Keanekaragaman Mahluk Manusia dan Kebudayaan

Sebelum terbitnya buku The Origin of Species (1859) yang ditulis oleh Charles Darwin, orang eropa telah mempunyai 3 pandangan dalam melihat manusia dan kebudayaan. Pertama, manusia diciptakan beraneka macam(poligenesis) dan menganggap orang Eropa berkulit putih merupakan manusia yang paloing baik dan kuat. Pula, kebudayaan yang dimiliknya adalah kebudayaan yang paling sempurna dan paling tinggi. Kedua, manusia hanyalah diciptakan sekali saja yaitu melalui keturunan Nabi Adam, sebagian dari kalangan ini berpendapat bahwa keanekaragaman dari tinggi sampai rendah sebagai dosa abadi yang pernah dilakukan oleh Nabi Adam. Sebaliknya,yang sebagian lagi berpendapat bahwa manusia tidak mengalami proses degenerasi.akan tetapi jika saat ini terjadi perubahan disebabkan oleh tingkat kemajuan mereka yang berbeda. Manusia yang mereka jumpai di asia dan afrikan merupakan keturunan nabi adam yang nenek moyang mereka lebih rendah dari nenek moyang orang eropa.

Pada abad 16-18 M eropa mengalami zaman aufklaarung atau pencerahan, para filsafat social mulai mengkaji berbagai bentuk masyarakat dan tingkah laku manusia. Berbagai gejala dan tingkah laku manusia dicoba untuk dipahami dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah alam. Berbagai perilaku manusia dikaji secara induktif denga mencari unsur-unsur persamaan yang ada kemudian dirumuskan sebagai kaidah social. Cara berfikir rasional yang akhirnya menjadi aliran positivisme dengan tokoh-tokohnya auguste comte dan Herbert Spencer. Pemikiran penting lain adalah pandangan C.L.de Secondat, Baron de la Brede de Montesquieu yang mengemukakan bahwa keanekaragaman manusia itu, disamping disebabkan oleh akibat dari sejarah mereka masing-masing dan karena pengaruh lingkungan alam dan struktur internya, oleh karena itu kebuadyaan itu tidak dapat dinilai dari kebudayaan lain. Melainkan harus dari system kebudayaan itu sendiri(relativisme). Atas dasar itu ia mengajukan konep jika manusia berkembang melalui tingkat evolusi tertentu.
Konsep Kebudayaan
Sejak 1871 E.B Tylor mencoba mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan yang kompleks meliputi pengahuan kepercayaan kesenian, hokum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagi anggota masyarakat”. Dalam antroplogi budaya, ruang lingkup kajan kebudayaan mencakup berbagai variasi objek yang sangat luas seperti dongeng-dongeng , ragam bahasa, ragam upacara dan lain sebagainya. C. Kluckhohn mengutarakan adalah keseluruhan pola tingah laku dan pola bertingkah laku, baik eksplisit yang diperoleh dan diturunkan dan maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui symbol yang akhirnya mampu membentuk suatu khas dari kelompok-kelompok manusia. Begitu pula tokoh-tokoh cendekiawan antropologi lain yang menyatakan pendapat mereka tentang konsep kebudayaan. Lebih lanjut Leslie White 1969 mengatakan bahwa pangkal dari semua tingkah laku manusia tercermin dalam symbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi, dan kekuasaan, dan semua aspek simbolik tadi tampak dalam bahasa, sementara itu, kebudayaan juga merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas.
Ekologi dan Homeostatis
Setelah garis evolusi manusia berpisah dari garis kera akhirnya berkembang kearah homo sapiens, homo sapiens atau mahluk manusia sekarang, lebih mengandalkan kebudayaan yang dimiliknya daripada secara biologis, karenanya kebudayaan menjadi sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia. Seperti mahluk lain agar tetap hidup dapat memperthankan hidipnya, maka manusia harus selalu menjaga hubungan adaptasi dengan ekosistemnya. Kebudyaan sebagai system budaya merupakan seperangkat gagasan yang membentuk tingkah laku seorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Adaptasi mengacu pada proses interaksi antara perubahan yang ditimbulkan suatu organisme pada suatu lingkungan dan perubahan yang ditimbulkan oleh lingkungan dari organisme tersebut. Berburu dan meramu merupakan slah satu adaptasi manusia yang tertua dan semakin lama proses adapatasi semakin kompleks hingga makin sempurna. Jika seorang ahli ekologi memasuki sebidang sawah atau padang rumput, paul sears mengatakan yang dilihatnya bukan apa yang ada disitu adalah mengenai hal-hal apa saja yang terjadi disitu,
Ekologi Budaya
Steward berpendapat bahwa hubungan antara kebudayaan berpendapat bahwa hubungan antara kebudyaan dengan alam sekitarnya juga dijelaskan melalui aspek-aspek tertentu dalam suatu kebudayaan, ia menekankan hubungan kebudayaan dengan alam lingkungan , jika diamati pendekatan ekologi steward tidak berlaku pada seluruh aspek kehidupan manusia secara luas dan besar melainkan hanya lebih didasarkan atas kecocokan dalam menerapkan konsep asas ekologi pada aspek-aspek tertentu kehidupan social dan budaya kehidupan manusia. Disamping lingkungan dan tekonologi ada factor lain seperi system politik dan organisasi social. Untuk memahami lahirnya system pertanian dipusat-pusat kebudayaan besar seperti Mesopotamia mesir dan cina. Selain itu perlu juga ditelaah lebih lanjut aspek system dan system kepercayaan yang ada, terutama sejauh manakah pengaruhnya terhadap sitem organisasi kerja sehingga air dapat dimanfaatkan secara maksimal, serta bagaimana bentuk system bagi hasil yang terdapat disana.
Determinasi Lingkungan dan Posibilisme
Ekologi sebagai ilmu yang mempelajari hubungan fungsional antara fungsional dan organisme dengan lingkungan hidupnya. Dalam konteks antropologi sekarang ini sudut pandang ekologi lebih merupakan suatu upaya untuk mendapatkan kerangka analisis. Dimasa lalu studi kebudayaan selalu ditekankan adanya keterkaitan perilaku manusia dengan lingkungannya, lebih mendasarkan pada suatu pandangan bahwa kondisi suatu lingkungan amat berperan dalam membentuk kebudayaan suatu suku bangsa, namun kaum posibilisme berpendapat bahwa pada hakikatnya perilaku dalam suatu kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak, secara tak terduga merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya, oleh karena itu kedua pendekatan tadi tak lain merupakan upaya untuk melihat manusia dengan latar belakang habitat mereka yang tidak lain adalah cerminan dari hasil adaptasi manusia itu sendiri. Kaum posibilis menanggapi hal tersebut dan beranggapan bahwa pada dasranya factor geografis tidak mungkin dapat membentuk suatu kebudayaan manusia, dan pembentukan satu kebudayaan lebih merupakan suatu gejala yang sepenuhnya bersifat historisbahkan siperorganis. Sedangkan kaum antopogeografis lebih mendasarkan pada suatu pendekatan yang menekankan mengenai sejauh mana dan bagaimanakah cara-cara kebudayaan manusia itu dibentuk oleh kondisi lingkungannya atau determinasi lingkungan. Oleh karena itu penganut antropogeografis seringkali tampak atau memainkan peranan yang dinamis dan bukan pasif dalam perkembangan kebudayaan manusia,s

4 comments

Lompat ke formulir komentar

  1. kajian yang sangat menarik

  2. belum ada daftar pustaka

  3. terima kasih ilmunya

  4. sangat menarik artikelnya

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: