Pengertian Konflik
Konflik merupakan bagian dari suatu kehidupan di dunia yang kadang tidak dapat dihindari. Konflik umumnya bersifat negatif, karena ada kecenderungan antara pihak-pihak yang terlibat konfilk saling bertentangan dan berusaha untuk saling meniadakan atau melenyapkan. Dalam hal ini yang bertentangan dianggap sebagai lawan atau musuh. Di sinilah letak perbedaan konflik dengan rivalitas atau persaingan. Meskipun dalam rivalitas terdapat kecenderungan untuk mengalahkan, namun tidak mengarah pada saling meniadakan saingan atau kompetitor. Saingan atau tidak dianggap musuh yang harus dilenyapkan.
Menurut Soerjono Soekanto (1989:86), pertentangan atau pertikaian atau konflik adalah suatu proses yang dilakukan orang atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan. Oleh karena itu, konflik diidentikkan dengan tindak kekerasan. Konflik dapat pula diartikan sebagai suatu perjuangan memperoleh hal-hal yang langka, seperti nilai, status, kekuasaan, otoritas, dan sebagainya guna memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, setiap pihak yang berkonflik berusaha menundukkan saingannya dengan menggunakan segala kemampuan yang dimiliki agar dapat memenangkan konflik tersebut. Tindak kekerasan dianggap tindakan yang tepat dalam mendukung individu mencapai tujuannya. Dalam arti mudah, konflik didefinisikan sebagai perbedaan pendapat, kepentingan, atau tujuan antara dua atau lebih pihak yang mempunyai objek yang sama dan membawa pada perpecahan.
Macam-Macam Konflik
Soerjono Soekanto (1989:90) berusaha mengklasifikasikan bentuk dan jenis-jenis konflik tersebut. Menurutnya, konflik mempunyai beberapa bentuk khusus, yaitu:
a. Konflik Pribadi
Konflik terjadi dalam diri seseorang terhadap orang lain. Umumnya konflik pribadi diawali perasaan tidak suka terhadap orang lain, yang pada akhirnya melahirkan perasaan benci yang mendalam. Perasaan ini mendorong tersebut untuk memaki, menghina, bahkan memusnahkan pihak lawan. Pada dasarnya konflik pribadi sering terjadi dalam masyarakat.
b. Konflik Rasial
Konfilk rasial umumnya terjadi di suatu negara yang memiliki keragaman suku dan ras. Ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan ciri-ciri biologisnya, seperti bentuk muka, bentuk hidung, warna kulit, dan warna rambut. Secara umum ras di dunia dikelompokkan menjadi lima ras, yaitu Australoid, Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan ras-ras khusus. Hal ini berarti kehidupan dunia berpotensi munculnya konflik juga jika perbedaan antarras dipertajam.
c. Konflik Antarkelas Sosial
Terjadinya kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai, seperti kekayaan, kehormatan, dan kekuasaan. Kesemua itu menjadi dasar penempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah, dan bawah. Seseorang yang memiliki kekayaan dan kekuasaan yang besar menempati posisi atas, sedangkan orang yang tidak memiliki kekayaan dan kekuasaan berada pada posisi bawah. Dari setiap kelas mengandung hak dan kewajiban serta kepentingan yang berbeda-beda. Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani, maka situasi kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik rasial.
d. Konflik Politik Antargolongan dalam Satu Masyarakat maupun
antara Negara-Negara yang Berdaulat
Dunia perpolitikan pun tidak lepas dari munculnya konflik sosial. Politik adalah cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah. Konflik politik terjadi karena setiap golongan di masyarakat melakukan politik yang berbeda-beda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama. Karena perbedaan inilah, maka peluang terjadinya konflik antargolongan terbuka lebar. Contoh rencana undang-undang pornoaksi dan pornografi sedang diulas, masyarakat Indonesia terbelah menjadi dua pemikiran, sehingga terjadi pertentangan antara kelompok masyarakat yang setuju dengan kelompok yang tidak menyetujuinya.
e. Konflik Bersifat Internasional
Konflik internasional biasanya terjadi karena perbedaan-perbedaan kepentingan di mana menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Karena mencakup suatu negara, maka akibat konflik ini dirasakan oleh seluruh rakyat dalam suatu negara.
Penyebab Konflik
Leopold von Wiese dan Howard Becker (1989:86) menyebutkan beberapa hal yang dapat menyebabkan konflik sosial terjadi sebagai berikut.
a. Perbedaan Antar orang
Pada dasarnya setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan ini mampu menimbulkan konflik sosial. Perbedaan pendirian dan perasaan setiap orang dirasa sebagai pemicu utama dalam konflik sosial. Lihat saja berita-berita media massa banyak pertikaian terjadi karena rasa dendam, cemburu, iri hati, dan sebagainya. Selain itu, banyaknya perceraian keluarga adalah bukti nyata perbedaan prinsip mampu menimbulkan konflik. Umumnya perbedaan pendirian atau pemikiran lahir karena setiap orang memiliki cara pandang berbeda terhadap masalah yang sama.
b. Perbedaan Kebudayaan
Kebudayaan yang melekat pada seseorang mampu memunculkan konflik manakala kebudayaan-kebudayaan tersebut berbenturan dengan kebudayaan lain. Pada dasarnya pola kebudayaan yang ada memengaruhi pembentukan serta perkembangan kepribadian seseorang. Oleh karena itu, kepribadian antara satu individu dengan individu lainnya berbeda-beda. Contoh, seseorang yang tinggal di lingkungan pegunungan tentunya berbeda dengan seseorang yang tinggal di pantai. Perbedaan kepribadian ini, tentunya membawa perbedaan pola pemikiran dan sikap dari setiap individu yang dapat menyebabkan terjadinya pertentangan antarkelompok manusia.
c. Bentrokan Kepentingan
Umumnya kepentingan menunjuk keinginan atau kebutuhan akan sesuatu hal. Seorang mampu melakukan apa saja untuk mendapatkan kepentingannya guna mencapai kehidupan yang sejahtera. Oleh karena itu, apabila terjadi benturan antara dua kepentingan yang berbeda, dapat dipastikan munculnya konflik sosial. Contohnya benturan antara kepentingan buruh dan pengusaha. Kepentingan buruh adalah mendapatkan gaji sebagaimana mestinya setiap bulannya. Namun, berkenaan dengan meruginya sebuah perusahaan maka perusahaan itu enggan memenuhi kepentingan buruh. Akibatnya, konflik baru terbentuk antara majikan dan buruh. Buruh menggelar aksi demo dan mogok kerja menuntut perusahaan tersebut.
d. Perubahan Sosial
Perubahan sosial yang berlangsung cepat untuk sementara waktu akan mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendirian antargolongan dalam menyikapi perubahan yang terjadi. Situasi dan kondisi ini mampu memunculkan konflik baru. Misalnya semakin maju dan tinggi teknologi, para ahli pun berusaha melibatkan para balita untuk ikut menikmati teknologi tersebut yang tentunya bermanfaat bagi perkembangan intelektual bayi. Karena alasan itu, dibuatlah baby channel. Namun, perubahan ini menimbulkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Sementara itu, seorang antropolog Indonesia yaitu
Akibat Konflik
Menurut Soerjono Soekanto (1989:90), akibat negatif yang timbul dari sebuah konflik sosial sebagai berikut:
a. Bertambahnya Solidaritas Anggota Kelompok yang Berkonflik
Jika suatu kelompok terlibat konflik dengan kelompok lain, maka solidaritas antarwarga kelompok tersebut akan meningkat dan bertambah berat. Bahkan, setiap anggota bersedia berkorban demi keutuhan kelompok dalam menghadapi tantangan dari luar.
b. Jika Konflik Terjadi pada Tubuh Suatu Kelompok maka akan Menjadikan Keretakan dan Keguncangan dalam Kelompok Tersebut
Visi dan misi dalam kelompok menjadi tidak dipandang lagi sebagai dasar penyatuan. Setiap anggota berusaha menjatuhkan anggota lain dalam kelompok yang sama, sehingga dapat dipastikan kelompok tersebut tidak akan bertahan dalam waktu yang lama.
c. Berubahnya Kepribadian Individu
Dalam konflik sosial biasanya membentuk opini yang berbeda, misalnya orang yang setuju dan mendukung konflik, ada pula yang menaruh simpati kepada kedua belah pihak, ada pribadi-pribadi yang tahan menghadapi situasi konflik, akan tetapi ada yang merasa tertekan, sehingga menimbulkan penderitaan pada
batinnya dan merupakan suatu penyiksaan mental. Keadaan ini dialami oleh orang-orang yang lama tinggal di Amerika Serikat. Sewaktu Amerika Serikat diserang mendadak oleh Jepang dalam Perang Dunia II, orang-orang Jepang yang lahir di Amerika Serikat atau yang telah lama tinggal di sana sehingga mengambil kewarganegaraan Amerika Serikat, merasakan tekanan-tekanan tersebut. Kondisi ini mereka alami karena kebudayaan Jepang masih merupakan bagian dari hidupnya dan banyak pula saudaranya yang tinggal di Jepang, sehingga mereka pada umumnya tidak dapat membenci Kerajaan Jepang seratus persen seperti orang-orang Amerika asli.
