Kota Makassar berada koordinat 119oBT dan 5,8o LS dengan ketinggian yang bervariasi antara 1 – 25 meter dari permukaan laut, merupakan daerah pantai yang datar dengan kemiringan 0 – 5o ke arah barat, diapit oleh dua muara sungai yaitu Sungai Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan Sungai Jeneberang yang bermuara di selatan kota. Luas wilayah kota Makassar kurang lebih 175,77 Km2 daratan dan termasuk 11 pulau di Selat Makassar ditambah luas wilayah perairan kurang lebih 100 Km2. Jumlah kecamatan di Kota Makassar sebanyak 15 kecamatan dan memiliki 143 kelurahan. Tujuh kecamatan berbatasan dengan pantai yaitu: Kecamatan Tamalate, Mariso, Wajio, Ujung Tanah, Tallo Tamalanrea dan Biringkanaya.
Kebudayaan Bugis-Makassar adalah kebudayaan dari suku bangsa Bugis Makassar yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan dari pulau Sulawesi. Dan jazirah itu sekarang merupakan propinsi Sulawesi selatan. Dimana penduduknya terdiri dari empat suku bangsa:
• Bugis (Kabupaten Engrekan merupakan daerah peralihan Bugis-Toraja dan penduduknya sering dinamakan orang Duri,dan mempunyai dialek khusus yaitu bahasa Duri).
• Makassar (penduduk kepulauan selayar, walaupun mengucapkan suatu dialek yang khusus biasanya masih juga dianggap sebagai orang Makassar).
• Toraja (ialah penduduk sulawesi tengah dimana sebagian mendiami propinsi Sulawesi Selatan, ialah wilayah dari kabupaten Tana Toraja dan Mamasa mereka biasanya disebut orang toraja sa’dan).
• Mandar (mendiami kabupaten Majene dan Mamuju,walaupun suku bangsa ini mempunyai bahasa yang khusus yaitu bahasa mandar, tetapi kebudayaan mereka tidak berbeda dengan orang Bugis-Makassar).
Bahasa, Tulisan, dan Kesusastraan
Orang Bugis menggunakan bahasa Ugi dan orang Makassar menggunakan bahasa Mangasara, kedua bahasa ini pernah diteliti oleh seorang ahli bahasa belanda B.F Matthes, dia mengumpulkan banyak naskah-naskah kesusastraan dalam bentuk lontar (buku kuno yang dibuat dari daun palm kering,yang di tulisi dengan goresan alat tajam dan di bubuhi dengan bubuk hitam). Huruf yang dipakai dalam naskah Bugis-Makassar kuno adalah aksara lontara yang berasal dari huruf sanskerta.

Naskah kuno yang di tulis di daun lontar sekarang sulit ditemui dan sekarang hanya ada tulisan yang ditulis di atas kertas yang ditulis dengan pena atau lidi ijuk. Buku terpenting dalam kesusastraan Bugis dan Makassar adalah buku Sure Galigo. Himpunan kesusastraan yang isinya berfungsi sebagai pedoman dan tata kelakuan seperti himpunan amanat-amanat dari nenek moyang, Himpunan kesusastraan yang mengandung bahan sejarah seperti silsislah raja-raja, Buku yang mengandung dongeng rakyat seperti roman, cerita lucu, dan sebagainya,.

Data-Data Demografis.
Luas seluruh Sulawesi selatan kira-kira adalah 100,457 km¬¬2 dan wilayahnya yang terdiri dari 23 kabupaten , 165 kecamatan, 1158 Desa gaya baru. Selain di propinsi Sulawesi selatan ada juga orang Bugis-Makassar yang tinggal di daerah itu. Pada abad ke-17 orang Makassar menguasai perairan Nusantara bagian Timur itulah sebabnya di Ternate, Maluku Barat, Sumbawa dan Flores Barat banyak orang Makassar sampai sekarang.
Bentuk Desa
Desa-desa di Sulawesi selatan sekarang merupakan kesatuan administratif, gabungan kampung-kampung lama,yang dinamakan desa-desa gaya baru biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami antara 10-200 rumah, rumah tersebut terletak berderet, menghadap keselatan atau ke barat. Jika terdapat sungai maka akan di usahakan agar rumah-rumah di bangun membelakangi sungai, pusat dari kampung lama merupakan tempat keramat(possi tana) dengan pohon waringan yang besar dan dengan satu rumah pemujaan atau saukang. Kecuali tempat keramat, tiap kampung selalu ada langgar dan masjidnya.
Kampung lama di pimpin oleh seorang matowa dengan kedua pembantunya yang di sebut sariang atau parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli di sebut wanua. Dan sekarang dalam struktur tata pemerintahan RI, wanua menjadi suatu kecamatan.
Rumah dalam kebudayaan Bugis-Makassar dibangun di atas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi yang khusus:
 Rakeang adalah bagian atas rumah dibawah atap, untuk menyimpan padi dan persediaan pangan,dan benda-benda pusaka.
 Ale-Bola adalah ruang-ruang dimana orang tinggal (ruang khusus untuk menerima tamu,untuk tidur, untuk dapur,dan untuk makan).
 Awaso adalah bagian dibawah lantai panggung di pakai untuk menyimpan alat pertanian dan untuk kandang,
Digolongkan menurut lapisan rumah dari penghuninya: a)sao-raja, rumah besar yang di diami oleh keluarga kaum bangsawan, mempunyai tangga dengan alas bertingkat dan dengan atap (sapana) dan mempunyai bubungan yang bersusun tiga.b)sao-piti,tanpa sapana dan mempunyai bubungan yang bersusun dua.c)Bola, merupakan rumah rakyat pada umumnya.
Semua rumah berbentuk adat,mempunyai satu panggung (tamping) yang merupakan tempat para tamu untuk menunggu sebelum di persilahkan oleh tuan rumah untuk masuk. Seorang ahli adat dalam membangun rumah terlebih dulu menentukan tanah tempat rumah itu akan di dirikan, dan biasanya diletakkan ramuan-ramuan seperti kepala kerbau dengan harapan dapat menolak petaka yang mungkin akan menimpa rumah tersebut.

Mata pencaharian hidup
Penduduk Sulawesi selatan pada umumnya adalah petani, dengan menanam padi yang bergiliran dengan palawijaya, dimana cara bercocok tanamnya masih tradisisonal. Adapun orang Bugis-Makassar yang tinggal di daerah pantai, mereka mencari ikan dengan menggunakan perahu layar. Mereka terkenal sebagai suku pelaut di Indonesia. Selain itu mereka juga banyak menangkap teripang,seekor binatang laut untuk di export ke cina. Adapun kerajinan rumah tangga yang khas dari Sulawesi selatan adalah tenunan sarung sutera dari mandar dan wajo dan tenunan sarung samarinda dari Bulukumba.
Sistem Kekerabatan
Adat Bugis-Makassar,perkawinan ideal: Assialang(antara saudara sepupu derajat kesatu baik dari fihak ayah ataupunibu, assialanna memang(saudara sepupu derajat kedua),ripaddeppe’ mabelae ialah perkawinan antara sudara sepupu derajat ketiga.
Perkawinan yang dilarang karena dianggap sumbang adalah: perkawinan antara anak dengan ibu atau ayah,antara saudara-saudara sekandung,antara menantu dan mertua,antara paman dan bibi dengan kemanakannya, antara kakek dan nenek dengan cucu.

Perkawinan yang dilangsungkan secara adat melalui:
1. Mapucce-pucce (bahasa Bugis) atau akkuisissing (bahasa Makasar): Kunjungan kepada keluarga si gadis untuk memeriksa kemungkinan apakah peminangan dapat dilakukan apa tidak.
2. Massuro (bahasa Bugis) atau assuro (bahasa Makasar): bila ada kemungkinan meminang ,maka dilakukan pembicaraan waktu pernikahan, jumlah mas kawin, dan belanja pernikahan.
3. Madappa (bahasa Bugis) atau ammuntuli (bahasa Makasar): Memberitahu kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan datang.
4. Pembawa persembahan (erang-erang) untuk pengantin wanita yang terdiri atas 12 gadis remaja (memakai baju bodo kuning) dikawal oleh keluarga pengantin pria dan bersiap menuju kerumah pengantin wanita.
5. Pabbajikang: mempertemukan kedua mempelai dalam satu sarung. Salah seorang yang dituakan membimbing kedua mempelai untuk menyentuh badan tertentu, misalnya ubun-ubun, pipi, atau bahu. Proses ini disebut Mappasikarawa.
6. Passompo: salah seorang anggota keluarga pengantin wanita yang termuda dipanggul.

Perkawinan yang tidak dilaksananakn menurut adat tersebut dinamakan silariangi (laki-laki membawa lari si gadis,hal ini biasanya terjadi karena pinangan dari fihak lakilaki di tolak, atau karena belanja perkawinan yang di tentukan oleh keluarga gadis terlalu tinggi.
Sistem kemasyarakatan
Menurut friedericy dulu ada tiga lapisan pokok, ialah:
1) Anakarung ialah lapisan kaum krabat raja-raja,
2) Tu-maradeka ialah lapisan orang merdeka yang merupakan sebagian besar dari rakyat Sulawesi selatan.
3) Ata ialah lapisan orang budak, ialah orang yang ditangkap dalam peperangan, orang yang tidak dapat membayar hutang, atau orang yang melanggar pantangan adat.

