Karawang tuan rumah Hari Aksara Internasional

Karawang tuan rumah Hari Aksara Internasional

Ilustrasi (ist)
Karawang (ANTARA News) – Direktur Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Kemdikbud, Erman Syamsudin mengatakan, peringatan Hari Aksara Internasional pada tahun ini diselenggarakan di Karawang, Jawa Barat, 22–24 Oktober.

“Karawang dipilih karena dianggap proaktif dalam memberantas buta aksara. Karawang juga memiliki kinerja yang baik dalam upaya memberantas buta huruf,” ujar Direktur Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Kemdikbud, Erman Syamsudin, di Karawang, Jumat.

Karawang berhasil membebaskan 117.000 orang dari buta huruf. Kemndikbud menganggap hal itu sebagai prestasi dan berharap daerah lain juga ikut serta dalam upaya pemberantasan buta aksara.

Pada puncak peringatan Hari Aksara Internasional akan dicanangkan “Gerakan Masyarakat Membaca” oleh Mendikbud, Anies Baswedan di hadapan warga belajar Pascakeaksaraan Dasar.

Selain itu, Mendikbud juga akan mencanangkan aplikasi Dapodik PAUD dan Dikmas.

Selain itu, akan hadir pula perwakilan UNESCO, Komisi X DPR, Eselon I dan II di lingkungan Kemendikbud, Bupati dan Wali Kota se-Jawa Barat, Kementerian/Lembaga terkait, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi se-Indonesia

dan Kepala UPT PAUD dan Dikmas se-Indonesia.

“Kegiatan yang biasa kami lakukan di Jakarta akan kami bawa ke Karawang, sehingga diperkirakan 2.000 orang akan hadir. Kami sudah menyiapkan segala sesuatunya,” jelas dia.

Hari Aksara Internasional (HAI) biasa diperingati setiap tanggal 8 September. Akan tetapi pada 2015, Kemdikbud menetapkan peringatan pada 22-24 Oktober 2015.

Sejumlah kegiatan juga diselenggarakan pameran Hari Aksara Internasional dan produk unggulan satuan pendidikan nonformal.

Selain itu, akan ada pula unjuk karya tulis warga belajar pascakeaksaraan dasar oleh 50.000 warga belajar di Kabupaten Karawang. Masih dalam rangkaian acara, juga akan digelar lokakarya peningkatan mutu layanan TBM untuk pemberdayaan masyarakat.

Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) pertama kali dilakukan pada 1966. Perayaan HAI dilandasi oleh semangat untuk memberantas buta aksara di seluruh dunia, karena itu HAI di peringati oleh setiap negara untuk mengingatkan pentingnya keaksaraan orang di seluruh dunia.

(Indriani) Editor: Desy Saputra COPYRIGHT © ANTARA 2015

MASALAH PENDIDIKAN DIPELOSOK INDONESIA

Masalah terkait Pendidikan dipelosok Indonesia

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau dan saat ini terdiri dari 34 provinsi. Dari beberapa profinsi memeiliki kabupaten dan 98 kota yang dibagi lagi menjadi kecamatan dan lagi menjadi kelurahan, desa, gampong, kampung, nagari, pekon yang telah diatur oleh UUD45. Semua rakyat Indonesia menyebar di setiap provinsi yang didalamnya wajib mendapat pendidikan.

Sekarang Pendidikan di indonesia di zaman yang sudah modern ini sudah semakin berkembang. mulai dari gedung sekolah yang sudah bertingkat sampai fasilitas yang serba modern. tapi bagaimana dengan keadaan pendidikan di pelosok negeri kita indonesia?apakah sama dengan pendidikan di kota kota besar?

Di daerah perkotaan, sebagian siswa siswa nya dengan mudah menempuh jarak sekolah dengan menggunakan alat transportasi yang serba mewah. siswa siswa disana tidak perlu mencari biaya untuk sekolah mereka, karena orang tua mereka sudah mapan untuk membiayai pendidikan anak anaknya. Walaupun pemerintah sudah mencanangkan sekolah gratis wajib belajar 9tahun namun pada kenyataannya masih banyak anak-anak di daerah pelosok yang belum menyentuh pendidikan formal.

Disamping itu masih banyak gedung sekolah yang tidak layak guna untuk. belajar di runag kelas yang memiliki atap berlubang dengan kayu-kayu yang sudah lapuk. Ditambah lagi kondisi dinding bangunan yang sudah retak. Seperti di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, juga ditemukan sekolah dengan kondisi memprihatinkan. Lihat saja ruang-ruang kelas di Sekolah Dasar Negeri Karang Tengah 02 Babakan Madang, Kabupaten Bogor, yang kondisinya rusak parah. Dinding terkelupas, atap rusak, dan lantainya hancur. Padahal, jaraknya hanya sekitar 60 kilometre dari Jakarta dan belum terjangkau program perbaikan dari pemerintah. Di lain tempat bahkan ada juga sekolah yang menggunakan bekas kandang hewan karena tidak adanya biaya bahkan perhatian dari pemerintah setempat untuk memperbaiki gedung sekolah menjadi lebih layak pakai. Dengan kondisi yang seperti itu apakah siswa-siswa ini bisa belajar dengan nyaman ? jawabannya pasti tidak, karena belajar di tempat seperti itu pasti akan merasa khawatir dengan keselamatan mereka dan juga mengganggu karena mungkin pasti tercium bau tidak enak dari kandang.

 

Image

 Gambar Ruang-ruang kelas di Sekolah Dasar Negeri Karang Tengah 02 Babakan Madang, Kabupaten Bogor.

Masalah lain yang masih menyangkut pendidikan di pelosok negeri yaitu banyak anak negeri yang tak bisa bersekolah hanya karena mahalnya biaya dalam mengakses pendidikan di sekolah.  Pemerintah seakan menutup mata terhadap kondisi pendidikan kita sekarang. Rakyat miskin yang tak dapat membayar biaya sekolah menjadi suatu hal yang biasa. Anak-anak yang seharusnya berada di sekolah, dengan terpaksa bekerja demi memenuhi kebetuhan hidupnya . Pun anak yang sekolah, tak lepas dari masalah tanggungan biaya yang harus dibayar untuk sekedar mendapatkan ilmu. Sekolah seakan menjadi barang mahal yang harus ditebus dengan uang untuk mendapatkannya. Seburuk itukah kondisi pendidikan kita ?

Pemerataan pendidikan dalam arti pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan telah lama menjadi masalah yang mendapat perhatian, terutama di negara-negara sedang berkembang. Pemerataan pendidikan mencakup dua aspek penting yaitu equality dan equity. Equality atau persamaan mengandung arti persamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, sedangkan equity bermakna keadilan dalam memperoleh kesempatan pendidikan yang sama diantara berbagai kelompok dalam masyarakat. Akses terhadap pendidikan yang merata berarti semua penduduk usia sekolah telah memperoleh kesempatan pendidikan, sementara itu akses terhadap pendidikan telah adil jika antar kelompok bisa menikmati pendidikan secara sama (Eka, R. 2007. Kondisi Pemerataan Pendidikan di Indonesia ).

Era global ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan industri, kompetisi dalam semua aspek kehidupan ekonomi, serta perubahan kebutuhan yang cepat didorong oleh kemajuan ilmu dan teknologi. Untuk memenuhi perkembangan ilmu dan teknologi, diperlukan SDM yang berkualitas. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan hingga ke pelosok negeri. Untuk mengatasi kebutuhan pendidikan bagi mereka adalah upaya penerapan cara non konvensional. Cara lain itu adalah memanfaatkan potensi, kemajuan serta keluwesan teknologi baru. Sekalipun teknologi baru seperti teknologi komunikasi, informasi dan adi-marga menawarkan pemerataan pendidikan dengan biaya yang relatif rendah (Ono Purbo, 1996), penggunaannya masih merupakan jurang pemisah antara ‘yang kaya’ dan ‘yang miskin’. Dalam melaksanakan cara tersebut harus dilakukan setransparan mungkin agar semua tujuan dari usaha pemerataan pendidikan hingga ke pelosok negeri tersampaikan dengan sebagaimana mestinya.

[hijriyatunshiva.wordpress.com]

Kurikulum 2013 dan PR Pendidikan Jokowi-JK

Suasana kegiatan belajar mengajar di kelas. (Foto: dok. Okezone)

JAKARTA – Kurikulum 2013 menjadi polemik di tengah masyarakat, khususnya kalangan pendidik di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK). Penerapan kurikulum 2013 secara serentak sejak tahun ajaran 2014/2015, dinilai masih kurang persiapan. Bahkan, sebagian siswa dan guru merasa kesulitan beradaptasi dalam proses pembelajaran.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang menjadi penanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia langsung mengambil langkah dengan membentuk tim review dan evaluasi kurikulum 2013. Hasilnya, Menteri Pendidikan dan Kebudyaan (Mendikbud), Anies Baswedan mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 159 Tahun 2014 tentang Evaluasi Kurikulum pada 14 Oktober 2014, atau tiga bulan setelah kurikulum 2013 dilaksanakan di seluruh Indonesia.

