Matematika, Islam dan Eropa

Frankfurt am Main, BlackCoffeePost. SEORANG teman berkewarganegaraan Jerman mendatangi saya dan bertanya, “Bist du Muslim?” Dia menanyakan itu setelah melihat beberapa “keanehan” pada diri saya.

Selain selalu mendapat menu spesial berupa makanan halal saat menghadiri pesta, dia melihat ada “karpet khusus” di rak ruang kerja saya.

“Lalu, apa ini?” tanyanya lagi sambil menunjuk sajadah. “Ke mana kamu mengarahkan ini saat beribadah? Dan bagaimana kamu tau?” tanyanya lagi. Saya tunjukkan arahnya dan jelaskan bahwa saya punya aplikasi smartphone penunjuk arah kiblat dan pengingat waktu shalat.

Masih belum puas, ia bertanya lagi. “Bagaimana jika aplikasi tidak berfungsi? Bagaimana kalau suatu saat kamu mengalami kesulitan dalam menentukan arah?”

Saya jawab lagi, kita punya pendekatan matematis yang juga menjadi dasar pengembangan aplikasi itu. Toh, Tuhan maha pemurah. Dalam kondisi tertentu ada keringanan-keringanan yang diberikan untuk hambaNya.

Rentetan pertanyaan itu tidak ia gunakan untuk menginterogasi. Dia sudah tahu jawabannya dan hanya sedang menguji. Sebab, meski bukan seorang muslim, dia ternyata pengajar Islamiche Mathematik di Goethe University, Frankfurt am Main, tempat kini saya kuliah.

Dalam mata kuliah tersebut dibahas tentang penerapan konsep matematika dalam Islam. Misalnya bagaimana menentukan waktu salat, menentukan arah qiblat, juga penentuan waktu dalam lunar calendar.

Untuk menentukan hal-hal itu, konsep-konsep dasar matematika digunakan. Misalnya, konsep tentang sudut, segitiga, bola, teorema pythagoras, dan trigonometri. Selain itu, dibahas pula contoh-contoh Islamischen mathematischen tradition di abad ke 8-15 M.

Setelah berdiskusi cukup lama, dia memberikan beberapa file artikel ilmiah tentang Matematika Arab/ Islam. Di akhir pembicaraan, teman saya mengatakan “Ini sudah waktunya untuk kamu menghadap ke sana (qiblat). Segeralah beribadah sebelum masuk waktu berikutnya.” Sambil tersenyum ia mengatakan “Selamat beribadah.”

“…menghargai dan memahami manfaat suatu bidang ilmu adalah hal yang tidak kalah penting dibandingkan dengan mempelajari bidang ilmu itu sendiri…” – Adi Nur Cahyono.

Relasi Antarbidang

Pengalaman itu menyisakan kesan khusus bagi saya. Sebab, ketika saya berkenalan dengan seseorang dan mengatakan bahwa bidang saya adalah matematika, responnya hampir selalu sama. ”Wah, jago hitung-itungan angka ya, Mas.” Ada juga yang menyebut “kalkulator berjalan.”

Asumsi-asumsi itu memang tidak salah. Hitung-hitungan merupakan bagian konsep yang dipelajari dalam matematika. Namun, itu bukan satu-satunya. Dalam matematika juga dikenalkan logika, menggambar, modeling, dan lainnya.

Bu Inung, dosen Jurusan Matematika Unnes, pernah melakukan studi tentang model for the development of cervical cells. Pak Budi Surya, dosen ITB, dengan latar belakang matematika beliau tertarik pada financial engineering and risk management issues. Prof Hardi, profesor pendidikan matematika Unnes, bahkan menghubungkan matematika dengan kewarganegaraan.

Supervisor saya juga mengelaborasi matematika dengan bidang lain: olahraga. Itu karena – sebagaimana kebanyakan orang Jerman – dia seorang pencinta sepak bola. Untuk urusan itu, ia bahkan sudah menulis buku Mathematik+Sport yang mengulas matematika dalam dunia olahraga, khususnya sepak bola.

Menurut saya, menghargai dan memahami manfaat suatu bidang ilmu adalah hal yang tidak kalah penting dibandingkan dengan mempelajari bidang ilmu itu sendiri. Dan bagi orang yang mempelajari suatu bidang tertentu, akan lebih bermakna apabila bisa melakukan sesuatu yang bermanfaat dengan apa yang telah dia pelajari.

The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)menyebutkan bahwa “Modern societies reward individuals not for what they know, but for what they can do with what they know”.

Matematika Islam

Adanya perkuliahan Matematika Islam menunjukkan bahwa institusi ini mengakui bahwa matematika dekat dengan kehidupan umat Islam.

Memang sih, tidak semua materi yang diajarkan dalam kuliah itu berkaitan dengan aktivitas ibadah umat Islam. Ada juga materi mathematics in medieval Islam atau sering disebut Islamic mathematics yang mencakup kajian matematika yang dilakukan selama perkembangan peradaban Islam antara tahun 622 sampai 1600.

Lepas dari itu, mempelajari matematika Islam merupakan salah satu upaya pelestarian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Mereka memperlakukan ilmu ini sebagai sesuatu yang sangat berharga meskipun kampus ini berada di wilayah yang penduduk muslimnya minoritas.

Kita tahu bahwa dunia Arab telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan ternama. Di bidang matematika, kita kenal Omar Khayyam, Al-Khawarizmi, Al Biruni, dan lainnya. Pada 830 M Al-Khawarizmi telah menulis buku berjudul Al-Jabr wa Al-Muqabala. Kata Aljabar diperoleh dari buku itu.

Buku ini diterjemahkan oleh Robert of Chester dan Gerard of Cremona ke dalam bahasa latin berjudul Liber Algebrae et Almucabala. Menurut Ibnu Khaldun, di abad pertengahan, buku ini mendapat perhatian khusus dari ilmuwan Eropa dan aljabar menjadi dasar riset ilmu di Eropa.

Ini menunjukkan, kontribusi ilmuwan Islam dalam mengembangkan matematika telah diakui dunia Barat. Dalam MacTutor History of Mathematics, JJ O’Conner dan EF Robertson pernah berkata “Recent research paints a new picture of the debt that we owe to Arabic/Islamic mathematics. Certainly many of the ideas which were previously thought to have been brilliant new conceptions due to European mathematicians of the 16th, 17th and 18th centuries are now known to have been developed by Arabic/Islamic mathematicians around 4 centuries earlier”

Dialog antarbidang, bagi saya, adalah hal penting. Kita juga harus menghargai pemikiran dan temuan orang lain. Meski kita berhak mendebat dan mengajukan argument berbeda, itu harus dilakukan dalam semangat akademik yang fair dan saling menghargai.

Semoga ilmu pengetahuan yang kita miliki bermanfaat bagi pribadi, keluarga, lembaga, bangsa, dan negara. Tidak hanya di dunia yang “kini”, tetapi juga di akherat yang “nanti”.

— Adi Nur Cahyono, dosen Jurusan Matematika, kini belajar di Goethe University, Frankfurt am Main, Jerman dengan beasiswa program doktoral dari Islamic Development Bank (IDB)-Unnes.

Dipublikasikan di Kolom Gagasan pada Website Resmi Unnes (www.unnes.ac.id).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: