Buya Hamka: Santri dan Abangan

Posted by: Ayustya Citarestu in Sosiology Add comments

Karena “pembagian” yang tidak wajar itu, maka kedua belah pihak pun bertambah lama bertambah terpisah. Yang abangan kian jauh dari Islam dengan sadar atau tidak sadar.
Tercapailah kesukaan budaya yang bersimpang dua. Abangan menyukai wayang dan tari serimpi. Mutihan menyukai berzanji dan gambus. Dan ada santri melihat wayang, dianggaplah dia telah “menyeleweng” oleh golongannya. Kalau ada golongan abangan yang mendengarkan kasidah-kasidah Arab dan Mesir, dicaplah dia telah “nyantri”.

***
Kajian Islam ala Barat yang bertumpu pada alat terka ilmu-ilmu sosial yang sekuler telah menghasilkan berbagai kerancuan pemahaman terhadap Islam. Islam dilihat dan coba dipahami dengan melihat perilaku umatnya. Termasuk di Indonesia ini. Salah satu yang terkenal adalah karya telaah Clifford Geertz berjudul The Religion of Java yang mengetengahkan trikotomi santri, abangan, dan priyayi dalam memahami kehidupan orang-orang Islam di Pulau Jawa.
Pengotak-ngotakan Muslim dan kemudian juga ajaran Islam dalam berbagai istilah telah berdampak luas bagi pemahaman sebagian orang tentang Islam. Islam dan kaum Muslim kemudian ditampilkan sebagai tak satu, beragam, dan bahkan saling bertentangan. Umat Islam dikotak-kotakkan dalam istilah-istilah tertentu yang membuat kesadaran bersama dan perasaan kebersatuan sebagai satu umat di kalangan Muslim memudar. Yang Muhammadiyah dihadap-hadapkan dengan yang NU; yang pembaharu dipertentangkan dengan yang tradisional; yang fiqih dibenturkan dengan yang tasawuf; yang santri dilawankan dengan yang abangan; Islam Jawa dipermusuhkan dengan Islam Timur Tengah; Muslim di perkotaan diistilahkan “Muslim urban” dan dihadapmukakan dengan orang-orang Islam di kampung-kampung yang dikelompokkan sebagai “Muslim desa”.
Cara pandang semacam ini telah menciptakan pembedaan yang kuat di antara satu kelompok Islam dengan Islam lainnya. Hal mana membuat umat Islam (khususnya di Indonesia) sering kali merasa tak satu dan berbeda. Sulitnya persatuan di kalangan umat dapat jadi (salah satunya) disebabkan oleh cara pandang keliru semacam ini yang telah merasuk dalam alam bawah sadar umat.
Tentu kita tak menampik adanya perbedaan perilaku dan kecenderungan sosial-politik di kalangan Muslim. Akan tetapi, hal itu tak dapat melandasi kesimpulan bahwa Islam ada banyak dan tak ada unsur pemersatu di dalamnya. Keberagaman cara berislam tidak mesti meniscayakan Islam itu menjadi banyak. Ada banyak perilaku dan kecenderungan sosial-politik orang Indonesia, tetapi hal itu tidak membuat Indonesia menjadi banyak. Indonesia tetap satu, sebagaimana Islam hanya ada satu, Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Perbedaan-perbedaan yang ada harus ditempatkan dan dipahami dengan tepat. Keberbedaan di tingkat perilaku tidak meniscayakan pembanyakan Islam.