Stratifikasi sosial lama sekarang sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan, namun suatu stratifikasi sosial yang baru yang condong untuk berkembang atas dasar tinggi rendahnya pangkat dalam sistem birokrasi kepegawaian, atas dasar pendidikan sekolahan, belum juga berkembang dan mencapai wujud yang mantap.
Adat yang keramat dan Agama
Orang Bugis-Makassar yang terutama hidup di luar kota, dalam kehidupannya sehari-hari, masih banyak terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adatnya yang keramat dan sakral yang keseluruhannya mereka sebut panngaderreng. Sistem itu berdasarkan atas lima unsur pokok:
1. Ade’ pengawasan dan pembinaan ade’ dalam mayarakat orang bugis biasannya dilaksanakan oleh beberapa pejabat adat seperti: pakka-tenni ade’, puang ade’, pampawa ade’, dan parewa ade’.
2. Bicara adalah yang mengenai semua aktivitiet daan konsep-kesep yang bersangkut paut dengan peradilan,maka kurang lebih sama dengan hukum acara,dan sebagainya.
3. Rapang, menjaga kepastian dan kontinuiet dari suatu keputusan hukum tak-tertulis dalam masa lampau sampai sekarang, dengan membuat analogy antara kasus dari masa lampau dengan kasus yang sedang digarap.
4. Wari’ ,yang melakukan klasifikasi dari segala benda,peristiwa dan aktivitetnya dalam kehidupan masyarakat menurut kategori-kategorinya.
5. Sara’ mengandung pranata –pranata dan hukum islam dan yang melengkapkan keempat unsurnya menjadi lima.

Agama islam dapat dengan mudah diterima dengan kontak terus menerus dengan pedagang melayu Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan orang Bugis –Makassar ke negeri lain yang sudah beragama islam. Hukum islam diintegrasikan kedalam panngaderreng dan menjadi sara’ sebagai suatu unsur pokok darinya dan kemudian menjiwai keseluruhannya. Unsur-unsur kepercayaan lama seperti pemujaan dan upacara bersaji kepada ruh nenek moyang atau attoriolong,pemeliharaan tempat keramat atau saukung, upacara mendirikan dan meresmikan rumah, semuanya dijiwai oleh konsep-konsep dari agama islam.
AGAMA, kira-kira 90% dari penduduk Sulawesi selatan adalah pemeluk agama islam,sedangkan 10% memeluk agama Kristen protestan atau katolik. Umat Kristen atau katolik umumnya terdiri dari pendatang (orang Maluku, Minahasa, atau dari orang toraja). Kegiatan dakwah islam dilakukan oleh organisasi islam yang amat aktif seperti muhammadiyah, Darudda’wah wal irsjad, partai politik islam, dan ikatan mesjid dan Mushalla dengan pusat islamnya di ujung Pandang. Kegiatan-kegiatan dari missi katolik dan penyebar injil ada di Sulawesi Selatan.
Pendidikan
Didalam lingkungan masyarakat desa, sejak dahulu kala pondok-pondok mengaji Al-qur’an yang diselenggarakan oleh guru-guru mengaji, sudah mendapat kedudukan yang penting, dan sekarang diselenggarakan pesantren-pesantren baru yang di samping pelajaran mengaji dan pendidikan agama, juga pelajaran-pelajaran lain, seperti Madrasah Dirasah Islamiyah wa-Arabiah.
Selain pendidikan agama, juga diselenggarakan organisasi-organisasi Kristen Protestan dan katolik dalam sekolah-sekolah Teologia menengah, Seminari katolik dan sebagainya. Pendidikan Tinggi sudah ada di Makassar sejak zaman Kemerdekaan.
Masalah Pembangunan Dan Modernisasi
Hambatan yang disebabkan karena sikap mental kolot, pandangan curiga dan ragu-ragu terhadap pembaruan, masih ada dimana-mana. Dalam usaha mengintesifikasikan dan mengextensifikasikan pertanian menurut Repelita ke-1,pemberian contoh itu dinyatakan oleh stasion-stasion percobaan, kebun-kebun percobaan, sawah-sawah percobaan di daerah-daerah pertanian,yang secara langsung dapat dilihat oleh para petani sehingga mereka akan meniru cara-cara yang baru itu.
Potensi alam Sulawesi Selatan cocok untuk membangun sektor pembangunan sektor pertambangan dan industri. Adapun potensi yang paling besar bagi Sulawesi Selatan sebenarnya terletak dalam sektor pelayaran rakyat dan perikanan, karena merupakan usaha yang telah dijalankan sejak beberapa abad lamanya oleh Orang Bugis-Makassar.Hanya saja memodernisasikan perikanan jauh lebih rumit dan jauh membutuhkan banyak modal. Mereka mengerti bahwa untuk maju harus bekerja keras, harus bersifat hemat dan sebagainya.
Sistem Budaya
• I La Galigo Sistem budaya dan falsafah hidup orang Bugis tertera dalam karya sastra I La Galigo. Dalam naskah itu terdapat konsep tentang pertanian, maritim, lingkungan, redistribusi kapital, keamanan sosial, kehormatan, sampai hubungan suami-isteri, Mitologi ini mengandung nilai-nilai dan way of life orang Bugis, seperti keberanian, kejujuran, dan keteguhan. Budaya merantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan untuk kemerdekaan, yang dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih dengan jalan merantau.
• Peran pria dan wanita Dalam keluarga yang berperan dan bertindak sebagai kepala rumah tangga adalah seorang ayah, sedangkan isteri berperan sebagai ibu rumah tangga. Dilihat dari segi hak dan kewajiban, laki–laki dan perempuan dalam keluarga diatur berdasarkan garis bilinial, keduanya mempunyai hak dan kewajiban tertentu terhadap anaknya, baik dalam bidang harta maupun dalam bidang pendidikan dan pembinaan keagamaan.
• Konsep Siri’ Na Pacce dan Falsafah ‘Sipakatau’ Siri’ Na Pacce merupakan prinsip hidup. Siri’ dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang yang mau merendahkan harga dirinya, sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam penderitaan.
Pacce secara harfiah bermakna perasaan pedih dan perih yang dirasakan dan meresap ke dalam kalbu seseorang karena melihat penderitaan orang lain. Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan, rasa kemanusiaan, dan memberi motivasi pula untuk berusaha, sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya. Bagi orang Makassar, kalau bukan siri’, pacce-lah yang membuat mereka bersatu.

