Makna Proklamasi

Makna Proklamasi

Sebentar lagi seluruh bangsa Indonesia memperingati dan merayakan Hari Proklamasi Ke-63 Kemerdekaan Indonesia. Naskah proklamasi kemerdekaan dibacakan dan bergaung kembali di seantero Nusantara. Bahkan oleh seluruh perwakilan Indonesia akan digemakan di seluruh dunia. Tetapi sempatkah kita mengkaji makna terdalam yang masih tersembunyi dari dua kalimat yang tampak sederhana itu?

Coba tilik sejenak naskah proklamasi yang sakral, singkat, dan bernas itu. “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal tentang pemindahan kekuasaan dan lain- lain dilaksanakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.

Dua kalimat pendek itu sarat makna. Pemilihan kata-katanya cermat. Perhatikan kata kerja kedua kalimat itu. Pada kalimat pertama, kata kerja menyatakan (to declare) dapat mengundang pertanyaan apakah kemerdekaan memang dapat dinyatakan begitu saja? Secara ringan kita tentu akan menjawabnya “ya”, tetapi tidak pada 63 tahun lalu. Secara politis dan militer, situasi menjelang detik-detik proklamasi tidak mudah karena secara de facto Indonesia masih di bawah pendudukan militer Jepang. Sejak Jepang menyerah kepada sekutu pada 14 Agustus 1945, secara de jure semua daerah pendudukan Jepang beralih kepada tentara sekutu.

Bagi para pendiri negara kita, pilihan kata menyatakan kemerdekaan merupakan cermin dari keyakinan yang amat kuat, yang muncul dari pengalaman bangsa Indonesia hidup beratus-ratus tahun di bawah penjajahan. Bahwa kemerdekaan merupakan hak suatu bangsa, kemudian tercantum dalam kalimat pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan, oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan”.

Piagam Jakarta dan Piagam PBB
Konsepsi kemerdekaan sebagai hak sudah bulat disepakati para pendiri negara, dua bulan sebelum Hari Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Kalimat pertama Pembukaan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 sudah mantap keberadaannya dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945.

Makna penting pilihan kata menyatakan itu akan lebih dapat kita hargai apabila dibandingkan dengan konsepsi tentang kemerdekaan yang berkembang pada tataran internasional saat itu. Ketika para pendiri Republik menggodok konsep dasar negara dan rancangan UUD 1945 pada sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bersidang di Jakarta 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 di Gedung Tyuoo Sangi-In (kini Gedung Pancasila, Departemen Luar Negeri). Hampir bersamaan dengan itu, juga berlangsung suatu konferensi The United Nations Conference on International Organizations (UNCIO) di San Francisco, AS, pada 25 April 1945 yang menghasilkan Piagam PBB. Piagam PBB disahkan dan ditandatangani 26 Juni 1945, hanya empat hari setelah Piagam Jakarta.

Proses pembahasan dasar negara dan UUD oleh BPUPKI dan PPKI pada tataran nasional, dan proses oleh UNCIO yang merancang Piagam PBB pada tataran internasional, sama-sama bertujuan menciptakan tatanan baru yang ingin ditegakkan sesudah berakhirnya Perang Dunia II. Yang satu tatanan nasional dan lainnya tatanan internasional. Aneh tetapi nyata. Di Indonesia dari pengalaman hidup ratusan tahun di bawah sistem penjajahan, para pendiri republik sampai pada keyakinan, kemerdekaan ialah hak segala bangsa.

Sementara pada tataran internasional, dari pengalaman tragedi kemanusiaan yang mengakibatkan enam juta orang terbunuh dan terluka pada PD II, masyarakat internasional melalui UNCIO sama sekali tidak berbicara tentang kemerdekaan sebagai hak. Hasil UNCIO, seperti tertuang dalam Piagam PBB (mulai berlaku 24 Oktober 1945) berbicara tentang prinsip self determination, namun saat itu diartikan hanya sebagai self rule, semacam otonomi, dan tidak pernah dimaksudkan sebagai “hak untuk merdeka”. Dokumen konferensi (travaux preparatoire) UNCIO jelas menggambarkan alur perdebatan yang mengartikan begitu. Kemerdekaan hanya dimungkinkan atas persetujuan (by agreement) dari negara penjajah. Dan sesuatu yang harus diperjanjikan lebih dulu itu jelas bukan suatu hak.

Seperti kita ketahui, butir-butir pikiran yang masih berusaha melanggengkan kolonialisme dalam konferensi di Dumbarton Oaks (dekat Washington, DC) setahun sebelumnya amat mewarnai naskah Piagam PBB itu. Tenggelam sudah Doktrin Wilson (1914) yang berbicara tentang self determination dan janji-janji untuk memerdekakan bangsa-bangsa terjajah seperti dimuat dalam Atlantic Charter (14 Agustus 1941) menjelang PD II berakhir. Pada konferensi UNCIO, meski AS dan Australia ingin memberi makna self determination sebagai hak untuk merdeka, namun sembilan negara Eropa yang telah porak poranda akibat perang masih ingin meneruskan kembali penjajahannya. Negara-negara jajahan ingin terus dijadikan sumber bahan mentah yang murah bagi rekonstruksi mereka pasca perang.

Dengan kata lain, konsepsi kemerdekaan sebagai hak telah dikesampingkan Piagam PBB. Pernyataan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 59 tahun lalu, bukanlah hak yang diakui hukum internasional!

Kita patut berbangga dengan pemikiran dan inovasi para pendiri Republik kita, sebab baru 15 tahun kemudian, tahun 1960, melalui Resolusi Majelis Umum PBB No 1514 ada pengakuan akan hak bangsa-bangsa terjajah untuk merdeka.

Kalimat kedua Proklamasi

Para perancang naskah Proklamasi memilih kata “pemindahan kekuasaan”. Mengapa tidak dipilih, misalnya, kata “serah terima”? Pemilihan kata “pemindahan” merupakan konsekuensi logis dari makna kalimat pertama, bahwa kemerdekaan yang dinyatakan itu adalah hak kita. Kata “memindahkan” merupakan tindak sepihak. Karena itu kita tidak memerlukan persetujuan siapa-siapa.

Berbeda dengan pengertian “serah terima”, yang merupakan tindakan dua pihak, antara yang menyerahkan dan yang menerima. Yang belakangan ini sejalan dengan konsepsi kemerdekaan atas persetujuan (by agreement) yang diinginkan negara-negara penjajah. Kalau konsep ini yang diterima, maka seperti dikatakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda van Mook pada 1942, Indonesia memerlukan 100 tahun lagi untuk merdeka, berarti tahun 2042 dan itu masih 34 tahun dari sekarang!

Karena perbedaan konsepsi atas kemerdekaan itulah, kita tidak pernah nyaman dengan penggunaan istilah “penyerahan kedaulatan” berdasar hasil Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Konsepsi “serah terima” kekuasaan sebenarnya bertentangan dengan makna Proklamasi.

Dimensi internasional

Proklamasi mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia. Dengan pernyataan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 kesadaran kebangsaan Indonesia memuncak menjadi kemauan bulat bangsa untuk mewujudkan kedaulatannya. Esok harinya, 18 Agustus 1945, kelengkapan negara yang baru diproklamasikan itu disempurnakan. Hampir lengkaplah Indonesia sebagai suatu negara: memiliki wilayah, pemerintahan, dan rakyat. Masih satu lagi persyaratan bagi sebuah negara menurut hukum internasional yang belum dipenuhi, yakni pengakuan (recognition) dari masyarakat internasional.

Di dalam negeri, eksistensi fisik negara harus terus diperjuangkan. Membonceng pasukan sekutu yang kembali ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, Belanda datang untuk memulihkan kembali kedaulatannya atas Hindia Belanda yang ditinggalkannya tahun 1942. Perlawanan tentara dan rakyat bersenjata amat mewarnai upaya mempertahankan eksistensi negara RI yang baru dilahirkan, khususnya periode 1945-1949. Tetapi perjuangan fisik hanya satu sisi dari satu mata uang. Sisi lainnya, diplomasi, yang tidak kurang sulitnya.

Kesulitan paling besar sebetulnya bukan karena berhadapan dengan Belanda saja, tetapi justru dengan tatanan internasional (termasuk hukum internasional) yang belum mengakui hak bagi negara-negara untuk merdeka. Karena itu, tantangannya luar biasa. Konsepsi tentang hak bangsa terjajah untuk merdeka yang ditampilkan para pendiri Republik memang revolusioner, sebab ia jauh di muka dibandingkan zamannya.

Yang kemudian perlu diperjuangkan oleh diplomasi Indonesia tidak hanya memperoleh pengakuan bangsa-bangsa lain atas eksistensi negara yang baru diproklamasikan, tetapi juga konsepsi akan hak bangsa untuk merdeka. Ini yang membedakan dengan banyak bangsa terjajah lainnya yang merdeka tahun 1960-an, yang dengan relatif mudah memperoleh pengakuan banyak negara lain.

Bersandar pada hukum internasional yang lama, Belanda jelas menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia karena itu menolak eksistensi negara Republik Indonesia. Bagi mereka, apa yang terjadi di Indonesia hanya bagian dari persoalan di bagian belakang (backyard) mereka. Karena itulah sepanjang pembicaraan masalah Indonesia (Indonesian Question) di Dewan Keamanan PBB (1947-1950) dalil-dalil Belanda mengenai apa yang terjadi di Indonesia hanya sebagai urusan domestik (domestic jurisdiction) mereka. Karena itu pula serbuan oleh militer Belanda atas wilayah Republik tahun 1947 dan 1948 mereka sebut sebagai aksi polisional, bukan agresi militer.

Sebagai konsekuensi proklamasi, yang harus diperjuangkan adalah pengakuan atas eksistensi negara secara keseluruhannya (negara kesatuan), yang wilayahnya mencakup seluruh bekas Hindia Belanda. Namun, dalam kenyataannya, menghadapi realitas politik yang tidak mudah, terutama kesulitan-kesulitan yang dihadapi di front perjuangan fisik-dan tidak kurang pula di front diplomasi seperti digambarkan di muka- tesis-tesis yang bersumber dari proklamasi itu kemudian juga bergeser, setidaknya atas alasan taktis. Dalam kurun lima tahun sejak 1945, tesis negara kesatuan bergeser menjadi federal, bahkan dari tesis pemindahan kekuasaan menjadi “serah terima” kekuasaan menyusul kesepakatan pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949.

Namun sejarah telah membuktikan, semangat proklamasi kemerdekaan itulah yang senantiasa kuat dan mengemuka. Tidak sampai satu tahun, penyesuaian taktis itu, lalu secara strategis dikoreksi. Pada 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Dan dengan Indonesia menjadi anggota PBB pada September tahun yang sama, Indonesia akhirnya diakui negara-negara lain, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi.

Dirgahayu Republik Indonesia!

 Sumber : https://brata56.wordpress.com/2008/07/23/makna-proklamasi/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: