Ketidakadilan Gender

Hallo. Salam semangat untuk sahabat bloger. Kalian sudah tahu belum  apa itu ketidakadilan gender? Kebetulan, kali ini saya akan berbagi materi khususnya tentang ketidakadilan gender, yang pernah saya buat untuk memenuhi tugas Sosiologi Gender minggu lalu. yukss let’s go to read…!!! semoga bermanfaat. ?

PENGERTIAN KETIDAKADILAN GENDER

Ketidakadilan terjadi manakal seseorang diperlakukan berbeda (tidak adil) berdasarkan alasan perbedaan gender. Padahal perbedaan gender pada dasarnya tidak menjadi maslah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik laki-laki atau perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender merupakan kondisi dimana relasi antara laki-laki dan perempuan berlangsung timpang, merugikan bahkan mengorbankan salah satu pihak. Ketidakadilan tersebut disebabkan oleh ideologi, struktur dan sistem sosial budaya yang menghendaki adanya stereotype gender yang membedakan ruang dan peran keduanya dalam berbagai bidang kehidupan. Ketidakadilan gender dimanifestasikan dalam bidang kehidupan.

JENIS-JENIS KETIDAKADILAN GENDER

Peminggiran (marginalisasi)

Peminggiran merupakan akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) posisi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan (stereotype). Pada akhirnya perempuan tidak memiliki peluang, akses, dan kontrol seperti laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya perempuan dalam hal ekonomi mendorong pada lemahnya posisi mereka dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirknanya atau termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-ihak yang lemah tersebut, dalam hal ini perempuan.

Penomorduaan (subordinasi)

Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya adalah pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah terhadap perempuan. Cukup adil rasanya kalau saya menganggap bahwa kultur budaya kita di Indonesia ,perempuan masih dinomorduakan dalam banyak hal, terutama pengambilan keputusan. Suara perempuan dianggap kurang penting dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan umum. Akibatnya perempuan tidak dapat mengontrol apabila keputusan itu merugikan mereka dan tidak bisa ikut  terlibat semaksimal mungkin saat hasil keputusan tersebut diimplementasikan tradisi adat, atau bahkan aturan agama paling sering digunakan sebagai alasan untuk menomorduakan perempuan. Padahal secara teologis, (dipandang dari sudut keagamaan), prinsip-prinsip tauhid (ketuhanan berlaku untuk agama apapun) pada dasarnya adalah menganggap semua makhluk yang ada di dunia ini sama kedudukannya di mata Tuhan. Implikasinya, jika penciptanya saja sudah menganggap kedudukan semua manusia adalah sama, laki-laki ataupun perempuan, kulit hitam, atau putih, dan lain sebagainya, alasan apa yang membolehkan adanya perempuan diperlakukan berbeda dari laki-laki? Oleh karena itu menganggap kedudukan laki-laki lebih tinggi dan lebih penting dari perempuan dikarenakna motif keagamaan, menurut saya, kurang beralasan.

Manusia dilahirkan sama, tanpa baju pangkat, status ataupun jabatan. Lingkungan (masyarakat) yang kemudian memperkenalkan dan menetapkan nilai dan norma tertentu yang menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan perlakuan. Jika masyarakat dulu bisa membangun norma, nilai dan tradisi yang kemudian kita jalani sekarang, bukankah hal yang sama bisa kita lakukan juga saat ini? Bukankah kita sekarang juga bagian dari masyarakat yang mempunyai hak untuk mengubah, menetapkan dan mengembalikan nilai-nilai tersebut sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender yang serupa di masa datang? Perlu diingat bahwa gender bisa berubah dari waktu ke waktu dan manusia (masyarakat)bisa mengubah ketidakadilan gender tersebut menjadi keseimbangan dan kesetaraan.

Contoh penomorduaan perempuan yaitu dalam bidang pendidikan. Perempuan masih dinomorduakan, terutama pada lingkup keluarga di pedesaan atau di kalangan masyarakat yang lemah dalam status ekonominya. Dengan tingginya biaya pendidikan dan terbatasnya dana yang tersedia menyebabkan perempuan seringkali mendapat tempat kedua setekah laki-laki. Mereka menganggap bahwa laki-laki sebagai penopang keluarga, dan pencari nafkah keluarga kelak oleh karena itu laki-laki harus berpendidikan tinggi. Hal ini tentu merugikan perempuan dan juga memberikan tekanan atau tuntutan pada laki-laki, bahwa laki-laki ditunutut untuk lebih bekerja keras, harus kuat, pandai, harus memiliki pekerjaan yang bagus dan lain-lain.

Beban Kerja Berlebih

Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan bisa berbentuk pada muatan pekerjaan yang berlebihan. Sebagian orang khawatir, bahwa jika perempuan semakin pintar, semakin maju, ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, meningkat kemampuan dan keahliannya di berbagai bidang, maka pada akhirnya “kebebasan berekspresi” tersebut akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Beban kerja perempuan menjadi semakin bertambah banyak dengan kegiatan-kegiatan yang ingin dia ikuti di luar rumah. Hal ini disebabkan kaena pada saat yang bersamaan perempuan masih dibebani dengan tugas dan pekerjaan di dalam rumah tangganya (domestik).

Kekerasan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender. Bentuk kekerasan sangat beragam. Mulai dari kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan psikis (kata-kata yang merendahkan, melecehkan, menghina), kekerasan seksual (pemerkosaan), dll. Kekerasan ini dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja, baik di wilayah pribadi (rumah tangga) atau publik (lingkungan). Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga misalnya KDRT yang banyak menimpa perempuan. Akan tetapi seringkali perempuan tidak menceritakan maslah tersebut, dikarenakan istri harus menjaga martabat suami, menjaga keharmonisan keluarga, dll.

Pandangan stereotip

Pandangan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotype yang melahirkan ketidakadilan gender dan deskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelebel atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin tertentu, yang umumnya dalah perempuan. Misalnya, pandangan bahwa tugas dan fungsi perempuan hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengna kerumahtanggaan atau tugas domestik, walaupun dia berada di ruang publik hanyalah sebagai “perpanjangan” peran domestikya. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur, dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.

Sumber Referensi

Rokhmansyah, Alfian. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme; Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Yogyakarta: Garudhawaca.

Wiliam, Dede. 2006. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor: Center for International Foresty Research (CIFOR).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: