Pattern Variables
Sistem sosial menurut Nasikun adalah suatu sistem tindakan, yang terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi antar individu, yang tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota masyarakat. Idividu dengan sistem sosial dapat dihubungkan serta dianalisis melalui konsep status dan peran. Statu sendiri merupakan kedudukan yang dimilki seseorang dalam sistem sosial, sedangkan peran merupakan perilaku yang diharapakan atau perilaku normatif yang melekat pada suatu setatus. Jadi dapat dikatakan bahwa di dalam sistem sosial, individu menduduki sebuah tempat (yang disebut status), dan bertindak (berperan) sesuai dengan norma atau aturan-aturan yang dibuat oleh sistem. Untuk menkategorikan tipe-tipe peranan dalam sisitem sosial, Talcott Parson (dalam Poloma, 2004:173-174) mengembangkan sebuah metode yang disebut Pattern variables.
Pattern Variables ini terdiri dari lima buah skema yang dapat dilihat sebagai kerangka teoritis utama dalam analisis sistem sosial, diantaranya yaitu:
1) Affective versus affective neutrality
Didalam hubungan sosial dalam suatu masyarakat, individu dapat bertidak atas dasar pemuasan emosional (afeksi) ataupun bertindak netral.
2) Self-orientation versus collective-orientation
Dalam hubungan sosial, seseorang bisa melakukan tindakan yang hanya berorientasi pada diri sendiri, biasanya tipe orang ini hanya mengejar kepentingan pribadinnya. Pada tindakan yang berorientasi kolektif, kepentingan akan didominasi oleh kelompok.
3) Universalism versus particularism
Di dalam hubungan yang bersifat universal, para pelaku berhubungan menurut kriteria yang diterpakan kepada semua orang, sedangakan pada hubungan partikularis hubungan menggunakan ukuran-ukuran tertentu.
4) Quality versus performance
Di dalam sebuah hubungan sosial, qualitas menunjukan status yang dimiliki seseorang karna kelahiran, sedangkan performan merupakn prestasi atau apa yang telah dicapai oleh seseorang.
5) Specifity versus diffusness yang tidak dalam statu
Didalam hubungan spesifik, seseorang akan berhubungan dengan orang lain dengan situasi yang terbatas, sedangakan difusi disini diartikan sebagai posisi seseorang yang tidak memilki sebuah status dalam suatu kelompok yang berinteraksi, namun tetap terlibat dalm proses interaksi.
Dalam artikel ini hanya akan membahas mengenai point ke 3 dari Pattern Variables
Pengertian Universalisme Dan Partikularisme
Di Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), partikularisme (partikularism) memilki dua makna yaitu pertama, merupakan sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan umum; dan yang ke-dua merupakan aliran politik, ekonomi, kebudayaan yang mementingkan daerah atau kelompok tertentu. Sedangkan universalisme (universalism) merupakan aliran yang meliputi segala-galanya; atau penerapan nilai dan norma secara umum; atau pendekatan dalam linguistik yang menganggap semua bahasa di dunia ini mempunyai dasar yang sama dengan sistem logika. Menurut Edward T. Hall Partikularisme merupakan sikap seseorang yang lebih mengedepankan aspek-aspek personal dalam berhubungan dengan orang lain, dan lebih dilandasi dengan adanya hubungan emosional dibanding peraturan yang berlaku, sedangkan universalisme merupakan perilaku seseorang yang lebih memfokuskan diri terhadap tanggung jawab personal kepada peraturan-peraturan yang ada daripada memikirikan nasib orang lain, walaupun masih ada hubungan saudara. Dengan kata lain, partikularisme merupakan segala sesuatu yang ada hubungannya dengan apa yang khusus berlaku untuk suatu daerah tertentu saja,dan ada hubungannya dengan perasaan subyektif serta rasa kebersamaan.Akan tetapi, universalisme merupakan kebalikan dari partikularisme, dimana universalisme merupakan sebuah paradigma menerima segala sesuatu dengan obyektif, sehingga yang ada disini adalah hubungan yang profesional, jika ranahnya adalah pada sistem sosial.
