadiri oleh dukun perempuan (dukun beranak), para kerabat, dan ibu-ibu tetangga terdekat. Setelah kenduri selesai, para hadirin segera membawa pulang sesajian yang telah didoakan. Biasanya sesajian sudah dikemas dalam besek, yaitu suatu wadah yang terbuat dari sayatan bambu.
Sesajian yang dipersiapkan pada upacara brokohan, antara lain: minuman dhawet, jangan menir, sekul ambeng: nasi dicampur lauk pauk jeroan, pecel dicampur lauk ayam matang, telur mentah, kembang setaman, kelapa, dan beras. Makanan yang telah matang tersebut dapat juga diganti dengan bahan makan yang belum diolah, misalnya bawang merah, bawang putih, lombok merah, lombok hijau, lombok rawit, gula jawa, sebungkusteh, sebungkus gula pasir, tempe mentah, garam, beras, minyak goreng, telur mentah, sepotong kelapa, dan penyedap rasa atau sesuai dengan kemampuan masing-masing (https://tembi.net/selft/0000/jawa/lahir.htm).
Ketika bayi berumur lima hari dilakukan selametan sepasaran, Sepasar merupakan satu rangkaian hari Jawa, yaitu Pon, Wage, Kliwon, Legi, Paing. Upacara sepasaran biasanya diselenggarakan secara sederhana. Upacara sepasaran dilakukan pada sore hari dengan melakukan kenduri yang disaksikan oleh keluarga dan tetangga terdekat. Kenduri atau sesajian selamatan kemudian dibawa pulang oleh yang menyaksikannya. Namun bagi golongan masyarakat tertentu, sepasaran dijadikan sebgai acara meriah yang diselenggarakan oleh keluarga untuk menyambut kehadiran bayi di tengah keluarga sekalaigus pemberian nama bagi sang bayi. Kemeriahan ini tergantung pada kemampuan masing-masing keluarga untuk menyelenggarakan pesta. Sesaji dalam selamatan sepasaran seperti dalam upacara brokohan, dalam sepasaran rambut bayi dipotong sedikit dengan guntung dan kemudian diberi nama (Yana:228).
Setelah bayi berusia 35 hari dilakukan acara selapanan, upacara selapanan didahului dengan upacara parasan. Parasan berasal dari kata paras yang berarti cukur. Parasan dilakukan pertama kali oleh ayah sang bayi kemudian para sesepuh. Setelah rambut tercukur bersih, dilakukan pengguntingan kuku. Selama pencukuran rambut dan pemotongan kuku, dukun mengucapkan mantra-mantra penolak bala dan membakar kemenyan. Cukuran rambut dan guntingan kuku dimasukkan ke dalam kendhil baru kemudian dibungkus dengan kain putih (mori), lalu dikubur di tempat penguburan ari-ari.
Upacara mencukur rambut dan menggunting kuku si bayi pada hakekatnya adalah perbuatan ritual yaitu semacam kurban menurut konsepsi kepercayaan lama dan kemudian setelah datangnya islam diganti dengan Aqiqah. Setelah pencukuran rambut dan pemotongan kuku selesai, diucapkanlah ujub disusul dengan doa keselamatan bagi sang bayi dan keluarga. Sebagian sesajian selamatan dibawa pulang oleh kerabat dan tetangga yang hadir. Dengan demikian, selesailah sudah upacara selapanan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Berfikir
Kerangka berfikir merupakan bagian yang memaparkan dimensi-dimensi kajian utama, faktor kunci dan hubungan-hubungan antar dimensi yang disusun dalam bentuk narasi dan grafis. Kerangka berfikir berikut menjelaskan bagaimana cara pengasuhan bayi dalam ritus Jawa Islam di Kudus sebagai suatu aktivitas yang penuh makna dalam filosofisnya yang diatur dalam adat budaya yang disepakati bersama.
Pengasuhan merupakan proses, cara, membingbing anak kecil dalam usaha pencapaian kemandirian anak tersebut. Dalam pengasuhan bayi yang masih sangat rentan akan keselamatnya, maka diperlukan beberapa kegiatan atau ritual untuk menjaga keselamatan bayi tersebut. Dari setiap kegiatan/ritus yang dilakukan masyarakat Kudus memiliki makna yang menarah pada keselamat sang bayi selain dalam aktivitas juga pada sesaji yang digunakan sebagai harapan dan do’a untuk sang bayi.
Dalam pengasuhan ini terdapat akulturasi bahkan asimilasi dua budaya yaitu Jawa dan Islam, Islam yang datang sebagai sebuah ajaran baru menyesuaikan dengan budaya yang lebih dulu ada yaitu kejawen. Islam tidak banyak mengubah kebudayaan kejawen sebagai keyakinan asli orang Jawa, Islam hanya sedikit memodifikasi ritual yang ada dengan memberikan pandangan lain yang pada intinya ditujukan pada Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Hingga sekarang ritual-ritual tersebut tetap dijalan oleh masyarakat Jawa di Kudus sebagai ajaran yang benar.
Pengasuhan Bayi Baru Lahir
|
Jawa |
Islam |
Ritus Jawa Islam |
Upacara religi sebagai inti doktrin agama |
Teori azas-azas religi Smith |
Foklor Jawa |
Upacara religi sebagai pengikat solidariras masyarakat |
Upacara religi sebagai upacara sakral dan gembira |
· Sesaji yang disipkan
· Waktu pelaksanaan · Pelaku yang terlibat |
Makna dan simbol |
Bagan 3.1 kerangka berfikir
3.2 Metode Penelitian
Penelitian dalam kajian Pengasuhan Bayi Baru Lahir dalam Ritus-ritus Jawa Islam di Kudus ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengn pendekatan observasi partisipatoris. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data monografi, wawancara, dan dokumentasi yang menggambarkan Pengasuhan Bayi dalam Ritus-ritus Jawa Islam di Kudus dengan melihat makna dalam fenomena sosial yang terjadi.
Pendekatan observasi partisipatoris merupakan pendekatan dengan mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang diucapkan, dan berpartisipasi aktif dalam aktivitas yang dilkukan objek kajian yang diteliti. Dengan observasi ini, peneliti dapat memahami konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, mendapatkan pengalaman langsung, melihat hal-hal yang kurang atau tidak diamati orang lain, menemukan hal-hal yang tidak akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara, menemukan hal-hal diluar persepsi responden, memperoleh kesan pribadi, dan merasakan suasana situasi sosial yang diteliti. Obyek penelitian dalam penelitian kualitatif yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas, space, obyek, act, event, time, goal, dan feeling. Semua informasi dapat didapat dengan detail dan menyeluruh hanya dengan satu metode.
Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber data dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini, data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak. Bagian-bagian dari observasi ini meliputi;
- Partisipasi pasif ialah peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut
- Partisipasi moderat ialah peneliti dalam mengumpulkan data ikut observasi partisipatif dalam beberapa kegiatan tetapi tidak semuanya (ada keseimbangan antara peneliti menjadi masyarakat dan menjadi peneliti)
- Partisipasi aktif ialah peneliti ikut melakukan apa yang dilakukan oleh narasumber tetapi belum sepenuhnya lengkap
- Partisipasi lengkap ialah peneliti sudah terlibat sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan sumber data. Dengan kata lain, pada observasi ini memerlukan suasana yang natural sehingga peneliti tidak terlihat melakukan penelitian. Observcasi ini memerlukan keterlibatan peneliti tertinggi terhadap aktivitas kehidupan yang diteliti.
3.3 Fokus Pemenilitian
Fokus penelitian ini adalah kegiatan pengasuhan bayi dalam ritus Jawa Islam yang ada di Kudus, perlengkapan yang digunakan dalam ritus dan makna yang terkandung ritus pengasuhan bayi tersebut. Indikator dalam penelian ini meliputi:
- Gambaran umum lokasi penelitian
- Gambaran umum mengenai pengasuhan bayi
- Kegiatan pengasuhan bayi dalam ritus Jawa Islam yang ada di Kudus
- Perlengkapan yang digunakan dalam ritus
- Makna yang terkandung ritus pengasuhan bayi tersebut.
3.4 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di desa glagahwaru kecamatan Undaan, kabupaten Kudus. Lokasi tersebut dipilih karena masyarakat desa tersebut percaya, meyakini dan masih melakukana kegiatan ritus-ritus dalam pengasuhan bayi. Masyarakat desa Glagahwaru 100% beragama Islam, sehingga dapat dilihat banyaknya pengaruh Islam dalam kegiatan ritus yang dilakukan. Hal ini akan memungkinkan peneliti untuk dapat memperoleh informasi yang lengkap dan sesuai.
3.5 Sumber Data Penelitian
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian kuantitatif ada dua yaitu: data primer, data sekunder.
- Data primer bersumber dari hasil pengamatan langsung dan wawancara. Peneliti menggunakan data primer untuk mendapatkan informasi langsung tentang ritus dalam pengasuhan bayi pada masyarakat Kudus dengan cara mengamati dan mengikuti kegiatan ritus yang dilakukan oleh masyarakat Kudus. Selain itu data primer diperoleh dari wawancara dengan tokoh masyarakat, pelaksana kegiatan, dan masyarakat yang ikut terlibat dalam kegiatan ritus tersebut. Data primer didukaung dengan mengambil gambar (dokumentasi) berbagai kegiatan dan kondisi masyarakat.
- Data sekunder digunakan untuk memperkuat dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara langsung. Data sekunder mencakup buku-buku yang relevan dengan topik penulisan, karya ilmiah, artikel, jurnal dan hasil penelitian yang berhubungan dengan ritus Jawa dalam pengasuhan bayi
3.6 Metode Pengumpulan Data
- Observasi langsung
Observasi langsung digunakan untuk memperoleh data yang lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui tingkat makna dari tingkat perilaku yang nampak (Sugiyono dalam Nurlaili:2010). Observasi dilakukan dengan cara datang dan tiggal didesa Glagah waru sebagai lokasi penelitian, kemudian mengamati kondisi sosial dan alam yang ada dalam masyarakat desa Glagahwaru yang terkait dengan kegiatan ritus pengasuhan bayi.
- Wawancara
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin mengetahui tentang suatu hal dari responden yang lebih mendalam. Teknik pengumpulan data dari wawancara didasarkan pada laporan diri sendiri sebagai peneliti. Wawancara ini dilakukan untuk memperleh data secara jelas dan konkrit tentang kegiatan ritus pengasuhan bayi yang dilakukan pada masyarakat desa Glagahwaru yang memengang teguh keyakinan Islam dan budaya Jawa dari leluhur mereka.
- Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwayang sudah berlaku baik berupa tulisan maupaun gambar. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara sehingga dat konkrit yang dihasilkan mengenai kasus yang diteliti lebih jelas dan lengkap. Dokumentasi dilakukan dengan mengambil gambar-gambar yang berkaitan dengan ritus pengasuhan bayi yang dilakukan masyarakat desa Glagahwaru kabupaten Kudus.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 2010. Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI Press
Soekamto, Soerjono. 2010. Pengantar Sosiologi. Jakarta: UI Perss
Yana, MH. 2012. Falsafah dan Pandangan Hidup Orng Jawa. Yogyakarta: bintang cemerlang
https://www.artikata.com/arti-348051-ritus.html
https://www.cakrawayu.org/artikel/8-i-wayan-sukarma/11-asas-asas-ritus-upacara-dan- religi.html
https://nananazril.blogspot.com/p/bayi-adalah-seorang-makhluk-hidup-yang.html
https://rosintaunesa.blogspot.com/2012/01/instrumen-dan-teknik-pengumpulan-data.html