Desa Ngadas Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo merupakan sebuah Desa di lereng Gunung Bromo yang merupakan pintu masuk menuju Gunung Bromo. Masyarakat Suku Tengger ini sudah ada sejak dahulu, agama yang mereka dianut adalah agama Hindhu Dharma. Adat yang paling menonjol pada masayarakat Desa Ngadas yaitu kekeluargaan dan kegotong-royongan. Kerukunan yang terjalin dalam masyarakatnya disebut sebagai Sinoman yang artinya saling membantu.
Dinamika masyrakat Desa Ngadas tidak terlepas pula pada kenyataan bahwa desa ini merupakan desa yang menjunjung tinggi nilai-nilai kerukunan masyarakat Tengger. Sebagai desa yang memiliki sistem sendiri dalam menjalankannya, Desa Ngadas tidak melupakan nilai-nilai yang diyakini bersama oleh Suku Tengger. Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut ialah cinta dan rasa kesatuan. Paguyuban inilah yang menjadi keyakinan bersama masyarakat di Desa Ngadas. Bentuk konkrit dari paguyuban ini dapat terlihat juga dari proses musyawarah sebagai jalan pembentuk kebijakan desa. Desa Ngadas telah melalui perkembangan sosio-kultural yang pesat searah dengan pesatnya modernisasi di Indonesia. Dengan kekayaan dan keindahan alamnya, saat ini Desa Ngadas telah menjadi desa pariwisata bagi orang di luar daerahnya. Orang Tengger dikenal sebagai petani tradisional yang tangguh, bertempat tinggal berkelompok-kelompok di bukit-bukit yang tidak jauh dari lahan pertanian mereka. Suhu udara yang dingin membuat mereka betah bekerja di ladang sejak pagi hingga sore hari. Desa Ngadas bukan hanya satu-satunya desa yang ada di lereng Gunung Bromo, ada desa lain seperti Desa Cemoro Lawang yang letaknya diatas dan Desa Wonokerto yang letakknya dibawah Desa Ngadas. Meskipun Berdekatan, namun desa-desa disana saling menghargai dan toleransi antar umat beragama. Kebisaan masyarakatnya tidak ada yang secara signifikan berbeda, misalnya dalam segi bahasa, mata pencaharian, aktivitas masyarakat, perilaku, pekerjaan, budaya dan ritual keagamaan maupun kesenian. Namun hanya terdapat satu desa yang mayoritas penduduknya beragama islam yaitu Desa Wonokerto, sedangkan Desa Ngadas mayoritas Hindhu hanya beberapas saja yang beragama islam.
- Deskripsi Masalah
Dengan perkembangan arus globalisasi dan modernisasi yang sekarang ini, Desa Ngadas termasuk desa yang masih menjaga dengan tradisi kebudayaan, adat istiadat yang diwariskan oleh para leluhur. Selain itu, wilayah desa ngadas juga dikelilingi desa lain seperti desa cemoro lawang dan desa wonokerto, dari sekian jumlah desa disana ada yang sama-sama mayoritas beragama Hindhu dan ada yang beragama Islam. Salah satunya desa Wonokerto yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Desa Wonokerto adalah satu-satunya desa yang jaraknya paling dekat dengan desa ngadas. Desa wonorkerto berada dibawah desa ngadas, untuk akses ke desa Ngadas cukup dengan jalan kaki sampai, bahkan untuk sekolah dasar saja hanya terdapat satu, yaitu SD Wonokerto yang dimana siswanya kebanyakan anak-anak dari desa Ngadas dan desa Wonokerto. Apa yang terjadi ketika pelajaran agama berlangsung? Bagi mereka yang Hindhu ketika memasuki pelajaran agama islam, diperkenankan untuk meninggalkan kelas. Tetapi jika ingin mengikuti pelajaran tersebut pun diperbolehkan. Bagaimana keterkaitan sistem ekonomi mempengaruhi pola perilaku anak-anak desa ngadas, bahkan tidak hanya didesa ngadas saja, sering dijumpai ketika melihat anak-anak di desa selain desa ngadas, anak-anak ikut membantu orang tuanya ke ladang, ada yang menumpang sepeda motor dengan membonceng ayahnya yang membawa tumpukkan rumput untuk pakan ternak, anak-anak kecil digendong orangtuanya selepas dari ladang, bahkan anak-anak ikut bekerja sehabis pulang sekolah agar memperoleh uang untuk uang jajan. Disana banyak pula dijumpai anak-anak yang mempunyai jiwa kewirausahaan untuk menunjang sektor ekonomi Anak-anak tersebut biasanya memanfaatkan Homestay yang disewakan orangtuanya kepada wisatawan asing maupun domestik. Ketika berada di homestay dijumpai anak-anak yang menjajakan barang-barang yang menghangatkan seperti kaos tangan, kupluk, syal, kaos kaki dan masih banyak lagi yang lain. Anak-anak tersebut aktif bekerja di malam hari hingga esok hari. Bahkan pada waktu pagi sekitar jam 3, banyak anak-anak yang rela keluar rumah untuk menjajakan barang dagangan mereka kepada wisatawan. Banyak juga dari mereka yang pergi menjajakan dagangan mereka hingga pananjakan. Mereka baru pulang pada siang hari setelah selesai menjajakan dagangan mereka. Berbeda dari anak-anak kota yang seringkali kekurangan perhatian ketika kedua orang tua mereka bekerja dan memilih untuk mengikuti kegiatan lain di luar pengawasan orang tua yang cenderung menjerumuskan ke arah yang tidak baik. Anak-anak disana cenderung memiliki kesadaran bahwa kedua orang tua mereka bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari mereka sehingga mereka tidak menuntut lebih dari orang tua mereka. Mereka cenderung lebih prihatin dan nerimo dengan apa yang mereka miliki.