Geertz-Clifford
Buya Hamka telah melihat persoalan ini dan kemudian memberikan pandangannya yang jelas dan lugas. Dalam tulisannya di Rubrik Hati Ke Hati, majalah Panji Masyarakat edisi nomor 190 tahun ke-17, 1 Januari 1976/28 Zulhijjah 1395 (halaman 5-6) berjudul “’Mutihan’ dan ‘Abangan’”, Hamka mengulas persoalan ini dengan tepat. Menurut Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama ini, pengotak-ngotakan semacam “mutihan” dan “abangan” sebenarnya ialah cara-cara orang Barat untuk menggugurkan persatuan umat Islam. Hamka menolak ini dan kemudian memberikan saran-saran untuk mengatasinya. Berikut tulisan Buya Hamka tersebut:
MUTIHAN DAN ABANGAN
Seketika diadakan hearing (dengar pendapat) di antara Komisi IX DPR dengan Pimpinan Harian Majelis Ulama, wakil-wakil rakyat yang terhormat telah memperdengarkan pendapat dan menanyakan beberapa soal yang berkaitan dengan Majelis Ulama. Sebagaimana kita uraikan pada nomor yang lalu, anggota Yth. Manuabe telah menanyakan sikap Majelis Ulama berkenaan dengan kerukunan beragama dan sikap ulama terhadap soal-soal kebudayaan.
Di antara yang mengemukakan pertanyaan pula ialah anggota Yth. Pak Munadi, bekas Gubernur DT I (provinsi) Jawa Tengah. Sebelum mengemukakan pertanyaan, dengan segala kerendahan hati dan penuh hormat, beliau meminta maaf kalau apa yang akan beliau tanyakan kurang serasi, karena keislaman beliau barulah Islam abangan.
Bila tiba giliran untuk menyambut dan menjawab, Ketua Umum Majelis Ulama Pusat telah menyatakan bahwa beliau, baik sebagai pribadi ataupun sebagai Ketua Majelis Ulama tidaklah menerima pembagian abangan dan mutihan itu.
Dia menyatakan bahwa di dalam suatu khutbah Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1387, 1 Januari 1968, di hadapan Presiden Soeharto sendiri dia telah menyatakan bahwa pembedaan di antara mutihan dan abangan di antara kaum Muslimin itu adalah pembagian yang dibikin-bikin. Mungkin asal mula kedua kata ini disusun sebagai alat politik pemecah belah di antara umat yang satu, yang ditumbuhkan oleh orang lain, terutama oleh penjajah. Kemudian lama-lama kita pun menerima dan membuatnya menjadi suatu kenyataan.
Menjadi penafsiran umumlah bahwa mutihan yang asal katanya dari memutih, ialah orang-orang yang telah menyatakan dirinya jadi golongan agama yang taat. Malahan ada yang mengatakan bahwa kata mutih itu berasal dari bahasa Arab, muthi’, artinya orang yang taat. Taat sembahyang, taat puasa, taat beribadat, dan melambangkan hidup sebagai golongan agama, atau santri. Tetapi pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran ialah dari asal putih, bukan muthi’. Karena lambang orang-orang beragama ialah warna putih.
Dan imbalannya ialah abangan. Abang dalam bahasa Jawa artinya ialah ‘merah’. Pengertiannya ialah orang yang mengakui juga beragama Islam, bertuhan kepada Allah dan mengakui Nabi Muhammad sebagai Rasul. Tetapi hanya sekadar itu saja. Mereka tidak mengerjakan sembahyang lima waktu, tidak mengerti hukum-hukum Islam yang lain. Kadang-kadang mereka juga ada yang suka mengerjakan puasa. Tanda keislaman mereka kelihatan ialah seketika menyunatkan anak, ketika upacara ijab-kabul perkawinan, dan ketika dibacakan surat Yasin di dekat jenazahnya sebelum dia dikuburkan. Ada pula orang yang mengatakan bahwa kata abangan itu berasal dari bahasa Arab juga, yaitu abaa, yang berarti enggan. Abaa was takbaro; enggan dan sombong! Lalu dijawakan jadi abangan! Ini pun jauh!
Meskipun di tiap-tiap negeri di Indonesia ini, baik di Aceh yang terkenal fanatik beragama, atau di Minang dan di tempat lain ada juga golongan yang mengakui Allah Ta’ala Satu dan Muhammad Rasul Allah, tetapi mereka tidak mengerjakan rukun Islam dengan sepenuhnya, namun kata abangan dan mutihan itu hanya lebih populer di tanah Jawa saja.
Yang anehnya ialah bahwa yang dipotong-potong dan dikeping-keping dijadikan sebagian jadi abangan dan sebagian jadi mutihan itu menerima saja pula mereka dibagi-bagikan. Kalau kiranya golongan yang disebut abangan itu senang dikatakan demikian, tidaklah selayaknya yang disebut mutihan itu mengakui pula dirinya memang mutihan dan bangga dengan itu. Padahal barang siapa yang telah mengakui Allah itu Esa, tidak ada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah Rasul Allah sudahlah orang itu Islam. Bahkan dengan tegas dikatakan oleh Nabi, “Shallu’ala man qaala laa ilaaha illalLah.” (Sembahyangkan jenazah orang yang mengatakan tiada Tuhan melainkan Allah).
Karena “pembagian” yang tidak wajar itu, maka kedua belah pihak pun bertambah lama bertambah terpisah. Yang abangan kian jauh dari Islam dengan sadar atau tidak sadar.
Tercapailah kesukaan budaya yang bersimpang dua. Abangan menyukai wayang dan tari serimpi. Mutihan menyukai berzanji dan gambus. Dan ada santri melihat wayang, dianggaplah dia telah “menyeleweng” oleh golongannya. Kalau ada golongan abangan yang mendengarkan kasidah-kasidah Arab dan Mesir, dicaplah dia telah “nyantri”.
Padahal dahulu kala, diakui sendiri oleh Jawa, para wali yang dipuja sebagai pengembang agama Islam di tanah Jawa diakui sebagai pencipta beberapa macam wayang, pencipta beberapa macam “sinom” atau lagu kejawen yang indah dan mendalam.
Dengan adanya pemisahan abangan-mutihan ini, keduanya terputus. Dari kalangan mutihan datang cap segala “haram”, dari kalangan abangan datang cap segala “fanatik”.
Padahal pada bangsa Indonesia yang lain tidaklah luka separah itu, tidaklah pisah sejauh itu. Perkembangan pencak silat di Minangkabau, sebagai satu cabang kebudayaan, dipimpin oleh Tuanku Syaikh Kumango di Batusangkar dan Tuanku Syaikh Abdulwahid di Bayur Maninjau. Syaikh Abdul Karim Amrullah mengumpulkan ahli silat, ahli puput dan selung dan ahli rebab kecapi ke suraunya pada tiap-tiap ada peluang, seketika dia datang ke Aceh pada akhir tahun 1930, dikerumuni dia oleh ule baling-ule baling, baik di kutaraja atau di Lhokseumawe. Tidak ada rasa mutihan dan abangan.
Beberapa ulama di Minangkabau hafal di luar kepala Hikayat Cindurmato dan Rancak Dilabuh. Pemimpin majalah ini menyanyikan Hikayat Cindurmato dengan lagu langgam klasik Minang pada seminar kebudayaan Minangkabau (Juli 1970).
Kebudayaan pusaka nenek moyang dipelihara baik-baik dan ulama-ulama turut memberikan sahamnya dalam pembinaan itu. Raja Ali Haji pengarang kitab Tuhfantun Nafis adalah orang besar keturunan Bugis di dalam Kerajaan Melayu Riau yang turut menyusun kebudayaan Melayu dengan intisari Islam. Di tanah Jawa sendiri pada mulanya memang seperti itu. Kitab-kitab primbon dan suluk dalam bahasa Jawa lebih banyak ialah saduran yang indah dari karangan Imam al-Ghazali atau Ibnu Arabi.
Tetapi karena semuanya ditulis dalam bahasa Jawa, yang menyambutnya ialah golongan yang disebut abangan tadi, dengan keras kepala mereka mempertahankan bahwa itu adalah kebudayaan Jawa asli, tidak ada hubungan dengan Islam. Sedang dalam kalangan yang mutihan sendiri pun sudah jarang yang dapat mendalami Kebudayaan Jawa-Islam tersebut. Hanya seorang yang menguasai keduanya, yaitu Prof. Dr. H. M. Rasyidi, anak Kote Gede, Yogyakarta.
