Skip to content


Menanam dengan Hati

“Yen pengin urip setaun, nanduro woh-wohan. Yen pengin urip sepuluh taun nanduro wit-witan.

Yen pengin urip saklawase nanduro kabecikan” (pepatah Jawa)

Pepatah Jawa di atas yang mengingatkan saya tentang hal yang selama ini tak terpikir mendalam. Menjadi renungan tatkala melihat makin hijaunya lingkungan di sekitar saya.

Lingkungan di tempat saya berada, Universitas Negeri Semarang (UNNES), telah mendeklarasikan dirinya sebagai Universitas Konservasi pertama di Indonesia. Konsekuensi dari deklarasi ini adalah bagaimana UNNES menjadikan konservasi sebagai sumber inspirasi upaya pengembangan perannya bagi masyarakat lokal, nasional maupun internasional.

Dari sudut pandang yang sempit, konservasi identik dengan gerakan menanam pohon. Tradisi menanam pohon telah dilakukan UNNES dengan banyak kemasan program dan acara. UNNES pada tahun 2010 berpartisipasi dalam Program Nasional Penanaman Satu Miliar Pohon dan Hari Menanam Nasional. Pada tataran internal, UNNES mencanangkan gerakan “satu mahasiswa satu pohon”, penanaman mangrove di daerah pesisir Mangunharjo, penanaman pohon buah di Kecamatan Gunungpati dan masih banyak lagi gerakan menanam pohon yang telah dilakukan UNNES. Intinya, UNNES ingin mejadikan gerakan menanam pohon sebagai sebuah kebutuhan dan gaya hidup baru, tidak sekedar seremoni dan pencitraan semata.

Tradisi menanam punya filosofi tersendiri, bahwa menanam mempunyai dimensi dan efek pengganda (multiplier effect) yang luar biasa. Menanam itu bermanfaat bagi orang lain. Hidup ini harus memberi manfaat, tidak selalu harus berbentuk uang, cukup dengan menanam saja orang lain akan merasakan manfaatnya sekarang dan nanti.

Idealnya gerakan menanam adalah gerakan dari hati. Heart to heart, karena pohon adalah sesama mahluk hidup. Sudah selayaknya menempatkan pohon bukan sebagai obyek tetapi sebagai sesama subyek pengambil peran yang bermanfaat bagi lingkungan hidup, sama seperti manusia.

Hal ini sejalan dengan pandangan baru yang bernama ekosentrisme, yang memandang perlu adanya etika lingkungan dalam tatanan kehidupan yang berimbang dalam kehidupan di alam semesta. Teori ekosentrisme menempatkan alam sebagai satu kesatuan sejajar dalam kehidupan manusia. Nilai atau harkat manusia bukan saja kebajikannya dengan Sang Pencipta, melainkan juga terhadap makhluk ciptaan-Nya termasuk alam semesta (Sony Keraf: 2002). Prinsip-prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata tak terkecuali kegiatan menanam pohon.

Menaman pohon adalah bentuk etika lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai ekosentrisme. Tuhan menurunkan manusia sebagai khalifah, bukan sebagai penguras sumber daya, melainkan pengelola sumber daya. Artinya menikmati sumber daya dengan tetap menjaga kelangsungan sumber daya tersebut. Satu pohon yang kita tanam sangat berarti bagi kelangsungan generasi berikutnya

Jadi selama pohon masih dijadikan obyek semata dalam gerakan menanam, dipastikan gerakan menanam hanya akan memuaskan ego manusia dalam dimensi waktu yang sempit.

Menanam pohon yang dilandasi dengan visi jauh ke depan akan berbeda hasilnya dengan sekedar menanam untuk jangka pendek. Orang yang menanam pohon dengan harapan terbangunnya kehidupan baru yang lebih baik tentu akan memilih bibit terbaik, memilih lokasi tanam paling sesuai, sekaligus menanam dengan cinta dan harapan.

Semangat merawat dan memelihara bibit pohon akan semakin kuat karena dorongan misi suci untuk mendapat ganjaran terbesar dari Tuhan berupa taman di surga kelak.

Surga menjadi visi terjauh karena di situlah kehidupan abadi kita nantinya. Membangun kehidupan dan berkontribusi bagi perbaikan alam adalah visi hidup selama kita di dunia. Visi inilah yang harus kita tumbuhkembangkan menembus batas waktu, generasi dan geografis.

Seseorang yang telah memulai kerja untuk menggapai visi yang jauh dan luas dimensinya takkan pernah bisa dihentikan oleh kematian, tempat dan sosok pada zamannya. Ia akan menginspirasi banyak orang untuk ikut melanjutkan, menyebarkan dan melestarikannya.

Jadi kita patut bertanya pada diri kita sendiri, sudah jutaan pohon ditanam, jutaan hektar tertancap bibit pohon, milyaran rupiah dikeluarkan dan ribuan manusia menanam. Sudahkah kita menanam dengan niat penuh harap terbangunnya kehidupan baru yang lebih indah dan sehat? Sudahkah kita merencanakan program penanaman pohon untuk mendapat surga terindah dari-Nya?

UNNES sebagai Universitas Konservasi harus berani memilih perannya tidak sekedar universitas penggiat gerakan menanam pohon, tapi sekaligus sebagai pelopor konservasi nilai-nilai filosofis menanam. Upaya menumbuhkan kesadaran diri akan nilai-nilai filosofis menanam pohon bagi civitas akademika dan masyarakat lokal menjadi tugas mulia UNNES sebagai warga dunia.

Menanam dengan hati adalah warisan semangat terindah bagi anak cucu kita.

 

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan)

Posted in Bicara Konservasi.

Tagged with .


0 Responses

Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.



Some HTML is OK

or, reply to this post via trackback.



Lewat ke baris perkakas