Aktivitas Penambangan Pasir di Gunung Panepen
Pengertian Pertambangan Sesuai UU Minerba No.4 Tahun 2009 Pasal 1, dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.
Secara geografis Gunung Panepen terletak di Dusun Bangsewu, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunungpati, Kabuaten Semarang. Karena jenis kontur tanah di daerah ini adalah dataran tinggi dan bergunung, maka kawasan Gunungpati banyak menghasilkan pasir, batu alam dan bahan tambang lain yang cukup bernilai tinggi. Daerah Gunungpati ini juga merupakan salah satu daerah resapan air dan konservasi di wilyah Semarang. Pertambangan yang terdapat di Gunung Panepen ini termasuk pada jenis golongan galian C, yakni galian yang menghasilkan tambang pasir, berbagai jenis batuan, dan tanah padas. Sehingga sudah seharusnya masyarakat Dusun Bangsewu perlu sekali untuk memperhatikan peraturan menteri pertambangan dan energi nomor 03/P/M/Pertambangan/1981 tahun 1981 yang berisi pedoman pemberian ijin pertambangan daerah untuk bahan galian yang bukan strategis dan bukan vital (bahan galian golongan c).
Tidak dapat dipungkiri baik secara langsung maupun tidak langsung sebagian besar dengan adanya aktivitas penambangan tersebut berdampak secara sistematik pada segi ekonomi masyarakat Dusun Bangsewu. Secara langsung, karena memang hampir semua masyarakat Dusun Bangsewu mengandalkan hidup dari penghasilannya sebagai penambang pasir. Dimana sebelum adanya pertambangan di Gunung Panepen, masyarakat Dusun Bangsewu sebagian besar bekerja sebagai penambang pasir di sungai yang terbentang di wilayah Dusun tersebut. Secara tidak langsung karena aktivitas pertambangan tersebut dapat mempengaruhi dan merangsang pembangunan. Hal itu dapat dilihat dari adanya perlebaran jalan raya disekitar Dusun Bangsewu setelah berjalannya aktivitas pertambangan pasir di Gunug Panepen tersebut.
Namun ternyata aktivitas penambangan pasir tersebut bukan berarti tanpa hambatan, sudah sekitar hampir setahun proyek pertambangan di Dusun Bangsewu berhenti karena masalah perizinan. Sehingga hal tersebut sangat mempengaruhi pendapatan masyarakat. Oleh karena itu mereka merasa pemerintah mempersulit mereka dalam mencari nafkah. Berangkat dari permasahan diatas penulis mencoba untuk memaparkan bagaimana sebenarnya aktivitas pertambangan di Dusun Bangsewu, sehingga memepengaruhi lingkungan sekitar, dan bagaimana pro-kontra yang terjadi dalam aktivitas pertambangan tersebut.
Aktivitas Penambangan Pasir di Dusun Bangsewu
Gunung Panepen terletak tepat di Dusun Bangsewu. Sebenarnya tidak begitu banyak tumbuhan yang terdapat di Gunung ini, hanya saja yang paling banyak ialah dipenuhi oleh pohon bambu, ilalang, dan semak belukar. Pada awalnya lahan Gunung Panepen ini dimiliki oleh masyarakat Dusun Panepen. Mereka semuanya memiliki sertifikat tanah sebagai tanda hak milik.
Menurut keterangan bapak Dedi sebagai salah satu penambang pasir, beberapa tahun yang lalu masyarakat ditawari untuk menjual lahan mereka yang ada di Gunung Panepen kepada ibu Irah. Dia adalah seorang pengusaha berdarah Tionghoa yang sekaligus juga salah satu elite politik di Semarang. Tujuan ibu Irah membeli tanah tersebut adalah untuk kemudian diratakan, kemungkinan besar dia berniat untuk membuat pabrik industri atau perumahan. Masyarakat Dusun Bangsewu pun setuju, dan melakukan kesepakatan dengan ibu Irah terkait perpindahan hak milik tanah tersebut. Dimana kepemilikan tanah sepenuhnya menjadi milik Ibu Irah, dan hampir seluruh Gunung Panepen menjadi milik Ibu Irah, karena ada beberapa orang yang tidak bersedia menjual tanahnya. Akan tetapi karena niatnya untuk diratakan maka masyarakat diperbolehkan untuk mengambil isi tanah tersebut.