- Landasan Teori
Dengan menggunakan teori difusi dari Clark Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas, Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran gurunya mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah Culture Area yang merupakan pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya. Hal ini dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-tempatnya yang sesuai. Satu culture area menggolongkan berpuluh-puluh kebudayaan yang masing-masing berbeda-beda ke dalam sejumlah ciri yang menyolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut. Ciri tersebut tidak hanya berupa unsur-unsur kebendaan seperti alat-alat bertani, alat-alat transport, senjata, bentuk ornamen, bentuk dan gaya pakaian, bentuk tempat kediaman dan sebagainya, tetapi juga unsur-unsur yang lebih abstrak seperti unsur-unsur sistem organisasi sosial, dasar-dasar mata pencaharian hidup, sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, unsur cara berfikir, dan sebagainya. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan budaya tersebut. Wissler berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu golongan berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan tersebut. Ciri-ciri budaya yang khas yang terdapat dalam suatu “wilayah kebudayaan” (culture area) bersumber dari suatu “pusat kebudayaan” (culture center). Bersifat pusat geografi dimana unsur-unsur budaya yang menjadi ciri khas itu mula-mula berkembang dan dari sana kemudian menyebar keluar. Inilah yang menyebabkan Wissler merumuskan prinsip usia daerah atau age area yaitu jika unsur kebudayaan tertentu menyebar ke luar dari satu pusat kebudayaan yang sama, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang paling luas menyebar yang terdapat disekitar pusat kebudayaan tersebut pastilah merupakan unsur yang paling tua.
- Analisis (Aplikasi Teori)
Desa Ngadas dan Desa Wonokerto yang paling berdekatan, diantara kedua desa ini terdapat perbedaan dalam segi kepercayaan. Desa Ngadas lebih menganut agama Hindhu Darma sedangkan Desa Wonokerto masyarakatnya mayoritas manganut agama islam, agama islam dibawa dari para pendatang maupun orang desa tersebut yang kemudian menikah dengan orang luar dari desa tersebut kemudian berpindah agama Islam. Namun, dari perbedaan agama tersebut, lantas tidak merubah kebiasaan masyarakat, tidak ada yang mencolok dari perbedaan kedua desa tersebut, tempatnya yang berdekatan bahkan dengan desa yang jauh tidak menjadikan baik bahasa, aktivitas maupun pekerjaan berbeda secara signifikan. Wilayah desa Ngadas yang memiliki dataran tinggi dan sushu yang dingin, menyebabkan disana banyak pola pertanian yang berbentuk petakan-petakan. Banyak masyarakat desa ngadas yang berprofesi dibidang agraris dalam sektor pertanian, adapula yang menjadi supir jeep dan penyewa jasa kuda. Dalam bidang ekonomi inilah masyarakat desa Ngadas sangat menggantungkan hidup. Penghasilan mereka sangat tergantung hasil ladang, dan wisatawan yang datang. Menurut keterangan narasumber yaitu masyarakat desa ngadas, apabila Gunung Bromo sedang batuk seperti belum lama ini, maka pendapatan akan menurun drastis, dikarenakan ladang mereka ditutupi abu sehingga tidak bisa untuk digarap maupun ditanami tanaman, kalaupun ditanami tanaman lama kelamaan tanaman akan layu dan kemudian mati. Sedangkan sektor pariwisata menurun karena untuk sementara waktu akses menuju ke puncak Gunung Bromo harus ditutup. Mengenai keterkaitan sistem ekonomi mempengaruhi pola perilaku anak-anak desa ngadas sendiri, ini sangat terlihat ketika menjumpai anak-anak di desa ngadas apabila kita dapat melakukan penelitian lebih dalam. Menurut mereka, kegiataan ekonomi yang mereka lakukan menjadi budaya bahkan membudaya.
- Bahasa yaitu Mulai dari yang fasih menggunakan bahasa jawa kuno(kromo alus, kromo inggil, ngoko alus, dll), ada yang semi jawa (ngoko yang dipadu dengan bahasa indonesia, bahkan sampai ada yang masih belajar menggunakan bahasa jawa. Dalam hal tersebut dapat kita simpulkan bahwasanya ada proses enkulturasi dalam masyarakat tersebut.
- Sistem Pengetahuan yaitu anak-anak mulai belajar sampai jenjang SMK, ada sekitar 16 anak dtarik untuk bekerja dihotel-hotel.
- Organisasi Sosial yaitu anak-anak membuat perkumpulan remaja seperti sepeda motor atau perkumpulan Jeep. Biasanya mereka berkumpul pada malam hari, disuatu tempat untuk saling bertukar pengalaman satu sama lain.
- Sistem peralatan dan teknologi yaitu remaja disana sudah mengenal playstation dan hp yang lumyan canggih.
- Mata pencaharian hidup yaitu menjajakan barang-barang yang menghangatkan seperti kaos tangan, kupluk, syal, kaos kaki dan masih banyak lagi yang lain. anak-anak tersebut aktif bekerja di malam hari hingga esok hari. Bahkan pada waktu pagi sekitar jam 3, banyak ank-anak yang rela keluar rumah untuk menjajakan barang dagangan mereka kepada wisatawan. Banyak juga dari mereka yang pergi menjajakan dagangan mereka hingga pananjakan. Mereka baru pulang pada siang hari setelah selesai menjajakan dagangan mereka. Dengan adanya banyak anak-anak yang bekerja di malam hari hingga esok hari. Sekolah-sekolah disana menyediakan jam siang bagi anak-anak yang mau sekolah seusai mereka bekerja. Mereka mampu menciptakan karya-karya dari barang-barang bekas atau smpah plastik yang sudah tidak digunakan. Di sekolah sendiri diajari untuk membuat bunga plastik yang berasal dari gelas atau botol plastik yang sudah tidak digunakan. Anak-anak mampu menyulap barang bekas menjadi barang yang indah. Mereka menempelkan hasil-hasil karya mereka di jendela sehingga sedap dipandang mata.
- Sistem religi yaitu anak-anak yang memakai pakaian hitam. Ada pula beberapa dari mereka yang membawa keranjang. Mereka mengaku bahwa akan melakukan peribadatan ke sebuah tempat suci untuk beribadah yang bernama sanggar. Kebetulan hari itu adalah hari besar agama hindu. mereka saling menghampiri satu sama lain sebelum keberangkatan. Solidaritas antar anak-anak sangat terjaga. Mereka melakukan sembahyang tidak disertai orangtua mereka. Mereka anak-anak dari berbagai usia yang berbeda-beda mulai dari SD,SMP hingga SMA berkumpul. Mereka berdoa dengan dipimpin oleh dukun yang membacakan mantera-mantera. Selain itu ada pula pak tinggi yang ikut sembahyang disana. Mereka tidak membawa sesajen atau semacamnya, mereka mengaku hanya sembahyang dan berdoa disana. Mereka meletakkan sesajen di sebuah tempat yang bernama danyang. Mereka anak-anak yang memakai baju hitam tersebut mempunyai kesadaran sendiri bahwa mereka mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ibadah. Alhasil dengan adanya hubungan kekerabatan dan rasa solidaritas sesama agama maka tercipta kelestarian budaya yang selalu mereka junjung tinggi.
- Kesenian yaitu ada paguyuban singgo manggoloditampilan saat hari raya Kasada.
Ada beberapa faktor pendorong anak-anak desa ngadas ikut andil dalam kegiatan ekonomi, antara lain
- Anak-anak di Desa Ngadas membantu orangtua. Hal ini dilakukan anak-anak desa sebagai ungkapan rasa hormat kepada orangtua mereka. Masyarakat desa ngadas, khususnya keluarga sebagai agen sosialisasi primer, selalu mendidik anak-anaknya sejak kecil sampai tumbuh dewasa. Bagaimana si anak berperilaku yang baik sehingga mengerti nilai dan norma yang ada.
- Kebutuhan hidup yang harus terpenuhi. Terkadang dengan segala keterbatasan yang ada, mereka harus pintar memutar otak. Bagaimana caranya mereka bisa mendapatkan uang untuk hidup sehari-hari, waktu bermain harus sedikit dikurangi, waktu belajar terkadang terpotong karena mereka harus bekerja bahkan malam pun mereka masih bekerja.
- Ingin belajar mandiri. Sikap ini yang terlihat dari aktivitas anak-anak desa ngadas maupun desa-desa disekitarnya. Mereka memiliki sikap lebih Nerimo dengan keadaan yang ada. Walaupun desa mereka menjadi desa wisata, namun tetap saja apa yang dilakukan mereka tergantung pada alam.
Seperti teori difusi dari Wissler, tergambar bahwa dari satu sektor ekonomi kemudian menyebar sehingga membentuk satu kesatuan corak perilaku terhadap masyarakat khususnya anak-anak desa Ngadas. Dari pariwisata menjadi bagian dari sektor ekonomi masyarakat kemudian mempengaruhi aktivitas masyarakatnya terutama anak-anak. Misalnya dari segi perilaku anak-anak desa ngadas, mereka cenderung ingin mengeksplor dirinya dengan melakukan hal-hal yang terkadang belum saatnya mereka lakukan. Salah satunya mengendarai sepeda motor, bahkan mengendarai mobil Jeep sampai ke Desa Cemoro Lawang tepatnya desa atas padahal mereka masih SMP dan tidak mempunyai SIM. Sekain itu, dengan masyarakatnya yang sederhana bukan berarti media sosial susah diakses. Anak-anak cenderung memperoleh hal-hal tersebut dari para wisatawan yang berkunjung disana. Pakaian yang mereka kenakan juga sudah seperti anak-anak kota pakai, walaupun kesederhanaan itu masih nampak di wajah polos mereka. Namun, anak-anak di desa Ngadas juga masih melestarikan budaya sampai sekarang, terbukti dari hari raya nyepi saat itu, mereka berbondong-bondong ke pura untuk melaksanakan ritual keagamaan dengan mengenakan baju adat berwarna hitam. Hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan bagaimana perilaku anak-anak disana menjadi pusat perhatian yang menarik. Semakin kebudayaan itu di lihat secara mendalam,maka semakin jelas pula eksistensi kebudayaan tersebut dalam masyarakat. Sektor Ekonomi juga mempengaruhi cara pandang anak-anak di Desa Ngadas. Mereka lebih konsisten apabila di cercai pertanyaan mengenai adat-istiadat kebudayaan disana. Hal tersebut akan dijumpai berbeda mungkin ketika kita berjumpa dengan anak-anak jawa yang sudah kekota-kotaan. Ketika diberi pertanyaan mengenai bagaimana eksistensi suku tengger, bahasa yang digunakan, sejarahnya, bahkan nilai-nilai adat yang ada disana mereka akan dengan fasih menjawab, hal ini karena keseharian mereka bertemu dengan orang-orang luar. Mereka bukan lagi dituntut melainkan dengan berjalannya waktu mereka menjadi terbiasa menghadapi situasi yang demikian, dimana setiap harinya mereka jumpai. Wujud kebudayaan activities sangat tergambar dalam perilaku anak-anak disana. Mereka juga mampu berbaur dengan orang asing yang baru mereka kenal, tanpa canggung maupun sungkan. Karena bagi masyarakat desa Ngadas sendiri siapun mereka dan dari mana mereka itu bukan suatu masalah, karena kita semua ini bersaudara.
DAFTAR PUSTAKA
www.academia.edu/4937833/Dari_Proposional_Hingga_Agresi_Kajian_Perilaku_Sosial_Warga_Desa_Ngadas
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Artikel disusun sebagai tugas Mata Kuliah Teori Antropolgi
Dosen Pembimbing : Asma Luthfi, M.Hum
lanjutkan