Etnografi?
Pada ilmu alam, menghasilkan suatu teori yang berangkat dari teori-teori sebelumnya. Peneliti melakukan klarifikasi terhadap keabsahan teori tersebut kemudian melakukan penelitian ulang untuk mendapatkan kebenaran dan kepuasan pengetahuan oleh peneliti. Jika penelitian tersebut sesuai dengan teori sebelumnya, peneliti akan sependapat dengan teori yang telah dibuktikan sendiri, namun jika hasil penelitian menunjukkan perbedaan, maka peneliti akan melakukan kritik terhadap teori yang coba Ia buktikan atau bahkan peneliti akan melakukan generalisasi dan membuat teori baru sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. Diantara berbagai teori ilmu-ilmu alam, kita mengenal berbagai teori atau hukum yang sudah tergeneralisasi dan menjadi baku disaat sekarang, seperti teori Darwin, hukum Newton, hukum Gossen I, hukum Gossen II (filsuf dalam ilmu Ekonomi) dan masih banyak lainnya yang dihasilkan para filsuf ilmu alam. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli ilmu alam melahirkan berbagai teori, dan apakah berlaku demikian juga terhadap ilmu sosial?
Dalam ilmu Antropologi (salah satu disiplin ilmu sosial) tidak serta merta melakukan penelitian dan kemudian menghasilkan teori, karena sebuah disiplin ilmu bukanlah perusahaan/produsen yang senantiasa menghasilkan ataupun mencetak suatu teori (melihat etnografi sebagai sebuah metode dan proses dari ilmu Antropologi, bukan sejarah lahirnya ilmu Antropologi). Dilain itu, mahasiswa yang menempuh studi ilmu Antropologi mempunyai hak dan kewajiban berkarya etnografi. Pada mulanya (akhir abad 19) Etnografi dicirikan tulisan-tulisan berbau eksotis, homogen, dan merupakan kamuflase dari ilmu alam, yakni senantiasa menggeneralisasi suatu permasalahan sosial suku bangsa. Namun perbedaanya karya-karya etnografi ini hanya bersumber dari catatan-catatan perjalanan musafir, pedagang, penyebar agama (misionaris), dan catatan dari pegawai pemerintah kolonial penjelajah alam, bukan penelitian studi lapangan secara langsung seperti ilmu alam. Lebih lanjut, pada masa itu tulisan-tulisan etnografi masih sangat erat dengan ethnosentris dari peneliti. Kebanyakan peneliti yang berasal dari barat (Eropa) menjadikan apa yang terlihat dan dimiliki oleh mereka (kebudayaan asli Eropa) menjadi tolak ukur untuk menilai kebudayaan masyarakat yang ada di luar Eropa .
Sekitar tahun 1915-1925 penelitian Antropologi tidak hanya dilakukan pada masyarakat asing seperti yang dijumpai pada masa etnografi klasik/awal, melainkan masyarakat yang sudah maju, heterogen, kompleks baik itu masyarakat pedesaan ataupun masyarakat perkotaan. Penelitian dilakukan dengan observasi langsung/partisapant observation oleh peneliti. Tidak hanya melakukan wawancara, namun peneliti ikut tinggal pada masyarakat, melakukan aktivitas masyarakat, sehingga dapat mengasilkan karya etnografi, bagaimana dan seperti apa kebudayaan dimaknai oleh masyarakat yang diteliti. Contohnya yaitu etnografi Kebudayaan Petani Trunyan Bali oleh Dnanandjaya. Pada tahap ini pula, tulisan/hasil karya tentang kebudayaan dipaparkan secara holistik atau menyeluruh.
Pada masa inilah dikenal dengan istilah etnografi modern .
Seiring berkembangnya zaman, berkembang pula ilmu pengetahuan, teknologi dan tidak di hindarkan jika penulisan etnografi juga ikut mengalami perubahan. Kemajuan masyarakat yang sangat pesat, memunculkan kelompok-kelompok sosial seperti komunitas punk, adanya penggunaan bahasa alay, anak jalanan dan fenomena-fenomena lain yang mendorong para intelek ilmu Antropologi membuat etnografi yang banyak berkenaan dengan gaya hidup, tentang subkultur atau budaya periferi/diferensial serta menggunakan metode analisis wacana. Bagaimana agar seorang peneliti menemukan masyarakat yang dapat mengorganisasikan kebudayaannya dari fikiran hingga memasukkannya dalam kehidupan nyata. Bermula pada era tahun 1960-an yang disebut dengan etnografi baru, dan pengkajian mengenai kebudayaan masyarakat tidak hanya yang berkenaan dengan others namun juga pada self. Pada etnografi baru, analisis dalam penelitian masyarakat tidak didasarkan semata-mata pada interpretasi peneliti tetapi merupakan susunan pikiran dari anggota masyarakat yang dikorek keluar oleh peneliti. Karena tujuannya adalah untuk menemukan dan menggambarkan organisasi pikiran dari suatu masyarakat, maka pemahaman peneliti akan studi bahasa menjadi sangat penting dalam metode penelitian ini.
Dari pemaparan mengenai tahap perkembangan etnografi diatas, pemahaman saya mengenai etnografi sendiri adalah bukan pada produk dari disiplin ilmu Antropologi, karena sekali lagi bahwa Antropologi bukan merupakan suatu Perseroan Terbatas. Namun Etnografi itu sendiri merupakan wujud nyata atau manivestasi dari suatu disiplin ilmu yakni Antropologi. Etnografi juga merupakan pembuktian, bahwa suatu kebudayaan baik yang sudah pernah diteliti ataupun sama sekali belum pernah dijumpai, dilakukan kroscek dan memaknai secara langsung dengan melakukan studi lapangan dengan menggunakan metodologi tertentu agar semua yang terkait dengan kebudayaan yang diteliti dapat terkuak esensi/substansinya. Lebih dari itu, tanpa menilai bahwa suatu kebudayaan baik atau buruk, karena apapun yang tertangkap oleh indera adalah wujud nyata dari realitas kehidupan masyarakat. Sehingga dalam penulisan sebuah karya etnografi adalah berpacu pada apa yang di lihat, apa yang di dengar, apa yang di baca dari kebudayaan masyarakat, apa yang di cium, dan apa yang di rasakan dari suatu kebudayaan, maka disitulah menjadi hal apa yang harus dibuktikan dan ditulis/divisualisasikan. Penelitian etnografi juga merupakan kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti etnografi. Peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Itulah sebabnya pengamatan terlibat lansung menjadi penting dalam aktivitas penelitian, terutama Antropologi.
Jadi jika belajar Antropologi, maka disitu juga belajar mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari. Belum dikatakan belajar Ilmu Antropologi secara hakiki, dan belum bisa dikatakan sebagai mahasiswa Antropologi sejati jika belum belajar untuk beretnografi.
“Partial Truths” dalam Ernogarafi?
Kebenaran yang ditampilkan oleh etnografi bisa dikatakan tidak obyektif sepenuhnya. Ia (etnografi) benar hanya apabila dipahami berdasarkan motivasi dan pembatas-pembatas yang turut menentukan pendeskripsian dari sebuah tulisan atau karya etnografi (G.R. Lono Lastoro Simatupang, 1997:45).
Sejatinya, Ilmu apapun yang paling benar adalah “realitas”. Kenyataan yang diperoleh, entah dari pengalaman, melihat/mendengar secara langsung merupakan wujud dari realitas. Perlu ditekankan bahwa melihat/mendengar disini adalah dari segi prosesnya, jadi peristiwa melihat dan mendengar tadi belum di representasikan dalam bentuk kalimat olahan fikiran dan kata. Ketika melakukan sebuah penelitian etnografi, sudah barang tentu yang paling utama kita mengandalkan kelima indera fisik kita, dan saat itulah kita menyaksikan dan merasakan langsung bahwa realitas dari kehidupan suatu masyarakat adalah benar adanya. Namun menjadi parsial, dikarenakan sangat tidak mungkin dalam melakukan penelitian kita hanya terfokus sebatas apa yang bisa ditangkap oleh indera kita, disitu kita harus mengolah dan merepresentasikan apa yang kita dapat, baik dalam bentuk tulisan, gambar, foto, ataupun video. Dalam berbagai penelitian pada umumnya, dan penelitian yang pernah saya lakukan, fenomena masyarakat yang terjadi adalah masyarakat sangat loyal dan mendukung kehadiran peneliti. Kondisi seperti itu tentu tidak cukup dan kurang memuaskan, sehingga peneliti harus mencari dan memilih informan yang sesuai untuk dilakukan tanya jawab secara intensif (wawancara mendalam). Dalam proses interview/wawancara, informan diajak untuk flash back dan merekam ulang jejak kisah yang pernah dialami atau disaksikan sendiri oleh informan. Tentu, sebagai peneliti kami mendapat jawaban hasil sebuah reinterpretasi yang berasal dari informan penelitian. Padahal yang dinamakan realitas adalah faktual ketika relitas itu sedang/masih berlangsung, namun reinterpretasi tersebut merupakan realitas yang berjalan dan sebuah ungkapkan seiring berjalannya waktu. Jadi data penelitian yang diperoleh peneliti, termasuk saya merupakan proyeksi kehidupan yang pada waktu tertentu saja dan bukan seluruh gambaran kehidupan masyarakat (bersifat partial), penelitian yang merekam sebagian saja kehidupan masyarakat sejauh peneliti tinggal bersama masyarakat secara langsung. Tidak mungkin seorang peneliti melakukan penelitan langsung pada seluruh aspek kehidupan masyarakat, sementara ketika masyarakat secara sadar menerima dan mengakui kehadiran peneliti, masyarakat sejatinya sudah menjadi lain dari kehidupan asli sebelum kedatangan peneliti. Masyarakat cenderung berjiwa fungsional dan menjadi apa yang seperti peneliti harapkan. Sebab itulah etnografi bersifat Partial Truths. Yang bisa dilakukan hanyalah merekam sebagian sisi kehidupan masyarakat, terlebih dalam melakukan penelitian, seorang peneliti masih menerapkan teknik seleksi bahwa fenomena ini yang harus atau menarik untuk saya teliti dan hfenomena ini bukan menjadi bahan penelitian saya (tidak menarik).
Seperti yang diungkapkan G.R. Lono Lastoro Simatupang, bahwa tak akan pernah ada representasi (ekspresi) yang identik dengan realita. Dilain penelitian etnogarfi bersifat partial, juga karya etnografi masih sangat kuat akan pengaruh subyektifitas dari peneliti.
Antropologi Visual ?
Objek kajian Antropologi Visual bukan semata-mata mengenai yang visual, melainkan mengenai hubungan yang ditekankan secara kultural yang terjalin dan tersandikan (encoded) dalam yang visual. Tiga wilayah kerja Antropologi Visual; memroduksi, meneliti, dan menyajikan materi visual menjadi terkait satu sama lain dan bukan wilayah kerja yang terpisah-pisah (Selayang Pandang Antropologi Visual:17).
Visual etnografi dapat diartikan secara sederhana sebagai sebuah hasil kajian Antropologi yang tentunya menghasilkan sebuah etnografi, dan keseluruhan etnografi ini kemudian dikemas dalam bentuk visualisasi dengan tujuan utama yang juga sangat sederhana, yaitu membuat karya etnografi tersebut agar dapat dilihat secara nyata dan langsung oleh para penyimaknya/audiences (Ikhwan Mukhary, 2008). Dalam etnografi visual, kajian yang menekankan pada representasi manusia melalui alat/media, mengartikulasikan kehidupan sebagai hal yang objektif (ketika proses penelitian berlangsung), sehingga etnografi visual dianggap sebagai bukti atau gambaran kehidupan masyarakat yang paling nyata adanya atau objektif.
Akhir abad ke-19 fotografi sebagai salah satu bentuk etnografi visual dianggap sangat penting dalam mengkaji kebudayaan liyan/other, fotografi menjadi mesin kebenaran pada saat itu karena dianggap sebagai representasi kehidupan masyarakat yang lebih objektif dibandingkan tulisan-tulisan yang dibuat oleh ahli Antropologi sekalipun. Namun dengan lahirnya fotografi antropometri yang menempatkan salah satu anggota masyarakat untuk berdiri telanjang dan di ukur dengan meteran agar peneliti (ahli antropologi fisik) mengetahui ukuran fisik seseorang (biasanya kepala suku) seperti tinggi badan, panjang batok kepala, dimensi dan jarak antaranggota tubuh, menuai kritik pedas terutama dari kurator dan petugas penjelajah kolonial bahwa penerapan fotografi antropometri tidak manusiawi. Apa lagi dengan tetap tertanam kuatnya sikap positivistik pada diri peneliti, sehingga penggunaan fotografi secara manusiawi dan naturalistik sangat diperlukan. Namun pada perkembangannya, penggunaan etnografi visual (fotografi) tetap tidak bisa dipisahkan dari aspek subjektifitas peneliti. Visualisasi dari fotografi hanya merekam segelintir kecil kehidupan masyarakat, dan tingkat originalitasnya masih menuai banyak kritik, terlebih saat foto yang di ambil secara langsung oleh peneliti, masyarakat sudah berbeda dari biasanya. Kecenderungan masyarakat yang berpose dinilai bahwa visualisasi dari fotografi tersebut bukan lagi representasi kehidupan masyarakat yang sebenarnya. Ditambah dalam analisis terhadap foto-foto hasil penelitian Antropologi yang kesemuanya adalah replika dari masyarakat nyata yang tidak terdapat makna, apa lagi jika tidak terdapat caption/tulisan dibawah foto yang sedikit menerangkan kejadiaan saat foto diambil atau keadaan masyarakat sebenarnya. Namun demikian, sampai saat ini penggunaan serta pemaknaan fotografi sebagai salah satu wujud Etnografi Visual tetap eksis di kalangan peneliti Antropologi sosial dan menjadi bukti keberadaan masyarakat beserta kebudayaanya dan sebagai bukti akan kehadiran peneliti pada masyarakat sebagai objek penelitian.
Stay in touch with the conversation, subscribe to the RSS feed for comments on this post.
Artikel sangat menambah wawasan kaka hehe
Desember 3, 2015 at 6:49 am