a. Falsafah Siri’ Ada berbagai pandangan tentang pengertian siri’ Ada ahli hukum adat yang mengatakan bahwa siri’ adalah suatu perasaan malu karena dilanggar norma adatnya. Ahli lain mengatakan bahwa siri’ merupakan pembalasan berupa kewajiban moral untuk membunuh fihak yang melanggar adatnya. Siri’ dapat dikategorikan dalam empat kategori, yaitu:
1. siri’ dalam hal pelanggaran susila (misalnya: kawin lari, perzinahan, perkosaan, dan incest)
2. siri’ yang berakibat kriminal (menempeleng orang, menghina dengan kata- kata kasar sehingga terjadi perkelahian)
3. siri’ yang dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja (melihat orang lain sukses lalu mengikuti jejaknya)
4. siri’ yang berarti malu-malu (sirik-sirik)

b.Falsafah ‘Sipakatau’ budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. hakikat kebudayaan Makassar sebenarnya bertitik sentral pada konsep mengenai ‘tau’ (manusia), yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya ‘sipakatau’ yang artinya saling memahami dan menghargai secara manusiawi.
Dengan pendekatan ‘sikapatau’ maka kehidupan orang Makassar dapat mencapai keharmonisan, dan memungkinkan kehidupan masyarakat berjalan secara wajar sesuai harkat dan martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial – turunan bangsawan dan rakyat jelata – tercairkan. Yang dinilai dari diri seseorang adalah kepribadiannya. Sikap budaya ‘sikapatau’ dijabarkan dalam konsepsi siri’ na pacce. ‘Sikapatau’ dalam kegiatan ekonomi sangat mencela adanya kegiatan yang selalu ‘annunggalengi’ (egois), atau memonopoli lapangan hidup yang terbuka.
Kultur Haji
Gelar haji yang diperoleh sesudah menunaikan ibadah haji dianggap sebagai prestise
yang menunjukkan status sosial. Dalam pernikahan faktor kehajian menjadi penentu uang panaik atau dui’menre’ (uang mahar) bagi mempelai wanita. Calon pengantin wanita yang sudah bergelar hajjah uang maharnya akan jauh lebih tinggi dibanding dengan yang belum hajjah. Sebaliknya, suatu kebanggaan bagi mempelai wanita apabila calon pengantin laki-laki sudah bergelar haji, dengan demikian bisa menjadi nilai tambah dalam menerima atau menolak sebuah lamaran. Setelah berhaji ada semacam ritual wisuda yang dinamakan mappatoppo’ haji, dengan penyematan songkok atau kopiah haji dan gamis panjang berwarna putih yang dilakukan oleh seorang syeikh atau ulama yang disegani.
Di jaman dahulu, orang Bugis-Makassar yang belum menunaikan ibadah haji akan malu dan segan menggunakan songkok putih karena akan dicibir masyarakat .Orang ini akan dikatakan sebagai haji palsu, atau diolok-olok sebagai haji taalltu’ (bahasa Bugis). Sebaliknya, orang yang sudah pernah naik haji terkadang tidak mau melepaskan songkok putihnya lagi apabila bersosialisasi dengan masyarakat di sekitarnya, supaya identitas kehajiannya tetap melekat. Untuk yang wanita, biasanya disimbolkan dengan kerudung di kepala yang dipuntir mengeilingi tepi rambut, dan dipasangi manik-manik atau hiasan emas atau perak.
