BELAJAR DARI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT KAMPUNG KUTA SEBAGAI MODEL PEMBANGUNAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
(Glokalisasi : Menggali Potensi Lokal untuk Indonesia Mandiri 2025)
Globalisasi dan Glokalisasi
Indonesia termasuk ke dalam negara kepulauan terbesar di dunia. Wilayahnya yang cukup luas dengan kekayaan alam membuat Indonesia memiliki adat istiadat, suku bangsa, dan kepercayaan yang beragam. Kebudayaan yang beraneka ragam tersebut memberikan pengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya. Keanekaragaman corak kebudayaan yang dimiliki terwujud dalam bentuk kearifan lokal yang heterogen dan dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat penganutnya.
Kearifan lokal atau local wisdom dalam disiplin ilmu antropologi dikenal dengan istilah local genius. Menurut Haryati Soebadio, local genius diartikan sebagai identitas budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri untuk dapat bertahan sampai sekarang.1 Identitas budaya bangsa yang berkembang dan menjadi tolak ukur kebudayaan Indonesia tidak lepas dari pengaruh budaya lokal, yakni budaya tempatan. Hampir semua budaya lokal yang tersebar di setiap kawasan nusantara dapat dinikmati, diterima oleh kawasan di luarnya, dimiliki oleh suku bangsa lainnya, bahkan terdapat berbagai budaya lokal yang telah dianggap sebagai budaya nasional.
Sementara itu dalam pemahaman lain, kearifan lokal diyakini sebagai nilai-nilai yang dianggap baik dan berlangsung secara turun temurun serta dilaksanakan oleh masyarakat yang menganutnya.2 Kearifan lokal lahir sebagai strategi dalam menghadapi era global. Beberapa kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia memiliki kontribusi besar dalam menggempur kapitalis yang semakin berkembang pesat di era globalisasi.
Globalisasi menjadi fenomena luar biasa di era modern. Pembahasan globalisasi akan sangat berkaitan dengan fenomena glokalisasi. Globalisasi menjadi suatu proses yang dapat menciptakan homogenitas melalui persaingan yang dilaksanakan banyak negara. Keberadaan kapitalisme menjadi realisasi nyata keberadaan globalisasi. Globalisasi tidak selalu diartikan sebagai fenomena persaingan negatif yang menciptakan berbagai cara untuk dapat meraih modal dan keuntungan. Namun sebaliknya, keberadaan globalisasi dapat dijadikan sebagai alat bagi masyarakat Indonesia untuk menciptakan inovasi produk maupun gagasan yang dikemas untuk dapat dikenalkan di kancah internasional.
Di sisi lain, glokalisasi yang melibatkan interaksi kebudayaan lokal dan global menciptakan heterogenitas dalam kehidupan. Glokalisasi lahir untuk membendung budaya yang semakin homogen agar tidak masuk secara luas di masing-masing negara. Berdasarkan pemikiran kaum postmodern, glokalisasi memiliki dua sisi pengaruh timbal-balik antara budaya global dan budaya lokal, yaitu satu sisi kuatnya identitas budaya lokal (tradisi), sehingga budaya global tidak sampai menghilangkan budaya lokal, namun di sisi lain budaya global menyerap unsur budaya lokal.3 Adanya fenomena glokalisasi di dalam masyarakat membuka pertarungan antara budaya lokal dan budaya global (kapitalis). Glokalisasi sering kali dikaitkan dengan paham kapitalis melalui gambaran fenomena perusahaan besar yang mampu masuk dan menyesuaikan diri dengan budaya di masing-masing negara seperti, McDonald’s, Starbucks, KFC, dan perusahaan lainnya. Secara sederhana, glokalisasi selama ini masih sangat identik dengan aspek ekonomi dan keuntungan. Meskipun demikian, glokalisasi sebenarnya dapat pula digambarkan melalui kearifan lokal masyarakat Indonesia berupa cara hidup yang dapat dijadikan model gagasan menuju Indonesia Mandiri 2025.
Glokalisasi dan Permasalahan Pembangunan di Indonesia
Visi Indonesia 2025 adalah menjadi negara yang mandiri, maju, adil dan makmur.4 Mandiri berarti mengoptimalkan segenap potensi lokal sesuai dengan kearifan lokal. Potensi lokal menjadi ciri yang dikembangkan sebagai basis pekembangan suatu daerah. Dengan adanya potensi lokal tersebut, diharapkan tumbuh sifat kemandirian dan daya saing yang kuat agar dapat mewujudkan ketahanan nasional di bidang pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran bangsa.
Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah memiliki peluang besar dalam mencapai visi Indonesia Mandiri 2025. Namun, sejauh ini pemerintah masih belum mencanangkan secara resmi model pembangunan lingkungan yang dapat digunakan menuju Indonesia Mandiri. Adapun model pembangunan yang selama ini dilaksanakan seolah-olah masih terfokus pada pola konvensional yang mengutamakan kemajuan ekonomi dan keuntungan semata (kapitalis). Dalam pola ini, subyek pembangunan adalah manusia dan orientasi pembangunan tertuju hanya pada keuntungan ekonomi yang berjangka waktu pendek. Sementara itu, dalam aspek sosial dan ekologi yang memiliki jangka waktu panjang cenderung diabaikan. Secara keuntungan, pola pembangunan konvensional mampu meningkatkan pendapatan nasional secara signifikan dalam waktu singkat. Namun dalam prakteknya banyak yang mengabaikan aspek pelestarian ekologi. Imbasnya dapat terlihat pada kerusakan dan bencana alam yang banyak melanda Negeri Indonesia.
Sejalan dengan laju pembangunan secara konvensional yang diterapkan, permasalahan lingkungan semakin banyak terjadi. Hal ini dapat terlihat dari permasalahan yang baru-baru ini melanda Negeri Indonesia. Kebakaran hutan yang terjadi di daerah Jambi, Riau, Pontianak, dan sekitarnya menyebabkan bencana kabut asap melanda dalam beberapa bulan terakhir. Dalam berita yang dituliskan detik.com pada 23 Oktober 2015, terungkap fakta penyebab terjadinya bencana kabut asap salah satunya berasal dari perilaku manusia yang kurang peduli dengan kelestarian alam. Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No.15 tahun 2010 dipercaya menjadi salah satu bukti penyebab terjadinya bencana kabut asap. Di Kalimantan Tengah, untuk membakar hutan seluas maksimal satu hektar, hanya dengan meminta izin kepada ketua RT (Rukun Tetangga). Sementara itu, untuk membuka lahan dapat dilakukan dengan cara membakar hutan seluas satu sampai dua hektar, hanya dengan meminta izin kepada lurah atau kepala desa. Mengacu pada peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui regulasi yang sangat sederhana, pemerintah masih belum dapat memberikan perhatian penuh terhadap lingkungan yang berimbas pada perilaku masyarakat dapat dengan mudah mengeksploitasi hutan dan lingkungan demi keuntungan pribadi.
Menjawab tantangan permasalahan lingkungan yang tengah dihadapi Indonesia, Pembangunan Berwawasan Lingkungan (PBL) hadir dalam upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi sumber daya alam menuju Indonesia Mandiri 2025. Menurut Addinul Jakin, pembangunan berwawasan lingkungan merupakan konsep pembangunan yang ingin menyelaraskan antara aktivitas ekonomi dan ketersediaan sumber daya alam (natural resources).5 Secara sederhana, PBL mengutamakan hubungan antara aspek ekologi, sosial, dan ekonomi.
Dalam undang-undang No. 23 tahun 1997 menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan masa depan.6 Pembangunan berwawasan lingkungan sangat penting diterapkan mengingat pembangunan ini berorientasi pada kebutuhan pokok hidup manusia, pemerataan sosial, peningkatan kualitas hidup, serta pembangunan yang`berkesinambungan. Istilah pembangunan mengandung makna perkembangan dan perbaikan kualitas hidup masyarakat melalui keadilan. Sementara itu, berkelanjutan mengacu pada pemenuhan kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan generasi-generasi yang akan datang. Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi pembangunan yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan cara menyerasikan aktivitas manusia dengan kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.
Glokalisasi dan Model Pembangunan Berwawasan Lingkungan Masyarakat Kuta
Pembangunan berwawasan lingkungan memang bukanlah sebuah konsep baru. Konsep pembangunan berwawasan lingkungan ini telah banyak digunakan sebagai usaha mengatasi permasalahan lingkungan. Namun, dalam konsep model pembangunan berwawasan lingkungan masyarakat Kampung Kuta yang ditawarkan untuk mencapai Indonesia Mandiri 2025 ini, berusaha mengombinasikan antara nilai-nilai kearifan lokal dan pembangunan lingkungan di era globalisasi ini.
Kuta merupakan salah satu kampung adat yang keberadaannya masih bertahan hingga saat ini. Kampung Kuta terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kampung Kuta menjadi kampung adat yang tetap melestarikan dan memegang teguh tradisi (karuhun) di tengah-tengah era globalisasi.
Kearifan lokal khas masyarakat Kampung Kuta adalah kepercayaan yang berkaitan dengan hutan keramat atau hutan lindung. Hutan keramat (leuweung gede) dianggap oleh masyarakat sebagai tempat yang suci atau sakral sehingga masyarakat Kampung Kuta memberlakukan berbagai aturan adat untuk melindungi hutan keramat tersebut. Kepatuhan dalam menjaga hutan keramat terwujud dalam aturan, diantaranya masyarakat hanya boleh memasuki hutan pada hari Senin dan Jumat. Mereka yang masuk tidak boleh mengenakan perhiasan, alas kaki, pakaian berwarna hitam-hitam, dan pakaian seragam pegawai negeri beserta lambang jabatannya. Tidak diperbolehkan untuk berkata kasar, meludah, membuang sampah, buang air besar atau buang air kecil serta aktivitas lain yang dapat mengotori hutan.
