Gajah Mada Mendadak Islam?

Ilustrasi Gaj Ahmada (sumber: kapanlagi.com)

Tulisan ini disusun ketika muncul wacana bahwa Gajah Mada adalah seorang muslim dengan pelafalan Gaj Ahmada. Untuk itu, Laboratorium Teater Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa UNNES menggagas diskusi. Kegiatan bertajuk “GAJ AHMADA?: MENGURAI SEJARAH PENGUCAP SUMPAH PALAPA DALAM PERSPEKTIF NASKAH DAN BUKTI SEJARAH.”  Acara digelar pada 5 Juli 2017. Berikut adalah pokok-pokok pikiran yang saya kemukakan.

Dimensi Sejarah dan Prosedur Penulisan Sejarah

Sebelum mengulas tentang Gajah Mada dalam perspektif sejarah, sangatlah perlu bagi kita untuk mengetahui dua hal. Pertama, dimensi dari sejarah. Mengetahui dimensi sejarah berarti kita menempatkan peristiwa pada posisinya. Kedua, mengetahui bagaimana cara kerja sejarawan dalam menghasilkan kisah. Mengetahui cara kerja sejarawan dapat dijadikan sebagai suatu landasan apakah suatu kisah memang terpercaya ataukah hanya sebatas penambah wawasan.

Sejarah dimaknai dalam dua aspek sekaligus: sebagai peristiwa dan kisah. Sebagai peristiwa, sejarah bersifat objektif, sekali terjadi, dan tidak dapat diulang. Sebagai kisah, sejarah hampir berbanding terbalik dengan pengertian pertama. Ia sangat tergangung dari “si pengisah” yang akan menceritakan peristiwa berulang-ulang, sehingga sepertinya kejadian itu bisa terjadi “berkali-kali” dalam ingatan seseorang. Akan tetapi, seiring perkembangan keilmuan, ada kaidah-kaidah yang perlu diperhatikan. Tujuannya, agar kisah yang diceritakan menjadi representasi dari peristiwa yang sebenarnya.

Sejarawan hakikatnya orang yang mengisahkan suatu peristiwa di masa lalu. Sebagai pengisah, cara kerja sejarawan selalu berhubungan dengan tafsir. Bahkan satu tahapan dalam penelitiannya adalah interpretasi. Inilah yang menyebabkan sejarah bersifat subjektif. Ia dituliskan berdasarkan penafsiran. Akan tetapi, interpretasi tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Subjektivitas dalam sejarah adalah lumrah, tetapi subjektivisme jangan.

Loius Gottschalk (1985: 37) menyampaikan“Berdasarkan sisa-sisa yang sangat boleh jadi tidak mencukupi itu sejarawan harus berusaha sedapat-dapatnya untuk menyusun kembali masa lampau total umat manusia.” Ini berarti kerja sejarawan perlu dilengkapi dengan pendekatan-pendekatan subjektif tentang sesuatu yang tidak dapat lagi diulang.

Bagaimana agar pendekatan yang subjektif bisa terhindar dari subjektivisme? Dalam menulis, sejarawan perlu berdasarkan sumber-sumber terpercaya. Kadangkala, sejarawan membutuhkan ilmu bantu agar sumber terpercaya itu dapat digali. Dengan demikian, penulis sejarah perlu memperhatikan sumber-sumber apa yang dapat digunakan sebagai acuan penulisan. Agar bisa memanfaatkan sumber yang terpercaya, kaidah penelusuran sumber haruslah dipegang teguh.

Sumber Sejarah

Di kalangan sejarawan, ada jenjang hierarkis sumber-sumber sejarah. Sumber yang paling layak digunakan untuk menulis haruslah berasal dari rekaman langsung peristiwa itu. Sumber ini sering disebut sebagai sumber primer. Bentuk dari rekaman langsung bermacam-macam, ada yang bersifat nonkebendaan (ingatan atau kesaksian pelaku/saksi) ataupun kebendaan (rekaman tertulis, gambar, video, tinggalan artefaktual dll). Rekaman langsung haruslah bersifat sezaman dengan waktu terjadinya peristiwa. Dengan demikian, rekaman langsung dapat berupa “orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya” (Gottschalk, 1985:43).