Anies kemudian membuat kebijakan represif; sekolah yang baru memberlakukan kurikulum 2013 kurang dari tiga semester disarankan kembali kepada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006. Sementara, 6.221 sekolah yang telah menjalankan kurikulum 2013 selama tiga semester diminta tetap menggunakan kurikulum tersebut. Ribuan sekolah itu juga akan dijadikan sebagai model dalam pelaksanaan kurikulum 2013 yang ideal bagi sekolah-sekolah lain.

Seiring dengan penerapannya yang dianggap kurang persiapan, instruksi baru tersebut juga dinilai banyak kalangan sebagai langkah yang tergesa-gesa. Bahkan, keputusan ini dikritik keras oleh Mendikbud di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Mohamad Nuh.

Ketika menerapkan kurikulum 2013 di 6.221 sekolah percontohan, Kemendikbud mengusung semangat pemerataan kualitas pendidikan. Dalam sebuah wawancara dengan Okezone, Nuh menyitir ketidakmerataan mutu kurikulum di sekolah perkotaan dan sekolah di pelosok.
“Saya nangis, lho, Mbak. Siswa di sekolah-sekolah yang bagus dan bayarnya puluhan juta mendapatkan pendidikan yang baik. Saya tidak rela jika siswa Indonesia di pelosok tidak dapat merasakan hal yang sama. Kasih mereka kesempatan. Jangan dimonopoli kebaikan ini hanya pada sekolah-sekolah mahal saja. Kasihan, anak-anak di pelosok ini sudah miskin, kurikulumnya juga miskin. Makanya, saya bismillah menerapkan kurikulum 2013, sehingga anak-anak di pedalaman dan di sekolah-sekolah instruksi presiden (inpres) bisa merasakan kurikulum yang baik juga,” papar Nuh.

(Iradhatie Wurinanda dalam Okezone News)

Mahasiswa Pendidikan Khawatirkan Masa Depan

JAKARTA, KOMPAS — Kuota penerimaan guru yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah lulusan sarjana pendidikan membuat mahasiswa program pendidikan khawatir. Kondisi ini menyebabkan peluang kerja dan masa depan mereka tidak terjamin.

Sejumlah guru  mengamati peragaan nitrogen cair pada lokakarya
Kompas/Gregorius Magnus FinessoSejumlah guru mengamati peragaan nitrogen cair pada lokakarya “Science Center sebagai Media Pembelajaran Sains di Sekolah” yang diselenggarakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi di Andrawina Convention Hall, Owabong Cottage, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Kamis (14/5). Beragam program pelatihan untuk guru diberikan untuk meningkatkan kemampuan guru dan kualitas pendidikan.

Saat ini, kuota penerimaan guru di Indonesia sekitar 40.000 per tahun. Jumlah itu tidak sebanding dengan lulusan sarjana pendidikan yang mencapai ratusan ribu setiap tahun. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadi pengangguran di kalangan sarjana pendidikan.

“Kalau perbandingan kuota penerimaan dan jumlah lulusan terlalu timpang, kami khawatir. Jangan sampai ketika lulus kuliah tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia,” ujar mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Muhammad Nurul Ikhsan (25), Rabu (17/6), di Jakarta.

Ikhsan mengatakan, pemerintah perlu segera mencari solusi untuk menyediakan lapangan kerja bagi sarjana pendidikan. Dia berharap agar persyaratan untuk menjadi guru dan penerimaan pegawai negeri sipil tidak dipersulit dan transparan.

Kekhawatiran serupa diutarakan Erwin (22), mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. Dia mengatakan, mahasiswa pendidikan butuh kepastian mengenai ketersediaan lowongan kerja ketika menyelesaikan kuliah.

“Sejak adanya program sertifikasi guru, banyak yang berminat menjadi guru. Namun, jika lapangan kerjanya terlalu sedikit, angka pengangguran akan semakin tinggi,” ujarnya.

Pengamat pendidikan Universitas Muhammadiyah Dr Hamka, Elin Driana, mengatakan, pemerintah perlu mendata ulang jumlah dan kebutuhan guru di Indonesia. Hal ini dibutuhkan untuk melihat peluang kerja mahasiswa program pendidikan pada masa mendatang.

“Wajar mahasiswa pendidikan khawatir dengan masa depannya. Untuk itu, perlu data akurat mengenai hal ini sehingga kita bisa mengetahui jumlah kebutuhan guru di Indonesia,” ujarnya.

Dia mengatakan, universitas ataupun sekolah tinggi yang membuka program pendidikan juga harus mencari solusi atas perbandingan kuota penerimaan guru dan jumlah lulusan sarjana pendidikan yang timpang. Salah satu caranya adalah dengan membekali keahlian lain kepada mahasiswa.

“Tujuan utama mahasiswa pendidikan pasti ingin menjadi guru. Namun, kampus perlu mencari alternatif lain, yaitu membekali keterampilan, seperti kemampuan komunikasi, berorganisasi, atau justru membuka usaha sehingga ketika kuota penerimaan guru minim, mereka tetap survive,” ujar Elin.

content

Distribusi guru

Elin mengatakan, salah satu persoalan serius dunia pendidikan di Indonesia adalah distribusi guru. Menurut dia, jumlah guru berlebihan di kota-kota besar, tetapi mengalami kekurangan di daerah-daerah terpencil.

“Pemerintah harus memberi perhatian serius pada masalah pemerataan pemenuhan kebutuhan guru. Penumpukan guru di daerah tertentu tidak efektif bagi program pendidikan nasional,” ujarnya.

Untuk menjadi guru, tidak cukup hanya berstatus sebagai sarjana pendidikan. Dibutuhkan keikutsertaan dalam program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) serta Pendidikan Profesi Guru (PPG). Program ini diharapkan mampu meningkatkan pelayanan guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan.

Namun, tidak semua mahasiswa program pendidikan mengetahui program tersebut. Ikhsan yang sudah memasuki semester VIII mengaku belum pernah mendengar program SM3T.

Dia mendukung program SM3T untuk menambah wawasan calon guru dengan mengajar di daerah-daerah terpencil. Namun, jika hal tersebut menjadi persyaratan pokok sebelum menjadi guru, program itu harus disosialisasikan lebih intensif.

“Saya yakin masih banyak yang belum mengetahui program itu,” ujarnya. Ikhsan mengatakan, saat kuliah, mahasiswa program pendidikan sudah dibekali dengan kemampuan untuk mengajar melalui program penelitian lapangan (PPL).

Sebelum mengajukan skripsi, mahasiswa pendidikan terlebih dahulu harus mengikuti PPL untuk mengajar ke sekolah selama enam bulan. Lokasi PPL dapat ditentukan oleh universitas ataupun usulan dari mahasiswa.

“Dalam perkuliahan, kami tak hanya diajarkan pengetahuan akademik, tetapi juga teknik mengajar yang baik dan cara memahami psikologis siswa,” ujarnya.

[https://print.kompas.com]

kelebihan dan kelemahan soal “pilihan ganda”

kelebihan
1. Mudah koreksinya
2. Waktu koreksi lebih cepat
3. Mengcover materi lebih luas
4. Mudah dianalisis

 5. Dapat menjangkau lebih banyak materi/ kompetensi yang akan diukur
6. Lebih efisien dalam menilai
7. Dapat mengkover materi yang lebih luas/dapat mencakup hampir seluruh SK, KD
8. Mudah dianalisis butir soalnya dengan software tertentu
9. Jawaban yang benar hanya satu
10. Siswa lebih mudah mengerjakan
11. Penyelesaian soal lebih sederhana
12. Mudah dibuat online
13. Soal dapat disusun bervariasi berdasarkan indikator yang sama
14. Bisa dijawab dalam waktu singkat

kelemahan

1. Membuat soal memerlukan waktu yang lama
2. Sulit membuat pengecoh
3. Lebih bersifat subjektif (siswa menjawab bersifat tebak-tebakan)
4. Tidak dapat mengetahui proses/langkah-langkah siswa dalam menyelesaikan soal
5. Memungkinkan jawab spekulasi
6. Memungkinkan adanya kebocoran yang mudah
7. Mudah ditebak jawabannya oleh siswa
8. Rawan bocor apabila hanya membuat 1 set soal untuk kelas parallel
9. Kesulitan menulis/membuat soal untuk analisis dan sintesis
10. Memerlukan banyak biaya karena membutuhkan kertas penggandaan yang lebih banyak
11. Hasil skor yang tinggi belum tentu dari kemampuan sebenarnya (betul jawaban karena kebetulan)

[https://animasipembelajaranpai.blogspot.co.id]

Penulisan Butir Soal Uraian

gambar: brechonana.blogspot.com
Pengertian Tes Uraian/Esai
Yang dimaksud dengan tes uraian dalam tulisan ini adalah butir coal yang mengandung pertanyaan atau togas yang jawaban atau pengerjaansoal tersebutharus dilakukandengan caramengekspresikan pikiran peserta tes. Ciri khas tes uraian ialah jawaban terhadap soal tersebut tidak disediakan oleh orang yang mengkonstruksi butir soal, tetapi hares dipasok oleh peserta tes. Jadi yang terutama membedakan tipe soal objektif dan tipe soal uraian adalah siapa yang menyediakan jawaban atau alternatif jawaban terhadapsoal atau togas yangdiberikan. Butir coal tipe uraian atau dalam bahasa Inggrisnya dinamakan “essay test” hanya terdiri dari pertanyaan atau togas (kadangkadang juga hares disertai dengan beberapa ketentuan dalam menjawab atau mengerjakan soal tersebut), dan jawaban sepenuhnya hares dipasok oleh peserta tes. Peserta tes bebas untuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Setup peserta tes dapat memilih, menghubungkan, dan menyampaikan gagasannya dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Dengan pengertian di atas maka segera akan kelihatan bahwa pemberian skor terhadap jawaban soal tidak mungkin dilakukan secara objektif.

Kekuatan tes uraian/esai
Soal tipe uraian mempunyai beberapa kelebihan yang tidak dapat atau sukar diperoleh melalui penggunaan tipe butir coal lain. Kelebihan itu antara lain:
a. Tes uraian dapat digunakan dengan baik untuk mengukur hash belajar yang kompleks. Pada umumnya hash belajar bersifat kompleks. Tetapi sebagian besar dari hash belajar yang kompleks dapat dirinci menjadi beberapa hash belajar yang lebih sederhana.

Rincian basil belajar yang sederhana itu secara terbatas dapat berdiri sendiri, dan secara bersama-sama beberapa basil belajar sederhana itu akan membentuk basil belajar yang kompleks. Pengukuranhasil belajarYang seperti ini ddakmenuntutpenggunaan tes tipe uraian. Misalnya, bila hash belajaryang akan diukurberupa pemahaman dari suatu prinsip yang kompleks. Pemahaman seperti itu selalu dapat diuraikan menjadi bagian-bagian yang sederhana. Tetapi ada pula beberapa hash belajar lain yang sifatnya kompleks dan bila dirinci menjadi basil belajar yang lebih sederhana dapat kehilangan arti globalnya, sebab hubungan antara komponen hasil belajar yang satu dengan yang lain sangat erat, misalnya basil yang bersifat ekspresif atau kreatif. Hasil belajar yang seperti in

PAN & PAP dalam Evaluasi Pembelajaran

gambar: destyalampard.wordpress.com

Pendekatan penilaian bersangkut paut dengan penggunaan standar penilaian dalam mengolah hasil penilaian.[1] Yaitu :

  1. Penilaian Acuan Norma (PAN)

PAN adalah membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan standar atau norma relatif.[2] Karena apabila seorang siswa yang terjun ke kelompok A termasuk “Hebat”, mungkin jika pindah ke kelompok lainnya hanya menduduki kualitas “Sedang saja”.[3] PAN digunakan untuk menafsirkan hasil tes sumatif. Dalam PAN, makna angka (skor) seorang peserta didik ditemukan dengan cara membandingkan hasil belajarnya dengan hasil belajar peserta didik lainnya dalam satu kelompok/kelas. Peserta didik dikelompokkan berdasarkan jenjang hasil belajar sehingga dapat diketahui kedudukan relatif seorang peserta didik dibandingkan dengan teman sekelasnya. Tujuan PAN adalah untuk membedakan peserta didik atas kelompok-kelompok tingkat kemampuan, mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi. Secara ideal, pendistribusian tingkat kemampuan dalam satu kelompok menggambarkan suatu kurva normal.

Pada umumnya, PAN dipergunakan untuk seleksi. Soal tes dalam pendekatan ini dikembangkan dari bagian bahan yang dianggap oleh guru urgen sebagai sampel dari bahan yang telah disampaikan. Guru berwenang untuk menentukan bagian mana yang lebih urgen. Untuk itu, guru harus dapat membatasi jumlah soal yang diperlukan, karena tidak semua materi yang disampaikan kepada peserta didik dapat dimunculkan soal-soalnya secara lengkap. Soal-soal harus dibuat dengan tingkat kesukaran yang bervariasi, mulai dari yang mudah sampai dengan yang sukar sehingga memberikan kemungkinan jawaban peserta didik bervariasi, soal dapat menyebar, dan dapat membandingkan peserta didik yang satu dengan lainnya.

Peringkat dan klasifikasi anak yang didasarkan PAN lebih banyak mendorong kompetisi daripada membangun semangat kerja sama. Lagi pula tidak menolong sebagian besar peserta didik yang mengalami kegagalan. Dengan kata lain, keberhasilan peserta didik hanya ditentukan oleh kelompoknya. PAN biasanya digunakan pada akhir unit pembelajaran untuk menentukan tingkat hasil belajar peserta didik. Pedoman konversi yang digunakan dalam pendekatan PAN sama dengan pendekatan PAP. Perbedaannya hanya terletak dalam menghitung rata-rata dan simpangan baku. Dalam pendekatan PAN, rata-rata dan simpangan baku dihitung dengan rumus statistik sesuai dengan skor mentah yang diperoleh peserta didik.[4]

Contoh :

Dari HASIL TES 20 SISWA

  • Skor 45 = 2 orang
  • Skor 40 = 3 orang
  • Skor 35 = 7 orang
  • Skor 30 = 6 orang
  • Skor 20 = 2 orang
Nilai ( x ) Frekuensi

( f )

x.f µ² f. µ²
45

40

35

30

20

2

3

7

6

2

90

120

245

180

40

11,25

6,25

1,25

-3,75

-13,75

126,562

39,062

1,562

14,062

189,062

253,124

117,186

10,934

84,372

378,124

Jumlah N= 20 675 843,74

Mean = = = 33,75

SD= = = = 6,495

Nilai Skor Minimal
10 M + ( 2,25 x SD )        = 33,75 + ( 2,25 x 1,086 )       = 36,195
9 M + ( 1,75 x SD          = 33,75 + ( 1,75 x 1,086 )      = 35,650
8 M + ( 1,25 x SD )        = 33,75 + ( 1,25 x 1,086 )      = 35,107
7 M + (0,75 x SD )         = 33,75 + ( 0,75 x 1,086 )      = 34,564
6 M + ( 0,25 x SD )        = 33,75 + ( 0,25 x 1,086 )      = 34,021
5 M – ( 0,25 x SD )         = 33,75 –   (0,25 x 1,086)        = 33,478
4 M – ( 0,75 x SD )         = 33,75 –   (0,75 x 1,086 )       = 32,935
3 M – ( 1,25 x SD )        = 33,75 – (1,25 x 1,086 )       = 32,392
2 M – ( 1,75 x SD )         = 33,75 –   (1,75 x 1,086 )       = 31,849
1 M – ( 2,25 x SD )         = 33,75 –   (2,25 x 1,086 )       = 31,306
  1. Penilaian Acuan Patokan (PAP)

PAP adalah membandingkan skor yang diperoleh peserta didik dengan suatu standar atau norma absolut.[5] PAP pada umumnya digunakan untuk menafsirkan hasil tes formatif. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada apa yang dapat dilakukan oleh peserta didik. Dengan kata lain, kemampuan-kemampuan apa yang telah dicapai oleh peserta didik sesudah menyelesaikan satu bagian kecil dari suatu keseluruhan program. Jadi, PAP meneliti apa yang dapat dikerjakan oleh peserta didik dan bukan membandingkan seorang peserta didik dengan teman sekelasnya, melainkan dengan suatu kriteria atau patokan yang spesifik. Kriteria yang dimaksud adalah suatu tingkat pengalaman belajar atau sejumlah kompetensi dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu sebelum kegiatan belajar berlangsung. Misalnya, kriteria yang digunakan 75% atau 80%. Bagi peserta didik yang kemampuannya dibawah kriteria yang telah ditetapkan dinyatakan tidak berhasil dan harus mendapatkan remedial.

Tujuan PAP adalah untuk mengukur secara pasti tujuan atau kompetensi yang ditetapkan sebagai kriteria keberhasilannya. PAP sangat bermanfaat dalam upaya meningkatkan kualitas hasil belajar sebab peserta didik diusahakan untuk mencapai standar yang telah ditentukan, dan hasil belajar peserta didik dapat diketahui derajat pencapaiannya. Untuk menentukan batas lulus (passing grade) dengan pendekatan ini, setiap skor peserta didik dibandingkan dengan skor ideal yang mungkin dicapai oleh peserta didik.[6]

Contoh :

Seorang guru merencanakan tes hasil belajar dalam bidang studi Fiqh. Soal-soal yang dikeluarkan dalam tes tersebut terdiri atas 75 butir soal tes obyektif dan 1 butir soal tes uraian dengan rincian sbb :

Nomor Butir Soal Bentuk Tes/Model Soal Jumlah Butir Soal Bobot Jawaban Betul Skor
01-10 Tes Obyektif bentuk True-False 10 1 10
11-20 Tes Obyektif bentuk Matching 10 1 10
21-30 Tes Obyektif bentuk Completion 10 1 10
31-40 Tes Obyektif bentuk MCI model melengkapi lima pilihan 10 1 10
41-50 Tes Obyektif bentuk MCI model melengkapi berganda 10 1 ½ 15
51-60 Tes Obyektif bentuk MCI model asosiasi dengan lima pilihan 10 1 ½ 15
61-70 Tes Obyektif bentuk MCI model analisis hubungan antarhal 10 2 20
71-75 Tes Obyektif bentuk MCI model analisis kasus 5 4 20
76 Tes Uraian 1 10 10
Skor Maksimum Ideal 120

Berdasarkan rincian butir-butir soal diatas tersebut dapat diketahui bahwa Skor Maksimum Ideal (SMI) dari tes hasil belajar tersebut adalah = 120. Kemudian Skor-skor mentah hasil THB bidang studi Fiqh yang dicapai oleh 20 orang siswa setelah diubah (dikonversi) menjadi nilai standar dengan menggunakan standar mutlak (penilaian beracuan kriterium).