Karena sumber daya yang terdapat di Gunung tersebut melimpah yaitu mengandung pasir, batu, padas, dan sebagainya maka pada tahun 2013 Ibu Irah menjalin kontrak proyek pertambangan dengan sebuah PT. Pemerintah mengeluarkan izin untuk dilakukannya aktivitas pertambangan tersebut seluas 10 hektar. Proses pertambangan mulanya dilakukan dengan menggunakan alat berat. Setiap hasil pertambangan memiliki harga yang berbeda, yaitu pasir satu mobil L300 dihargai 80.000-100.000 rupiah, bongkahan-bongkahan tanah 40.000, dan tanah padas dihargai 30.000-140.000 rupiah. Dimana dari setiap hasil penjualan tambang tersebut penambang harus menyetorkan 30.000 rupiah kepada Ibu Irah. Biasanya hasil tambang tersebut digunakan untuk proyek pembangunan jalan, proyek pelebaran bandara, dan juga pengurukan pelabuhan.
Belum habis sampai satu hektar aktivitas pertambangan, kontrak yang terjalin selama dua tahunan pun sudah habis. Sehingga tidak ada lagi proyek-proyek yang mengambil hasil tambang dari Gunung Panepen tersebut. Penambang pun melakukan aktivitas pertambangan secara manual yaitu menggunakan alat-alat sederhana seperti pacul dan pengayak biasa. Mereka bekerja semau mereka karena sekarang hanya bisa menunggu pembeli hasil tambang saja, dimana sudah tidak ada lagi proyek yang dilakukan. Kalaupun ada pesanan, sekarang mereka harus lebih keras bekerja mengingat proses yang dilakukan secara manual. Tak jarang ketika mendapat pesanan mereka kerja hingga larut malam sampai sekitar jam 11 malam baru berhenti, untuk mengejar target. Karena apabila target pesanan tidak cukup maka pemesan akan beralih ke pertambangan yang lain yang sudah menyediakan hasil tambang dalam jumlah yang diinginkan. Selebihnya aktivitas penambang sekarang hanya sekedar mengumpulkan hasil tambang dan berharap ada yang membeli.
Dampak Aktivitas Penambangan Pasir di Dusun Bangsewu
Setiap aktivitas pertambangan, tentunya akan berdampak pada perubahan baik secara sosial maupun lingkungan fisik sekitarnya. Begitu pula yang terjadi pada aktivitas pertambangan di dusun Bangsewu ini. Seperti keterangan Ibu Asriyah, salah satu pemilik warung disekitar pertambangan Gunung Panepen. Menurut dia adanya pertambangan di Gunung Panepen sebenarnya untung tidak untung. Mengapa demikian, tidak untung karena memang dulu sebelum adanya aktivitas pertambangan, meskipun hanya banyak dipenuhi dengan pohon Bambu namun udara disekitar Gunung Panepen cukup sejuk. Berbeda dengan sekarang yang udaranya semakin panas di tambah dengan debu yang bertebaran karena aktivitas pertambangan. Untungnya adalah setelah adanya pertambangan, Gunung panepen sudah tidak lagi mengalami longsor dan bahkan jalan raya disekitarnya diperlebar sehingga daerah ini sudah tidak dirasa gelap atau menakutkan bahkan cukup ramai dilewati orang. Hal tersebut menjadi keuntungan sendiri bagi dia, dimana pelanggan warungnya semakin bertambah. Dia juga mengungkapkan bahwa sama sekali tidak merasa terganggu oleh aktivitas pertambangan tersebut. Tidak jauh berbeda dengan keterangan bapak Dedi, dimana menurut dia karena pertambangan tersebut Gunung Panepen sudah tidak pernah longsor lagi maupun mengalami kebakaran lagi dan jalan raya menjadi lebar. Bahkan aktivitas menambang pasir sebelumnya, yaitu yang dilakukan di sungai sekitar Dusun Bangsewu justru membantu masyarakat dan pemerintah. Diamana proses penambangan pasir tersebut mencegah terjadinya pendangkalan sungai. Sehingga secara tidak langsung proses penambangan tersebut menghindari masyarakat dari kebanjiran.
