Metode Penelitian Antropologi Materi Kelas XII

Metode Etnografi
Foto-1055
A.Pengertian Etnografi
Istilah etnografi berasal dari kata ethnos yang berarti bangsa dan graphy yang berarti tulisan. Jadi, pengertian etnografi adalah deskripsi tentang bangsa-bangsa. Beberapa pendapat ahli antropologi mengenai pengertian etnografi sebagai berikut.
  1. Menurut pendapat Spradley dalam Yad Mulyadi (1999), etnografi adalah kegiatan menguraikan dan menjelaskan suatu kebudayaan.
  2. Menurut pendapat Spindler dalam Yad Mulyadi (1999), etnografi adalah kegiatan antropologi di lapangan.
  3. Menurut pendapat Koentjaraningrat (1985), isi karangan etnografi adalah suatu deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa.

Cara untuk melakukan studi tentang etnografi, bukanlah hal yang mudah karena berkaitan dengan perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh anggota suatu suku bangsa. Padahal ada suku bangsa yang anggotanya sangat banyak bahkan mencapai jutaan penduduk. Oleh karena itu, seorang ahli antropologi yang menulis tentang sebuah etnografi tentu tidak mampu mencakup keseluruhan penduduk anggota dari suku bangsa yang besar tersebut dalam deskripsinya. Dalam penulisan etnografi, pada umumnya seorang peneliti membatasi objek penelitian dengan mengambil salah satu unsur kebudayaan yang diteliti pada sekelompok masyarakat tertentu.
Misalnya : meneliti sistem kesenian tradisional masyarakat daerah tertentu, meneliti tentang macam-macam upacara adat yang berkembang dalam masyarakat di suatu daerah. Jika daerah yang dijadikan objek pengamatan terlalu luas pada umumnya peneliti membatasi dengan mengambil bagian kecil dari daerah tersebut yang dianggap dapat mewakili keadaan di seluruh daerah pengamatan. Misal: untuk mengamati adat istiadat masyarakat suku Jawa diambil daerah penelitian pada masyarakat pedesaan di wilayah Kabupaten Klaten – Surakarta yang dianggap dapat mewakili keseluruhan perilaku khas orang Jawa.
Pada zaman sekarang memang tidak mudah untuk memperoleh daerah yang penduduknya hanya dihuni oleh suku bangsa asli, apalagi jika penelitian dilakukan di kota besar atau desa yang memungkinkan hadirnya kaum pendatang menetap di daerah tersebut.
Dalam penyusunan sebuah karangan etnografi, kita dapat menggunakan tahapan sebagai berikut.
1. Pemilihan lokasi penelitian
Menurut J.A. Clifton dalam bukunya yang berjudul Introduction to Cultural Anthropology, batasan lokasi yang akan dipergunakan sebagai penelitian sebagai berikut.
a. Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh satu desa atau lebih.
b. Kesatuan masyarakat yang terdiri atas penduduk yang mengucapkan satu bahasa atau satu logat bahasa yang sama.
c Kesatuan masyarakat yang dibatasi oleh garis batas suatu daerah politik-administratif.
d. Kesatuan masyarakat yang batasnya ditentukan oleh rasa identitas penduduknya sendiri.
e. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh suatu wilayah geografi yang merupakan kesatuan daerah fisik.
f. Kesatuan masyarakat yang ditentukan oleh kesatuan ekologi.
g. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang mengalami satu pengalaman sejarah yang sama.
h. Kesatuan masyarakat dengan penduduk yang frekuensi interaksinya satu dan lainnya merata tinggi.
i. Kesatuan masyarakat dengan susunan sosial yang seragam atau homogen.
Dalam karangan etnografi, lokasi pe-nelitian yang telah ditentukan perlu di deskripsikan. Deskripsi lokasi penelitian mengenai hal-hal berikut.
a. Ciri-ciri geografis, yaitu mengenai iklim (misal: tropis, sedang, mediteran, dan kutub), sifat daerah (misal: pegunungan, dataran rendah, dataran tinggi, kepulauan, rawa-rawa, hutan tropikal, sabana, stepa, gurun, dan sebagainya), keadaan suhu rata-rata dan curah hujan.
b. Ciri-ciri geologi dan geomorfologi yang berkaitan dengan kondisi tanah.
c. Keadaan flora dan fauna.
d. Data demografi yang berkaitan dengan kependudukan. Misalnya mengenai: data jumlah penduduk, jenis kelamin, laju natalitas, mortalitas, dan data mengenai migrasi atau mobilitas penduduk.
e. Catatan tentang asal mula sejarah terbentuknya suku bangsa (penduduk di lokasi pengamatan tersebut).
Untuk melengkapi deskripsi mengenai lokasi penelitian perlu dilengkapi dengan peta-peta yang memenuhi syarat ilmiah. Peta-peta tersebut melukiskan keadaan lokasi penelitian.
2. Menyusun kerangka etnografi
Setelah lokasi ditetapkan, maka langkah berikutnya adalah menentukan bahan mengenai kesatuan kebudayaan suku bangsa di lokasi yang dipilih tersebut. Hal itu merupakan kerangka etnografi. Penelitian etnografi merupakan penelitian yang bersifat holistik atau menyeluruh, artinya penelitian etnografi tidak hanya mengarahkan perhatiannya kepada salah satu atau beberapa variabel tertentu saja. Hal itu didasarkan pada pandangan bahwa budaya merupakan keseluruhan sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang tidak dapat dipisahkan.
Unsur-unsur dalam kebudayaan suatu suku bangsa yang dapat dijadikan sebagai kerangka etnografi sebagai berikut.
a. Bahasa.
b. Sistem teknologi.
c. Sistem ekonomi.
d. Organisasi sosial.
e. Sistem pengetahuan.
f. Kesenian.
g. Sistem religi.
Keseluruhan unsur-unsur di atas bersifat universal, artinya semua kebudayaan suku bangsa pasti terdapat unsur-unsur tersebut. Mengenai urutan mana yang menjadi prioritas penelitian dari keseluruhan unsur kebudayaan tersebut bergantung sepenuhnya kepada peneliti. Namun, sistem urutan yang biasa dipergunakan dalam studi etnografi diawali dari hal-hal yang bersifat konkret menuju ke hal-hal yang paling abstrak. Dalam hal ini unsur bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling konkret, karena hal pertama yang kita jumpai dalam penelitian terhadap penduduk di suatu daerah adalah bahasa pergaulan yang mereka gunakan sehari-hari.
Amat jarang kiranya seseorang langsung menggunakan bahasa isyarat saat pertama bertemu dengan orang asing. Hal yang lazim dilakukan oleh orang saat pertama bertemu dengan orang asing adalah mencoba mengajaknya berkomunikasi dengan bahasa lisan yang biasa ia gunakan.
Dengan mengamati interaksi sesama penduduk, dapat ditemukan jenis bahasa lokal yang mereka gunakan sebagai komunikasi lisan sehari-hari. Dengan menjumpai pemakaian bahasa ini, peneliti dapat menganalisis tentang kedudukan bahasa lokal dikaitkan dengan bahasa resmi yang dipergunakan sebagai bahasa pengantar dalam komunikasi lisan antar penduduk suku bangsa yang berbeda.
Dengan mengamati sistem teknologi yang berkembang di dalam kehidupan penduduk, peneliti dapat memfokuskan perhatiannya kepada benda-benda kebudayaan dan alat-alat kehidupan sehari-hari yang sifatnya konkret. Berkaitan dengan sistem ekonomi yang menjadi perhatian dalam penulisan etnografi, hal yang perlu mendapatkan perhatian dari peneliti adalah jenis mata pencaharian utama yang dilakukan penduduk dalam upaya memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Unsur kebudayaan menyangkut tentang organisasi sosial. Unsur kebudayaan sebagai bahan deskripsi kebudayaan, antara lain berkaitan dengan sistem kekerabatan yang dianut, sistem pemerintahan, pembagian kerja, ataupun aktivitas sosial yang sifatnya kolektif dan mencerminkan suatu birokrasi.