Dengan menggunakan Rumus : Nilai = Skor Mentah/Skor Maksimum Ideal X 100

No. Skor Mentah Nilai
1. 60 60/120 X 100 = 50
2. 40 40/120 X 100 = 33
3. 80 80/120 X 100 = 67
4. 30 30/120 X 100 = 25
5. 75 75/120 X = 62
6. 52 52/120 X 100 = 43
7. 59 59/120 X 100 = 49
8. 71 71/120 X 100 = 59
9. 41 41/120 X 100 = 34
10. 58 58/120 X 100 = 48
11. 61 61/120 X 100 = 51
12. 56 56/120 X 100 = 47
13. 53 53/120 X 100 = 44
14. 63 63/120 X 100 = 52
15. 85 785/120 X 100 = 71
16. 54 54/120 X 100 = 45
17. 60 60/120 X 100 = 50
18. 49 49/120 X 100 = 41
19. 55 55/120 X 100 = 46
20. 43 43/120 X 100 = 36

Dari nilai-nilai yang telah diperoleh, maka jika diterjemahkan menjadi nilai huruf dengan patokan adalah :

Rentang Skor Nilai

Nilai 80% s.d. 100% = A

Nilai 70% s.d. 79% = B

Nilai 60% s.d. 69% = C

Nilai 45% s.d. 59% = D

Nilai < 44% E / Tidak lulus

Maka dari 20 orang siswa yang mengikuti tes hasil belajar tersebut tidak ada seorang pun yang mendapat nilai A, yang mendapat nilai B hanya 1 orang (%), Nilai C dicapai oleh 2 orang siswa (2,5 %), Nilai D ada 5 orang siswa (%) dan siswa yang tidak lulus pada tes bidang studi Fiqh ini ada 7 orang siswa (%).[7]

Rahmadanni Pohan]

 

Standar Kompetensi (SK), Kompetensi Dasar (KD), dan Indikator

  1. Pengertian Standar Kompetensi

Standar Kompetensi mata pelajaran adalah deskripsi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai setelah siswa mempelajari mata pelajaran tertentu pada jenjang pendidikan tertentu pula.[1] Menurut Abdul Majid Standar kompetensi merupakan kerangka yang menjelaskan dasar pengembangan program pembelajaran yang terstruktur.[2] Pada setiap mata pelajaran, standar kompetensi sudah ditentukan oleh para pengembang kurikulum, yang dapat kita lihat dari standar isi. Jika sekolah memandang perlu mengembangkan mata pelajaran tertentu misalnya pengembangan kurikulum muatan local, maka perlu dirumuskan standar kompetensinya sesuai dengan nama mata pelajaran dalam muatan local tersebut,[3]

2. Pengertian Kompetensi Dasar

Kompetensi Dasar adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap minimal yang harus dicapai oleh siswa untuk menunjukkan bahwa siswa telah menguasai standar kompetensi yang telah ditetapkan, oleh karena itulah maka kompetensi dasar merupakan penjabaran dari standar kompetensi.[4]

  1. Pengertian indikator

Indikator merupakan penanda pencapaian KD yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi.

Menurut Depag indikator adalah wujud dari kompetensi dasar yang lebih spesifik. Sedangkan menurut E Mulyasa indikator merupakan penjabaran dari kompetensi dasar yang menunjukkan tanda-tanda perbuatan dan respon yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik. Indicator juga dikembangkan sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan potensi daerah dan peserta didik dan juga dirumuskan dalam rapat kerja operasional yang dapat diukur dan diobservasi sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penyusunan alat penilaian.

Sedangkan menurut Darwin Syah indikator pembelajaran adalah karakteristik, cirri-ciri, tanda-tanda perbuatan atau respon yang dilakuakan oleh siswa, untuk menunjukkan bahwa siswa telah memiliki kompetensi dasar tertentu.

Jadi indikator adalah merupakan kompetensi dasar secara spesifisik yang dapat dijadikan untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran dan juga dijadikan tolak ukur sejauh mana penguasaan siswa terhadap suatu pokok bahasan atau mata pelajaran tertentu

 

  1. B.     Langkah-langkah penyusunan Kompetensi Dasar dan indicator
    1. Langah-langkah Penyusunan Kompetensi Dasar

Adapun dalam mengkaji Kompetensi dasar mata pelajaran sebagaimana yang tercantum pada standar isi dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Urutan berdasarkan hierarki konsep disiplin ilmu dan/ atau tingkat kesulitan materi, tidak harus selalu sesuai dengan urutan yang ada distandar isi.
  2. Keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran.
  3. Pada dasarnya rumusan kompetensi dasar itu ada yang operasional maupun yang tidak operasional karena setiap kata kerja tindakan yang berada pada kelompok pemahaman dan juga pengetahuan yang tidak bisa digunakan untuk rumusan kompetensi dasar. Sehinggah langkah-langkah untuk menyusun kompetensi dasar adalah sebagai berikut:

1)         Menjabarkan Kompetensi yang dimaksud, dengan bertanya : “kemampuan apa saja yang harus dimiliki siswa agar standar kompetensi dapat dicapai?” jawaban dari pertanyaan tersebut kemudian didaftar baik yang menyangkut pengetahuan, sikap dan keterampilan.

2)         Tulislah rumusan Kompetensi Dasarnya.

  1. Langkah-langkah penyusunan Indikator

Sebelum melakukan penyusunan indicator, maka harus diperhatikan terlebih dahulu komponen-komponen sebagai berikut :[5]

  1. Indikator merupakan penjabaran dari KD yang menunjukkan tanda-tanda, perbuatan atau respon yang dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik.
  2. Rumusan indicator menggunakan kerja operasional yang terukur atau dapat diobservasi
  3. Indikator digunakan sebagai bahan dasar untuk menyusun alat penilaian.

Kata-kata Operasional yang Dijabarkan Dalam Membuat Indikator:

  1. Kognitif Meliputi:

1)      Knowledge (pengetahuan) yaitu, menyebutkan, menuliskan, menyatakan, mengurutkan, mengidentifikasi, mendefinisikan, mencocokkan, memberi nama, memberi leber, dan melukiskan.

2)      Comprehension (pemahaman) yaitu, menerjemahkan, mengubah, menggeneralisasikan, menguraikan, menuliskan kembali, merangkum, membedakan, mempertahankan, menyimpulkan, mengemukakan pendapat, dan menjelaskan.

3)      Application (penerapan) yaitu, mengoperasikan, menghasilkan, mengatasi, mengubah, menggunakan, menunjukkan, mempersiapkan, dan menghitung. Analysisi (analisis) yaitu, menguraikan, membagi-bagi, memilih dan membedakan.

4)      Syntnesis (sintesisi) yaitu, merancang, merumuskan, mengorganisasikan, menerapkan, memadukan, dan merencanakan.

5)      Evaluation (evaluasi) yaitu, mengkritisi, menafsirkan dan memberikan evaluasi.

  1. Efektif meliputi:

1)      Receiving (penerimaan) yaitu mempercayai, memilih, mengikuti, bertanya, dan mengalokasikan.

2)      Responding (menanggapi) yaitu, konfirmasi, menjawab, membaca, membantu, melaksanakan, melaporkan, dan menampilkan.

3)      Valuing (penanaman nilai) yaitu, menginisiasi, mengundang, melibatkan, mengusulkan, dan melakukan.

4)      Organization (pengorganisasian) yaitu, menverivikasi, menyusun, menyatukan, menghubungkan dan mempengaruhi.

5)      Characterization (karakterisasi) yaitu menggunakan nilai-nilai sebagai pandangan hidup, mempertahankan nilai-nilai yang sudah diyakini.

  1. Psikomotorik atau gerak jiwa meliputi:

1)      Observing (pengamatan) yaitu mengamati proses, memperhatikan pada tahap-tahap sebuah perbuatan, memberi perhatian pada sebuah artikulasi.

2)      Initation (peniruan) yaitu melatih, mengubah, membongkar sebuah struktur, membangun kembali struktur dan menggunakan sebuah model.

3)      Practicing (pembiasaan) yaitu membiasakan perilaku yang sudah dibentuknya, mengontrol kebiasaan agar tetap konsisten.

4)      Adapting (penyesuaian) yaitu menyesuaikan model, mengembangkan model, dan menerapkan model. [6]

Berikut ini urutan cara penyusunan Indikator :

1)      Mengkaji KD tersebut untuk mengidentifikasi indikatornya dan rumuskan indikatornya yang dianggap relevan tanpa memikirkan urutannya lebih dahulu juga tentukan indikator-indikator yang relevan dan tuliskan sesuai urutannya.

2)      Kajilah apakah semua indikator tersebut telah mempresentasikan KD nya, apabila belum lakulanlah analisis lanjut untuk menemukan in dikator-indikator lain yang kemungkinan belum teridentifikasi.

3)      Tambahkan indikator lain sebelumnya dan rubahlah rumusan yang kurang tepat dengan lebih akurat dan pertimbangkan urutannya.