Sistem Pengetahuan
 Sebagai nelayan, mereka sudah memiliki pengetahuan tentang perbintangan untuk menentukan arah, dan pengetahuan alam tentang arah angin
 Sebagai nelayan atau pelaut, mereka sudah memiliki pengetahuan bagaimana membuat perahu, bahannya, kayu apa yang harus dipergunakan dan sebagainya.
 Pengetahuan tentang kelautan, kapan mereka harus berangkat melaut atau kembali ke daratan.
 Mereka menggunakan perahu-perahu kecil untuk menunjang aktivitas mereka sehari-hari, antara lain:
 Panjala, perahu khas Bugis dengan panjang 8 meter dan lebar 2 meter
 Jolor, panjangnya 6 meter dan lebarya 1,5 meter
 Pinisi berasal dari perahu Padewakkang, perahu utama suku Bugis pada abad ke – Perahu jarak jauh Pinisi baru ada pada permulaan abad ke-19. Putera mahkota kerajaan Luwuk yang bernama Sawerigading, tokoh legendaris dalam Lontarak I La Galigo diyakini yang pertama kali menggunakan perahu yang berukuran besar.
Upacara Adat
Upacara adatnya antara lain:
1. Prosesi Madduik, menjaga kelestarian dan keutuhan rumah adat, diiringi dengan kesenian masyarakat karampuang seperti Mappadekko, Elong Poto, Buruda’ dan Sikkiri
2. Ma’Rimpa Salo (‘Menghalau ikan di sungai’) Manivestasi dari rasa syukur atas keberhasilan panen ikan dan panen padi
3. Ritual Palili, sebagai tanda mulai mengerjakan sawah
Kesenian
a. Makanan Khas:
 Cotto Makassar, terbuat dari isi perut dan daging sapi. Dihidangkan dengan ketupat
 Sup konro: daging sapi dengan kuah yang diberi keluwak. Dimakan dengan ketupat
 Es Pallu Butung: Pisang dipotong dimasak dengan santan, tepung , gula pasir, vanili dan sedikit garam. Disajikan dengan es serut dan sirop merah (sirop pisang Ambon).
 Barongko: makanan penutup yang dibuat dari pisang kepok, ditambah buah nangka dan kelapa muda, yang dibungkus dengan daun pisang dan dikukus.
b. Tarian
 Tari Gandrangbulo: berbentuk teater tradisional
 Tari Pakarena: menggambarkan kisah mistis perpisahan antara penghuni boting langi (kahyangan) dengan penghuni boting lino (bumi) pada jaman purba. Tari Patenun: menggambarkan cara menenun kain sutera
 Tari Paraga: dimainkan oleh anak-anak remaja untuk menunjukkan kepiawaiannya dalam memainkan bola yang terbuat dari rotan. Permainan ini juga untuk menarik perhatian gadis-gadis remaja.
c. Permainan tradisional
Seni menunggang kuda ala anak-anak (yang berumur antara 8-12 tahun). Permainan ketangkasan ini menujukkan cara berburu atau berperang dengan menunggang kuda.
d. Pakaian Tradisional
1) Pria
 Songko’ure cak: topi sebagai simbol status sosial
 Upa sa’be (sarung sa’be)
2) Wanita
• Baju bodo
• Lipa sa’be (Satrung sa’be), terbuat dari sutera
• Perhisan pada kepala, dan gelang
e. Senjata tradisional:
1) Badik Makassar: bilah pipih, battang (perut) buncil dan tajam, ujung runcing
2) Badik Bugis: bilah pipih , ujung runcing dan agak melebar.