Penulisan deskripsi kebudayaan yang menyangkut sistem pengetahuan adalah hal-hal yang berkaitan dengan upaya penduduk untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaannya, termasuk dalam hal ini adalah bagaimana penduduk berupaya melakukan adaptasi terhadap lingkungan alam sekitarnya. Sebagai contoh, untuk meningkatkan produksi pertanian, penduduk mengembangkan sistem pertanian hidrophonik dengan memanfaatkan setiap jengkal tempat yang kosong untuk ditanami sayuran atau pun buah-buahan di dalam pot tanpa menggantungkan tersedianya lahan pertanian yang luas.
Deskripsi tentang sistem kesenian yang ada dalam kehidupan masyarakat mencakup tentang berbagai bidang seni yang menunjukkan identitas khas masyarakat/suku bangsa tersebut. Bidang seni yang menunjukkan identitas khas masyarakat/suku bangsa, antara lain seni bangunan, seni lukis, seni tari, seni musik tradisional, dan seni vokal.
Deskripsi tentang sistem religi yang dianut masyarakat/ suku bangsa di daerah penelitian berkaitan dengan kepercayaan, gagasan, ataupun keyakinan-keyakinan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat/suku bangsa tersebut. Oleh karena itu, peneliti harus tanggap terhadap unsur dalam sistem religi tersebut.
Studi etnografi tidak terlepas dari teknik yang dipergunakan dalam melaksanakan penelitian etnografi, karena etnografi merupakan sebuah pendekatan penelitian secara teoritis. Oleh karena itu, seorang peneliti di lapangan terlebih dahulu harus menguasai metode-metode yang terkait dengan kegiatan penelitiannya.
Banyak metode yang dapat dipilih dalam melaksanakan studi etnografi. Metode yang paling tepat digunakan, antara lain metode observasi dan metode interview.
a. Metode Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan salah satu metode yang dipergunakan dalam penelitian. Dalam arti sempit, metode observasi dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam arti luas, observasi merupakan proses yang kompleks dan tersusun dari berbagai proses biologis maupun psikologis. Dalam metode observasi yang terpenting adalah proses pengamatan dan ingatan.
Kemungkinan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam proses pengamatan dapat diatasi dengan cara sebagai berikut.
  1. Menyediakan waktu yang lebih banyak agar dapat melihat objek yang komplek dari berbagai segi secara berulang-ulang.
  2. Menggunakan orang ( petugas pengamat/observers) yang lebih banyak untuk melihat objeknya dari segi-segi tertentu dan mengintegrasikan hasil-hasil penyelidikan mereka agar diperoleh gambaran tentang keseluruhan objeknya.
  3. Mengambil lebih banyak objek yang sejenis agar dalam jangka waktu yang terbatas dapat disoroti objek-objek itu dari segi-segi yang berbeda-beda oleh penyelidik yang terbatas jumlahnya.
Untuk mengatasi keterbatasan ingatan dalam proses observasi dapat diantisipasi dengan cara sebagai berikut.
  1. Mengadakan pencatatan biasa atau dengan menggunakan check list.
  2. Menggunakan alat-alat mekanik (mechanical device) seperti tape recorder, kamera, dan video. Alat-alat tersebut berfungsi mengabadikan fenomena yang sedang diamati.
  3. Menggunakan lebih banyak observers.
  4. Memusatkan perhatian pada data yang relevan.
  5. Mengklasifikasikan gejala-gejala secara tepat.
  6. Menambah bahan apersepsi tentang objek yang akan diamati.
Menurut Rummel, beberapa petunjuk yang dapat diikuti dalam melaksanakan observasi sebagai berikut.
  1. Terlebih dahulu mencari informasi mengenai hal-hal yang akan diamati.
  2. Tetapkan tujuan- tujuan umum dan tujuan-tujuan khusus yang akan dicapai melalui observasi tersebut.
  3. Tetapkan suatu cara tertentu untuk mencatat hasil-hasil observasi.
  4. Lakukan pembatasan terhadap macam-macam tingkat kategori yang akan dipergunakan.
  5. Lakukan observasi secermat-cermatnya.
  6. Catatlah setiap gejala yang muncul secara terpisah.
  7. Pelajarilah secara baik dan kuasai cara pemakaian alat-alat pencatatan dan tata cara mencatat hasil pengamatan sebelum melakukan observasi.