Ketua Umum Majelis Ulama dalam hearing dengan Komisi IX Parlemen itu telah menyambut dengan halusnya ucapan eks Gubernur Jawa Tengah Munadi yang minta maaf tadi kalau tutur katanya salah, sebab dia Islam golongan abangan. Ketua Umum berkata: “Siapa yang akan mengatakan abangan, seorang yang ketika jadi gubernur di Jawa Tengah telah mendirikan sebuah masjid yang besar dan agung di kompleks yang layak dan megah di tengah kota Semarang? Sebuah masjid yang dibangun dengan arsitektur modern sehingga dapat dibanggakan sebagai satu-satunya masjid terindah di waktu sekarang di Jawa Tengah. Bernama masjid “Baitur Rahim”. Siapa yang akan mengatakan pendiri masjid itu seorang dari golongan abangan?
Ketika bersalam-salaman sehabis pertemuan, eks Gubernur Munadi mengatakan kepada Ketua Umum Majelis Ulama bahwa beliau akan berangkat pergi haji pada 25 Nopember 1975. Lalu Ketua Umum menyambut dengan kelakar: “Dapatkah dikatakan abangan juga seorang yang sedang bersiap hendak naik haji dan hendak berziarah ke makam Rasulullah?”
Eks Gubernur, anggota DPR Yang Terhormat Pak Munadi tersenyum!
MAKA MENJADI KEWAJIBAN kitalah sekarang, terutama ulama-ulama, mubaligh-mubaligh, dan ahli-ahli dakwah menghapuskan batas di antara abangan dan mutihan itu. Karena ternyata bahwa batas itu hanya dibikin-bikin saja. Kalau dikatakan bahwa orang yang abangan itu belum sempurna Islamnya, maka siapakah di antara orang mutihan itu yang dapat membanggakan diri bahwa keislaman mereka telah sempurna? Yang ma’shum hanya Rasul!
Orang yang disebut abangan itu, sebagai manusia, mereka pun mengharapkan kepuasan jiwa. Sedang yang disebut mutihan, yang dianggap mengerti agama, tidak dapat menawan hati yang abangan. Bertahun-tahun lamanya dalam kalangan mutihan waktunya hanya habis dalam soal-soal khilafiyah tetek-bengek. Ilmu dakwah tidak banyak diperhatikan. Sebab itu herankah kita kalau golongan abangan banyak yang menerima teosofi sebagai pegangan? Malahan di Jawa Tengan banyak yang menerima ajaran dari Katolik? Bahkan yang menyambut keterangan dari “Ahmadiyah” baik Qadiyannya atau Lahore-nya ialah kaum abangan juga?
Sebabnya ialah putus hubungan mereka dengan kaum mutihan. Dan kalau ada keterangan kaum mutihan, tidaklah memuaskan mereka.
Syukurlah kemerdekaan tanah air kita dan keterbukaan kita keluar menyebabkan pandangan terhadap agama Islam tidak lagi bersifat sinis sebagai yang diajarkan oleh Belanda dahulu.
Syukurlah bahwa orang-orang yang berjabatan tinggi tidak merasa malu lagi menunjukkan diri bahwa dia orang beragama. Syukurlah bahwa menteri-menteri dan gubernur jenderal-gubernur jenderal bersama keluarga tiap tahun sudah mulai banyak yang naik haji.
Syukurlah karena pada departemen-departemen, bank-bank, dan pengusaha swasta timbul kegiatan beragama dalam kalangan karyawannya sendiri, sehingga Pertamina tiap tahun memberangkatkan karyawannya ke Mekkah berombong-rombongan.
Syukurlah terlebih-lebih lagi syukurlah, karena gerakan beragama tumbuh pula dalam kampus universitas-universitas di seluruh Indonesia. Terkenal keaktifan agama Institut Teknologi Bandung (ITB), Jamaah Mahasiswa Arif Rahman Hakim di Jakarta. Demikian juga kegiatan agama di universitas-universitas yang lain. Semuanya menjadi tanda alamat bahwa “abangan” yang disebar-sebarkan agar jadi kenyataan itu, kian lama kian hilang.

Leave a Reply

Lewat ke baris perkakas