22 Desember & Kebangkitan Pergerakan Perempuan

Memasuki minggu ketiga bulan Desember, masyarakat Indonesia selalu memperingati suatu peristiwa yang ditetapkan sebagai Hari Ibu. Namun demikian, sebagai sebuah peringatan apakah sebenarnya kita mengetahui apa yang diperingati? Apa pesan yang sebenarnya ingin disampaikan melalui peringatan hari ibu itu? Apakah hari ibu hanya sebatas peringatan yang dilakukan dengan membebastugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya muncul ketika hari ibu diperingati.

Tulisan ini muncul dari sebuah kekhawatiran tentang tereduksinya makna yang hakiki dari peringatan hari ibu, terutama dalam konteks Indonesia. Apabila di kawasan Eropa hari ibu erat kaitannya dengan pemujaan Dewi Rhea dalam mitologi Yunani Kuno dan peringatan di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei untuk memperingati dicanangkannya pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara oleh Julia Ward Howe pada 1870, maka apa yang melatarbelakangi peringatan hari ibu di Indonesia?

Bangkitnya Pergerakan Perempuan

Peringatan hari ibu pada dasarnya memiliki keterkaitan yang erat dengan peran perempuan pada umumnya dan kaum ibu pada khususnya dalam pergerakan kebangsaan. Peringatan hari ibu tidak lepas dari pelaksanaan kongres perempuan Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 22-25 Desember 1928. Kongres ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meneguhkan peran perempuan untuk mendukung persatuan Indonesia, mempersatukan cita-cita dan memajukan wanita Indonesia dalam suatu gabungan organisasi.

Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan kaum perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan sebagainya.

Kongres perempuan Indonesia yang pertama ini merupakan satu titik kulminasi awal ketika pada kuartal pertama abad XX banyak berdiri organisasi perempuan. Organisasi itu antara lain Putri Mardika yang didirikan atas kerjasamanya dengan Budi Utomo pada 1912, perkumpulan Keutamaan Istri yang didirikan di Tasikmalaya pada tahun 1913 yang dipelopori oleh Dewi Sartrika, perkumpulan Pawiyatan Wanito di Magelang (1915), Wanito Hadi di Jepara (1915), Wanito Susilo di Pemalang (1918). Organisasi tersebut bergerak pada bidang sosial budaya, seperti memajukan pendidikan perempuan, mempererat persaudaraan antara kaum ibu, dan sebagainya.

Perkembangan organisasi perempuan makin pesat setelah tahun 1920-an. Ada beberapa karakter organisasi pergerakan perempuan pada saat itu. Pertama, perkumpulan pergerakan perempuan yang menjadi bagian dari partai politik atau perkumpulan pergerakan. Organisasi perempuan yang menjadi bagian dari Saerkat Islam adalah Wanudyo Utomo yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia (SPII). Sedangkan yang berasal dari Sarekat Ambon adalah Ina Tumi dan yang berasal dari Muhammadiyah adalah Aisyah.

Kedua, perkumpulan dari perempuan terpelajar yang bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan serta kepandaian khusus, misalnya Wanito Utomo dan Wanito Katolik di Yogyakarta, serta Putri Budi Sejati di Surabaya.

Ketiga, organisasi pemudi terpelajar yang merupakan bagian dari perkumpulan pemuda yang telah berdiri seperti Putri Indonesia yang merupakan bagian dari Pemuda Indonesia, organisasi perempuan bagian dari Jong Islamieten Bond, Meisjeskring, serta Taman Siswa bagian Wanita. Dan sebagai tindak lanjut dari hal di atas, akhirnya terlaksanalah kongres-kongres nasional gerakan perempuan. Dari kongres-kongres yang diselenggarakan ditetapkan bahwa perempuan Indonesia adalah bagian dari pergerakan bangsa Indonesia dan kaum perempuan dapat turut serta di dalamnya.

Penetapan tanggal 22 Desember sebagai hari ibu itu sendiri dilakukan pada saat Kongres Perempuan Indonesia (KPI) yang ketiga di Bandung pada bulan Juli 1938. Peringatan hari ibu setiap tahunnya diharapkan dapat mendorong kesadaran perempuan Indonesia akan kewajibannya sebagai ibu bangsa. Kemudian, Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini.

Hari Ibu: Momen Kebangkitan Perempuan

Ditinjau dari aspek sejarahnya, peringatan Hari Ibu ternyata tidak sekadar melihat peran ibu dalam ranah domestik, tetapi justru lebih menitikberatkan pada peran perempuan dalam ranah publik. Ditinjau dari segi pergerakan, hari ibu pada dasarnya dapat dijadikan sebagai titik balik bagi kaum perempuan untuk meneguhkan kembali eksistensi dan perannya dalam masyarakat.

Sejarah telah membuktikan bahwa ketika perempuan bersatu mereka mampu melakukan gerakan-gerakan kebangsaan dan berdiri setara dengan organisasi pergerakan lainnya, bahkan mereka mampu bertahan ketika organisasi pergerakan kebangsaan lainnya mengalami kemunduran. Hal ini karena pada dasarnya, perempuan memiliki posisi strategis sebagai kekuatan alternatif ketika sektor-sektor formal yang biasanya diandalkan mengalami disfungsi karena pengerdilan dan berbagai upaya penghambatan. Oleh karena itu, momen hari ibu seharusnya menjadi sarana refleksi tentang pentingnya meneguhkan kembali fungsi dan peran perempuan dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat. [tsabit]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: