Oleh: Sholih Hasyim
Kesadaran Tentang Akhir Kehidupan
Sekarang kita mencermati terapan dalam pribadi Rasulullah yang memiliki akhlak yang agung (khuluqin ‘azhim). Setiap kali beliau menuju tempat pembaringan, beliau meyakini secara utuh bahwa tidur adalah saudara kematian. Imam Al-Ghozali mengatakan An Naumu syabihatul maut (tidur itu serupa dengan kematian).Setiap kali kita tidur, Allah سبحانه وتعالى mengembalikan ruh itu pada shubuh hari. Jika Allah سبحانه وتعالى menghendaki, tidak akan mengembalikan ruh itu ke dalam jasad kita.
Rasulullah menganjurkan kepada kita ketika menjelang tidur melakukan persiapan-persiapan sebagaimana yang kita lakukan ketika akan menghadapi datangnya kematian. Kita diperintahkan untuk berwudhu, shalat witir tiga rokaat, bermuhasabah. Jadi, muhasabah bukan setiap awal tahun. Terlalu sulit mengkalkulasi dosa kita yang demikian menumpuk. Kemudian menuju ke tempat pembaringan dan berdoa :
“Ya Allah kuserahkan segala urusanku kepada-MU. Dan kuhadapkan wajahku kepada-MU. Dan kuserahkan urusanku kepada-MU. Dan kusAndarkan punggungku hanya kepada-MU. Dengan penuh harapan ridha-MU. Tidak ada tempat kembali, juga tidak ada tempat menemukan keselamatan dari siksa-MU kecuali hanya kepada-MU. Saya beriman kepada kitab yang Engkau turunkan. Dan kepada Rasul-rasul-MU yang telah Engkau utus. Jadikanlah kalimat-kalimat itu sebagai ucapan terakhir.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Ibnul Qayyim menjelaskan, bahwa doa-doa itu kita senandungkan menjelang kematian. Doa itu mengandung tiga unsur rukun iman. Iman kepada Allah سبحانه وتعالى , iman kepada kitab-kitab-Nya dan iman kepada Rasul-rasul-Nya. Itu selalu kita ucapkan menjelang tidur.
Oleh itu, ketika kita terbangun maka doa yang kita ucapkan : Segala puji bagi Allah سبحانه وتعالى yang telah menghidupkan kami kembali dan kepada-Nya kelak kembali.
Ingatan yang paling kuat tentang kematian dilakukan oleh uswah, qudwah kita menjelang tidur. Suatu hari dari perjalanan hidup kita, kita susun kembali. Seakan-akan hari tidak akan pernah kembali untuk selama-lamanya.
Dalam kenyataan kehidupan keseharian, unsur kematian dan hari akhirat sepatutnya menggugah kesadaran kita tentang waktu. Jika ada dorongan untuk berbuat maksiat, condong ke bumi, dorongan untuk menjadi tidak berdaya menghadapi godaan, mengharuskan untuk bermuhasabah. Seperti pertanyaan-pertanyaan berikut : Apa yang terjadi jika saya berbuat maksiat, tiba-tiba meninggal, bagaimana bertemu dengan Allah سبحانه وتعالى . Padahal kata Rasulullah bahwa seorang yang sakaratul maut (mabuk kematian) berbanding lurus dengan hobinya ketika hidup di dunia. Sesungguhnya peristiwa kematian manusia itu sama. Cuma caranya yang berbeda.
Pernah ada sebuah video yang merupakan disertasi doktor di Jerman. Disertasi ini memotret berbagai cara untuk mati. Terdiri dari enam kaset video. Semua cara mati dia perlihatkan secara agak detail. Mulai dari cara mati biasa. Mati dalam keadaan sakit. Mati disetrum listrik di penjara. Mati digigit buaya. Mati karena ditabrak lari. Semua bentuk kematian. Ada yang mati dalam keadaan mudah, ada yang meninggal dalam keadaan yang sulit.
وَلَوْ تَرَى إِذِ الْمُجْرِمُونَ نَاكِسُو رُؤُوسِهِمْ عِندَ رَبِّهِمْ رَبَّنَا أَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحاً إِنَّا مُوقِنُونَ
“Dan, jika sekiranya kamu melihat mereka ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin.” (QS. As Sajdah (32) : 12).
Ada yang mengakhiri kehidupannya ini jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”(QS. Al Fajr (89) : 27-30).
Ada yang menerima catatan amalnya dengan tangan kanan, ada pula yang menerima catatan amalnya dengan tangan kiri.
فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ
فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَاباً يَسِيراً
وَيَنقَلِبُ إِلَى أَهْلِهِ مَسْرُوراً
وَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ وَرَاء ظَهْرِهِ
فَسَوْفَ يَدْعُو ثُبُوراً
وَيَصْلَى سَعِيراً
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang-orang yang diberikan kitabnya dari belakang, maka dia akan berteriak: “Celakalah aku”. dan dia akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. Al Insyiqaq (84) : 7-12)
Mengertilah kita, Islam menganjurkan kita sering-sering berjalan di kuburan. Berjalan seorang diri. Merenung. Mengenang. Tafakkur. Berdialog dengan diri sendiri. Meningkatkan penghayatan kita tentang hakikat kehidupan. Karena setiap kita diberikan dorongan yang kuat untuk menikmati. Setelah diberikan kenikmatan, membuat kita selalu panjang angan-angan (thulul amal). Thulul amal membuat kita lalai tentang hakikat kehidupan, kata Ali bin Abi Thalib.
Kita tertarik dengan buku Steven Covey. Karena terkait dengan cara mengakhiri kehidupan. Ia mengatakan, bayangkanlah suatu hari anda berjalan menuju sebuah yayasan, yang mengurusi prosesi kematian.
Misalnya, membuat keranda jenazah. Bayangkan Anda memesan keranda tersebut. Ketika jenazah dibawah ke ambulance, bayangkan anda masuk ke dalam keranda itu. Lalu anda benar-benar berada di dalam keranda. Dan sudah menjadi mayat. Keluarga dan teman-teman dekat mengantar untuk yang terakhir. Sesudah anda di tanam di alam kubur, makam ditutup. Orang-orang berada di atas pusara memberikan beberapa sambutan dan berdoa.
Bayangkan yang memberi sambutan ada empat orang. Yang pernah terikat dengan Anda begitu luas dan dalam. Pertama, keluarga Anda. Kedua, teman sekerja anda. Ketiga, teman organisasi. Keempat, sahabat karib tempat menumpahkan seluruh rahasia hidup Anda. Jika mereka semua mengetahui anda dengan baik, berarti apa yang mereka ucapkan, dengan sendirinya sesuai dengan yang lahir dari pengetahuan yang obyektif .
Bayangkan anda sekarang sudah masuk di dalam kubur. Pada hari itu tidak memiliki hak untuk menjawab dan kesempatan untuk membela diri. Apapun yang mereka katakan, itulah yang diakui orang. Tanyakan kepada diri Anda. Apakah yang anda inginkan dari ucapan keempat orang itu ketika memberi sambutan. Jika Anda membawa pertanyaan-pertanyaan ke dalam renungan sehari-hari dalam kesadaran. Anda membisiki jiwa Anda dengan pertanyaan itu dari waktu ke waktu dengan pertanyaan itu. Niscaya Anda akan menemukan suatu gambaran kepribadian kita masing-masing.
Siapakah diri kita? Apakah mereka betul-betul kehilangan dengan kepergian kita. Atau biasa-biasa saja.
Ada yang perlu direnungkan di sini, ungkapan ahli sastra Arab berikut : اِذاَ حَمَلْتَ اِلَى الْقُبُوْرِ جَناَزَةً فاَعْلَمْ بِأَنَكَ مَحْمُوْلُ * وَاِذاَ وُلِيْتَ أُمُورَ قَوْم فاَعْلَمْ بِأَنَكَ مَعْزُوْلُ
“Apabila engkau membawa keranda jenazah ke kuburan, ingatlah suatu saat engkau akan dibawa. Jika engkau diserahi urusan kaum, ingatlah suatu ketika engkau akan dimakzulkan (dilengserkan).”*
Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Kudus, Jawa Tengah