Skip to content


Menuju Masyarakat Unnes yang “Peduli Anggaran” #4

Sejak mendeklarasikan dirinya sebagai “Universitas Konservasi” , perkembangan Unnes makin pesat baik secara fisik maupun non fisik secara nyata. Membanggakan tentunya.

Ruang perkuliahan yang makin modern, taman-taman di lingkungan kampus, tugu, embung, jalan untuk pedestrian, ribuan pepohonan dan sepeda-sepeda yang “muncul” seiring dengan makin kuatnya tag-line yang dipopulerkan Unnes kepada masyarakat global tersebut. Konsekuensi dari “mimpi besar” itu adalah anggaran biaya yang harus dikeluarkan untuk mensukseskannya. Biaya pengadaan, operasional serta pemeliharaan menjadi tanggungjawab yang tak terhindarkan di masa depan.

Biaya-biaya tersebut tentu mengharuskan manajemen Unnes melihat berapa penerimaan Unnes yang diperoleh setelah mengubah statusnya menjadi Badan Layanan Umum (BLU) dibanding dengan pengeluaran untuk mewujudkan mimpi besar Unnes tersebut

Status BLU yang dipilih Unnes membawa konsekuensi pengelolaan keuangan yang mandiri dan fleksibel dengan menggunakan prinsip ekonomi, produktif, dan praktek bisnis yang sehat.

Menjadi sebuah persoalan ketika pengeluaran untuk membiayai ”mimpi” tersebut lebih besar dibandingkan dengan penerimaan yang diperoleh. Kata pepatah : besar pasak daripada tiang. Tentu hal ini harus dihindari dan menjadi kendali diri bagi jajaran manajemen Unnes dalam pengelolaan anggaran dan keuangannya.

Sebagian besar dari kita tentunya sangat memperhatikan menjaga kesehatan dan secara periodik melakukan pengecekan terhadap kualitas kesehatan fisik kita. Kalau ada di antara kita yang tidak peduli, atau pernah tidak peduli dengan kesehatan, boleh jadi pernah pula mengalami penyesalan. Misalnya, saat kita masuk rumah sakit atau paling tidak mesti ke dokter karena kondisi kesehatan menurun. Implikasinya bukan saja produktivitas menurun, tetapi juga harus mengeluarkan biaya perawatan yang pada gilirannya mengganggu stabilitas keuangan.

Menjaga kesehatan sebenarnya bukan hanya berlaku terhadap fisik, namun juga bagi keuangan kita. Dengan kata lain, dilakukan “pemeriksaan” rutin terhadap perkembangan keuangan kita. Apakah kondisinya stabil, menurun atau mengalami peningkatan kinerja.

Saat tepat untuk melakukan “pemeriksaan” kesehatan

Dalam konteks “pemeriksaan” atau bisa disebut juga dengan evaluasi kondisi keuangan, setidaknya meliputi perbandingan antara rencana yang telah dibuat pada awal tahun dan pencapaian realisasinya. Evaluasi itu mesti diberlakukan terhadap segala aspek keuangan, mulai dari penerimaan yang mungkin bersumber dari hasil investasi ataupun pendapatan lain, kemudian pengeluaran serta implikasinya terhadap posisi aset maupun utang yang kita miliki saat ini.

Pintu masuk” untuk mengevaluasi kondisi kesehatan keuangan kita hakikatnya adalah dengan melihat pertumbuhan aset yang kita miliki. Bandingkan aset kita saat ini dengan aset kita pada awal tahun dan atau jumlah aset yang kita miliki. Bila aset kita saat ini lebih besar ketimbang awal tahun berarti kondisi kesehatan keuangan bisa dikatakan baik, namun belum tentu optimal.

Untuk melihat apakah optimal atau tidak harus dibandingkan dengan rencana kita pada awal tahun. Bila sesuai target kita tergolong cerdas dalam mengelola keuangan. Tetapi, bila ternyata realisasinya di bawah rencana, maka kita harus merenungkan kembali pola kita dalam mengelola keuangan. Dan jangan lupa, aset di sini adalah dalam hitungan netto, artinya setelah dikurangi dengan seluruh utang kita. Percuma aset meningkat bila di sisi lain utang kita juga melambung tinggi. Agar kita tidak terjebak pada kekayaan artifisial, maka ada baiknya dalam menilai aset yang digunakan adalah nilai bersihnya, yakni total aset dikurangi total utang.

Seandainya, total aset bersih ternyata tidak seperti yang diharapkan, jelas ada yang keliru di sana. Lalu di mana akar masalahnya? Ada dua kemungkinan. Pertama, penerimaan kita tidak optimal,. Kedua, pengeluaran kita terlalu berlebihan.

Dua masalah itu sudah saatnya dikaji dalam pengelolaan keuangan Unnes. Sudahkah penerimaan Unnes dalam tingkat maksimal mengimbangi pengeluarannya yang makin besar dan kompleks? Belum lagi jika kita mau mengkaji lebih dalam berapa besar porsi penerimaan yang dapat “dikembalikan” lagi kepada mahasiswa yang kita layani berupa pemenuhan kebutuhan akademik mereka? Pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut harus menggelitik seluruh civitas akademika, karena hal ini menjadi tanggungjawab bersama dalam usaha meningkatkan pelayanan prima Unnes.

Sudah saatnya seluruh elemen di lingkungan Unnes dari tenaga pendidik, tenaga kependidikan hingga mahasiswanya peduli terhadap pengelolaan keuangan dan anggaran. Sudah saatnya seluruh unit kerja yang ada di lingkungan Unnes peduli terhadap alokasi anggaran yang menjadi tanggung jawabnya masing-masing. Peduli dalam arti punya sense of belonging terhadap besarnya alokasi anggaran yang diperoleh dari penerimaan Unnes, mau tahu bagaimana menggunakannya untuk menghasilkan ouput yang berdampak nyata bagi kemajuan Lembaga, sehingga mampu memperoleh penerimaan dari output kegiatan yang kita hasilkan. Bukan  memburu predikat unit kerja  ‘berdaya serap’ anggaran tinggi atau sekedar menghabiskan anggaran hingga akhir tahun anggaran.

Budaya malu melaksanakan kegiatan yang outputnya tak berdampak luas harus ditumbuhkan. Bukan masanya lagi kegiatan seremonial , tak unggul dan tak berkelanjutan ditonjolkan. Kegiatan yang kreatif, unggul, berjangkauan pikir jauh ke depan, ber-multiplier effect tinggi dan berkelanjutan di tahun-tahun anggaran berikutnya harus menjadi prioritas.

Itulah jalan  menuju “Sutera”.

Siapkah Unnes? Harus dimulai dari sekarang.

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan)

Posted in Tulisan Utama.

Tagged with .


0 Responses

Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.



Some HTML is OK

or, reply to this post via trackback.



Lewat ke baris perkakas