Hallo Blogys, gimana nih kabarnya? dipostingan kali ini, saya mau sedikit share mengenai beberapa tugas-tugas saya dari semester 1 sampai lima nih. hayoo siapa yang udah siap baca-baca tentang tugas kuliah nih? Tugas ini ada di mata kuliah Teori Sosiologi Modern, tepatnya di semester III, silahkan di baca-baca ya Blogys…
Latar Belakang
Dalam Teori Sosiologi Modern terdapat banyak teori, salah satunya adalah Teori Konflik, di dalam masyarakat konflik adalah hal yang wajar terjadi, adanya stratifikasi dalam kehidupan dan juga perbedaan kualitas otoritas yang ada di masyarakat menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik.
Di dalam Teori Sosiologi Klasik terdapat Teori Konflik, namun pembahasan di dalam Teori Sosiologi Modern lebih lengkap dari teori konflik sebelumnya serta ada modifikasi di dalamnya.
Rumusan Masalah
- Apa itu teori konflik?
- Contoh kasus seperti apa yang termasuk dalam teori konflik?
Tujuan
- Menjelaskan teori konflik
- Memberikan contoh kasus yang termasuk dalam teori konflik
PEMBAHASAN
Teori Konflik
Teori konflik dapat dilihat sebagai suatu perkembangan yang terjadi terkait dengan, setidaknya sebagian, fungsionalisme struktural dan merupakan hasil dari banyak kritik yang didiskusikan sebelumnya. Akan tetapi, harus dicatat bahwa teori konflik mempunyai pelbagai akar lain, seperti teori Marxian dan Weberian dan karya Simmel mengenai konflik sosial (Sanderson, 2007; J. Turner, 2005). Pada 1950-an dan 1960-an, teori konflik memberikan suatu alternatif bagi fungsionalisme struktural, tetapi ia digantikan oleh aneka teori neo-Marxian. Sebenarnya, salah satu sumbangan utama teori konflik adalah caranya meletakkan dasar bagi teori – teori yang lebih setia kepada karya Marx, teori – teori yang menarik audiens yang luas di dalam sosiologi. Masalah utama dengan teori konflik adalah bahwa ia tidak pernah berhasil memisahkan diri secara memadai dari akar – akar fungsional strukturalnya. Ia lebih berupa sejenis fungsionalisme struktural yang menyala di kepalanya daripada suatu teori masyarakat yang benar – benar kritis.
Karya Ralf Dahrendorf
Seperti para fungsionalis, teori – teori konflik diorientasikan ke arah studi mengenai struktur – struktur dan lembaga sosial. Pada umumnya, teori tersebut sedikit lebih dari sekedar serangkaian pendirian teoretis yang kerap bertentangan secara langsung dengan pendirian – pendirian fungsionalis. Antitesis itu dicontohkan paling baik oleh karya Ralf Dahrendorf (1958, 1959; lihat juga Strasser dan Nollman, 2005), saat ajaran – ajaran teori konflik dan fungsional diajarkan. Bagi kaum fungsionalis, masyarakat statis atau, paling jauh, dalam keseimbangan yang bergerak, tetapi bagi Dahrendorf dan para teoretisi konflik, setiap masyarakat pada setiap titik tunduk kepada proses – proses perubahan. Di mana kaum fungsionalis menekankan ketertiban masyarakat, para teoretisi konflik melihat pertikaian dan konflik ada pada setiap titik di dalam sistem sosial. Kaum fungsionalis (atau setidaknya para fungsionalis awal) berargumen bahwa setiap unsur di dalam masyarakat menyumbang bagi stabilitas; pencetus teori konflik melihat bahwa banyak unsur masyarakat merupakan penyumbang disintegrasi dan perubahan.
Kaum fungsionalis cenderung melihat masyarakat diikat bersama secara informal oleh norma – norma, nilai – nilai, dan moralitas bersama. Para teoretisi konflik melihat setiap ketertiban yang ada di dalam masyarakat berhasil dari pemaksaan sejumlah anggota masyarakat oleh – oleh yang berada di puncak. Sementara kaum fungsionalis berfokus pada kohesi yang diciptakan oleh nilai – nilai bersama masyarakat, para teoretisi konflik menekankan peran kekuasaan dalam memelihara tatanan di dalam masyarakat.
Dahrendorf (1959, 1968) adalah pendukung utama pendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan oleh karena itu, teori sosiologis harus dipecah ke dalam dua bagian, teori konflik dan teori konsensus. Para teoretisi konsensus harus mengkaji nilai integriasi di dalam masyarakat, dan teoretisi konflik harus mengkaji konflik – konflik kepentingan dan paksaan yang menjaga kesatuan masyarakat di dalam menghadapi tekanan – tekanan itu. Dahrendorf menyadari bahwa masyarakat tidak bisa ada tanpa konflik dan konsensus. Keduanya merupakan prasyarat satu sama lain. Oleh karena itu tidak akan ada konflik jika tidak ada konsensus mendahuluinya.
Otoritas
Dahrendorf berkonsentrasi pada struktur – struktur sosial yang lebih besar. Sentral bagi tesisnya ialah ide bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai jumlah otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak pada individu tetapi pada posisi. Dahrendorf tertarik bukan hanya pada struktur – struktur posisi itu tetapi juga pada konflik diantara mereka: “Asal – usul struktural konflik – konflik demikian harus dicari di dalam susunan peran – peran sosial yang diberkahi dengan pengharapan – pengharapan akan dominasi atau penundukan” (1959: 165; pemiringan ditambahkan). Menurut Dahrendorf tugas pertama analisis konflik ialah mengenali peran – peran berbagai otoritas di dalam masyarakat, selain membuat alasan untuk studi struktur – struktur berskala besar seperti peran – peran otoritas, Dahrendorf menentang orang – orang yang berfokus pada level individual.
Otoritas yang dibubuhkan kepada posisi – posisi itu adalah unsur kunci di dalam analisis Dahrendorf. Otoritas selalu menyiratkan baik superordinasi maupun subordinasi. Orang – orang yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan para subordinat; yakni mereka mendominasi karena pengharapan orang – orang yang mengelilingi mereka, bukan karena mereka memiliki sifat – sifat psikologis. Seperti otoritas, pengharapan – pengharapan itu dibubuhkan kepada posisi – posisi, bukan kepada orang – orang. Otoritas bukanlah suatu fenomena sosial yang digeneralisasi; orang – orang yang tunduk pada pengendalian, dan juga lingkungan pengendalian yang dapat diizinkan, dirinci di dalam masyarakat. Akhirnya, karena otoritas sah, sanksi – sanksi dapat ditimpakan kepada orang – orang yang tidak patuh.
Contoh kasus
Pencalonan kepala desa di Desa Kajen Kecamatan Talang Kabupaten Tegal mempunyai dua calon, calon pertama bernama Agus Salim beliau beralamat di Desa Kajen Rt 14/ Rw 04 Kecamatan Talang Kabupaten Tegal dan calon yang ke dua bernama H. Mudzakar beliau beralamat di Desa Kajen Rt 03/ Rw 02 Kecamatan Talang Kabupaten Tegal. Ke duanya dicalonkan atas usul dari warga sekitar. Dan keduanya pun mempunyai tim sukses masing – masing. Pak Suwarto yang masih menjabat Kepala Desa tidak dapat mempertahankan status quo karena sudah dua periode, sehingga konflik hanya terjadi antara dua kubu.
Agus Salim sebelumnya berprofesi Pamong Desa di Desa Kajen dan H. Mudzakar berprofesi sebagai Guru di SMP swasta, keduanya berusaha menaikkan status sosial dengan cara menjabat sebagai Kepala Desa, menurut Dahrendorf otoritas di dalam tiap asosiasi bersifat dikotomis (Red: pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan [sumber; KBBI] ); oleh karena itu, dua dan hanya dua kelompok yang berkonflik dapat terbentuk di dalam suatu asosiasi. Orang – orang yang memegang posisi otoritas dan orang – orang yang posisi subordinasi mempertahankan kepentingan – kepentingan tertentu yang “bertentangan dari segi substansi dan arah”. Pihak H.Mudzakar dalam mewujudkan tujuannya melakukan kecurangan seperti ketika malam hari tim sukses beliau melepaskan poster – poster yang bergambar Agus Salim, pihak beliau melakukan di malam hari dengan tujuan supaya tindakannya tidak diketahui oleh warga. Dalam kasus ini H.Mudzakar berada di dalam posisi subordinat sehingga beliau mengusahakan adanya perubahan, hal ini karena pendukung dari Agus Salim lebih mendominasi.
Namun, karena perbuatan tersebut sudah diketahui oleh pihak dari Agus Salim akhirnya dapat diselesaikan. Di sini kita menjumpai istilah kunci lainnya di dalam teori Dahrendorf mengenai konflik kepentingan – kepentingan. Dahrendorf terus berkukuh di dalam pemikirannya bahwa kepentingan – kepentingan itu pun, yang kedengarannya begitu psikologis, pada dasarnya adalah suatu fenomena berskala besar. Akhirnya dalam pemilihan Kepala Desa Kajen dimenangkan oleh Agus Salim, disini beliau berhasil melakukan perubahan status secara vertikal.
Kesimpulan
Penyebutan nama dalam contoh kasus tidak bermaksud untuk menyinggung ataupun menyudutkan pihak – pihak yang terlibat, ini hanya sebagai contoh kasus untuk mengaitkan dengan salah satu teori sosiologi modern yaitu teori konflik
Konflik kepentingan tidak harus disadari agar superordinat dan subordinat bertindak. Kepentingan superordinat dan subordinat objektif di dalam arti bahwa mereka tercermin di dalam pengharapan – pengharapan (peran – peran ) yang dilekatkan kepada posisi – posisi itu. Para individu tidak harus menginternalisasi pengharapan – pengharapan itu atau bahkan menyadarinya agar dapat dapat bertindak sesuai dengannya.
Inti dari teori Dahrendorf adalah gagasan bahwa berbagai posisi dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, tetapi di dalam posisi. Otoritas yang melekat pada posisi adalah unsur kunci dalam analis Dahrendorf. Dalam contoh kasus tersebut terlihat adanya posisi yang dominan dan juga posisi subordinat, ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf.
Saran
Dalam mewujudkan suatu perubahan status sosial secara vertikal sebaiknya bertindak secara sportif, tidak dengan kecurangan yang mana hal itu adalah tindakan yang tidak baik. Posisi seseorang yang dominan dapat berubah karena masyarakat itu sendiri bersifat dinamis, Dahrendorf berargumen bahwa sekali kelompok – kelompok konflik muncul, mereka terlibat di dalam tindakan – tindakan yang menyebabkan perubahan – perubahan di dalam struktur sosial. Ketika konflik membara, perubahan yang terjadi adalah radikal. Ketika konflik disertai kekerasan, akan terjadi perubahan struktural yang mendadak. Apa pun hakikat konflik, sosiolog harus terbiasa dengan hubungan diantara konflik dan perubahan dan juga diantara konflik dan status quo.
Sumber: Ritzer, Geeorge. 2012. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.