Berikut ini adalah beberapa karakteristik dari universalisme dan partikularisme:
Universalisme dan partikularisme itu menunjukkan bagaimana masyarakat menerapkan aturan moral dan etika
1. Partikularisme:
a. Partikularisme berdasarkan perasaan hati dan persahabatan manusia
b. Merasa wajib untuk membantu, memberikan sumber daya untuk orang-orang kepada siapa yang memiliki kewajiban pribadi, keluarga di atas segalanya tetapi juga untuk teman-teman dan kelompok keanggotaan
c. Budaya partikularistik menghindari sistem yang kaku atau standar untuk mengelola lintas budaya
d. Budaya partikularistik membuatnya tergantung dari situasi dan hubungan mereka dengan pihak-pihak yang terlibat apakah atau tidak untuk menerapkan aturan atau moral.
e. Tujuan utama adalah untuk menjaga hubungan dalam bijaksana dari pada menegakkan prinsip universal
f. individu saling tergantung diri cenderung berada dalam masyarakat partikularistik.
g. Di sisi lain, bagi anggota masyarakat partikularistik, hukum atau peraturan dapat dibentuk agar sesuai dengan hubungan tertentu atau kebutuhan dalam kelompok.
2. Universal:
a. Budaya universal yang kuat menggunakan pengadilan untuk menengahi konflik.
b. Budaya universal fokus biasanya lebih pada aturan dari pada hubungan
c. Budaya universal yang kuat melampirkan pentingnya tertinggi hukum dan menegakkan mereka untuk hampir setiap situasi dan individu melalui lembaga diberdayakan independen
d. Tujuan utama dari universalisme adalah mengikuti prinsip-prinsip
e. Memiliki komitmen untuk memperlakukan orang lain sesuai dengan standar yang sama.
f. Individu yang mandiri cenderung berada dalam masyarakat universal
g. Bagi anggota masyarakat universal, hukum atau peraturan harus memperlakukan semua orang sama.
h. Praktek kerja universal menekankan pentingnya kontrak rinci dan klausul penalti dalam rangka untuk melakukan bisnis dengan benar
Universalisme dan Partikularisme di Indonesia
Negara China cenderung partikularistik sementara negara-negara Barat cenderung lebih universal (Reisach et al., 1997, hal. 298). Sama halnya dengan Indonesia dimana merupakan negara yang menduduki posisi sebagai negara dunia ketiga, atau lebih umum dikatakan sebagai negara berkembang. Dalam bukunya Administrasi Negara-Negara Sedang Berkembang, Teori Masyarakat Prismatis (1985), Riggs membagi masyarakat menjadi tiga varian; tradisional, prismatik, dan modern. Riggs menilai masyarakat tradisional (memusat) sebagai masyarakat askriptif, partikularistik, dan kekaburan. Menurut dia, model masyarakat tradisional cenderung memandang dunia hanya dari sudut kekeramatan, supranatural, pandangannya hierarkis, dan lingkungannya dipenuhi upacara-upacara. Jika dilihat dari cara merespons pesan, mereka menerjemahkan pesan itu apa adanya sehingga memunculkan tindakan-tindakan yang bersifat homogen serta tekstual.
Menurut hasil studi banding antara negara maju dan negara berkembangdipelopori Fred W. Riggs tahun 1957: Agraria and Industria yang disebut sebagai CAG (Comparative Administration Group) mengungkap adanya perbedaan-perbedaan antara negara berkembang dan negara maju dalam hal administrasi pemerintahan atau kelembagaan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pada negara maju, pengangkatan dan pemberhentian pegawai didasarkan pada suatu standar tertentu atau dikenal dengan istilah meryt system. Sementara pada negara berkembang, pengangkatan dan pemberhentian pegawai terjadi karena birokrasi atau nepotisme;
2. Pada negara maju, berlaku prinsip legal rational impersonal, di mana setiap persoalan diselesaikan dalam kantor/kedinasan serta berdasarkan hukum yang berlaku. Sebaliknya, hubungan satu sama lain dalam pemerintahan di negara berkembang didominasi oleh praktik yang dikenal dengan istilah bureaucratic click dan patron client relationship, yaitu penyelesaian persoalan di dalam dan di luar kantor melalui cara-cara yang tidak legal-formal;
3. Pada negara maju, diferesiansi fungsi dalam administrasi pemerintahan terlihat dengan jelas dan tegas, sementara hal ini tidak terjadi pada administrasi pemerintahan di negara berkembang;
4. Berbagai macam penawaran dan permintaan yang berkaitan dengan urusan administrasi pemerintahan di negara maju dilakukan dalam mekanisme formal market. Tidak demikian halnya pada negara berkembang, semua penawaran dan permintaan terjadi melalui mekanisme informal market;
5. Selain efektif, administrasi pada negara maju juga berjalan efisien. Sementara di negara berkembang, efektivitas dalam hal administrasi tidak diikuti oleh efisiensi.
Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa penerapan konsep universalisme di Indonesia belum dapat dilaksanakan dengan baik, justru partikularismelah yang banyak terjadi di Indonesia. Bahkan dalam bidang hukum dan HAM pun universalisme belum dapat dilaksanakan. Universalisme hukum bermakna bahwa seluruh peraturan dan perundang-undangan berlaku bagi seluruh warga negara tanpa memandang ras, suku, golongan, dan agama tertentu. Dan sebagai hukum positif bermakna peraturan dan perundangan tersebut berlaku pada waktu dan tempat yang sama. Di negara dunia ketiga ada kecenderungan pemerintahnya menganut partikularisme dengan alasan bahwa HAM harus dipandang dari beragam perspektif, karena masyarakat dunia juga beragam. Departemen Luar Negeri Indonesia menyatakan:
Umat manusia telah hidup dan sedang hidup dalam masyarakat yang berbeda-beda, yang terorganisasi berdasarkan cara hidup yang berlainan, dipandu oleh sejarah dan pengalaman yang berbeda-beda, dan didorong oleh kebutuhan-kebutuhan kondisi politik, ekonomi, sosial dan keamanan khusus mereka sendiri. Berangkat dari adanya kenyataan ini, tentu saja tidak ada pemecahan tunggal bagi masalah implementasi untuk semua negara di sepanjang masa …. Implementasi hak asasi manusia seharusnya diserahkan kepada yuridiksi nasional, karena setiap bangsa mengerti dan menyadari masalah-masalahnya sendiri secara lebih baik…(Mulya,1993:438).
Hal ini juga dibuktikan dengan banyaknya terjadi tindak-tindak pidana KKN maupun korupsi di Indonesia, bahkan hal tersebut telah terjadi sejak era orde baru silam. Ketika Bangsa ini dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada era ini banyak sekali ditemukan praktik KKN, dimana tindakan ini tentu dipicu oleh adanya paham partikularistik dalam diri penyandang status, atau pemilik peran. Terlebih-lebih pada orang Jawa yang memilki sifat ewoh-pekewoh. Orang-orang Jawa akan merasa tidak enak jika dalam sebuah organisasi ia memilki kedudukan tinggi, namun di sisi lain anggota keluarga, saudara, teman atau tetangganya ada yang tidak memilki pekerjaan atau kedudukan disana. Maka ketika orang ini meminta bantuan kepada orang yang berkedudukan tinggi tersebut, mau tidak mau ia harus memberikan suatu kedudukan, sebab ada rasa iba, dan perasaan bertanggung jawab untuk memenuhi permintaan oarang yang belum memiliki kedudukan tadi. Dari sinilah akan terjadi praktik-praktik KKN bahkan akan merambah pada korupsi.
Menurut survei yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong, Indonesia adalah negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik. (Kompas, 2012) Fakta yang mengkhawatirkan. Dengan indeks persepsi korupsi sebesar 1.9 dari angka terbesar 10, Indonesia dianggap sejajar dengan negara-negara baru yang sampai hari ini masih dililit masalah peperangan di mata internasional. kerugian akibat korupsi sama dengan dampak perang, bahkan bisa jadi lebih. Dalam sebuah surat kabar yaitu kompas, terbitan 18 September 2010 ini memaparkan tentang adanya praktik partikularime politik di Indonesia. Tindakan memberi sedekah kepada pengemis dinilai melanggar Perda (di beberapa provinsi tentu nomornya berbeda) Tentang Ketertiban Umum. Argumentasinya, kehadiran pengemis merupakan akibat dari warga yang masih memberi sedekah kepada mereka. Dalam bidang politik sering tidak pernah adil untuk semua orang, tidak pernah bersahabat untuk rakyat miskin. Konstitusi yang menegaskan perlindungan bagi rakyat terjerembab dalam praktik politik partikularistik. Pola politik yang sedemikian sistemik hanya memihak dan melindungi kepentingan sebagaian orang, kelompok “atas”. Struktur politik, sosial, dan ekonomi yang terus mengabadikan ketidakadilan akan memperkuat kenyataan ini.
Manakala bangsa ini berani dan mau meluputkan keluruhan konstitusi terhadap mekanisme partikularisme politik yang kejam, kita akhirnya tidak perlu menyusun aturan untuk menangkap sesama warga yang mempunyai dorongan moral untuk membantu sesama yang belum beruntung secara ekonomis. Kita juga akan menyaksikan sebagian dari keluarga bangsa ini harus menahan terik dan pengap dijalanan demi recehan yang tumpah sebagai remah kemewahan kota. Untuk dapat menjadi sebuah negara yang maju, Indonesia harus berani untuk mengubah cara andang terhadap banyak hal. Termasuk didalamnya adalah pada bidang pelaksanaan hukum dan perlindunga HAM.
Comments