Antropologi Terapan

Andhika Cahya Purwanto

 

Apa sih Antropologi itu ?

Antropologi adalah salah satu dari sekian banyak disiplin ilmu yang mempelajari tentang seluruh aspek kehidupan manusia yang mana aspek tersebut meliputi kebudayaan, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya. Antropologi lebih mengarah kedalam aspek kebudayaan pada manusia baik secara individu maupun kelompok. Kebudayaan tersebut dibangun karena adanya perilaku atau kebiasaan yang dilakukan secara berkesinambungan (terus-menerus). Benar adanya bila antropologi adalah ilmu yang mempelajari atau meneliti masyarakat primitif dan modern. Hal tersebut jelas dilakukan oleh seorang antropolog karena di dalam antropologi itu sendiri ada teori yang menjelaskan perkembangan (evolusi) masyarakat dari masyarakat primitif, tradisional, modern dan postmodern.

Penelitian tersebut dilakukan karena seorang antropolog merasa tertarik terhadap kebudayaan masyarakat pada zaman tersebut. Ke “eksotis”-an suatu kebudayaan masyarakat membuat antropolog tertarik karena seorang antropolog merasa kebudayaan tersebut yang “beda” dari kebudayaannya sehingga hal itu membuat seorang antropolog tertarik untul mendalami kebudayaan tersebut.  Seperti yang dilakukan oleh Bronislaw Malinowski dimana dia meneliti masyarakat Trobriand pada tahun 1914, atau seperti yang dilakukan oleh Clifford Geertz pada masyarakat Mojokuto (Pare, Kediri). Para antropolog inilah yang membuat suatu masyarakat lebih dikenal oleh masyarakat lain, dan hal ini tidak menjadikan seorang antropolog sebagai seorang jurnalis atau seorang wartawan. Karena seorang antropolog dalam meneliti kebudayaan suatu masyarakat sudah terkonsep dan sudah mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan di dalam penelitiannya. Seperti yang pernah diucapkan oleh Pak Gunawan, bahwa seorang antropolog itu seperti Guide atau pemandu, bukan sebagai Author atau pencipta cerita. Jadi seorang antropolog itu hanya memaparkan, bukan mengarang cerita seperti yang ia kehendaki.

Kebudayaan dalam Antropologi: Bersifat Dinamis dan Adaptif

                Benar adanya bahwa kebudayaan dalam perspektif Antropologi memiliki sifat adaptif dan dinamis. Masyarakat manapun pasti pernah atau sedang mengalaminya, hanya bagaimana perubahan budaya itu berlangsung secara lambat (evolutif) atau secara cepat (revolutif). Hal tersebut disebabkan karena adanya intervensi dari budaya lain, atau dalam kata lain bersentuhan dengan kebudayaan lain. Mengingat ucapan dari Pak Kuncoro Bayu dan Bu Hartati Sulistyo Rini, bahwa setiap masyarakat pasti mengalami yang namanya perubahan. Baik itu didalam aspek kebudayaan maupun sosialnya.

Kebudayaan yang bersifat dinamis artinya budaya di dalam masyarakat mengikuti laju perkembangan zaman atau mencoba menunjukan eksistensinya dengan cara mengikuti perkembangan budaya diluar masyarakatnya. Dan dari sinilah mereka akan memilih bagaimana cara mereka untuk mempertahankan budayanya tanpa menghilangkan budaya tersebut. Seperti yang di alami oleh masyarakat Irian yang sudah mulai terkena dampak modernisasi karena adanya budaya dari luar yang dibawa oleh para pendatang (turis, pegawai PT. Freeport) yang memaksa mereka (masyarakat Irian) mau tidak mau diharuskan untuk bersandingan dengan budaya dari luar budaya (yang dibawa oleh pendatang) yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Namun ada masyarakat yang benar-benar sudah mulai kehilangan dasar budayanya seperti masyarakat Papua yang tinggal disekitaran PT. Freeport, mereka mulai mengikuti arus modernisasi dengan bergaya hidup yang bermewah-mewahan. Menurut Herbert Spencer, perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap bangsa di dunia itu telah atau akan mengalami tingkat-tingkat evolusi yang sama. Namun Spencer tidak mengabaikan fakta-fakta bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang berbeda. Seperti contohnya adalah mengenai asal mula religi, Spencer sependapat dengan E. B. Taylor mengenai hal ini. Mereka berpendapat bahwa bentuk religi yang tertua adalah penyembahan kepada roh-roh yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal, terutama nenek moyangnya. Kemudian lambat laun muncul agama sebagai pedoman umat manusia yang dibawa oleh seorang Nabi atau utusan Tuhan.

Kebudayaan yang adaptif artinya adalah kebudayaan itu mengalami proses yang namanya adalah beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan budaya diluarnya atau menyesuaikan diri dengan kondisi dunia saat ini. Hal tersebut terlihat dari bagaimana suatu budaya didalam masyarakat mencoba menyesuaikan diri dengan budaya yang datang dari luar kebudayaan mereka. Seperti halnya adalah batik yang dimiliki oleh masyarakat jawa. Batik disetiap daerah pasti memiliki ciri khas tersendiri, apalagi yang bersentuhan dengan kebudayaan lain. Lihat saja batik Cirebon yang memiliki ciri ke sunda-sundaan, dan juga motif batik yang terpengaruh dengan budaya Tionghoa. Hal tersebut jelas menggambarkan bahwa budaya batik yang dimiliki oleh masyarakat jawa sudah mulai terpengaruh dengan budaya dari luar budaya jawa.

Antropologi Terapan vs Antropologi Murni.

Menurut Koentjaranigrat, antropologi yang dibangun untuk kemajuan Indonesia adalah antropologi yang bisa meneliti dan menganalisa faktor-faktor sosio-kultural yang berhubungan dengan usaha pembangunan bangsa. Jadi jelaslah bahwa antropologi yang seharusnya dibangun adalah antropologi terapan dimana kajian didalam antropologi terapan yang lebih banyak bekerja dengan mandiri maupun antardisiplin ilmu demi memajukan bangsa. Jadi ke arah manakah antropologi itu dibangun ? Baiknya didalam menangani masalah pembangunan di Indonesia, antropologi itu dibangun kedalam bidang ilmu yang mengarah pada aspek praktis atau antropologi yang diaplikasikan (dalam hal ini Antropologi Terapan). Sebagaimana Amri Marzali menyatakannya ‘antropologi terapan mengkaji atau berhubungan dengan budaya-budaya dan kelompok sosial yang hidup pada masa kini (living cultures and contemporary peoples); sedangkan antropologi abstrak cenderung mengkaji masyarakat dan budaya masa lampau, termasuk yang sudah pupus dari kehidupan nyata masa kini’ (Marzali; 2002). Dari sini dapat disimpulkan bahwa antropologi yang harus dibangun adalah antropologi terapan dimana antropologi digunakan untuk membantu pembangunan didalam bangsa Indonesia.

Ada baiknya jika Antropologi itu dibangun untuk menjaga eksistensi suatu budaya didalam suatu masyarakat. Tetapi perubahan yang terencana tanpa menghilangkan budaya tersebut, baik dipertahankan maupun diberikan solusi yang lebih baik, juga perlu dilaksanakan menimbang pembangunan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam rangka memajukan bangsa. Seperti contohnya budaya suku pedalaman di Irian Jaya yang tidak menggunakan pakaian dari kain, kemudian hadirlah antropolog bersama dengan rekan sejawat maupun rekan lintas disiplin ilmu untuk menangani masalah ini. Dan hasilnya sudah banyak masyarakat pedalaman Irian yang sudah menggunakan pakaian dari kain. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak dibenarkan seorang antropolog menghilangkan budaya suatu masyarakat, tetapi memberikan solusi atau alternatif terbaik demi kebaikan masyarakat tersebut.

Dalam hal lain, seorang antropolog memang dibuat bingung dengan posisinya didalam dunia kerja dan dunia yang lebih kompleks. Namun hal tersebut dapat diselesaikan dengan cara bagaimana seorang calon antropolog mendalami ilmu antropologi tersebu. Jika seorang antropolog mendalami pure anthropology maka orang tersebut dapat memilih jalan pada bidang akademis, dan sedangkan orang yang berorientasi applied anthropology maka orang tersebut dapat memilih jalan di bidang non-akademis. Jadi menurut Marzali, seorang yang mendalami antropologi murni diposisikan sebagai ahli ilmu antropologi didalam ruang lingkup akademik atau dalam bidang permuseuman. Sedangkan seorang antropolog terapan pada umumnya bekerja di bidang non-akademik, seperti profesional di bidang non-akademik, dan jika seorang antropolog terapan bekerja di dalam pendidikan tinggi, biasanya mereka melekat di jurusan-jurusan nonantropologi (Eddy dan Partridge 1987; dalam Marzali 2002). Dari sinilah seorang mahasiswa antropologi seharusnya sudah menentukan aliran manakah yang harus di pilih untuk menjadi landasan pemikirannya agar tidak bimbang dan bahkan gagal di dalam dunia yang lebih kompleks.

Daftar Pustaka

Bahan Ajar Kajian Etnografi, Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Semester 2 Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

Bahan Ajar Pengantar Antropologi, Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Semester 1, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

Bahan Ajar Perubahan Sosial Budaya, Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Semester 2, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang.

Koentjaraningrat.