Seputar Hari Lahir Pancasila dan Relevansinya Kini

Beberapa tahun lalu, harian Suara Merdeka pernah memuat wawancara seputar hari lahir Pancasila bertajuk “Pancasila Tetap Relevan” (03/06/2018). Berikut adalah naskah lengkap wawancaranya.

Kini, 1 Juni menjadi hari libur nasional: Hari Lahir Pancasila. Kenapa setelah sekian lama, baru sekarang hal itu berlangsung? Apa yang menjadi pangkal persoalan?

Kalau kita lihat sejarah, libur dalam rangka hari lahir Pancasila sebenarnya pernah ditetapkan pada periode Sukarno. Saat itu tahun 1964 Presiden melalui menteri koordinator ekonomi dan menteri agama telah menetapkan 1 Juni sebagai hari libur. Tapi, ketetapan itu sudah lama tidak dilaksanakan lagi. Saya rasa ini tidak dapat dilepaskan dari politik desukarnoisasi yang dijalankan pada masa Orde Baru. Hal-hal yang berbau Sukarno sebisa mungkin tidak dimunculkan. Baru pada 2016 Presiden menetapkan kembali 1 Juni sebagai hari libur nasional.

Penetapan Hari Lahir Pancasila oleh Presiden jika kita lihat dalam Kepres Nomor 24 tahun 2016 dilatarbelakangi keinginan melengkapi sejarah ketatanegaraan Indonesia. Karena sebelumnya tanggal 18 Agustus sudah ditetapkan sebagai Hari Konstitusi sejak 2008. Akan tetapi, sebenarnya penetapan ini lebih kepada meneguhkan identitas bahwa Pancasila adalah sebagai gagasan dasar negara yang pertama kali dimunculkan pada 1 Juni 1945 oleh Sukarno.

Akan tetapi, faktor ini menurut saya tidak cukup. Ada permasalahan lain yang melatarbelakangi penetapan ini. Penetapan Hari Lahir Pancasila tidak semata-mata karena faktor historis. Ada konteks kekinian yang turut mendorong perlunya wacana Pancasila dihidupkan kembali. Kita membutuhkan Pancasila sebagai perekat identitas kebangsaan.

Adalah benar jika pada periode Orde Baru seolah terjadi pengultusan terhadap Pancasila. Namun, tidaklah tepat jika Pancasila tidak dianggap relevan pada periode Reformasi. Menurut saya penetapan Hari Lahir Pancasila adalah momentum untuk mengingat kembali relevansi Pancasila bagi Indonesia. Apalagi, saya melihat pemerintah saat ini memiliki kedekatan emosional dengan sosok Sukarno.

Bagaimana gambaran pengejawantahan Pancasila dari masa ke masa – mengingat kita pernah menerapkan demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, dan kini era (yang disebut) reformasi — dalam kehidupan bernegara dan berbangsa?

Sebelumnya perlu digarisbawahi bahwa Pancasila pernah memiliki beberapa versi. Versi yang saat ini kita hapal, sebenarnya baru ditetapkan melalui Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968. Instruksi ini dilatarbelakangi adanya keragaman dalam narasi Pancasila. Karenanya untuk menyamakan dengan Pembukaan UUD 1945 dikeluarkanlah inpres ini. Sebelumnya rumusan Pancasila disesuaikan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia. Di masa demokrasi liberal dan terpimpin, rumusan pancasilanya adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Perikemanusiaan; (3) Kebangsaan; (4) Kedaulatan Rakyat; dan (5) Keadilan Sosial. Narasi ini juga berlaku pada periode sebelumnya, di masa Republik Indonesia Serikat (RIS. Secara narasi teks, Pancasila mengalami beberapa kali penyesuaian sejak 1 Juni 1945.

Kalau mau dilihat pengejawantahannya kiranya baru dapat direkam sejak akhir 1949. Itu karena pada periode setelah proklamasi kita masih disibukkan dengan perang kemerdekaan. Sebagai negara, kedaulatan kita masih mengalami tarik ulur. Baru pada saat RIS saya melihat konsep negara berdaulat mulai tumbuh. Tapi itupun masih diwarnai tarik ulur kepentingan antara negara-negara bagian di dalam RIS. Di masa RIS prinsip kebangsaan menjadi prioritas ketika dalam waktu empat bulan, 13 negara bagian dan daerah otonom menyatakan diri melebur menjadi bagian dari Republik Indonesia. Sehingga RIS hanya terdiri atas tiga negara bagian: Republik Indonesia, Negara Sumatera Timur, dan Negara Indonesia Timur.

Barangkali pada masa demokrasi liberal pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami masa paling dinamis. Saat itu, muncul partai politik yang memiliki ideologinya masing-masing. Ada yang berideologi kebangsaan, sosialisme demokratik, komunisme, serta ideologi agama. Pancasila bersama dengan marhaenisme masuk dalam kategori idelogi kebangsaan. Berkembangnya idelogi-ideologi ini menandakan bahwa Pancasila ternyata belum cukup mampu menjadi sistem gagasan yang diterima oleh seluruh golongan. Perdebatan ini masih terus terjadi sampai pertengahan Orde Baru.

Memasuki masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno tampil sebagai satu kekuatan penentu. Ia sebenarnya tidak sepakat dengan model demokrasi liberal yang kebarat-baratan. Akhirnya ia ingin menguatkan kembali Pancasila sebagai satu ideologi nasional. Ia mencoba merangkul kelompok nasinalis, agama, dan komunis. Tapi gagasan Sukarno belum sempat terealisasi sampai kejatuhannya.

Pelembagaan Pancasila saya lihat terjadi dengan sangat massif pada masa Orde Baru. Soeharto sadar bahwa diperlukan satu konsensus bersama dalam rangka pencapaian stabilitas nasional. Satu-satunya jalan adalah dengan menghadirkan tafsir atas Pancasila melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Ekaprasetia Pancakarsa di tahun 1978. Kemudian dilanjutkan dengan pembentukan BP7 pada tahun 1979. Sejak itu, berbagai penataran P4 diberikan di setiap jenjang. Di sini Pancasila tidak hanya dianggap sebagai dasar kehidupan bernegara saja, tetapi mengatur urusan privat warga negara.
Salah satu puncaknya adalah setelah 1982 muncul kebijakan Pancasila sebagai azas bagi partai politik dan golongan karya. Ini dituangkan pada GBHN 1983. Pancasila sebagai azas tunggal kemudian juga berlaku untuk organisasi kemasyarakatan.

Memasuki masa reformasi, masyarakat dengan semangat ingin mengganti tatanan lama dengan yang baru. Ketetapan MPR XVIII/MPR/1998 dikeluarkan untuk mencabut ketetapan MPR tentang Ekaprasetia Pancakarsa. Menurut ketetapan yang baru, pelaksanaan P4 dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Setelah itu, nyaris eksistensi Pancasila sepertinya mulai terkikis. Apalagi, berbagai pemikiran yang bersifat transnasional mulai masuk dan berkembang. Akan tetapi, sejak Jokowi menjadi presiden, Pancasila tampaknya mulai menggeliat. Salah satunya dengan menetapkan hari lahir Pancasila serta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

Jika ada perbedaan manifestasi, apakah itu karena perbedaan penafsiran tentang Pancasila?
Perbedaan implementasi tentang Pancasila tampaknya memang dilatarbelakangi oleh perbedaan tafsir tentang Pancasila. Karena itu, Orde Baru sebenarnya pernah mencoba untuk memberikan tafsir atas Pancasila melalui P4. Tafsir ini secara terus-menerus disampaikan melalui penataran-penataran bagi masyarakat. Namun dalam kenyataannya, program tersebut disalahgunakan sebagai mesin legitimasi Orde Baru. Akibatnya Pancasila justru terjebak pada formalitas.

Kenapa bisa muncul perbedaan penafsiran?
Perbedaan penafsiran atas Pancasila salah satunya disebabkan sifatnya sebagai ideologi terbuka. Pancasila bersifat fleksibel, walaupun ada nilai dasar yang secara substansi bersifat tetap sebagaimana dalam pembukaan UUD kita. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila dapat diterapkan dalam berbagai situasi. Akan tetapi, keberadaannya pastilah dipengaruhi oleh jiwa zaman di mana masyarakat itu hidup. Sementara itu, tren atau jiwa zaman masyarakat dipengaruhi oleh banyak faktor. Karakteristik pemerintah dan pendukungnya menjadi faktor penentu jiwa zaman. Perbedaan karakteristik pemerintah/penguasa saya rasa sangat berpengaruh terhadap perbedaan tafsir terhadap Pancasila.

Selain itu, dinamika politik dapat pula menjadi penentu jiwa zaman. Kemudian, globalisasi informasi makin sering membawa pemikiran-pemikiran baru, yang sangat mungkin diikuti oleh masyarakat. Ini juga mempengaruhi terbentuknya jiwa zaman. Apalagi karakteristik masyarakat saat ini sering kali bersifat labil, tentu saja kecenderungan untuk terbawa arus menjadi sangat tinggi.

Setelah diterima dan dinyatakan sebagai dasar negara, kapan terjadi perdebatan memuncak tentang Pancasila? Kenapa?
Tampaknya Pancasila tidak pernah lepas dari perdebatan. Bahkan masih ada beberapa pihak yang mempertanyakan mengapa tanggal 1 Juni 1945 yang dijadikan acuan. Bukan tanggal 22 Juni saat Piagam Jakarta dikeluarkan. Atau pada 18 Agustus 1945 saat UUD yang mencantumkan Pancasila disahkan. 1 Juni diakui oleh founding fathers sebagai awal mula dicetuskannya secara eksplisit dasar negara sekaligus diperkenalkan istilah Pancasila. Atas dasar usulan dari Sukarno inilah kemudian panitia 9 mengeluarkan Piagam Jakarta. Kemudian dari Piagam Jakarta disusunlah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu diperdebatkan lagi untuk hari lahir Pancasila.

Saya melihat ada dua peristiwa besar yang menjadi tanda memuncaknya perdebatan tentang Pancasila. Pertama, perdebatan di dalam dewan Konstituante saat merumuskan dasar negara. Dalam sidangnya, ada tiga kubu ideologi yang mengusulkan dasar negara. Kubu Pancasila yang diusung antara lain oleh PNI, PKI, IPKI, Parkindo, Partai Katolik. Kemudian, seluruh partai Islam dengan kekuatan hampir separuh jumlah kursi mengusung Islam sebagai dasar negara. Kubu yang terkecil adalah kubu sosial ekonomi yang diusung oleh PSI. Perdebatan antara tiga kubu ini mengerucut menjadi pergesekan kepentingan antara kelompok Islam dan Pancasialis. Sudah ada dua disertasi yang mengupas ini, yakni Adnan Buyung Nasution dan A. Syafii Maarif. Perdebatan ini akhirnya tidak pernah selesai karena Sukarno sudah keburu membubarkan Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Peristiwa kedua yang menandai puncak perdebatan tentang Pancasila terjadi ketika Soeharto menyampaikan perlunya azas tunggal untuk seluruh organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Perdebatan tentang Pancasila sebagai azas tunggal sudah mulai sejak perumusan GBHN 1978. Saat itu kelompok Islam menolak. Setelah itu, sebelum penyusunan GBHN 1983, pada pidato kenegaraan, Presiden Soeharto menghimbau agar Pancasila dijadikan sebagai satu-satunya azas. Reaksi keras lagi-lagi datang dari kelompok Islam. Hal ini memicu bentrok dan ketegangan di pertengahan tahun 1980-an. Konflik terjadi antara kelompok Islam dan pemerintah serta pergesekan di dalam internal organisasi Islam. Contohnya adalah perpecahan dalam tubuh HMI. Perdebatan tentang azas tunggal akhirnya dimenangkan oleh pemerintah dengan keluarnya UU nomor 2 tahun 1985 yang menjadi landasan hukum pemberlakuan azas tunggal untuk organisasi sosial politik.

Kini, bagaimana seyogianya pelaksanaan Pancasila secara operasional dalam kehidupan bersama sebagai negara dan bangsa?
Menurut Sukarno, intisari Pancasila adalah gotong royong. Gagasan utamanya menurut saya adalah semangat berkarya untuk kebersamaan. Jadi secara operasional kontribusi nyata dalam pengamalan Pancasila adalah kiprah nyata, kinerja yang optimal, dan karya yang bermanfaat dalam bidangnya masing-masing. Selain itu untuk membangun kebersamaan, saat ini sebagai bangsa kita perlu menghormati keberagaman, serta menahan diri dan tidak bersifat reaktif terhadap suatu permasalahan. Ini juga bagian dari sila ketiga tentang persatuan Indonesia. Di era media sosial, sebisa mungkin kita menghindari ujaran kebencian segaligus selektif dalam menyaring informasi. Intinya, apabila kita tidak menjadi bagian dari solusi, bisa jadi kita adalah bagian dari masalah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: