Definisi Agama
Agama merupakan sistem sosial yang dipercayai oleh para penganutnya yang berproses pada kekuatan non empiris yang dipercayai dan didayagunakan untuk keselamatan diri sendiri dan masyarakat (Puspito, 1983:34).
Dari pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa agama merupakan suatu fenomena sosial sebagai dorongan jiwa dalam seseorang yang berasal dari fitrah dantelah ada sejak manusia berada dalam alam ruh untuk hidup berketuhanan. Pendayagunaan sarana-sarana supra empiris ditujukan untuk kepentingan supra empiris saja. Orang-orang yang beragama hanya akan mementingkan kebahagiaan akhirat dan lupa akan kebutuhan dunia, tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan pada saat ini. Banyak orang berdoa kepada Tuhan dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya yang manusia rasa bahwa kebutuhan tersebut tidak dapat tercapai hanya dengan kekuatan manusia. Misalnya menjelang semesteran atau ujian sekolah sebagian murid berdoa untuk mendapatkan nilai yang terbaik dan lulus ujian, banyak orang melakukan misa kudus demi keberhasilan usaha yang sedang dijalankan bahkan seseorang yang sedang mengalami sakit akan berdoa untuk meminta kesembuhan. Dalam aspek sosiologis, agama memiliki sistem perhubungan dan interaksi sosial. Dimana pada saat salah satu unsur hilang maka orang tidak dapat berbicara tentang agama tetapi hanya kecenderungan religious.
Durkheim memandang bahwa “agama merupakan sistem kepercayaan dan praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral tunggal yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus”. ada dua unsur penting yang dapat menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama yaitu sifat kudus dari suatu agama dan praktek-praktek ritualnya. Agama tidak harus melibatkan konsep tentang suatu makhluk supranatural, melainkan agama tidak terlepas dari kedua unsur tersebut. Sesuatu dapat disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya, melainkan dari bentuk yang melibatkan dua ciri tersebut.
Ruang Lingkup Iman dan Agama
Ruang Lingkup Iman
Agama dan Iman sesungguhnya sangat berbeda. Dalam mengkaji fenomena tentang agama harus dibedakan antara pengertian iman dan agama. Iman merupakan kekuatan batin uang mampu menanggapi sesuatu yang bermakna baik kekuatan ghaib maupun kekuatan Tuhan.
Kekuatan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang sakral maupun angker yang memiliki kekuasaan lebih tinggi maupun yang memberikan pengaruh baik terhadap manusia. Oleh karena itu manusia melakukan hubungan dengan yang baik. Langkah yang paling jauh dilakukan oleh manusia adalah penyerahan diri secara keseluruhan kepada yang ghaib itu. Iman yang dalam hanya dapat ditemukan pada agama yang mengajarkan bahwa sesuatu yang bersifat ghaib adalah suatu pribadi tertinggi, Tuhan pencipta alam dan yang memanggil manusia hanya untuk mengabdi kepada-Nya. Kepercayaan tertinggi yang ditemukan dalam agama wahyu seperti agama islam, yahudi dan kristen. Iman yang demikian bersifat pribadi (strict personal) dan pihak manapun tidak berhak campur tangan baik negara maupun golongan. Disinilah orang mulai berbicara tentang “kebebasan beragama” maka iman bukan sasaran dalam sosiologi agama.
Agama (religi) dipandang sebagai instansi yang mengatur pernyataan iman dalam forum masyarakat (terbuka) dan manifestasinya dapat disaksikan dalam bentuk kaidah, ritual, doa, lambang keagamaan, dll. Tanpa adanya suatu agama yang mengatur serta membina maka keseluruhan kebudayaan (religious) tersebut akan susah untuk diwariskan kepada umat beriman berikutnya. Masalah tersebut yang menjadi obyek kajian sosiologi.
Ruang Lingkup agama
Kawasan agama sebagai obyek pengamatan analitis sosiologi dapat dibedakan menjadi tiga kawasan antara lain:
(1) kawasan putih merupakan suatu kawasan dimana kebutuhan manusiawi yang hendak dicapai masih dapat diraih dengan kekuatan manusia sendiri. Lingkup kawasan ini tidak sama bagi manusia (golongan manusia) yang satu dengan yang lain. Golongan manusia yang masih primitif batas kawasan ini lebih sempit karena pengetahuan dan kemampuan golongan tersebut masih sempit. Golongan manusia yang masih primitif dalam meminta bantuan akan lebih cepat lari kepada kekuatan ghaib, sedangkan bagi golongan manusia yang sudah maju bantuan yang berasal dari luar tidak akan diperlukan bagi usaha yang berdimensi netral.
(2) kawasan hijau merupakan kawasan dimana manusia merasa aman dengan akhlak atau moral nya. Dalam kawasan ini tindakan dan langkah manusia dengan sesamanya diatur oleh norma-norma rasional yang mendapat legitimasi oleh agama. Misalnya hal yang berkaitan dengan hidup kekeluargaan, pernikahan, warisan, jual-beli, diatur oleh aturan manusia dan dibenarkan oleh agama yang dianutnya. Rasa bimbang dan keraguan yang ada pada manusia akan hilang dengan adanya legitimasi dari agama.
(3) kawasan hitam merupakan kawasan dimana manusia secara radikal dan total mengalami kegagalan yang disebabkan oleh ketidakmampuan manusia itu sendiri. Jalan keluar satu-satunya dari kesulitan yaitu melakukan komunikasi dengan kekuatan yang ada diluar dalam mengatasi segala kekuatan alam. Maka terjadilah sejumlah ritual yang harus ditaati orang yang hendak bertemu dengan-Nya. Melalui jalan itulah manusia meyakinkan dirinya sanggup mengatasi problem manusiawi yang paling mendasar yaitu ketidakpastian, ketidakmampuan dan kelangkaan. Hasil dari pertemuan manusia dengan sang pencipta yaitu rasa aman sentosa yaitu bahwa manusia yang ada dalam situasi yang tidak pasti dan penuh bahaya tersebut akan mendapatkan kepastian dan jaminan setelah itu.
Pengaruh Agama terhadap Stratifikasi Sosial
Golongan petani
Pengaruh situasi dan kondisi golongan petani dapat mempengaruhi sikap mental mereka. Situasi dan kondisi tersebut antara lain faktor klimatologis dan hidrologis seperti musim dingin (penghujan) dan musim panas (kering), faktoe flora dan fauna seperti tanaman jagung, padi sayuran, palawija yang penggarapannya dibantu dengan hewan ternak yang dipelihara. Weber berpendapat bahwa “kaum petani lebih terlibat dalam proses organik dan peristiwa alam yang tak terhitung jumlahnya dari siklus satu ke siklus berikutnya dalam ritme yang berjalan secara alami”. Hukum bercocok tanam tersebut tidak dapat diperhitungkan secara xermat pada ekonomi pemasaran, sehingga kaum petani cenderung lebih memilih mendayagunakan kekuatan magis untuk mempengaruhi kekuatan kosmos yang irrasional. Oleh sebab itu kaum petani pada umumnya memiliki kecenderungan religious lebih besar dibandingkan dengan kelompok manusia dari kelas sosial lain. Misalnya kaum petani mengadakan upacara selamatan pada saat penanaman benih padi dan pada saat panen padi. Orang jawa biasa menyebut upacra ini sebagai upacara “wiwit” (mulai pemotongan padi) ditujukan untuk menghormati Dewi Sri atau Dewi Padi yang dipercayai oleh masyarakat petani sebgai pelindung kesuburan padi.
Golongan Pengrajin dan Pedagang Kecil
Golongan ini hidup dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan golongan petani. Golongan ini tidak terlalu tertarik dengan hukum alam (pertanian). Hidup yang mereka jalani berlandaskan ekonomi yang menggunakan perhitungan rasional. Dalam menghadapi tuntutan hidupnya, masyarakat golongan pengrajin dan pedagang kecil tidak menyandarkan hidupnya pada alam melainkan melakukan perencanaan yang pasti. Mereka percaya bahwa pekerjaan yang baik jika dilakukan dengan teliti dan tekun akan membawa keberkahan. Namun akhirnya, agama yang mereka pilih agama etis yang rasional (unsur emosi tidak memainkan peranan penting).
Golongan Pedagang Besar
Masyarakat yang ada dalam golongan ini memiliki jiwa yang jauh dari konsep tentang compensation (imbalan) moral. Golongan ini berorientasi pada keduniawian yang menutup kecenderungan pada agama yang profetis dan etis. Semakin besar kemewahan yang mereka miliki maka semakin kecil hasrat mereka terhadap agama yang mengarah pada dunia lain. Apabila mereka masuk salah satu agama, maka perhatian mereka pada pendalaman iman melalui ajaran agama dan ibadah kehadirannya agak langka, tetapi mereka tidak akan keberatan memberikan bantuan uang atau barang demi kemajuan agama yang dianutnya. Sedangkan kegiatan yang mengarah kedalam pengembangan agama yang dianutnya akan mereka serahkan pada oranglain.
Golongan Kelas yang Beruntung.
Sebaiknya kelas yang beruntung –golongan elite dan hartawan- memiliki sikap mental yang lain lagi terhadap agama. Menurut Weber golongan ini sejajar dengan golongan pegawai negeri (birokrat), tidak menaruh gagasan tentang keselamatan, dosa, dan kerendahan hati, namun mereka haus akan kehormatan. Pada mereka tidak ada keinginan untuk mengembangkan gagasan keselamatan, dan agama mereka anggap sebagai suatu fungsi pembenaran bagi pola kehidupan dan situasi mereka di dunia.[1][15]Kalau kita pertanyakan motivasi mana yang melatarbelakangi sikap mental mereka itu, maka jawabannya harus kita kembalikan kepada sikap kelas ini terhadap tiga “titik putus” (the breaking points) yang telah kita lihat pada uraian sebelumnya, yaitu kelangkaan, ketedakpastian, dan ketidakmampuan manusia.Terhadap dua “titik putus” yang pertama (yaitu kelangkaan dan ketidakpastian) pada golongan ini tidak terdapat masalah yang menakutkan.Kedudukan dan kekayaan yang mereka miliki cukup memberikan jaminan yang aman.Mengenai “titik putus” yang ketiga (ketidakmampuan), itu pun untuk sementara tidak perlu mutlak dipermasalahkan.Hal yang azasi (Tuhan, hidup kekal, dan lain-lain) dapat ditunda sampai hari tua, karena sekarang belum diperlukan.
Pengaruh Agama bagi Kehidupan Manusia
Jasa terbesar agama adalah mengarahkan perhatian umat manusia kepada masalah maha penting yang selalu menggoda yaitu masalah “arti dan makna” (the problem of meaning). Manusia bukan hanya membutuhkan kontrol emosional melainkan juga kepastian kognitif tentang masalah yang tidak dapat dihilangkan dari pikirannya seperti kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Kontribusi agama dalam menunjukan jalan keluar dan arah kemana manusia akan mencari jawaban atas persoalan yang sedang dihadapi. Jawaban tersebut hanya dapat diperoleh dengan memuaskan kalau manusia perorangan beserta masyarakatnya mau menerima suatu tempat yang ditunjuk sebagai sumber dan terminal terakhir dari segala kejadian di dunia ini. Terminal terakhir itu berada dalam dunia supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga inderawi maupun otak manusia sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional melainkan harus diterima sebagai kebenaran yang tidak dapat disingkirkan tanpa menyingkirkan arti dan makna eksistensinya sendiri dan dunia seluruhnya. Agama telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup yang mahaberat itu agama menunjukkan penyelesaiannya secara memuaskan kalau manusia mau menerima nilai-nilai terakhir dan tertinggi (ultimate).
Kelestarian Eksistensi Agama dalam Masyarakat
Dalam abad sekular ini banyak pemeluk agama diliputi rasa cemas mendengar pernyataan-pernyataan seperti “matinya Tuhan Allah”, dan “agama akan punah”, atau “agama akan masuk museum”. Lalu akan lahir suatu masyarakat sekular yang bersih dari segala unsure keagamaan. Ramalan senada diucapkan oleh Comte, Bapak dari sosiologi modern ini melihat agama dengan sudut pandang yang baru yakni Positivisme, sebagai konstruksi pemikiran manusia mengenai perlunya menghubungkan dunia yang mengatasi alam dengan dunia empiris ini untuk memuaskan kebutuhan manusia yang hidup dalam tahap pemikiran tertentu.
Tetapi hukum pemikiran itu sendiri yang berjalan dalam tiga tahap (teologis, metafisik, dan positif) akan membawa agama ke dalam suatu zaman di mana manusia secara radikal tidak membutuhkannya lagi. Dalam situasi demikian itu agama akan lenyap dari masyarakat. Comte sendiri telah mulai merealisasikan gagasannya itu dengan mengganti kebaktian kepada Tuhan dengan pengabdian kepada masyarakat.
Jika dilihat dari sudut pandang sosiologis bahwa agama akan tetap lestari, maka pernyataan tersebut bukanlah semacam ramalan yang disimpulkan dari silogisme deduktif. Bukan, melainkan dari data-data pengalaman baik yang ditulis maupun yang tidak ditulis atau dari pendengaran dan penglihatan banyak orang yang bukan ahli sosiologi.
Pertama, sebagai bukti ialah kenyataan dewasa ini (di mana abad ke-20 telah mendekati penghujung titik terakhir) bahwa agama belum lenyap bahkan belum ada tanda-tanda yang meyakinkan akan kelenyapannya. Malahan di negara-negara di mana agama secara sistematis akan ditumpas karena tidak cocok dengan ideologi negara, di situ agama masih hidup dan para penganut yang telah berhasil dibebaskan mencari pengganti agamanya dalam bentuk lain.
Argumentasi dari ramalan positivism yang ditegakkan Comte mengandung kelemahan berat.Karena data-data yang digunakan sebagai premis hanya terbatas pada umat beragama di Eropa yang saat itu tengah meunjukkan gejala kemunduran dari segi tertentu. Kemunduran itu hanya diukur dengan ukuran yang sempit: berkurangnya umat dalam partisipasi ritual, atau peribadatan lainnya. Ternyata masa-masa berikutnya situasi keagamaan itu tidak memburuk, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.Comte tidak dapat mengetahui sebelumnya bahwa pada abad ke-20 ini diadakan Konsili Vatikan II yang membawakan penyegaran dan pembaharuan.
Ramalan Marx hingga kini belum terbukti dan tidak pernah akan terbukti, karena dasar argumentasinya sangat berat sebelah. Ia hanya bisa melihat masalah kebutuhan manusia akan agama hanya dari satu sudut pandang saja, ialah dari segi ekonomi sebagai faktor satu-satunya; dan ia menutup mata terhadap faktor-faktor lain yang bukan ekonomi, misalnya naluri-naluri manusia yang tidak dipenuhi dengan nilai ekonomi saja. Lagi pula apa yang ia harapkan bahwa kaum buruh yang kondisi sosio-ekonominya sudah diperbaiki lantas akan meninggalkan kehidupan keagamaan, itu tidak terwujud dalam kenyataan. Kaum buruh di Polandia yang tergabung dalam serikat buruh “Solidaritas” merupakan bukti lawan yang jelas terhadap pendirian Marx.Karena merek tetap tinggal setia kepada agama mereka.
Apakah kemajuan ilmu pengetahuan (science) tidak akan memberikan tusukan maut bagi agama? Soal tersebut sudah sering dilontarkan para pemikir yang berpendapat bahwa agama adalah “suatu kesalahan dalam berpikkir” (Puspito, 1983:75), yang dalam bahasa asing adalah “an error in reasoning”. Pada suatu ketika kesalahan itu akan dibuka, lalu agama akan lenyap. Terhadap persoalan tersebutDavis (Puspito, 1983:75) mengatakan bahwa ‘sudut pandang rasionalistis itu sendiri jatuh dalam kesalahan’.Sehubungan dengan persoalan tersebut David (Puspito, 1983:76) menegaskan bahwa ‘ilmu pengetahuan itu sendiri mengandung dimensi religius’.Karena untuk dapat memahami dan dapat menerima dasar rasional argumentasinya manusia membutuhkan suatu transendensi diri yang kognitif.
DAFTAR PUSTAKA
Puspito, Hendro.1998.pengantar Sosiologi Agama.Yogyakarta:Kanisius
Haryanto, Sindung.2015.Sosiologi Agama: dari Klasik hingga Postmodern.Yogyakarta:Ar-ruzz media
semangat menulis lagi kakak hehe
terimakasih kakak 🙂
semangat menulis artikel berikutnya juga kakak 🙂
Tulisannya bisa lebih dirapikan lagi yah, semangat menulissssss 🙂 😉
kaka judulnya dibuat menarik lagi hehe
terimakasih kakak untuk masukannya 🙂