 

  1. C.    Perumusan Kompetensi Dasar dan Indikator
    1. Perumusan Kompetensi Dasar

Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam merumuskan KD diantaranya antara lain:

  1. Meluas, artinya peserta didik memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan pengalaman tentang pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai yang berkaitan pada saat pembelajaran berlangsung.
  2. Seimbang, artinya dimana setiap peserta Kompetensi perlu dapat dicapai melalui alokasi waktu yang cukup untuk pembelajaran yang efektif.
  3. Relevan, maksudnya adalah dimana setiap Kompetensi terkait dengan penyiapan peserta didik untuk meningkatkan mutu kehidupan melalui kesempatan pengalaman.
  4. Perbedaan, merupakan upaya pelayanan individual dimana peserta didik perlu memahami apa yang perlu untuk dipelajari, bagaimana berfikir, bagaimana berbuat untuk mengembangkan Kompetensi serta kebutuhan individu masing-masing. (yulaewati 2004:20)[7]

Adapun Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat merumuskan KD yang baik adalah sebagai berikut:

  1. Rumusan tujuan yang dibuat harus berpusat pada siswa, mengacu kepada perubahan tingkah laku subjek pembelajaran yaitu siswa sebagai peserta didik.
  2. Rumusan KD harus mencerminkan tingkah laku operasional yaitu tingkah laku yang dapat diamati dan diukur yang dirumuskan dengan menggunakan kata-kata operadional.
  3. Rumusan KD harus berisikan makna dari pokok bahasan atau materi pokok yang akan diajarkan pada saat kegiatan belajar mengajar ).[8]
    1. Perumusan Indikator

Pengembangkan indikator memerlukan informasi karakteristik peserta didik yang unik dan beragam. Peserta didik memiliki keragaman dalam intelegensi dan gaya belajar, oleh karena itu indikator selayaknya mampu mengakomodir keragaman tersebut.

Peserta didik dengan karakteristik unik visual-verbal atau psiko-kinestetik selayaknya diakomodir dengan penilaian yang sesuai sehingga kompetensi siswa dan dapat terukur secara proporsional. Karakteristik sekolah dan daerah juga menjadi acuan dalam pengembangan indikator karena target pencapaian sekolah tidak sama. Sekolah kategori tertentu yang melebihi standar minimal dapat mengembangkan indikator lebih tinggi. termasuk sekolah bertaraf internasional dapat mengembangkan indikator dari SK dan KD.

Dengan mengkaji tuntutan kompetensi sesuai rujukan standar nasional yang digunakan. Sekolah dengan keunggulan tertentu juga menjadi pertimbangan dalam mengembangkan indikator. Dalam merumuskan indikator pembelajaran perlu diperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut:

1.  Setiap KD dikembangkan sekurang-kurangnya menjadi dua indikator

2.  Keseluruhan indikator memenuhi tuntutan kompetensi yang tertuang dalam kata kerja yang digunakan dalam SK dan KD.

3.  Indikator harus mencapai tingkat kompetensi minimal KD dan dapat dikembangkan melebihi kompetensi minimal sesuai dengan potensi dan kebutuhan peserta didik.

4.  Indikator yang dikembangkan harus menggambarkan hirarki kompetensi.

5.  Rumusan indikator sekurang-kurangnya mencakup dua aspek, yaitu tingkat kompetensi dan materi pembelajaran.

6.  Indikator harus dapat mengakomodir karakteristik mata pelajaran sehingga menggunakan kata kerja operasional yang sesuai.

7.  Rumusan indikator dapat dikembangkan menjadi beberapa indikator penilaian yang mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.[9]

Contoh indikator pencapaian kompetensi:

 

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Indikator

Memahami ketentuan hukum Islam tentang pengurusan jenazah. Menjelaskan tatacara pengurusan jenazah o  Mampu menjelaskan langkah-langkah/tatacara memandikan jenazah

o  Mampu menjelaskan tata cara mengkafani jenazah

o  Mampu menjelaskan tata cara menshalatkan jenazah

o  Mampu menjelaskan tata cara menguburkan jenazah

Memperagakan

tatacara pengurusan

jenazah

      Mampu memperagakan/mempraktikkan tata cara memandikan jenazah

      Mampu memperagakan/mempraktikkan tata cara mengkafani jenazah

      Mampu memperagakan/mempraktikkan tata cara menshalatkan jenazah

      Mampu memperagakan tata cara menguburkan jenazah

 

  1. D.    Penyusunan materi pokok/ materi pembelajaran

Komponen lain yang harus diperhatikan dalam perencanaan pembelajaran adalah penentuan materi pokok. Materi pokok harus disusun sedemikian  rupa agar dapat menunjang tercapainya kompetensi. Materi pokok adalah pokok-pokok materi pembelajaran yang harus dipelajari siswa sebagai sarana pencapaian kompetensi dan yang akan dinilai dengan menggunakan instrument penilaian yang disusun berdasarkan indicator pencapaian belajar.

Karena standar materi pokoktelah ditetapkan secara nasional, maka materi pokok tinggal disalin dari buku Standar kompetensi Mata Pelajaran. Sementara tugas para pengembang silabus adalah memberikan jabaran/ materi pokok tersebut ke dalam uraian meteri atau biasa disebut materi pembelajaran untuk memudahkan guru, sekaligus memberikan arah serta cakupan materi pembelajarannya.[10]

Materi pokok disusun untuk pencapaian tujuan, karenanya materi pokok dipilih sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dicapai. Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam menentukan materi pokok adalah:[11]

a)      Potensi peserta didik

b)      Relevan dengan karakteristik daerah

c)      Tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, social, dan spiritual peserta didik

d)     Kebermanfaatan bagi peserta didik

e)      Struktur keilmuan

f)       Aktualitas, kedalaman, keluasan materi pembelajaran,

g)      Relevan dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan

h)      Sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia

i)        Merumuskan kegiatan pembelajaran.

 

 Al-Qur’an-Hadis

Kelas VII, Semester 1

STANDAR KOMPETENSI

KOMPETENSI DASAR

  1. Memahami al-Qur’an dan al-Hadis sebagai pedoman hidup
1.1     Menjelaskan pengertian dan fungsi al-Qur’an dan al-Hadis

1.2     Menjelaskan cara-cara menfungsikan al-Qur’an dan al-Hadis

1.3     Menerapkan al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam

 

Kelas VIII, Semester 1

STANDAR KOMPETENSI

KOMPETENSI DASAR

  1. Membaca al-Qur’an surat pendek pilihan
1.1     Menerapkan hukum bacaan Qalqalah, tafkhim, dan mad ‘aridh lissukun dalam al-Qur’an

1.2     Menerapkan hukum bacaan nun mati, dan mim mati dalam al-Qur’an

 

Kelas IX, Semester 1

STANDAR KOMPETENSI

KOMPETENSI DASAR

  1. Membaca al-Qur’an surat pendek

pilihan

1.1     Menerapkan hukum mad silah dalam QS al-Qaari’ah dan al-Zalzalah

1.2     Menerapkan hukum mad laazim mukhaffaf kilmi, mutsaqqal kilmi, dan Farqi dalam al-Qur’an

 

 

Kelas X, Semester 1

STANDAR KOMPETENSI

KOMPETENSI DASAR

  1. Memahami pengertian al-Qur’an dan bukti keotentikannya

 

 

 

 

[nurfitriyanielfima.wordpress.com]

1.1  Menjelaskan pengertian al-Qur’an menurut para ahli

1.2  Membuktikan keotentikan al-Qur’an ditinjau dari segi keunikan redaksinya, kemukjizatannya, dan sejarahnya.

1.3  Menunjukkan prilaku orang yang meyakini kebenaran al-Qur’an

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM DAN TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS PENDIDIKAN