Ibu Irah sebagai pemilik lahan yang mengijinkan masyrakat untuk menambang ditanahnya, bahkan boleh diakatakan sebagai pemilik pertambangan pun tidak lepas tangan. Dia memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terkena dampak dan paling dekat dari aktivitas pertambangan tersebut. Baik berupa sembako maupun uang. Dimana diawal pembukaan pertambangan setiap kepala keluarga diberikan kompensasi sebesar 200.000 rupiah perbulan. Kemudian Ibu Irah juga dapat dikatakan akrab denga masyarakat Dusun Bangsewu, karena setiap bulannya pasti berkunjung ke pertambangan, bercengkrama dengan masyarakat, dan juga memberikan sembako kepada para penambang.
Terlepas dari dilemanya masyarakat Dusun Bangsewu yang mencari pendapatan dengan bekerja sebagai penambang pasir sekarang ini, tetap saja aktivitas pertambangan tersebut berdampak pada lingkungan. Yaitu terjadinya kerusakan lingkungan sekitar, yang tercermin pada perubahan suhu yang menjadi lebih panas dan menimbulkan polusi udara yang disebabkan oleh debu. Sedang dalam jangka panjangnya, tentu akan beradampak kembali pada masyarakatnya sendiri, yakni ketika Gunung Panepen sudah habis ditambang mereka akan kembali kehilangan mata pencaharian. Dimana secara otomatis mereka akan kembali lagi kepada profesi awal yaitu penambang pasir di sungai.
Konflik dalam Aktivitas Penambangan Pasir di Dusun Bangsewu
Habisnya kontrak pertambangan tersebut, ternyata membuat masyarakat kehilangan pendapatan karena sudah tidak ada lagi proyek yang dilakukan. Usaha untuk meminta perizinan penambangan kembali pun dilakukan. Akan tetapi tidak kunjung juga keluar, proses permohonan izin berhenti pada tingkat provinsi. Sulitnya memperoleh izin penambangan tersebut menimbulkan kekecewaan masyarakat Dusun Bangsewu terhadap pemerintah provinsi.
Puncak kekecewaan masyarakat terjadi pada saat Gubernur Jawa Tengah dan aparatnya mendatangi lokasi pertambangan, dan memaksa para penambang untuk berhenti melakukan aktivitas pertambangan. Masyarakat Dusun bangsewu merasa tidak terima, merasa tidak ada eadilan, dan merasa pemimpin daerahnya tidak memenuhi janjinya ketika mencalonkan diri sebagai kepala daerah, yaitu untuk mempermudah lapangan pekerjaan.
Selain itu masyarakat juga merasa bahwa tindakan memaksa yang dikakukan Gubernur beserta aparatnya adalah bukan wewenangnya, karena hal tersebut adalah bagian dari wewenang pemerintah kabupaten. Dimana mereka menganggap hal itu adalah bagian dari rumah tangga kabupaten. Kalau pun ada kunjungan dari pemerintah tingkat provinsi, hanya sebatas mengawasi dan menegur apabila ada tindakan yang menyeleweng. Hal tersebut mendorong masyarakat Bangsewu, tidak hanya penambang tapi juga supir-supir pengangkut hasil tambang untuk berdemo di kantor pemerintah tingkat provinsi. Meskipun sudah dua kali berdemo, dan sempat berdiskusi langsung dengan Gubernur sampai saat ini permohonan izin pertambangan belum juga keluar.
Kepercayaan Lokal yang Menyertai Aktivitas Pertambangan di Dusun Bangsewu
Ternyata masyarakat Dusun Bangsewu masih percaya akan setiap tempat pasti ada penunggunya. Hal tersebut diwujudkan saat pertambangan di gunung Panepen ini hendak dimulai, yaitu sebelumnya masyrakat mengundang seorang dukun untk meminta izin melakukan pertambangan. Dimana mereka percaya bahwa gunung tersebut ditunggui oleh dua siluman ular, dimana yang satunya dalah ular naga yang memiliki mahkota emas. Siluman ular tersebut sesekali memunculkan diri, seperti yang baru-baru ini terjadi yaitu saat malam satu suro ular tersebut turun dari gunung untuk mengambil minum disungai.
penggambaran yang menarik 🙂
tampilan blognya diberi variasi lagi agar menarik
oke..makasih
sangat bermanfaat,,
tampilan blognya bkin ngiri
rapian punyanya kamu, tolong bantu aku biar bisa rapi