Menurut Jehoda, observasi menjadi alat penelitian ilmiah, apabila:
  1. mengabdi kepada tujuan-tujuan penelitian yang telah dirumuskan,
  2. direncanakan secara sistematik, bukan terjadi secara tidak teratur,
  3. dicatat dan dihubungkan secara sistematik dengan proposisi-proposisi yang lebih umum, dan tidak hanya dilaksanakan untuk memenuhi rasa ingin tahu saja, dan
  4. dapat dicheck dan dikontrol validitas, reliabilitas, dan ketelitiannya sebagaimana data ilmiah lainnya.
Menurut Good, observasi dalam metodologi penelitian mengandung enam ciri sebagai berikut.
  1. Obervasi memiliki arah yang khusus.
  2. Observasi ilmiah tentang tingkah laku adalah sistematik.
  3. Observasi bersifat kuantitatif.
  4. Observasi mengadakan pencatatan dengan segera.
  5. Observasi menuntut adanya keahlian.
  6. Hasil-hasil observasi dapat dicheck dan dibuktikan untuk menjamin reliabilitas dan validitasnya.
Untuk melaksanakan metode observasi, peneliti dapat memilih teknik-teknik observasi yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi. Adapun teknik observasi yang dapat dipilih, antara lain:
  1. observasi partisipan – observasi non partisipan;
  2. observasi sistematik – observasi non sistematik;
  3. observasi eksperimental – observasi non eksperimental.
Untuk memahami, marilah kita pelajari satu persatu:
1) Observasi Partisipan – Observasi Non partisipan
Observasi partisipan pada umumnya dipergunakan dalam penelitian yang sifatnya eksploratif, termasuk dalam menyusun karangan etnografi. Observasi partisipan adalah observasi yang dilakukan di mana observers atau orang yang melakukan observasi turut ambil bagian dalam kehidupan masyarakat yang diobservasi. Sebagai contoh, untuk meneliti pola kehidupan kaum gelandangan maka observers turut membaur dalam kehidupan para gelandangan tersebut. Dalam menggunakan teknik observasi partisipan ini, seorang observers perlu memerhatikan masalah-masalah sebagai berikut.
a) Materi apa saja yang akan diobservasi. Untuk keperluan ini, observers dapat menyiapkan daftar mengenai hal-hal yang akan diamati.
b) Waktu dan bentuk pencatatan. Saat pencatatan yang terbaik adalah model “on the spot”, yaitu melakukan pencatatan segera saat pengamatan berlangsung. Tiap pencatatan dapat dilakukan dalam dua bentuk, yaitu bentuk kronologis dan bentuk sistematik. Bentuk kronologis didasarkan pada urutan kejadiannya, sedangkan bentuk sistematik, yaitu memasukkan tiap-tiap kejadian dalam kategori-kategori masing-masing tanpa memerhatikan urutan kejadiannya.
c) Hubungan baik antara observers dengan objek yang diamati (observees). Untuk mewujudkan hubungan yang baik antara observers dengan observees dapat dilakukan dengan cara:
  1. mencegah timbulnya kecurigaan-kecurigaan;
  2. mengadakan good raport, yaitu hubungan antarpribadi yang ditandai oleh semangat kerja sama, saling mempercayai, dan saling membantu antara observers dengan observees;
  3. menjaga agar situasi dalam masyarakat yang diamati tetap dalam situasi yang wajar.
d) Intensi dan ekstensi keterlibatan observers dalam partisipasi, yaitu sejauh mana keterlibatan observers dalam observasi partisipan. Dalam hal ini observers dapat mengambil bagian dalam kegiatan observasi, yaitu dengan cara sebagai berikut.
