Ilmu antropologi merupakan ilmu termuda jika dibandingkan dengan sejarah, ekonomi, sosiologi, psikologi, dll. Antropologi merupakan cabang dari ilmu sosiologi yang lahir di Eropa. Fokus kajian antropologi adalah masyarakat, kebudayaan, dan segala dinamika yang ada di dalamnya. Mengapa budaya? Karena budaya ada dan melekat dalam kehidupan manusia. Budaya muncul sebagai hasil dai akal manusia, semakin berkembang akal manusia semakin berkembang pulalah kebudayaannya. Menurut Koentjaraningrat kebudayaan terdiri atas 3 wujud yaitu: sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya.
Karena ilmu antropologi menyangkut kehidupan manusia, maka ilmu ini mempunyai hubungan dengan berbagai cabang ilmu lainnya. Antropologi dan ilmu-ilmu tersebut saling membutuhkan atau memiliki hubungan timbal balik. Salah satu ilmu yang berkaitan adalah ilmu kesehatan masyarakat. Hubungan antara ilmu kesehatan masyarakat dan antropologi adalah data mengenai konsepsi dan sikap penduduk tentang kesehatan, tentang sakit, terhadap dukun, terhadap kebisaaan makan dan pantangannya, dll. Ilmu antropologi juga dapat memberikan pengetahuan kepada para dokter yang akan bekerja dan hidup di daerah tentang keberagaman kebudayaan, metode dan cara pengobatan tradisional, dll [1]. Hubungan kedua ilmu tersebut dalam ilmu antropologi dinamakan antropologi kesehatan.
Lalu apa beda kajian antropologi kesehatan dengan petugas medis jika sama-sama mengkaji tentang kesehatan masyarakat? Kajian pada petugas medis adalah fokus pada pengobatan secara ilmu medis modern sehingga masyarakat yang sakit dapat sembuh kembali. Sedangkan antropologi memiliki kajian yang lebih luas seperti konsep sehat, sakit, dan penyakit suatu masyarakat, bagaimana penanganannya, dll. Kajian yang diamati dalam ilmu antropologi tidak hanya sistem medis tradisional, sistem medis modern pun bisa menjadi objek kajiannya. Hal ini dikarenakan baik masyarakat tradisional dan modern masing-masing memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain.
Sebenarnya apa sih hubungan antara kebudayaan dan kesehatan? Sebelumnya penyakit merupakan masalah yang dihadapi manusia sesuai dengan peradabannya. Kebudayaan merupakan adaptasi manusia dengan lingkungannya. Setiap masyarakat pasti memiliki kebudayaan yang berbeda-beda mengenai cara menghadapi penyakit. Hal ini dikarenakan cara menghadapi penyakit erat kaitannya dengan sistem pengetahuan serta perilaku masyarakat itu sendiri. Kita ambil contoh pada masyarakat tradisional dan modern. Pada masyarakat tradisional sistem pengetahuan yang mereka miliki masih rendah karena pada zaman dahulu jarang orang bersekolah tinggi. Oleh karena itu jika terkena penyakit, mereka akan percaya pengobatannya pada sistem magi oleh dukun. Sedangkan pada masyarakat modern yang sistem pengetahuannya sudah tinggi, bisa jadi sekecil apapun “sesuatu” yang dianggap mengganggu dibadannya akan segera mereka konsultasikan dengan pihak medis. Hal inilah yang dinamakan relativisme kebudayaan.
Dalam bukunya Forsten dan Anderson yang berjudul antropologi kesehatan, menjelaskan terdapat 3 konsep sakit yang ada dalam masyarakat. Yang pertama adalah disease yaitu dimana individu merasa ada gangguan fungsi biologis dalam tubuhnya. Sakit ini dapat dideteksi secara medis dan diakui secara universal. Yang kedua adalah Illness. Hal ini merupakan sakit dalam perspektif atau pandangan cultural. Individu merasa dirinya sakit namun ketika diperiksa ke secara medis dia dinyatakan sehat. Bisaanya individu tersebut akan beristirahat sejenak. Terakhir adalah Sickness. Sakit ini juga masuk dalam perspektif cultural. Bedanya dengan illness adalah bagaimana sosial atau lingkungan melihat penderita. Hal ini dikarenakan peran dan fungsi penderita dalam masyarakat.
Untuk menyembuhkan penyakit maka dibutuhkan sistem medis. Sistem medis mencangkup keseluruhan dari pengetahuan kesehatan, kepercayaan, keterampilan, dan praktek dari tiap anggota suatu kelompok. Sistem medis sendiri terbagi menjadi dua yaitu sistem medis modern dan tradisional. Sistem medis menurut Forsten dan Anderson baik itu modern maupun tradisional terdapat dua teorinya, yaitu Sistem Teori Penyakit dan Sistem Perawatan Kesehatan [2]. Sistem teori penyakit meliputi kepercayaan mengenai cirri-ciri sehat, sebab sakit, serta pengobatan dan teknik pengobatan yang digunakan. Sedangkan Sistem Perawatan Kesehatan memperlihatkan bagaimana masyarakat sekitar penderita merawat penderita dan memanfaatkan semua pengetahuannya demi kesembuhan penderita.
Antropologi kesehatan lebih berfokus pada sistem medis masyarakat tradisional. Mengapa? Hal ini dikarenakan pada masyarakat tradisional masih mempercayai dan menggunakan sistem pengobatan secara turun temurun. Sedangkan pada masyarakat modern sudah mengginakan sistem medis modern. Dalam sistem medis modern akan terdapat satu kesamaan pendapat oleh dokter-dokter dimanapun diseluruh dunia. Contohnya penderita penyakit diabetes dimanapun pasti akan mendapatkan saran diminta mengurangi makanan atau minuman manis, walaupun dia berobat diluar negeri. Sedangkan pada sistem medis tradisional dipercaya bahwa penyakit sawan tidak hanya disebabkan oleh gangguan makhlus halus melainkan ada juga karena tetangga yang baru menikah, dll.
Dalam sistem medis tradisional terdapat dua istilah yaitu sistem medis personalistik dan sistem medis naturalistik [3]. Personalistik mempercayai bahwa penyakit disebabkan adanya gangguan dari “agen”. Agen tersebut terbagi menjadi makhluk supranatural (makhluk gaib atau dewa), makhluk yang bukan manusia (hantu, roh leluhur, roh jahat), dan makhluk manusia (tukang sihir atau tukanng tenung). Orang yang sakit merupakan korbannya, bisaanya disebabkan karena alasan khusus yang menyangkut dirinya saja.
Sedangkan pada naturalistik, masyarakat percaya bahwa tubuh yang sehat karena ada keseimbangan unsur-unsur didalamnya. Bila unsur-unsur tidak seimbang atau terjadi ketimpangan hal inilah yang dipercayai sebagai sakit. Pada masyarakat yang menganut sistem ini, terdapat 3 peradaban besar didalamnya [4]. Pertama peradaban Yunani atau Patologi Humoral. Peradaban ini berasal dari konsep “humor” (cairan) dalam tubuh manusia. Yang kemudian ditemukan dalam teori Yunani mengenai empat unsur (tanah, air, api, dan udara) yang kemudian berkembang pada masa Hippocrates menjadi panas, dingin, kering, dan lembab. Perkembangan tersebut kemudian dipadukan dengan teori aslinya menghasilkan empat konsep “humor” yaitu: darah (panas dan lembab), flegma atau lender (dingin dan lembab), empedu hitam (dingin dan kering), empedu kuning (panas dan kering). Peradaban kedua adalah pengobatan Ayurveda. Dipercayai bahwa alam semesta terdiri dari unsur bumi, air, api, udaara, dan eter (ether). Tubuh manusia memiliki 3 humor: flegma atau cairan lender; empedu atau cairan pada empedu; angin atau gas dalam saluran pencernaan. Peradaban yang ketiga yaitu pengobatan tradisional Cina. Mempercayai keseimbangan yang tepat antara yin dan yang dalam tubuh penting untuk kesehatan. Ada lima unsur yaitu air, api, logam, kayu, dan bumi.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa antropologi kesehatan mengkaji tentang masyarakat melalui sudut pandang kebudayaan dalam melihat kesehatan. Namun, bila sama-sama mempelajari masyarakat apa beda ilmu sosiologi kesehatan, antropologi kesehatan, dan psikologi kesehatan? Karena dikatahui bersama ketiga disiplin ilmu tersebut juga mempelajari pada diri manusia atau masyarakat. Perbedaannya dalam sosiologi kesehatan fokus pada sakit dipandang sebagai suatu penyimpangan, seringkali orang miskin sulit mengakses pelayanan kesehatan, dan realitas dibangun sendiri oleh masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan dalam psikologi kesehatan adalah karakteristik pribadi seseorang, keyakinan kontribusi untuk kesehatan, dan penyakit pengalaman pribadi mereka sendiri.
Oleh karena itu antropologi kesehatan masuk dalam disiplin ilmu terapan atau teoritis? Menurut Foster antropologi kesehatan memiliki dua aspek tersebut. Dalam aspek teoritis: merupakan studi tentang relasi timbal balik faktor biologi dengan budaya terkait dengan permasalahan kesehatan dan penyakit. Sedangkan dalam aspek terapannya: merupakan partisipasi professional ahli antropologi dalam program perbaikan kesehatan masyarakat dan perubahan tingkah laku sehat yang lebih baik.
Penjelasan diatas mengungkapkan bahwa ilmu antropologi kesehatan sangat berperan penting dalam perubahan. Karena tanpa antropologi program kesehatan tidak bisa berhasil. Untuk berhasil maka harus menyesuaikan dengan pandangan pada masyarakat tujuan itu sendiri. Pandangan masyarakat itulah merupakan keahlian dalam ilmu antropologi, terutama antropologi kesehatan.
[1] Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta hal. 28
[2] Anderson, Foster. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press hal. 46
[3] Anderson, Foster. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press hal. 63-65
[4] Anderson, Foster. 2006. Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI-Press hal. 67-78
Comments