Mata pencarian sebagian besar masyarakat Kampung Kuta adalah sebagai pembuat gula aren. Gula aren di dapatkan dari 1000 pohon aren yang tumbuh di wilayah Kampung Kuta. Pohon-pohon tersebut hingga kini tetap produktif dan dijaga kelestariannya dengan tidak menebang pohon serta memanfaatkan secara arif hasil alam. Hasil produksi gula aren masyarakat Kampung Kuta menjadi salah satu program pembangunan yang dilaksanakan. Selain sebagai daerah penghasil aren, Kampung Kuta dikenal pula sebagai kampung wisata yang terdapat di daerah Ciamis, Jawa Barat. Kampung ini banyak mendatangkan wisatawan yang berasal dari berbagai daerah bahkan negara. Wisatawan yang hadir biasanya ingin melihat secara langsung bentuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Kampung Kuta.
Tantangan yang dihadapi masyarakat Kampung Kuta sebagai kampung wisata dan adat tidaklah mudah. Di era globalisasi seperti sekarang ini, masyarakat lebih mudah terbawa pada pengaruh global. Begitupun masyarakat
Kampung Kuta yang harus menghadapi gempuran budaya luar, seiring dengan kepercayaan adat yang harus tetap mereka lestarikan. Sementara itu, fenomena glokalisasi yang terjadi menciptakan proliferasi identitas yaitu kekuatan tradisi yang berhadapan dengan kekuatan global yang mengakibatkan setiap subjek seolah terpaksa dan dipaksa untuk mengambil posisi.7 Bagi mereka yang tidak berani mengambil posisi dan tidak sadar dengan proses akan dengan sendirinya disedot dalam pusaran proses globalisasi. Masyarakat Kampung Kuta berhasil membuktikan, bahkan kearifan lokal yang dimiliki dapat dijadikan model pembangunan menuju Indonesia Mandiri 2025.
Kearifan lokal dan model pembangunan yang diterapkan masyarakat Kampung Kuta memberikan pelajaran besar terhadap konsep glokalisasi dan pembangunan berwawasan lingkungan. Kearifan lokal yang berasal dari masyarakat sederhana, namun mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan global. Dalam hal pembangunan berwawasan lingkungan, masyarakat Kampung Kuta sangat menyadari pentingnya alam guna keberlangsungan generasi yang akan datang. Kesadaran tersebut menciptakan penghormatan besar masyarakat Kampung Kuta terhadap keberadaan alam dengan tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan guna keuntungan ekonomi. Sementara itu dalam hal glokalisasi, masyarakat Kampung Kuta dapat memanfaatkan globalisasi melalui kampung adat sebagai alat untuk menjadikan kearifan lokal yang dimiliki sebagai pusat global dan model pembangunan. Meskipun tidak dapat dipungkiri kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Kampung Kuta tidak lagi murni dan cenderung dilihat sebagai hasil perpaduan dengan pengaruh asing yang masuk melalui kampung adat. Namun seperti yang diungkapkan Friedman, dalam menghadapi pembangunan, globalisasi dan fenomena glokalisasi masyarakat Kampung Kuta berhasil untuk dapat berfikir global tetapi bertindak lokal, think globally but act locally.8
Selain kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Kampung Kuta, masih banyak kearifan lokal lain yang dapat dijadikan model untuk mencapai Indonesia Mandiri 2025. Banyak dari kearifan lokal Indonesia yang memberikan dampak positif terhadap pola pikir dan cara hidup masyarakat terhadap lingkungan. Pada dasarnya sumber daya alam yang ada pada suatu negara menjadi nadi kehidupan masyarakatnya. Keberadaan alam haruslah dilestarikan untuk diteruskan generasi berikutnya. Oleh karena itu, dalam suatu pembangunan sangatlah penting untuk merumuskan aspek pelestarian lingkungan.
1 Ayatrohaedi, Kepribadian Budaya Bangsa : Local Genius, (Universitas Michigan, 1986), hlm 18
2 Novian, Local Wisdom di Indonesia, https://novian25.blogspot.co.id/2012/03/local-wisdom-di-indonesia.html , diakses 10 November 2015, jam 02.22 WIB
3 I Nengah Duija, “Tradisi Lisan, Naskah, dan Sejarah”, dalam Wacana vol. 7 no. 2, Oktober 2005, hlm 112.
4 Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tentang Visi Pembangunan Nasional.
5 Eko Handoyo dkk, Studi Masyarakat Indonesia (Semarang : Unnes Press, 2007), hlm 114
6 Eko Handoyo dkk, Studi Masyarakat Indonesia (Semarang : Unnes Press, 2007), hlm 115
7 I. Wibowo, Esai-Esai Untuk Franz Magnis Suseno Sesudah Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 2006) ,hlm 180
8 Shaharom TM Sulaiman, Gerbang Masa Depan Kedurjanaan Siber 2,(Kuala Lumpur : Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd, 2004), hlm 173.