Bagaimana cara penentuan sumber yang pantas untuk dijadikan sebagai rujukan? Dalam menentukan sumber penelitian ada kaidah yang saya pegang: “sumber sejarah yang baik adalah yang paling tidak banyak penafsiran terhadapnya”. Artinya, informasi yang direkam jelas, terkait dengan apa, kapan, siapa, di mana, bagaimana, mengapa. Apabila sumber sejarah terlalu bersifat spekulatif, maka tingkat kepercayaannya akan menjadi lebih rendah.

Dalam kasus sejarah Indonesia kuno, ada berbagai jenjang sumber yang dapat dijadikan rujukan. Sumber yang paling tidak spekulatif adalah (a) data tekstual berupa prasasti dan karya sastra yang sezaman; (b) Setelah itu,barulah bukti-bukti artefaktual yang monumental, seperti candi, arca, danbangunan lainnya; (c) Di jenjang lain, barulah bukti artefaktual yang bergerak. (d) Untuk memperkaya sumber, kadangkala digunakan karya sastra dari usia yang lebih muda. Akan tetapi, ini bukanlah sumber utama, melainkan pembanding dan pelengkap deskripsi.

Benarkah Gajah Mada Muslim?

Dalam kasus Gajah Mada, ada beberapa sumber sezaman yang mengisahkan tentang keberadaannya. Keberadaan Gajah Mada dapat dilacak dari Prasasti Himad Walandit/Wonojoyo. Prasasti ini ditulis pada 1327Ç atau1405-6 M, terbuat dari tembaga dan ditemukan di Pasuruan. Patih Empu Mada atau Gajah Mada berdasarkan prasasti itu, telah menduduki posisi sebagai Patih (IDAS 2, 2010: 133, Rahardjo, 2002:545).

Tulisan sezaman yang juga menyebutkan tentang Gajah Mada ada dalam Nagarakertagama. Naskah ini merupakan cerita sezaman yang ditulis pada tahun 1365M. Dibuat saat Sri Rajasanagara atau Hayam Wuruk berkuasa. Dalam pupuh akhir, dikisahkan tentang meninggalnya patih Gajah Mada pada 1364 (Sedyawati, dkk. [ed], 2001: 251, Zoetmulder, 1985: 442; IDAS 2, 2010: 244). Dalam Nagarakertagama disebutkan bahwa Raja pernah menganugerahkkan sebuah simakepada Gajah mada yang disebut Darmma Kasogatan Madakaripura. Dari namanya, daerah tersebut berafiliasi dengan Agama Budha. Pada abad XVI, daerah ini berkembang dan cukup terkenal. Penulis Italia Antonio Pigafetta pada tahun 1522 berlayar ke Timor dan mendengar beberapa nama kota di Jawa, salah satunya Gagiamada (IDAS 2, 2010: 244, 274).

Beberapa waktu bekalangan, muncul pendapat yang menyatakan bahwa Gajah Mada beragama Islam. Apakah ini dapat dipertanggungjawabkan? Untuk melihat hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, apa dasar pijakan dan sumber pendukung dari penulisannya? Kedua, apa kepentingan dalam penulisannya? Ketiga, apa dampak bagi masyarakat dengan munculnya fenomena ini?

Bisa jadi, anggapan Gajah Mada beragama Islam hanyalah simpulan yang tergesa-gesa. Islam memang telah berkembang pada saat Majapahit mengalami puncak kejayaan. Di Trowulan ditemukan nisan makam berangka tahun 1290 çaka (1368/69 M)serta ada pula makam Putri Campa berangka tahun 1370 çaka (1448/9 M),sedangkan di kawasan Tralaya berkisar antara tahun 1298-1533 çaka (1376-1611 M). Selain itu di Gresik juga terdapat makam muslim bernama Malik Ibrahim berangka tahun 822 H (1419 M) (Ricklefs, 2005: 30-32).

Munculnya komunitas muslim di Mahapahit tidak lantas menjadikan penguat bahwa Gajah Mada adalah Islam. Kita perlu tahu bahwa Majapahit pada saat itu telah berkembang menjadi kota metropolis yang mengakomodasi berbagai kepentingan. Fenomena Islamisasi Gajah Mada bisa saja upaya sebagian masyarakat yang tengah mengalami krisis identitas. Bisa juga ini indikasi bahwa di kalangan masyarakat ada upaya untuk menafikan fakta tentang kebhinekaan kita di masa lalu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: