Kebudayaan? Hal yang tidak asing lagi bagi kehidupan kita. Terlebih bagi masyarakat Indonesia yang majemuk, yakni terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, adat istiadat, bahasa, kedaerahan, dan sebagainya. Kemajemukan yang ada tidak menjadikan masyarakat Indonesia terpecah satu sama lainnya, karena terdapat unsur-unsur pemersatu, salah satunya adalah bahasa. Bahasa (Kridalaksana, 2005) merupakan sistem tanda bunyi yang disepakati untuk dipergunakan oleh para anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Dalam menggunakan bahasa, masyarakat sering memadukannya dengan dialek, sebagai ciri khas yang membedakannya dengan masyarakat di daerah lain. Menurut Wijen (1983) dialek adalah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk mebedakan dari masyarakat lainnya. Pada kehidupan sehari-hari, bahasa dialek lebih banyak digunakan sebagai alat komunikasi dalam lingkup daerahnya sendiri yang sama-sama menggunakan bahasa dialek tersebut. Sedangkan bahasa yang digunakan untuk pemersatu dan penghubung antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya adalah bahasa Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, tidak semua orang bisa mengerti dan memahami bahasa dialek yang kita ucapkan
Budaya yang ada di Indonesia dipetakan sesuai dengan daerahnya masing-masing. Misalnya logat bahasa Jawa dari Indramayu, yang merupakan bahasa Jawa Tengah yang telah mendapat pengaruh bahasa Sunda; atau logat bahasa Sunda dari Banten; atau logat bahasa Cirebon, dan logat bahasa Sunda Cirebon. Selain itu, bahasa ngapak juga terdapat di daerah Jawa Tengah yaitu bahasa ngapak Tegal dan bahasa ngapak Banyumasan. Walaupun sama-sama bahasa ngapak tetapi antara Tegal dan Banyumas berbeda bahasa. Bahasa ngapak Tegal seperti: nyong (aku), kowen (kamu), ader (masa), laka-laka (tidak ada tandingannya), tuli (terus), pimen (bagaimana), pan (akan) dan sebagainya. Sedangkan bahasa ngapak Banyumasan seperti: inyong (aku), ko (kamu), teyeng (bisa), di akhir kata tanya menggunakan kata mbok (kan?), madang (makan), kencot (lapar), kepriwe (bagaimana) dan sebagainya.
Adanya pemetaan budaya yang di dalamnya terdapat juga bahasa dan dialek, mempengaruhi penggunaan bahasa dan dialek dalam kehidupan masyarakat. Contohnya, Penggunaan bahasa dan dialek antara di kantor, pasar, dan stasiun akan berbeda karena melihat konteksnya. Di kantor, sebagai suatu tempat pelayanan masyarakat yang di dalamnya terdapat pimpinan, pembantu pimpinan, dan staf (karyawan) serta masyarakat yang membutuhkan pelayanan di tempat tersebut. Untuk berkomunikasi dengan sesama rekan kerja, bahasa dan dialek yang digunakan lebih kepada bahasa formal yaitu bahasa Indonesia. Sedangkan di pasar, sebagai suatu tempat pelayanan umum yang di dalamnya terdapat penjual, pembeli, pengangkut barang, petugas kebersihan, dan sebagainya. Bahasa dan dialek yang digunakan penjual dan pembeli di pasar tradisional cenderung menggunakan bahasa daerah setempat. Lain lagi di stasiun, sebagai tempat pemberhentian dan pemberangkatan kereta dari dan ke berbagai jurusan. Untuk berkomunikasi sesama pengunjung stasiun bahasa dan dialek yang digunakan adalah bahasa daerah dan bahasa Indonesia (karena dari pengunjung berasal dari berbagai kota).
Pengaruh lain dari adanya pemetaan budaya, yaitu terdapat tradisi lisan dalam suatu masyarakat. Tradisi lisan adalah cerita lisan tentang suatu tempat atau tokoh yang dibuat teks kisahan dalam berbagai bentuk, seperti syair, prosa, lirik, syair bebas, dan nyanyian. Tradisi lisan masih eksis dalam kalangan masyarakat karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat mengandalkan tradisi lisan dalam hal pewarisan dan pemeliharaan budaya masyarakat dari generasi ke generasi. Tradisi lisan ini menjelma dalam kisah-kisah lisan di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai nama. Tulisan cerita tersusun dari serangkaian peristiwa yang benar-benar terjadi, dongeng khayalan, atau teks keagamaan. Berikut ini disajikan, beberapa contoh tradisi lisan yang ada di Indonesia;
- Pantun Sunda
Pantun Sunda merupakan sebentuk penceritaan bersyair orang Sunda di Jawa Barat. Dipertunjukkan dengan diiringi musik kecapi indung. Cerita cerita pantun merupakan campuran antara percakapan, lagu dan syair cerita, biasanya berbentuk pencarian kerohanian. Tradisi menceritakan pantun Sunda dilaksanakan sebelum atau sesudah upacara tradisional, seperti pernikahan. Pada upacara keagamaan, juru pantun mungkin akan berpuasa selama beber apa hari dan membakar kemenyan sebelum mulai bernyanyi (Indonesian Heritage, jilid 10 tahun 2002).
- Asal mula gunung Tangkuban Perahu (cerita rakyat dari Jawa Barat)
Menceritakan seorang laki-laki bernama Sangkuriang mencintai seorang perempuan bernama Dayang Sumbi, yang ternyata ibu kandungnya. Dayang Sumbi menolak ajakan menikah dari Sangkuriang, namun Sangkuriang terus memaksanya. Akhirnya Dayang Sumbi bersedia menjadi istri Sangkuriang, tetapi dengan syarat Sangkuriang dapat membuatkan telaga di puncak gunung, beserta perahunya, dalam waktu semalam sebelum ayam berkokok. Ketika telaga hampir selesai (karena dibantu jin), Dayang Sumbi berdoa agar matahari cepat terbit dan ayam berkokok. Ternyata doa Dayang Sumbi dikabulkan. Mengetahui matahari terbit, para jin pekerja lalu menghilang sehingga telaga tidak selesai. Sangkuriang sangat marah kepada Dayang Sumbi, lalu menendang perahu sehingga perahu tertelungkup ke bumi. Perahu tersebut, kemudian menjadi sebuah gunung yang dinamakan Tangkuban Perahu.
- Tanggomo
Tanggomo merupakan bentuk puitis sastra lisan Gorontalo, Sulawesi Utara. Syair Tanggomo menceritakan kisah yang sedang hangat atau peristiwa menarik setempat, mempunyai banyak penganut. Selain menghibur, tanggomo juga memberi penerangan. Tanggomo merekam peristiwa sejarah, mitos, legenda, kisah keagamaan dan pendidikan. Secara harfiah, tanggomo berarti menampung; dan penyanyi tanggomo (ta motanggomo) menampung minat penonton, menyampaikan cerita dengan semenarik mungkin.
Daftar Pustaka
Danandjaja, James. Folklor Indonesia Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Doyin, Mukh dan Wagiran. 2011. Bahasa Indonesia. Pusat Pengembangan MKU/MKDK-LPK Universitas Negeri Semarang
Indonesia Heritage. 2002. Jilid 10. Bahasa dan Sastra. Jakarta: Buku Antarbangsa untuk Grolier International, Inc.
Kridalaksana, H. 2005. “Bahasa dan Linguistik,” Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Ed. Kushhartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder. Jakarta: Gramedia
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. 2009. Jakarta: Rineka Cipta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1983. Kamus bahasa Indonesia, Volume 2. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaa, Jakarta.
Recent Comments