• Review: Budaya Kekerasan Dalam Perspektif Nilai-nilai dan Etika Masyarakat Jawa

    Masyarakat Jawa sering disimbolkan sebagai masyarakat yang lemah gemulai, halus dan penuh dengan tatakrama. Kebudayaan Jawa identik dengan kebudayaan yang adiluhung, halus, klasik, hierarkis dan aristokratis. Akan tetapi pada masa lalu, masyarakat Jawa adalah etnis yang keras dan menjadi bangsa penakluk. Hal itu dapat dibuktikan dengan banyak daerah taklukkan Jawa. Jiwa kepahlawanan, petumpahan darah, adu kesaktian, dan pengorbanan nyawa seakan menjadi legitimasi bagi munculnya kekerasan dalam budaya Jawa. Nilai-nilai dan etika masyarakat Jawa menurut Franz Magnis Suseno (1993), terintegrasi kedalam tiga prinsip yaitu hormat, rukun dan isin.

    Hadirnya simbol-simbol bermakna dalam pisowangan ageng dapat dikaitkan dengan konteks alus dan kasar. Dalam pandangan James T.Siegel kategori alus dan kasar adalah salah satu kategori hierarkhi dalam masyarakat Jawa yang bisa terwujud dalam bahasa dan perilaku. Watak alus adalah kondisi ideal manusia Jawa yang untuk mencapainya perlu laku, perlu tata brata, perlu usaha yang sungguh-sungguh dan serius. Secara hierarkhi, watak halus derajatnya lebih tinggi daripada kasar. Watak halus identik dengan para satria, bangsawan, dan priyayi. Sedangkan watak kasar identik dengan wong cilik, anak muda, dan wong sabrang (orang asing).

    Pada masyarakat Jawa terdapat peribahasa “dupak bujang, semu mantri, esem bupati”. Untuk memerintah atau berkomunikasi maka seseorang pemuda atau wong cilik menggunakan kekerasan atau kekerasan fisik dengan ungkapan “dupak bujang”. Yang agak lebih tinggi sedikit adalah perintah atau yang dilakukan oleh seorang mantri atau priyayi menengah yaitu semu mantri. Dan yang paling tinggi adalah komunikasi oleh seorang bupati, priyayi tinggi yang posisinya dibawah raja.

    Makna alus dan kasar tidak bisa dipahami secara sebagian saja, semua harus melihat konteksnya. Pada dasarnya semua kebudayaan selalu melihat sisi baik pada masyarakat pemilik budaya itu sendiri, hal tersebut bukan berarti bahwa masyarakat dalam kebudayaan itu selalu diposisikan dalam konteks yang benar, adakalahnya dari sisi penglihatan yang lebih luas segala sifat yang kaiatanya dengan nilai dan etika akan berada pada posisi yang tidak menentu, terkadang hal tersebut dianggap benar dan juga terkadang salah. Semua bisa dilihat dengan konteksnya masing-masing.

    Categories: Uncategorized

    Tinggalkan Balasan