PENDAHULUAN
Desa Donoyudan adalah desa yang mayoritas pendududuknya bermatapencaharian sebagai petani. Di desa Donoyudan terdapat dua lahan yaitu lahan persawahan dan lahan tegalan. Pada umumnya lahan tegalan adalah lahan yang ditanami ketela pohon, kencur, dan kadang juga kacang tanah, sedangkan lahan persawahan adalah lahan pertanian yang ditanami padi, jagung, kacang tanah, dan cabai. Perbedan umum dari lahan persawahan dan lahan tegalan adalah ketersediaan air irigasi untuk tanaman. Lahan persawahan memiliki irigasi dari sumur bor atau pun bendungan sungai sedangkan lahan tegallan tidak memilikinya. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan tanaman yang ditanam pada kedua lahan pertanian tersebut.
Dahulu pada saat teknologi sumur bor belum digunakan oleh petani, persawahan di desa Donoyudan hanya memiliki tiga kali masa panen padi. Hal ini terjadi karena pada musim kemarau sawah tidak bisa ditanami karena lahan persawahan tidak memiliki sumber air untuk menyirami tanaman. Setelah para petani menggunakan teknologi sumur bor, petani bisa menanam meskipun pada saat musim kemarau. Pengairan yang dilakukan petani menggunakan sumur bor bisa menyupali air untuk tanaman pada musim kemarau. Keadaan ini membuat petani bisa panen empat kali.
PEMBAHASAN
PERUBAHAN-PERUBAHAN DALAM PERTANIAN
Pertanian adalah sumber mata pencaharian utama sebagian besar penduduk desa Donoyudan. Sebagai mata pencaharian utama, pertanian yang dilakukan petani Donoyudan selalu mengalami berbagai perubahan demi memperoleh hasil yang maksimal. Perubahan pada pertanian di desa Donoyudan sebagai upaya mengikuti pekembangan zaman. Petani memiliki anggapan jika tidak mengikuti perkebangan zaman maka tidak akan mendapat hasil yang maksimal. Anggapan tersebut membuat petani menggunakan pupuk kimia berlebihan saat pertama kali pupuk kimia dipekenalkan kepada para petani desa Donoyudan. Setelah pupuk kimia masuk dalam pertanian desa Donoyudan, para petani desa donoyudan hanya menggunakan pupuk kandang sebagai pupuk tambahan saja. Pupuk kimia adalah perubahan pertama yang dialami petani Donoyudan sehingga mereka menggunakanya terlampau banyak karena mereka menganggap pupuk kimia dan pupuk kandang adalah sama. Ketidaktahuan para petani tersebut membuat hewanhewan sahabat petani seperti belut dan ikan yang hidup disawah mati sehingga merusak ksuburan sawah.
Setelah pupuk kimia, petani desa donoyudan mengalami perubahan berupa dipergunakanya teknologi sumur bor untuk pengairan dan pergantian alat bajak tradisional menjadi alat bajak moderen. Teknologi irigasi pada pertanian di Desa Donyudan telah mengalami beberapa kali perubahan sebagai bentuk proses penyempurnaan. Pada awalnya petani desa Donoyudan murni menggarap sawah tadah hujan tanpa irigasi. Kemudian para petani membuat galian di sungai sebagai sumber dan tampungan air untuk irigasi. Sistem irigasi demikian ini masih masih sederhana. Cara kerjanya para petani menganngkuti air yag tersedia pada galian tersebut memnggunakan ember. Cara kerja yang masih manual ini membuat teknologi irigasi semacam ini hanya digunakan untuk tanaman yang konsumsi airnya tidak terlampau banyak seperti cabai. Biasanya anak-anak dari petani yang menanam cabai sehabis subuh sudah pergi ke sawah untuk menyirami tanaman cabai kemudian sekitar pukul enam pagi pulang dari sawah lalu berangkat sekolah. Setelah itu masuklah teknologi sumur bor pada sistem pertanian di desa Donoyudan. Peralihan penggunaan irigasi dari galian yang ada di sungai menjadi irigasi dari sumur bor dibaringi dengan masuknya teknologi pompa air atau yang sering disebut “ disel “ oleh para petani. Perubahan ini membuat anak-anak petani tidak lagi memiliki kewajiban untuk menyiram tanaman setelah subuh. Peranya telah digantikan disel yang menyiram tanaman seminggu sekali. Penggunaan disel sebagai alat irigasi membuat petani bisa menanam tanaman yang mengonsumsi air yang lebih banyak daripada taman cabai seperti kacang bahkan padi.
Alat pertania tradisional yang digunakan untuk membajak sawah biasa disebut brujul oleh petani desa Donoyudan. Selain brujul petani juga memiliki luku sebagai alat pembajak sawah tradiaional. Keduanya adalah alat pembaja sawah tradisional namun luku digunakan untuk membajak sawah yang terdapat genangan air sedangkan brujul digunakan untuk membajak sawah yang tidak ada genangan airnya. Pada saat ini sudah tidak ada yang meggunakan alat bajak tradisional untuk membajak sawahnya. Alat bajak tradisional digantikan traktor sebagai alat bajak modern yang sekarang lazim digunakan petani desa Donoyudan. Perubahan ini membuat proses pembajakan sawah menjadi lebih cepat karena yang melakukanya adalah mesin. Namun bersamaan dengan hal itu pertanian menyumbang konsumsi yang tinggi terhadap bahan bakar minyak solar.
Ketiga pembaharuan dalam dnia pertanian memiliki damapa positif dan negatifnya masing- masing. Misalnya penggunaan sumur bor untuk irigasi membuat petani tetap bisa menanam tanaman meskipun musim kemarau adalah dampak positifnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah berkurangnya cadangan air tanah di desa donoyudan. Dahulu ketika teknologi sumur bor belum digunakan oleh para petani didesa Donoyudan, setiap musim kemarau lahan persawahan tidak dianami atau sawah menjadi lahan bero menurut istilah lokal. Sehingga saat musim kemarau para anak-anak bisa bermain layang-layang di lahan persawahan tanpa terganggu oleh tnaman petani. Setelah sumur bor digunakan sepanajang tahun lahan persawahan dapat ditanami. Keadaan ini membuat anak-anak kehilagan tempat mereka untuk bermain layang-layang.
Pada awalnya petani hanya menanam tanaman seperti kacangtanah maupun jagung pada saat musim kemarau. Tanaman jagung dan kacang adalah tanaman yang konsumsi airnya tidak begitu banyak. Tanaman kacang perlu disiram lima hari sekali sedangkan jagung sekitar delapan hari sekali. Namun pada saat ini harga padi menurut peetani adalah yang paling menjanjikan dan paling setabil. Sehingga meskipun modal yang dikeluarkan sangatlah banyak petani tetap menanam padi pada musim kemarau sambil berhaap ada hujan kiriman atau hujan yang terjadi sesekali pada musim kemarau. Namun petani tidak memprediksi bahwa kemarau yang akan terjadi pada musim tanam kali ini adalah kemarau yang sangat panjang tanpa hujan kiriman sekalipun dan tetap meanam padi. Keadaan ini membuat sumur bor menjadi satu-satunya sumber air penyiraman untuk tanaman disawah. Tanaman padi yang membutuhkan siraman air tiga hari sekali tentu saja meguras sangat besar cadangan debit air tanah, apalagi pada musim tanam kali ini petani yang menanam padi dibanding dengan kacang lebih banyak petani yang menanam padi. Sehingga dapat dibayangkan bahwa air tanah mengalami eksploitasi besar-besaran untuk kepentingan penyiraman tanaman padi.
ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP KEKERINGAN
Eksploitasi terhadap air tanah menggunakan sumur bor di sawah telah berakibat pada bekurangnya debit air pada sumur-sumur warga. Bahkan jika sumurnya tidak terlalu dalam sumur itu tidak akan lagi ada airnya. Keadaan ini membuat warga desa Dnoyudan harus bisa beradaptasi dengan keadaan yaitu kekeringan. Adaptasi yang umum dilakukan warga Donoyudan untuk menghadapi kekeringan ini adalah dengan cara memperdalam lagi sumur yang mereka miliki dengan harapan sumber air tanah yang lebih dalam masih banyak. Cara adaptasi seperti ini telah menimbulkan terciptanya lapangan pekerjaan baru sebagai tukang memperdalam sumur. Tukang memperdalam sumur berbeda dengan tukang gali sumur. Tukang memperdalam sumur hanya memperdalam saja sedangkan tungkang gali sumur betugas membuat sumur baru dari nol. Tukang memperdalam sumur umumnya tidak memiliki kemampuan semumpuni tukang gali sumur, yang diperlukan hanya sedikit keberanian dan setamina yang selalu prima. Warga Donoyudan yang sumurnya mulai kekeringan dan menginginkan unuk memeperdalam sumurnya biasanya hanya meminta tolong orang yang berasal dari tetangga sekitarnya saja. Namun ada juga warga yang memperdalam sumurnya sendiri, biasanya dilakukan oeh keluarga yang memiliki anak laki-laki yang masih dirumah dan bisa membantu.
Adaptasi yang dilakukan warga Donoyudan yang kedua yaitu dengan meminta air dari tetagga yang sumurnya masih ada banyak airnya. Biasanya cara ini dilakukan oleh warga yang tidak memiliki kemampuan untuk memperdalam sumurnya. Bentuk adaptasi yang dilakukan ini menjadi bukti bahwasanya masyarakat Donoyudan adalah masyarakat yang masih tradisional. Meminta air dengan gratis pada saat krisis air hanya bisa dilakukan pada masyarakat yang integrasi sosialnya kuat. Indikator lain adalah masyarakat donoyudan sangat menghindari konflik, saat ditanyakan pendapat mereka tentang penyiraman tanaman padi setiap tiga hari sekali yang dilakukan oleh petani adalah penyebab sumur mereka hampir menering. Jawaban mereka tidak membenarkan secara eksplisit hal itu. Mereka hanya menjawab dengan kalimat “ yo mungkin enek empere mas . .” yang artinya “ ya mungkin ada benarnya mas “. Pemberian jawaban seperti itu memberikan kesan sebenarnya mereka memiliki kecurigaan jika sumur mengering disebabkan oleh ekploitasi terhadap air tanah namun tidak mau mengungkapkanya secara lugas. Kultur yang demikian mempengaruhi cara adaptasi yang dilakukan masyarakat saat menghadapi kekeringan. Misalnya mereka tidak terfikir sama sekali untuk menarik kompensasi kepada para petani yang menanm padi.
Selain bentuk adaptasi diatas, doa pujian menjadi cara yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah krisis air yang dialami warga masyarakat Donoyudan. Latar belakang religius desa Donoyudan yang membuat doa dipanjatkan sebagai bentuk pengharapan. Syair doa yang dipanjatkan adalah sebagai berikut :
“Allahu ya karim, ya karim anzil ‘alaina maan midroro . . .”
Syair doa tersebut dahulun dilantunkan diwaktu antara adzan dan iqomah meenggunakan pengeras suara atau yang biasa di sebut dengan pujian. Namun sekarang syair doa tersebut hanya dipanjatkan ketika ada kesempatan tertentu saja misalnya yasinan. Hal ini dikarenakan menurut cerita mereka dahulu kitika musim kemarau tiba keudian ada salah satu warga yang pujian menggunakan syair tersebut yang terjadi adalah hujan lebat yang malah membuat tanaman merekan menjadi kurang baik. Dengan berlandaskan cerita tersebut mereka memiliki pemahaman jika kemarau adalah kehendak Tuhan dan akan berahir saat Tuhan menghendakinya. Doa yang seakan memerintah Tuhan hanya akan membawa ketidakbaikan pada mereka sendiri. Mereka memanjatkan doa hanya saat ada kesempatan tertentu saja bertujuan untuk memperbaiki etika kepada Tuhan. Dengan etika tersebut mereka seakan mengatakan “ Tuhan saya meminta hujan tapi terserah engkau memberikanya atau tidak “
SIMPULAN
Perubahan akan selalu terjadi pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam bidang pertanian di desa Donoyudan mempengaruhi aspek sosial dan budayanya. Adaptasi dilakukan untuk tetap bisa memenuhi kebutuhan sebagai respon terhadap perubahan. Bentuk adaptasi yang dilakukan masyarakat Donoydan tidak lepas dari latar belakang sosial budayan yang dimilikiya. Dengan latar belakang sebagai masyarakat yang masih tradisonal yang dimiliki masyarakat desa Donoyudan maka bentuk adaptasi yang dilakukan pun berupa bentk-bentu adaptasi tradisional.
masing2 paragrap dirapikan lagiterus alangkah lebih menarik jiga ditambah gambar juga