Skip to content


Bukan (Untuk) Sembarang Dual Degree

 

Fenomena menarik saat ini adalah banyak perguruan tinggi baik negeri swasta yang berlomba-lomba membuka program gelar ganda (dual degree) antara perguruan tinggi di dalam negeri dengan perguruan tinggi di luar negeri. Tentunya dengan dalih kuat sebagai cara jitu memposisikan perguruan tinggi tersebut untuk mencapai World Class University (WCU). Program ini merupakan program unggulan suatu perguruan tinggi yang diharapkan mampu membekali mahasiswanya dengan berbagai instrumen pendukung profesionalisme, yang tidak hanya terfokus pada satu bidang disiplin ilmu tertentu, tetapi juga mempunyai kemampuan menyelesaikan problem dengan pendekatan multi disiplin dan multi skill dengan masa studi relatif singkat dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja global.

Secara makro program gelar ganda ini diupayakan berefek menstimulasi peningkatan mutu pendidikan tinggi di Indonesia, baik dari aspek tenaga pendidiknya, mahasiswa maupun Kementerian Pendidikan Nasional pada umumnya.

Sesuai Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.26 Tahun 2007 tentang Kerjasama Perguruan Tinggi ada 9 (sembilan) bentuk kerjasama luar negeri perguruan tinggi yang diatur, yaitu : a. Kontrak Manajemen; b. Program kembaran; c. Program gelar ganda (dual degree); d. Program pemindahan kredit; e. Tukar menukar dosen dan/atau mahasiswa dalam kegiatan akademik; f. Pemanfaatan bersama sumber daya dalam kegiatan akademik, penelitian, dan pengabdian masyarakat; g. Penerbitan bersama karya ilmiah; h. Penyelenggaraan bersama pertemuan ilmiah atau kegiatan ilmiah lain; dan/atau i. Bentuk kerja sama lain yang dianggap perlu untuk meningkatkan kinerja perguruan tinggi.

Yang sering terjadi dalam prakteknya adalah kerancuan perguruan tinggi dalam memilih bentuk yang tepat, contohnya : rancu antara Program kembaran-Program gelar ganda-Program pemindahan kredit .

Di sisi lain ternyata pelaksanaan dual degree ini ternyata masih penuh kontroversi dalam hal perijinannya. Seperti yang dilansir harian Kompas.com tanggal 9 Juni 2011 ternyata banyak perguruan tinggi tetap menyelenggarakan program sarjana bergelar ganda (dual degree) meskipun belum mengantongi izin. Saat ini, nasib permohonan izin dual degree oleh sejumlah perguruan tinggi di Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) belum juga jelas. Terkait dengan keluhan perizinan program dual degree yang berkesan lambat, Direktur Kerja Sama dan Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, justru mempertanyakan keakuratan data pengajuan perizinan. Menurut dia, masih sedikit perguruan tinggi di Indonesia yang mengajukan izin kerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga di luar negeri.

Nah, siapa yang benar? Saling ”lempar handuk”, sebuah ironi di tengah semangat internasionalisasi.

Melihat dari kacamata seorang perencana, saya menginventarisir  beberapa permasalahan yang sepertinya akan muncul berkaitan dengan pelaksanaan program dual degree ini, antara lain :

  1. Unit Pengelolanya

tidak ada manajemen dan staff khusus yang menangani program dual degree tersebut.

  1. Sistem administrasinya

Sering terjadi permasalahan bagi mahasiswa peserta program, misalnya soal presensi, pembimbingan tugas akhir, pendadaran dan sebagainya.

  1. Sistem keuangannya.

Selama ini keuangan berpatokan pada prodi asal, mestinya harus ada standarisasi nominal pembayaran, waktu pembayaran dan mekanismenya.

  1. Koordinasi/komunikasi lemah.

Antara prodi penyelenggara dengan pihak Rektorat masih ada ‘jarak’ komunikasi dan koordinasinya tidak intensif.

  1. IT dan Networkingnya belum siap, perlu dirancang sebagaimana program reguler.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, perlu ada solusi untuk penanganan program dual degree agar dapat dijalankan secara professional dan berkesinambungan. Beberapa solusi diantaranya

  • Harus ada kejelasan pengelolanya yang dibentuk dengan SK Rektor, baik manajemen yang kompeten maupun administrator yang bertanggung jawab menanganinya.
  • Harus dibuatkan sistem administrasinya secara khusus sebagaimana program reguler, sehingga tidak ada lagi masalah, presensi, alokasi waktu khusus dan sebagainya.
  • Diperbaiki sistem keuangannya dan standar pembayarannya, agar dapat diakses dari satu pintu, bukan lagi dari masing-masing prodi.
  • Perlunya koordinasi yang kuat diantara pihak yang terlibat, baik dari rektorat, fakultas, jurusan dan prodi.

Sejatinya program dual degree ini merupakan program unggulan, tetapi kalau pengelolaannya tidak serius, tak sesuai aturan Pemerintah dan kurang didukung dengan sistem yang baik, bisa jadi hasilnya malah akan menuai banyak kontroversi dan catatan kurang baik. Ungkapan-ungkapan nakal seperti kemana sebenarnya program dual degree mau dibawa? Program dual degree ini kepentingan siapa? dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya dipastikan akan muncul. Tapi harus kita pahami bahwa ungkapan-ungkapan seperti itu adalah bentuk kepedulian agar ke depan program ini benar-benar menjadi unggulan yang profesional dan berkesinambungan. Tak terkecuali untuk Unnes tentunya membuka program dual degree akan dilakukan dengan kajian bijak  dan hati-hati , bukan untuk sembarang dual degree tentunya.

 

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan)

 

Posted in Tulisan Utama.

Tagged with .


0 Responses

Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.



Some HTML is OK

or, reply to this post via trackback.



Lewat ke baris perkakas