Review Jurnal Komunitas, Karya Nugroho Trisnu Brata
Budaya kekerasan mendasari perilaku masyarakat untuk melakukan kekerasan dalam kehidupannya. Menurut Franz Magnis Suseno (1993) nilai-nilai dan etika masyarakat terintegrasi kedalam tiga prinsip yaitu hormat, rukun, dan isin yang dapat dilihat dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Sedangkan Clifford C. Geertz mengistilahkan model for reality, sebuah pola yang hadir di tengah masyarakat atau hanyalah konsepsi abstrak yang di cita-citakan oleh masyarakat.
Masyarakt jawa dikenal dengan masyarakat yang memiliki perilaku dan budi bahasanya halus. Budaya kekerasan dalam masyarakat jawa memiliki berbagai wujud. Pada masa Kerajaan Mataram, kekuatan kapitalisme VOC menyebabkan konflik yang menyebabkan Kerajaan Mataram terpisah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta di dalam “Perjanjian Giyanti”. Setelah Mataram terpisah menjadi dua, jawa kembali diwarnai dengan perang Diponegoro yang pada akhirnya seluruh wilayah Jawa dikuasai oleh Belanda karena sudah membantu memadamkan pemberontakan pada saat itu. Pemberian kekuasaan kepada Belanda merupakan salah satu nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat Jawa yaitu memberikan imbalan kepada seseorang yang telah membantunya.
Salah satu wujud tuntutan reformasi di Yogyakarta yaitu adanya gerakan massa “pisowanan ageng” yang dapat dijadikan sebagai penghalang terjadinya kekerasan, kebrutalan, dan tindakan anarki pada masa reformasi. “Pisowanan ageng” juga dapat dikatakan sebagai sindiran halus pada saat reformasi. Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Jawa juga memiliki pengistilahan atau bahasa komusikasi khusus, yaitu adanya istilah “dupak bujang” yang artinya tendangan kaki yang biasa dilakukan oleh wong cilik. “Semu mantri” yang biasa digunakan oleh kalangan masyarakat priyayi, dan “esem bupati” yang biasanya digunakan oleh para pemimpin dengan maksud ketidaksukaan pemimpin kepada orang yang diberi senyuman tersebut. Jadi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat jawa dari golongan masyarakat kecil sampai dengan para pemimpin memiliki etika tersendiri dalam mengkomunikasikan sesuatu hal yang tidak disukai yang dapat menyebabkan sebuah konflik.
Jadi, budaya kasar dan budaya halus dalam masyarakat jawa dapat dilihat dari adanya fenomena kehidupan masyarakat jawa dari zaman kerajaan Jawa sampai saat ini. Serta dapat dilihat dari berbagai tradisi dan kesenian yang telah berkembang dalam masyarakat Jawa. Masyarakat jawa yang terkenal dengan lemah lembut, berperilaku halus, dan berbudi bahasa halus ternyata dapat melakukan tindak kekerasan sebagai bentuk proses terhadap sesuatu kebijakan tertentu. Kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat jawa dilakukan dengan cara tersendiri. Seperti dalam bentuk cemoohan yang halus dengan makna yang dapat menyakiti hati seseorang. Bentuk lain kekerasan yang ada dalam masyarakat Jawa yaitu dalam bentuk perilaku tertentu yang memiliki makna berbeda dengan apa yang dilakukannya, seperti dupak bujang, semu mantra, dan esem bupati . Penggambaran perilaku kasar dan halus juga dapat digambarkan dengan kesenian seperti kesenian wayang dan berbagai kesenian yang lain.
rata kanan kirinya jangan lupa 🙂
Dapat menambah wawasan
ditambahkan gambar dong biar menarik 😀
Terimakasih atas masukannya mas .