1. Tujuan Intruksional
Ada beberapa definisi yang disampaikan oleh beberapa tokoh seperti Robert F. Magner (1962) yang mendefinisikan tujuan instruksional sebagai tujuan perilaku yang hendak dicapai atau yang dapat dikerjakan oleh siswa sesuai kompetensi. Juga ada Eduard L. Dejnozka dan David E. Kavel (1981) yang mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan spefisik yang dinyatakan dalam bentuk perilaku yang diwujudkan dalam bentuk tulisan yang menggambarkan hasil belajar yang diharapkan serta Fred Percival dan Henry Ellington (1984) yang mendefinisikan tujuan instruksional adalah suatu pernyataan yang jelas menunjukkan penampilan / keterampilan yang diharapkan sebagai hasil dari proses belajar. Setelah kita mengetahui beberapa definisi tujuan instruksional yang dikemukakan dari beberapa tokoh kita dapat mengambil beberapa manfaat yaitu
1. Kita dapat menentukan tujuan proses belajar mengajar
2. Menentukan persyaratan awal instruksional
3. Merancang strategi instruksional
4. Memilih media pembelajaran
5. Menyusun instrumen tes sebagai evaluasi belajar
6. Melakukan tindakan perbaikan pembelajaran.
Ada dua macam tujuan instruksional yaitu:
1. Tujuan instruksional umum (TIU)
2. Tujuan instrusional khusus (TIK)
Dalam pembaruan sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia sekarang ini, setiap guru dituntut untuk menyadari tujuan dari kegiatannya mengajar dengan titik tolak kebutuhan siswa. Oleh karena itu, dalam merancang sistem belajar yang akan dilakukannya, langkah- pertama yang ia lakukan adalah membuat tujuan instruksional. Dengan tujuan instruksional:
1) Guru mempunyai arah untuk:
– Memilih bahan pelajaran,
– Memilih prosedur (metode) mengajar.
2) Siswa mengetahui arah belajanya.
3) Setiap guru mengetahui batas-batas tugas dan wewenangnya mengajarkan suatu bahan sehingga diperkecil kemungkinan timbulnya celah (gap) atau saling menutup (overlap) antara guru.
4) Guru mempunyai patokan dalam mengadakan penilaian kemajuan belajar siswa.
5) Guru sebagai pelaksana dan petugas-petugas pemegang keijaksanaan (decision maker) mempunyai kriteria untuk mengevaluasi kualitas maupun efisiensi pengajaran.
Tujuan pengajaran dapat dirumuskan dengan rumus ABCD. A (audience) adalah siswa yang belajar, B (behavior) adalah perubahan prilaku yang di inginkan terjadi, C (condition) adalah kondisi yang menimbulkan perubahan prilaku yang di inginkan, dan D (degree) adalah derajad ketercapaian perubahan yang diinginkan. Misalkan: setelah membaca diperpustakaan (C) siswa (A) diharapkan dapat menyebutkan macam-macam sholat sunah (B) paling tidak enam jenis (D).
2. Pengertian Tujuan instruksional Umum dan Khusus
Tujuan instruksional umum (TIU) adalah tujuan pengajaran yang perubahan prilaku siswa yang belajar masih merupakan perubahan internal yang belum dapat dilihat dan diukur. Kata kerja dalam tujuan umum pengajaran masih mencerminan perubahan prilaku yang umumnya terjadi pada manusia, sehingga masih menimbulkan beberapa penafsiran yang berbeda-beda. Contoh TIU: “setelah melakukan pelajaran siswa diharapan dapat memahami penjumlahan dengan benar”. Kata kerja “memahami penjumlahan” merupakan kata kerja- yang bersifat umum karena pemahaman penjumlahan dapat ditafsirkan berbeda.
Tujuan instruksional khusus (TIK) adalah tujuan pengajaran dimana perubahan prilaku telah dapat dilihat dan diukur. Kata kerja yang menggambarkan perubahan prilaku telah spesifik sehingga memungkinkan dilakukan pengukuran tanpa menimbulkan lagi berbagai perberdaan penafsiran. Misal TIK yang dirumuskan sbb “Siswa akan menunjukkan sikap positif terhadap kebudayaan nasional”, dapat lebih dikhususkan dengan mengatakan “siswa akan membuktikan penghargaannya terhadapa seni tari nasional dengan ikut membawakan suatu tarian dalam perpisahan kelas”.
3. Klasifikasi Tujuan Instruksional Menurut Jenis Perilaku (internal)
Ilmu psikologi mengenal pembagian aspek kepribadian atas tiga kategori yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotorik. Aspek kognitif yang mencakup pengetahuan serta pemahaman, aspek afektif yang mencakup perasaan, minat, motivasi, sikap kehendak serta nilai dan aspek psikomotorik yang mencakup pengamatan dan segala gerak motorik. Dalam kenyataannya dasar pembagian yang demikian kerap menjadi pedoman dalam menggolongkan segala jenis perilaku. Kegunaan dari suatu sistem klasifikasi mengenai tujuan instruksional termasuk tujuan intruksional khusus adalah kita dapat memperoleh gambaran tujuan tujuan instruksional ditinjau dari segi jenis perilaku yang mungkin dicapai oleh siswa. Menurut Bloom dan kawan kawan pengklasifikasian jenis perilaku disusun secara hierarkis sehingga menjadi taraf taraf yang menjadi semakin kompleks.
a. Kognitif :
1. Mencakup pengetahuan ingatan yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan
2. Mencakup pemahaman untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari
3. Mencakup kemampuan menerapkan suatu kaidah atau metode yang baru
4. Mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan
5. Mencakup kemampuan membentuk suatu kesatuan
6. Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat
b. Afektif :
1. Mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan
2. Mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif
3. Mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu
4. Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai
5. Mencakup kemampuan untuk menghayati nilai nilai kehidupan
c. Psikomotorik :
1. Mencakup kemampuan untuk membedakan ciri ciri fisik
2. Mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam memulai gerakan
3. Mencakup kemampuan untuk melakukan sesuatu rangkaian gerak gerik
4. Mencakup kemampuan untuk melakukan sesuatu rangkaian gerak gerik dengan lancar
5. Mencakup kemampuan untuk melaksanakan suatu keterampilandengan lancar, efisien dan tepat
6. Mencakup kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan Pola gerak gerik yang mahir
7. Mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola gerak gerik yang baru
4. Langkah-langkah yang dilakukan dalam merumuskan tujuan instruksional khusus
a. Membuat sejumlah TIU (tujuan instruksional umum) untuk setiap mata pelajaran/bidang studi yang akan diajarkan. Di dalam kurikulum tahun 1975 maupun 1984, TIU ini sudah tercantum dalam uku Garis-Garis Besar Program Pengajaran. Dalam merumuskan TIU digunakan kata kerja yang sifatnya masih umum dan tidak dapat diukur karena perubahan tingkah laku masih terjadi di dalam diri manusia (intern).
b. Dari masing-masing TIU dijabarkan menjadi TIK yang rumusannya jelas, khusus, dapat diamati, terukur dan menunjukan perubahan tingkah laku.
Contoh-contoh rumusan untuk TIU:
– Memahami teori evolusi
– Mengetahui peredaan antara skor dan nilai.
– Mengerti cara mencari validita.
– Menghayati perlunya penilaian yang tepat.
– Menyadari pentingnya mengikuti kuliah dengan teratur.
– Menghargai kejujuran mahasiswa dalam mengerjakan tes.
Dalam contoh ini digunakan kata-kata kerja: memahami, mengetahui, mengerti, menghayati, menyadari, menghargai, dan masih ada beberapa lagi yang sifatnya masih terlalu umum sehingga penafsirannya dapat berbeda antara orang yang satu dengan yang lain.
Contoh:
Mahasiswa mengerti cara mencari validitas suatu soal. Bagaimanakah kita tahu ia mengerti? Apakah karena pada waktu diterangkan dia tampak mengangguk-anggukkan kepala? Boleh jadi dia mengangguk-anggukkan kepalanya hanya merupakan suatu usaha agar tidak dikatakan mengantuk atau sedang melamunkan sesuatu. Tampaknya mengangguk mereaksi kuliah, tetapi angannya melayang.
Atas dasar semua keterangan ini maka agar dalam mengadakan evaluasi terlihat hasilnya, TIU ini perlu diperinci lagi sehingga menjadi jelas dan tidak disalahtafsirkan oleh eerapa orang.
Rumusan TIK yang lengkap memuat tiga komponen, yaitu:
a) Tingkah laku akhir (terminal behavior)
Tingkah laku akhir adalah tingkah laku yang diharapkan setelah seseorang seseorang mengalami proses belajar mengajar. Disini tingkah laku ini harus menampakan diri dalam suatu perbuatan yang dapat diamati dan diukur (observable and measuarable).
Contoh:
– Menuliskan kalimat perintah
– Mengalikan pecahan persepuluhan,
– Menggambarkan kurva normal,
– Menyebutkan batas-batas Daerah Istimewa Yogyakarta,
– Menerjemahkan bacaan bahasa inggris kedalam bahasa Indonesia.
– Menceritakan kembali uraian guru,
– Mendemonstrasikan cara mengukur suhu,
– Mengutarakan pendapatnya mengenai sesuatu yang dikemukakan guru.
– Menjelaskan hasil bacaan dengan kalimat sendiri.
Dan lain-lain lagi yang berujud kata kerja perbuatan/operasional (action verb) yang diamati dan diukur.
Kata-kata Operasional
a. Cognitive domain; levels and corresponding action verbs
1) Pengetahuan (knowledge)
– Mendefinisikan, mendeskrifsikan, mengidentifikasi, mendaftarkan, menjodohkan, menyebutkan, menyatakan (states), mereproduksi.
2) Pemahaman (comprehension)
– Mempertahanan, membedakan, menduga (estimates), menerangkan, memperluas, menyimpulkan, menggeneralisasikan, memberikan contoh, menuliskan kembali,memperkirakan.
3) Aplikasi
– Mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, menemuan, memanipulasikan, memodifikasi, mengoperasikan, meramalkan, menyiapkan, menghasilkan menghubungkan, menunjukan, memecahkan, menggunakan.
4) Analisis
– Memerinci, menyusun diagaram, membedakan, mengidentifikasikan, mengilustrasikan, menyimpulkan, menunjukan, menghubungkan, memilih, memisahkan, membagi (subdivides).
5) Sintesis
– Mengategorikan, mengkombinasikan, mengarang, menciptakan, memubat desain, menjelaskan, memodifikasi, mengorganisasikan, menyusun, membuat rencana, mengatur kembali, mengrekonstruksikan, menghubungkan, mereorganisasikan, merevisi, menuliskan kembali, menuliskan, memceritakan.
6) Evaluasi
– Menilai, membandingkan, menyimpulkan, mempertentangkan, mengkritik, mendeskripsikan, membedakan, menerangkan, memutuskan, menafsirkan, menghubungkan, membantu (supports).
b. Affective domain; learning levels and corresponding action verbs
1) Reesiving
– Menanyakan, memilih, mendeskrifsikan, mengikuti, memberikan, mengidentifikasikan, menyebutkan, menunjukan, memilih, menjawab.
2) Responding
– Menjawab, membantu, mendiskusikan, menghormat, berbuat, melakukan, membaca, memberikan, menghafal, melaporkan, memilih, menceritakan, menulis.
3) Valuing
– Melengkapi, menggambarkan, membedakan, menerangkan, mengikuti, membentuk, mengundang, menggabung, mengusulkan, membaca, melaporkan, memilih, bekerja, mengambil bagian (share), mempelajari.
4) Organization
– Mengubah, mengatur, menggabungkan, membandingkan, melengkapi, mempertahankan, menerangkan, menggeneralisasikan, mengidentifikasikan, mengintegrasikan, memodifikasi, mengorganisir, menyiapkan, menghubungkan, mengsintesiskan.
5) Characterization by value or value complex
– Membedakan, menerapkan, mengusulkan, memperagakan, mempengaruhi, mendengarkan, memodifikasikan, mempertunjukan, menanyakan, merevasi, melayani, memecahkan, menggunakan.
c. Psychomotor domain
Kata-kata operasional untuk aspek psikomotor harus menunjukan pada aktualisasi kata-kata yang dapat diamati meliputi:
1. Muscular or motor sills
– Mempertotonkan gerak, menunjukan hasil (pekerjaan tangan), melompat, menggerakan, menampilkan.
2. Manipulation of materials or objects
– Mereparasi, menyusun, membersihkan, menggeser, memindahkan, membentuk.
3. Neuromuscular coordination
– Mengamati, menerapkan, menghubungkan, menggandeng, memadukan, memasang, memotong, menarik, menggunakan.
Kata-kata yang telah disajikan di atas merupakan kata-kata kerja yang dipakai dalam merumuskan tujuan instruksional khusus bagi siswa-siswa yang belajar, sehingga rumusan seutuhnya menjadi pernyataan-pernyataan antara lain, sebagai berikut.
– Siswa dapat menjumlahkan bilangan-bilangan yang terdiri dari puluhan dan satuan.
– Siswa dapat menunjukan letak gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah.
– Siswa dapat menceritakan kembali isi bacaan tentang kisah keluarga.
b) Kondisi demonstrasi (condition of demonstration or tes)
Kondisi demonstrasi adalah komponen TIK yang menyatakan suatu kondisi atau situasi yang dikenakan kepada siswa pada saat ia mendemonstrasikan tingkah laku akhir, misalnya:
– Dengan penulisan yang betul
– Urut dari yang paling tinggi
– Dengan bahasanya sendiri
Dengan demikian rangkaian kata-kata dalam rumusan TIK menjadi:
– Siswa dapat menjumlahkan bilangan yang terdiri dari puluhan dan satuan dengan penulisan yang betul.
– Siswa dapat menunjukan letak gunung-gunung yang ada di Jawa Tengah, urut dari yang paling tinggi.
– Siswa dapat menceritakan kembali isi bacaan tentang kisah keluarga dengan bahasanya sendiri.
Kata-kata bercetak miring itulah yang menunjukan standar keberhasilan.
c) Standar keberhasilan (standard of performance)
Standar keberhasilan adalah komponen TIK yang menunjukan seerapa jauh tingkat keberhasilan yang dituntut oleh penilai bagi tingkah laku pelajar pada situasi akhir.
Tingkatan keberhasilan dapat dinyatakan dalam jumlah maupun presentase, misalnya:
– Dengan 75% betul,
– Seurang-kurangnya 5 dari 10,
– Tanpa kesalahan
Dengan tambahan tingkatan keerhasilan ini maka bunyi rumusan TIK menjadi:
– Siswa dapat menjumlahkan bilangan yang terdiri dari puluhan dan satuan tanpa kesalahan.
– Siswa dapat menunjukan kembali kota-kota yang ada di Jawa Barat urut dari yang paling barat, dengan hanya 25% kesalahan.
Yang umum dikerjakan sampai saat ini hanya sampai tingkah laku akhir saja.
Pada pedoman pelaksanaan kurikulum dijelaskan bahwa, dalam kegiatan belajar mengajarguru diharuskan memperhatikan pula- keterampilan siswa dalam hal memperoleh hasil, yakni memperoleh keterampilan tentang prosesnya. Pendekatan ini disebut dengan istilah Pendekatan Keterampilan Proses (PKP). Keterampilan-keterampilan yang dimaksud meliputi keterampilan dalam hal:
1. Mengamati,
2. Menginterprestasikan (menafsirkan) hasil pengamatan,
3. Meramalkan,
4. Menerapkan konsep,
5. Merencanakan penelitian,
6. Melaksanakan penelitian,
7. Mengkomunikasikan hasil penemuan
Sesuai dengan tuntutan tersebut maka guru dalam merumuskan Tujuan Instruksional Khusus harus mengundang apa yang dilakukan siswa dalam kegiatan belajar mengajar (keterampilan yang mana), bagaimana menunjukan kemampuan atau hasilnya (tingkah laku) dan perolehannya. Untuk mempermudah tugas ini, dalam buku GBPP kurikulum 1984. Tujuan instruksional umum yang termuat sudah dirumuskan dalam satu rumusan yang menjelaskan:
1. Materi yang dipelajari,
2. Perilaku mengutarakan hasil,
3. Proses mencapaiannya

