Skip to content


Rumah Ilmu : Kesetaraan Berkarya #2

Konsep Rumah Ilmu tentunya menjadi hal baru bagi tenaga kependidikan (tendik) di lingkungan kampus Unnes. Konsep yang terus terang masih asing meski sering disuarakan. Minimnya sosialisasi dan pedoman yang jelas membuat warga kampus menjadi banyak rupa pendapat dan interpretasi. Pun dengan tenaga kependidikan yang selama ini masih dianggap “warga kelas dua” di lingkungan kampus, sebagai bagian/unsur penunjang bagi layanan pembelajaran yang subyek utamanya adalah dosen dan mahasiswa tentunya konsep rumah ilmu menjadi angin segar bagi tendik untuk menunjukkan peran dan eksistensinya. Meski sekali lagi – dengan acuan dan standar yang belum jelas.

Bagi tendik – seperti saya ,

Pemilikan budaya akademik ini seharusnya menjadi idola semua insan akademisi perguruan tinggi, yakni dosen , mahasiswa dan sekaligus tendik sebagai supporting unit yang tak bisa dipisahkan perannya satu dengan yang lain.

Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen adalah dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa adalah apabila ia mampu mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya.

Sedangkan bagi tendik puncak prestasi adalah ketika seluruh proses aktivitas pendukung pembelajaran dosen dan mahasiswa ada pada koridor budaya mutu (quality culture) yang secara bertahap dapat menjadi kebiasaan untuk mewujudkan perilaku melayani secara prima dan purna.

Sebagai salah satu agen perubahan- seperti halnya dosen dan mahasiswa , seorang tendik memerlukan wadah untuk melatih kompetensi dan naluri berpikir analitis dan inovatif.

Menurut saya, rumah ilmu merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang bagi tendik sehingga mereka memfokuskan diri pada pengembangan ilmu baru dan bermanfaat bagi peningkatan mutu layanan pendukung pembelajaran.

Oleh karena itu kesetaraan berbudaya akademik mutlak diperlukan bagi tendik untuk meneguhkan peran sebagai agen perubahan seperti tuntutan konsep rumah ilmu. Tendik perlu diberi hak, kesempatan dan ruang gerak yang cukup untuk : kebebasan berfikir ilmiah  serta kebebasan berpendapat.

Tidak tabu bagi seorang tendik- struktural maupun fungsional untuk melakukan penelitian,  menciptakan karya-karya ilmiah/inovatif yang diharapkan meningkatkan kinerja institusi dan unit layanan prima.

Bukan hal yang sensitif jika seorang tendik diberi hak bersuara, berpendapat dan pengajuan alternatif pemecahan masalah institusi yang didasari pertimbangan ilmiah. Kesetaraan berpikir dan berkarya, unity in harmony rasanya menjadi impian bagi tendik dalam konsep rumah ilmu, karena sinergitas peran dan fungsi warga kampus adalah kunci sukses budaya mutu manajemen perguruan tinggi.

 

(Tulisan ini dibuat untuk mengikuti Lomba Blog Dosen dan Tendik. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan #2)

Posted in Tulisan Utama.

Tagged with .


0 Responses

Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.



Some HTML is OK

or, reply to this post via trackback.



Lewat ke baris perkakas