d. Hancurnya Harta Benda dan Jatuhnya Korban Jiwa
Setiap konflik yang terjadi umumnya membawa kehancuran dan kerusakan bagi lingkungan sekitarnya. Hal ini dikarenakan masing-masing pihak yang berkonflik mengerahkan segala kekuatan untuk memenangkan pertikaian. Oleh karenanya, tidak urung segala sesuatu yang ada di sekitar menjadi bahan amukan. Peristiwa ini menyebabkan penderitaan yang berat bagi pihak-pihak yang bertikai. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban jiwa wujud nyata akibat konflik.
e. Akomodasi, Dominasi, dan Takluknya Salah Satu Pihak
Jika setiap pihak yang berkonflik mempunyai kekuatan seimbang, maka muncullah proses akomodasi. Akomodasi menunjuk pada proses penyesuaian antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok guna mengurangi, mencegah, atau mengatasi ketegangan dan kekacauan. Ketidakseimbangan antara kekuatan-kekuatan pihak yang mengalami konflik menyebabkan dominasi terhadap lawannya. Kedudukan pihak yang didominasi sebagai pihak yang takluk terhadap kekuasaan lawannya.
Upaya Penyelesaian Konflik
Secara umum terdapat beberapa macam cara yang sering dilakukan dalam manajemen atau resolusi konflik, yaitu:
1. Konsiliasi (Consiliation)
Konsiliasi merupakan pengendalian konflik melalui lembaga-lembaga tertentu untuk memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang bertikai mengenai persoalan yang mereka pertentangkan. Tidak semua konsiliasi dapat dilakukan pada semua konflik yang terjadi. Proses konsiliasi dapat berhasil sebagai pengendali konflik jika setiap pihak menyadari perlunya pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan secara jujur bagi semua pihak, terorganisasinya berbagai kekuatan sosial yang saling bertentangan, dan setiap kelompok yang terlibat dalam konflik harus mematuhi aturan-aturan permainan tertentu.
2. Perwasitan (Arbitration)
Dalam arbitration diperlukan pihak ketiga yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang lebih tinggi daripada pihak-pihak yang bertikai. Oleh karena kekuasaan dan kewenangan itu, pihak ketiga mampu memaksakan keputusan kepada pihak-pihak yang bertikai. Biasanya pihak yang bertikai akan menerima apa yang menjadi keputusan wasit. Wasit umumnya dilakukan oleh lembaga pengadilan.
3. Mediasi (Mediation)
Dalam proses pengendalian konflik mediasi, pihak-pihak yang bertikai sepakat menunjuk pihak ketiga sebagai penengah. Berbeda dengan perwasitan, dalam mediasi pihak ketiga tidak mempunyai kekuasaan dan wewenang. Status yang dimiliki pihak penengah sama dengan pihak-pihak yang bertikai. Oleh karena statusnya sama, berarti pihak ketiga atau mediator tidak mempunyai kekuasaan dan kewenangan untuk melaksanakan keputusan. Dalam hal ini tugas seorang mediator adalah memberi nasihat. Umumnya nasihat nasihat tersebut tidak mengikat pihak-pihak yang berkonflik. Melalui proses ini, pihak-pihak yang bertentangan mempunyai kemungkinan untuk menarik diri dari pertikaian tersebut tanpa harus menurunkan harga diri.
4. Paksaan (Coersion)
Paksaan merupakan salah satu bentuk penyelesaian konflik dengan cara paksaan baik secara fisik maupun psikologis. Umumnya proses ini terjadi jika salah satu pihak berada pada posisi yang lemah dan satu pihak di posisi yang kuat. Paksaan fisik biasa digunakan untuk menarik diri dari pertikaian tersebut tanpa harus menurunkan harga diri.
5. Detente
Dalam hal ini detente adalah mengurangi ketegangan hubungan antara dua pihak yang bertikai. Cara ini biasanya digunakan sebagai usaha pendekatan dalam mencapai perdamaian. Oleh karena itu, pada proses ini belum ada penyelesaian konflik secara pasti yang tentunya belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau memang. Detente hanya upaya pendekatan untuk menentukan cara tepat penyelesaian konflik.
Pengertian Kekerasan
Istilah kekerasan berasal dari bahasa Latin violentia, yang berarti keganasan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya, dan perkosaan (sebagaimana dikutip Arif Rohman : 2005). Tindak kekerasan, menunjuk pada tindakan yang dapat merugikan orang lain. Misalnya, pembunuhan, penjarahan, pemukulan, dan lain-lain. Walaupun tindakan tersebut menurut masyarakat umum dinilai benar. Pada dasarnya kekerasan diartikan sebagai perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal maupun nonverbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak orang lain, baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang melanggar hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban.
Bentuk Kekerasan
a. Berdasarkan bentuknya, kekerasan dapat digolongkan menjadi kekerasan fisik, psikologis, dan struktural.