[https://harisnst33.blogspot.co.id]

Teori Belajar

Taksonomi Bloom dan Konsep Permasalahan dalam Belajar

Taksonomi Bloom

Taksonomi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu tassein yang berarti mengklasifikasi dan nomos yang berarti aturan. Jadi Taksonomi berarti hierarkhi klasifikasi atas prinsip dasar atau aturan. Istilah ini kemudian digunakan oleh Benjamin Samuel Bloom, seorang psikolog bidang pendidikan yang melakukan penelitian dan pengembangan mengenai kemampuan berpikir dalam proses pembelajaran.

Sejarah taksonomi bloom bermula ketika awal tahun 1950-an, dalam Konferensi Asosiasi Psikolog Amerika, Bloom dan kawan-kawan mengemukakan bahwa dari evaluasi hasil belajar yang banyak disusun di sekolah, ternyata persentase terbanyak butir soal yang diajukan hanya meminta siswa untuk mengutarakan hapalan mereka. Konferensi tersebut merupakan lanjutan dari konferensi yang dilakukan pada tahun 1948. Menurut Bloom, hapalan sebenarnya merupakan tingkat terendah dalam kemampuan berpikir (thinking behaviors). Masih banyak level lain yang lebih tinggi yang harus dicapai agar proses pembelajaran dapat menghasilkan siswa yang kompeten di bidangnya. Akhirnya pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl berhasil mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taxonomy Bloom.

Jadi, Taksonomi Bloom adalah struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi. Tentunya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah harus dipenuhi lebih dulu. Dalam kerangka konsep ini, tujuan pendidikan ini oleh Bloom dibagi menjadi tiga domain/ranah kemampuan intelektual (intellectual behaviors) yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Taksonomi Bloom mengalami dua kali perubahan perubahan yaitu Taksonomi yang dikemukakan oleh Bloom sendiri dan Taksonomi yang telah direvisi oleh Andreson dan KartWohl. Untuk pembahasan masing-masing dijelaskan sebagai berikut,

  1. Ranah Kognitif

Tujuan kognitif atau Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala upaya yang menyangkut aktifitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif itu terdapat enam jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai jenjang yang tertinggi yang meliputi 6 tingkatan antara lain :

  1. Pengetahuan (Knowledge) – C1

Pada level atau tingkatan terendah ini dimaksudkan sebagai kemampuan mengingat kembali materi yang telah dipelajari, misalnya: (a) pengetahuan tentang istilah; (b) pengetahuan tentang fakta khusus; (c) pengetahuan tentang konvensi; (d) pengetahuan tentang kecendrungan dan urutan; (e) pengetahuan tentangklasifikasi dan kategori; (f) pengetahuan tentang kriteria; dan (g) pengetahuan tentang metodologi. Contoh: menyatakan kebijakan.

  1. Pemahaman (Comprehension) – C2

Pada level atau tingkatan kedua ini, pemahaman diartikan sebagai kemampuan memahami materi tertentu, dapat dalam bentuk: (a) translasi (mengubah dari satu bentuk ke bentuk lain); (b) interpretasi (menjelaskan atau merangkum materi);(c) ekstrapolasi (memperpanjang/memperluas arti/memaknai data). Contoh : Menuliskan kembali atau merangkum materi pelajaran

  1. Penerapan (Application) – C3

Pada level atau tingkatan ketiga ini, aplikasi dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menerapkan informasi dalam situasi nyata atau kemampuan menggunakan konsep dalam praktek atau situasi yang baru. Contoh: Menggunakan pedoman/ aturan dalam menghitung gaji pegawai.

  1. Analisa (Analysis) – C4

Analisis adalah kategori atau tingkatan ke-4 dalam taksonomi Bloom tentang ranah (domain) kognitif. Analisis merupakan kemampuan menguraikan suatu materi menjadi bagian-bagiannya. Kemampuan menganalisis dapat berupa: (a) analisis elemen (mengidentifikasi bagian-bagian materi); (b) analisis hubungan (mengidentifikasi hubungan); (c) analisis pengorganisasian prinsip (mengidentifikasi pengorganisasian/organisasi). Contoh: Menganalisa penyebab meningkatnya Harga pokok penjualan dalam laporan keuangan dengan memisahkan komponen- komponennya.

  1. Sintesis (Synthesis) – C5

Level kelima adalah sintesis yang dimaknai sebagai kemampuan untuk memproduksi. Tingkatan kognitif kelima ini dapat berupa: (a) memproduksi komunikasi yang unik; (b) memproduksi rencana atau kegiatan yang utuh; dan (c) menghasilkan/memproduksi seperangkat hubungan abstrak. Contoh: Menyusun kurikulum dengan mengintegrasikan pendapat dan materi dari beberapa sumber.

  1. Evaluasi (Evaluation) – C6

Level ke-6 dari taksonomi Bloom pada ranah kognitif adalah evaluasi. Kemampuan melakukan evaluasi diartikan sebagai kemampuan menilai ‘manfaat’ suatu benda/hal untuk tujuan tertentu berdasarkan kriteria yang jelas. Paling tidak ada dua bentuk tingkat (level) evaluasi menurut Bloom, yaitu: (a) penilaian atau evaluasi berdasarkan bukti internal; dan (2) evaluasi berdasarkan bukti eksternal. Contoh: Membandingkan hasil ujian siswa dengan kunci jawaban.

  1. Ranah Afektif

Ranah Afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat,minat, motivasi, dan sikap. Lima kategori ranah ini diurutkan mulai dari perilaku yang sederhana hingga yang paling kompleks :

  1. Penerimaan (Receiving) – A1

Mengacu kepada kemampuan memperhatikan dan memberikan respon terhadap sitimulasi yang tepat. Penerimaan merupakan tingkat hasil belajar terendah dalam domain afektif. Dan kemampuan untuk menunjukkan atensi dan penghargaan terhadap orang lain. Contoh: mendengar pendapat orang lain, mengingat nama seseorang.

  1. Responsive (Responding) – A2

Satu tingkat di atas penerimaan. Dalam hal ini siswa menjadi terlibat secara afektif, menjadi peserta dan tertarik. Kemampuan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan selalu termotivasi untuk segera bereaksi dan mengambil tindakan atas suatu kejadian. Contoh: berpartisipasi dalam diskusi kelas

  1. Nilai yang dianut (Value) – A3

Mengacu kepada nilai atau pentingnya kita menterikatkan diri pada objek atau kejadian tertentu dengan reaksi-reaksi seperti menerima, menolak atau tidak menghiraukan. Tujuan-tujuan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi “sikap dan opresiasi”. Serta Kemampuan menunjukkan nilai yang dianut untuk membedakan mana yang baik dan kurang baik terhadap suatu kejadian/obyek, dan nilai tersebut diekspresikan dalam perilaku. Contoh: Mengusulkan kegiatan Corporate Social Responsibility sesuai dengan nilai yang berlaku dan komitmen perusahaan.

  1. Organisasi (Organization) – A4

Mengacu kepada penyatuan nilai, sikap-sikap yang berbeda yang membuat lebih konsisten dapat menimbulkan konflik-konflik internal dan membentuk suatu sistem nilai internal, mencakup tingkah laku yang tercermin dalam suatu filsafat hidup. Dan Kemampuan membentuk system nilai dan budaya organisasi dengan mengharmonisasikan perbedaan nilai. Contoh: Menyepakati dan mentaati etika profesi, mengakui perlunya keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab.

  1. Karakterisasi (characterization) – A5

Mengacu kepada karakter dan daya hidup sesorang. Nilai-nilai sangat berkembang nilai teratur sehingga tingkah laku menjadi lebih konsisten dan lebih mudah diperkirakan. Tujuan dalam kategori ini ada hubungannya dengan keteraturan pribadi, sosial dan emosi jiwa. Dan Kemampuan mengendalikan perilaku berdasarkan nilai yang dianut dan memperbaiki hubungan intrapersonal, interpersonal dan social. Contoh: Menunjukkan rasa percaya diri ketika bekerja sendiri, kooperatif dalam aktivitas kelompok

  1. Ranah Psikomotorik

Ranah Psikomotorik meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan motorik dan kemampuan fisik. Ketrampilan ini dapat diasah jika sering melakukannya. Perkembangan tersebut dapat diukur sudut kecepatan, ketepatan, jarak, cara/teknik pelaksanaan. Ada tujuh kategori dalam ranah psikomotorik mulai dari tingkat yang sederhana hingga tingkat yang rumit.

  1. Peniruan – P1

Terjadi ketika siswa mengamati suatu gerakan. Mulai memberi respons serupa dengan yang diamati. Mengurangi koordinasi dan kontrol otot-otot saraf. Peniruan ini pada umumnya dalam bentuk global dan tidak sempurna.

  1. Manipulasi – P2

Menekankan perkembangan kemampuan mengikuti pengarahan, penampilan, gerakan-gerakan pilihan yang menetapkan suatu penampilan melalui latihan. Pada tingkat ini siswa menampilkan sesuatu menurut petunjuk-petunjuk tidak hanya meniru tingkah laku saja.

  1. Ketetapan – P3

Memerlukan kecermatan, proporsi dan kepastian yang lebih tinggi dalam penampilan. Respon-respon lebih terkoreksi dan kesalahan-kesalahan dibatasi sampai pada tingkat minimum.

  1. Artikulasi – P4

Menekankan koordinasi suatu rangkaian gerakan dengan membuat urutan yang tepat dan mencapai yang diharapkan atau konsistensi internal di natara gerakan-gerakan yang berbeda.

  1. Pengalamiahan – P5

Menurut tingkah laku yang ditampilkan dengan paling sedikit mengeluarkan energi fisik maupun psikis. Gerakannya dilakukan secara rutin. Pengalamiahan merupakan tingkat kemampuan tertinggi dalam domain psikomotorik.

Revisi Taksonomi Bloom

Pada tahun 1994, salah seorang murid Bloom, Lorin Anderson Krathwohl dan para ahli psikologi

aliran kognitivisme memperbaiki taksonomi Bloom agar sesuai dengan kemajuan zaman. Hasil perbaikan

tersebut baru dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Revisi hanya

dilakukan pada ranah kognitif. Revisi tersebut meliputi:

  1. Perubahan kata kunci dari kata benda menjadi kata kerja untuk setiap level taksonomi.
  2. Perubahan hampir terjadi pada semua level hierarkhis, namun urutan level masih sama yaitu dari

urutan terendah hingga tertinggi. Perubahan mendasar terletak pada level 5 dan 6. Perubahanperubahan

tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Pada level 1, knowledge diubah menjadi remembering (mengingat).

 Pada level 2, comprehension dipertegas menjadi understanding (memahami).

 Pada level 3, application diubah menjadi applying (menerapkan).

 Pada level 4, analysis menjadi analyzing (menganalisis).

 Pada level 5, synthesis dinaikkan levelnya menjadi level 6 tetapi dengan perubahan mendasar,

yaitu creating (mencipta).

 Pada level 6, Evaluation turun posisisinya menjadi level 5, dengan sebutan evaluating (menilai).

Jadi, Taksonomi Bloom baru versi Kreathwohl pada ranah kognitif terdiri dari enam level: remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (menerapkan), analyzing (menganalisis, mengurai), evaluating (menilai) dan creating (mencipta). Revisi Krathwohl ini sering digunakan dalam merumuskan tujuan belajar yang sering kita kenal dengan istilah C1 sampai dengan C6.

Sama dengan sebelum revisi, tiga level pertama (terbawah) merupakan Lower Order Thinking

Skills, sedangkan tiga level berikutnya Higher Order Thinking Skill. Jadi, dalam menginterpretasikan

piramida di atas, secara logika adalah sebagai berikut:

– Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih dahulu

– Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu

– Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya dulu

– Sebelum kita mengevaluasi maka kita harus menganalisa dulu

– Sebelum kita berkreasi atau menciptakan sesuatu, maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi.

Beberapa kritik dilemparkan kepada penggambaran piramida ini. Ada yang beranggapan bahwa

semua kegiatan tidak selalu harus melewati tahap yang berurutan. Proses pembelajaran dapat dimulai

dari tahap mana saja tergantung kreasi tiap orang. Namun demikian, memang diakui bahwa pentahapan itu sebenarnya cocok untuk proses pembelajaran yang terintegrasi.

Hingga saat ini ranah afektif dan psikomotorik belum mendapat perhatian. Skill menekankanaspek psikomotorik yang membutuhkan koordinasi jasmani sehingga lebih tepat dipraktekkan bukan dipelajari. Attitude juga merupakan faktor yang sulit diubah selama proses pembelajaran karena attitude terbentuk sejak lahir. Mungkin itulah alasan mengapa revisi baru dilakukan pada ranah kognitif yang difokuskan pada knowledge.

[https://audiesruby.blogspot.co.id/]