1) Kekerasan fisik yaitu kekerasan nyata yang dapat dilihat, dirasakan oleh tubuh. Wujud kekerasan fisik berupa penghilangan kesehatan atau kemampuan normal tubuh, sampai pada penghilangan nyawa seseorang. Contoh penganiayaan, pemukulan, pembunuhan, dan lain-lain.
2) Kekerasan psikologis yaitu kekerasan yang memiliki sasaran pada rohani atau jiwa sehingga dapat mengurangi bahkan menghilangkan kemampuan normal jiwa. Contoh kebohongan,indoktrinasi, ancaman, dan tekanan.
3) Kekerasan struktural yaitu kekerasan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan menggunakan sistem, hukum, ekonomi, atau tata kebiasaan yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan ini sulit untuk dikenali. Kekerasan struktural yang terjadi menimbulkan ketimpangan-ketimpangan pada sumber daya, pendidikan, pendapatan, kepandaian, keadilan, serta wewenang untuk mengambil keputusan. Situasi ini dapat memengaruhi fisik dan jiwa seseorang. Biasanya negaralah yang bertanggung jawab untuk mengatur kekerasan struktural karena hanya negara yang memiliki kewenangan serta kewajiban resmi untuk mendorong pembentukan atau perubahan struktural dalam masyarakat. Misalnya, terjangkitnya penyakit kulit di suatu daerah akibat limbah pabrik di sekitarnya atau hilangnya rumah oleh warga Sidoarjo karena lumpur panas Lapindo Brantas. Secara umum korban kekerasan struktural tidak menyadarinya karena sistem yang menjadikan mereka terbiasa dengan keadaan tersebut.
b. Berdasarkan pelakunya, kekerasan dapat digolongkan menjadi dua
bentuk, yaitu:
1) Kekerasan individual adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu kepada satu atau lebih individu. Contoh pencurian, pemukulan, penganiayaan, dan lain-lain.
2) Kekerasan kolektif adalah kekerasan yang dilakukan oleh banyak individu atau massa. Contoh tawuran pelajar, bentrokan antardesa konflik Sampit dan Poso, dan lain-lain.
Upaya Penyelesaian Kekerasan
a. Kampanye Anti-Kekerasan
Dilakukannya kampanye anti kekerasan secara terus menerus mendorong individu untuk lebih menyadari akan akibat dari kekerasan secara global. Melalui kampanye setiap masyarakat diajak untuk berperan serta dalam menciptakan suatu kedamaian. Dengan kedamaian individu mampu berkarya menghasilkan sesuatu untuk kemajuan. Dengan kata lain, kekerasan mendatangkan kemunduran dan penderitaan, sedangkan tanpa kekerasan membentuk kemajuan bangsa.
b. Mengajak Masyarakat untuk Menyelesaikan Masalah Sosial dengan Cara Bijak
Dalam upaya ini pemerintah mempunyai andil dan peran besar. Secara umum, apa yang menjadi tindakan pemimpin, akan ditiru dan diteladani oleh bawahannya. Jika suatu negara menjauhkan segala kekerasan dalam menyelesaikan suatu masalah sosial, maka tindakan ini akan diikuti oleh segenap warganya. Dengan begitu, semua pihak berusaha tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah yang akhirnya membawa kedamaian dalam kehidupan sosial.
c. Penegakan Hukum secara Adil dan Bersih
Sistem hukum yang tidak tegas mampu memengaruhi munculnya tindak kekerasan. Hal ini dikarenakan perasaan jengkel manakala keputusan hukum mudah digantikan dengan kekuatan harta. Sedangkan mereka yang tidak berharta diperlakukan kasar serta tidak manusiawi. Kejengkelan melihat ketidakadilan ini mendorong munculnya tindak kekerasan. Oleh karena itu, penataan sistem penegakan hukum yang adil dan tegas mampu mengurangi meningkatnya angka kekerasan yang terjadi.
d. Menciptakan Pemerintahan yang Baik
Sebagian besar kekerasan yang terjadi di Indonesia dikarenakan cara kerja pemerintah yang kurang memuaskan. Perasaan tidak puas mendorong masyarakat melakukan tindak kekerasan sebagai wujud protes. Oleh karena itu, menciptakan pemerintahan yang baik salah satu upaya tepat dan utama mengatasi kekerasan. Upaya ini dilakukan dengan cara menyusun strategi dan kebijakan yang dirasa adil bagi rakyat, sehingga rakyat dapat memenuhi setiap kebutuhan hidupnya tanpa ada perasaan tidak adil.
Sumber:
Laning, Vina Dwi. 2009. Sosiologi Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: PT Cempaka Putih
Maryati, Kun dan Juju Suryawati. 2014. Sosiologi:Kelompok Pemintan Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta. Esis Erlangga
Comments