  1. Peneliti (observers) mengikuti kegiatan objek yang diamati (observees) hanya pada saat-saat tertentu saja yang oleh peneliti dianggap penting. Hal itu sering disebut sebagai partisipasi sebagian (partial participation)
  2. Peneliti (observers) mengikuti seluruh kegiatan objek yang diamati (observees) dari awal sampai akhir kegiatan penelitian tersebut. Hal itu sering disebut sebagai partisipasi penuh (full participation).
Adapun sejauh mana tingkat keterlibatan atau partisipasi peneliti (observers) dalam setiap kegiatan pengamatan adalah sebagai berikut.
  1. Peneliti (observers) semaksimal mungkin turut terlibat atau mengikuti setiap kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diamati (observees). Dalam hal ini peneliti terlibat secara intensif (intensive participation).
  2. Peneliti (observers) hanya sedikit ambil bagian dalam kegiatan objek yang diamati. Dalam hal ini peneliti tidak sepenuhnya terlibat, hanya sekilas saja (surfice participation). Penentuan tersebut sepenuhnya ada pada kemauan observers.
Adapun observasi non partisipan adalah observasi yang dilakukan di mana observers sama sekali tidak ikut terjun dalam kegiatan objek yang diamati.
2) Observasi Sistematik – Observasi Non Sistematik
Observasi sistematik sering disebut sebagai observasi berstruktur (structured observation). Observasi sistematik adalah observasi yang dilakukan berdasarkan kerangka pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya. Di dalam kerangka pengamatan tersebut memuat hal-hal sebagai berikut.
a) Materi yang akan diobservasi. Materi yang akan diobservasi pada umumnya telah dibatasi, sehingga observers tidak memiliki kebebasan dalam melakukan pengamatan.
b) Cara-cara pencatatan hasil observasi. Cara pencatatan hasil observasi dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan atau permasalahan yang telah dirumuskan terlebih dahulu, sehingga memudahkan untuk mengadakan kuantifikasi terhadap hasil pengamatan. Pembuatan daftar ini diawali dengan kegiatan sebagai berikut.
  1. Observasi pendahuluan.
  2. Perumusan sementara (konsep).
  3. Adanya uji coba (try out) terhadap konsep yang telah disusun.
  4. Perbaikan dari hasil uji coba.
  5. Dilakukan uji coba lagi – diperbaiki – diuji cobakan, dan seterusnya hingga diperoleh rumusan yang final.
c) Hubungan antara observers dengan observees.
Dalam hal ini, perlu adanya kerja sama yang baik antara observers dengan observees, sehingga pengamatan dapat berlangsung dalam situasi yang sewajarnya/tidak dibuat-buat.
Adapun observasi non sistematik adalah observasi yang berlangsung secara spontan/bebas tanpa adanya kerangka pengamatan. Observasi ini sering disebut sebagai observasi tak berstruktur.
3) Observasi Eksperimental – Observasi Non Eksperimental
Observasi Eksperimental sering disebut sebagai observasi dalam situasi tes. Ciri-ciri observasi eksperimen sebagai berikut.
a) Observers dihadapkan pada situasi perangsang yang dibuat seseragam mungkin untuk semua observees.
b) Situasi dibuat sedemikian rupa untuk memungkinkan variasi timbulnya tingkah laku yang akan diamati oleh observers.
c) Situasi dibuat sedemikian rupa, sehingga observees tidak mengetahui maksud yang sebenarnya dari kegiatan observasi tersebut.
d) Observers membuat catatan-catatan dengan teliti mengenai cara-cara observees mengadakan aksireaksi, bukan hanya jumlah aksi-reaksi semata.
Observasi eksperimental dipandang sebagai cara penyelidikan yang relatif murni untuk menyelidiki pengaruh kondisi-kondisi tertentu terhadap tingkah laku manusia. Dalam hal ini, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkah laku observees telah dikontrol secermat-cermatnya, sehingga tinggal satu atau dua faktor untuk diamati sejauh mana pengaruhnya terhadap dimensi-dimensi tertentu dari tingkah laku.
Melalui observasi eksperimental, observers memiliki kesempatan/peluang untuk mengamati sifatsifat tertentu yang jarang sekali muncul dalam situasi normal. Sebagai contoh, ketidakjujuran, keberanian, dan reaksi terhadap frustrasi. Observasi eksperimental merupakan observasi yang distandardisasi secermatcermatnya.
Dengan demikian, hasil observasi dapat dipergunakan untuk menilai reaksi-reaksi khusus atau perilaku istimewa dari setiap orang. Adapun observasi non eksperimental merupakan kebalikan dari observasi eksperimental. Hal yang paling utama dalam kegiatan observasi adalah terkumpulnya hasil observasi sebagai bahan utama yang dipergunakan untuk menyusun kesimpulan terhadap hasil penelitian. Agar hasil observasi dapat diperoleh secara optimal, diperlukan beberapa alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data hasil pelaksanaan observasi.
Beberapa alat yang dipergunakan dalam kegiatan observasi sebagai berikut.

  1. Catatan anekdot (anecdotal record)
  2. Catatan berkala
  3. Daftar pengamatan (check list)
  4. Skala pengukuran (rating scale)
  5. Peralatan penunjang (mechanical devices)
Untuk memahaminya marilah kita pelajari satu persatu:
1) Catatan anekdot (anecdotal record)
Catatan anekdot (anecdotal record) sering disebut sebagai daftar riwayat kelakuan. Catatan anekdot (Anecdotal record) merupakan catatan-catatan yang dibuat oleh observers selama pengamatan berlangsung mengenai kelakuan-kelakuan yang dianggap luar biasa. Catatan tersebut dibuat secepat-cepatnya setelah terjadi peristiwa yang dianggap istimewa. Hal yang dicatat adalah kronologis atau bagaimana kejadian tersebut berlangsung dan bukan mengenai pendapatnya terhadap kejadian tersebut. Penggunaan catatan anekdot (anecdotal record) memerlukan waktu yang sangat panjang, sehingga dinilai tidak efektif.
2) Catatan berkala
Catatan berkala dilakukan observers pada waktu tertentu saja secara periodik. Selanjutnya observers menuliskan kesan/pendapatnya.
3) Daftar pengamatan (check list)
Daftar pengamatan (check list) adalah suatu daftar berisi nama-nama subjek dan faktor-faktor yang akan diselidiki. Pembuatan daftar pengamatan (check list) bermaksud agar pengamatan berlangsung secara sistematis.
4) Skala pengukuran (rating scale)
Skala pengukuran (rating scale) adalah pencatatan gejala menurut tingkatan-tingkatannya. Skala pengukuran (rating scale) pada umumnya terdiri atas suatu daftar yang berisi ciri-ciri tingkah laku yang harus dicatat secara bertingkat. Skala pengukuran (rating scale) ini mirip dengan daftar pengamatan (check list), karena observers tinggal memberikan tanda-tanda tertentu atau mengececk tingkatan tingkah laku tertentu selama pengamatan berlangsung.
Penggunaan skala pengukur (rating scale) dalam kegiatan observasi memiliki kelemahan. Kelemahan tersebut dalam bentuk munculnya penyimpangan-penyimpangan sebagai berikut.
a) Hallo effects error adalah bentuk penyimpangan yang terjadi karena observees terpikat dengan kesan-kesan umum yang baik/menyenangkan dari observers, padahal observers tidak sedang menyelidiki kesan umum tersebut. Sebagai contoh, orang memberikan nilai baik pada orang yang berpenampilan rapi dan memberikan nilai kurang pada orang yang berpenampilan kurang baik. Padahal penampilan rapi belum tentu menunjukkan sifat yang baik dan sebaliknya penampilan yang kurang menarik belum tentu orangnya bersifat jelek/bodoh.
b) Generosity effects adalah bentuk penyimpangan yang terjadi karena adanya keinginan untuk berbuat baik yang datang dari pihak observers. Dalam situasi yang meragukan kadangkala pihak observers cenderung memberikan penilaian yang menguntungkan kepada pihak yang dinilai.
c) Carry-over effects adalah bentuk penyimpangan yang muncul karena observers dalam memberikan pencatatan terhadap gejala yang muncul terpengaruh oleh pencatatan terhadap gejala yang muncul sebelumnya.
5) Peralatan penunjang (mechanical devices)
Peralatan penunjang (mechanical Devices) adalah pemakaian peralatan hasil kemajuan iptek yang memungkinkan seorang observers mampu mengabadikan segala perilaku observees selama pengamatan berlangsung. Sebagai contoh, pemakaian video untuk merekam perilaku observees selama pengamatan berlangsung, pemakaian tape recorder untuk merekam wawancara dengan observees, dan pemakaian kamera untuk mengabadikan suatu peristiwa.
Keuntungan penggunaan peralatan penunjang (mechanical devices) ini adalah:
a) dapat diputar kembali sewaktu-waktu, jika diperlukan;
b) dapat diamati hasilnya secara cermat;
c) dapat dipergunakan sebagai referensi dalam menyusun bahan penelitian yang akan datang;
d) dapat dipergunakan untuk merevisi atau memperbaiki hasil penelitian agar lebih cermat/teliti.
Tinggi rendahnya kadar ilmiah yang terkandung dalam sebuah hasil observasi sangat ditentukan oleh berbagai hal. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecermatan hasil observasi sebagai berikut.
a) Adanya prasangka-prasangka dan keinginan-keinginan tertentu yang bersumber dari observers.
b) Terbatasnya kemampuan panca indra dan kemampuan daya ingatan manusia.
c) Terbatasnya wilayah pandang. Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa kejadian lebih sering muncul dalam perhatian observers dibandingkan dengan kejadian-kejadian lainnya.
d) Kemampuan manusia untuk menangkap hubungan sebab-akibat atau kejadian-kejadian yang berturutturut
tergantung sekali kepada keadaan.
e) Ketangkasan dalam mempergunakan alat-alat pencatatan.
f) Kadar ketelitian pencatatan hasil-hasil observasi.
g) Ketepatan alat yang dipergunakan dalam observasi.
h) Pengertian observer tentang gejala-gejala yang diobservasi.
Penggunaan metode observasi dalam kegiatan penelitian memiliki beberapa keunggulan sekaligus kelemahan. Keunggulan pemakaian metode observasi sebagai berikut.
  1. Observasi merupakan alat yang langsung untuk menyelidiki berbagai macam gejala. Banyak aspekaspek perilaku manusia yang hanya dapat diselidiki melalui jalan observasi secara langsung.
  2. Tidak menuntut banyak kepada observees atau subjek yang diamati, karena pengamatan bisa dilakukan tanpa menghentikan aktivitas objek yang diamati.
  3. Memungkinkan pencatatan yang serempak dengan terjadinya suatu gejala.
  4. Tidak bergantung pada self report.
  5. Banyak kejadian-kejadian penting yang hanya dapat diamati melalui pengamatan langsung.
Kelemahan pemakaian metode observasi sebagai berikut.
  1. Tidak semua kejadian dapat diamati secara langsung, misal tentang kehidupan pribadi seseorang atau adanya perasaan yang dirahasiakan sehingga tidak nampak dalam perilaku secara konkret.
  2. Kemungkinan perilaku yang ditunjukkan observees tidak sebenarnya (pura-pura) karena tahu sedang diamati/diteliti.
  3. Kadangkala timbulnya kejadian sulit diramalkan, sehingga sering muncul kejadian tanpa diketahui atau tanpa kehadiran observers.
  4. Kemungkinan adanya gangguan yang menghalangi proses pengamatan, misal gangguan cuaca.
  5. Berlangsungnya suatu kejadian yang waktunya tidak menentu, kadang sangat cepat kadang juga memerlukan waktu yang amat lama.
b. Metode Interview
GW Allport, seorang peneliti mengemukakan bahwa metode interview merupakan bentuk metode tanya jawab yang dipergunakan untuk menyelidiki pengalaman, perasaan, motif serta motivasi rakyat. Adapun menurut Sutrisno Hadi, pakar metode penelitian di Indonesia menyatakan bahwa interview adalah suatu proses tanya jawab lisan di mana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik (face to face), yang satu melihat muka yang lain dan mendengarkan dengan telinga sendiri suaranya.
Metode interview merupakan alat pengumpul informasi yang langsung memberikan beberapa jenis data sosial, baik yang terpendam (latent) maupun yang nampak. Metode interview kurang tepat untuk menyelidiki aksi reaksi orang dalam bentuk perilaku, namun interview merupakan alat yang sangat baik untuk mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi serta proyeksi seseorang terhadap masa depannya.
Melalui interview dapat digali pengalaman masa lalu seseorang serta rahasia-rahasia yang dimiliki dalam hidupnya, sekaligus menangkap ekspresi seseorang. Oleh karena itu, diperlukan keahlian khusus bagi si pewawancara (interviewer atau information hunter) untuk memperoleh data yang lengkap dan cermat dari narasumber (interviewee atau information supplyer). Data yang akurat sangat penting peranannya dalam menghasilkan penelitian yang objektif. Pada hakikatnya fungsi interview atau wawancara dalam suatu penelitian dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu sebagai berikut.
  1. Sebagai metode primer, inteview digunakan sebagai metode pokok dan satu-satunya alat pengumpul data yang diperlukan dalam suatu penelitian. Bagi seorang jurnalis interview merupakan metode primer.
  2. Sebagai metode pelengkap, hasil interview dimaksudkan untuk melengkapi data hasil pengamatan yang telah dilakukan sebelumnya. Bagi seorang peneliti seringkali interview dilakukan untuk melengkapi data yang telah dikumpulkan dari hasil pengamatan.
  3. Sebagai kriterium, interview dilakukan untuk menguji kebenaran dan kemantapan suatu data yang telah diperoleh dengan cara lain. Dalam hal ini interview berperan sebagai alat pengukur sah tidaknya data yang telah diperoleh sebelumnya. Teknik cek-ricek interview dengan narasumber merupakan contoh pemakaian interview sebagai kriterium.
Untuk memperoleh data yang seobjektif mungkin, dalam proses interview harus terjalin suasana hubungan yang harmonis dalam bentuk hubungan kerja sama antara pihak pewawancara (interviewer) dengan pihak narasumber atau yang diwawancarai (interviewee). Suasana yang baik yang diperlukan dalam proses interview adalah suasana yang saling mempercayai, kerja sama, dan saling menghargai antara interviewer dengan interviewee.
Oleh karena itu, peran seorang interviewer bukan sekedar sebagai pencari informasi (information getting) saja, melainkan juga harus berperan sebagai motivator bagi terbentuknya suasana interview yang sebaik-baiknya.
Peran interviewer sebagai motivator dalam proses interview dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
  1. Partisipasi, yaitu interviewer turut aktif dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh narasumber.
  2. Identifikasi, yaitu interviewer memperkenalkan diri sebagai “orang dalam” dan meyakinkan narasumber bahwa ia adalah sahabat, atau bagian dari mereka dan bekerja untuk membantu mereka.
  3. Persuasi, yaitu interviewer dengan sikap yang sopan dan ramah tamah, menerangkan maksud dan keperluan kedatangannya dan meyakinkan kepada narasumber mengenai pentingnya informasi yang diperlukan darinya.
  4. Menggunakan “key person” atau tokoh pengantar, yaitu interviewer mengajak seseorang tokoh yang dikenal baik oleh narasumber. Tokoh tersebut sebagai pengantar sekaligus meyakinkan narasumber agar bersedia memberikan informasi yang dibutuhkan secara jujur.
Agar terjalin hubungan baik antara interviewer dengan narasumber (interviewee), maka seorang interviewer harus bersedia mengorbankan sebagian waktu interviewnya untuk mengantarkan interaksinya ke dalam situasi interview yang diharapkan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam upaya menciptakan hubungan baik antara interviewer dengan interviewee sebagai berikut.
  1. Perlu diadakan pembicaraan-pembicaraan pemanasan atau berupa basa-basi yang mencerminkan keramah-tamahan pada awal interview.
  2. Kemukakan tujuan dari penelitian yang dilakukan dengan menggunakan bahasa yang sederhana, mudah dipahami oleh narasumber, dan dikemukakan dengan sikap rendah hati dan bersahabat.
  3. Hubungkan pokok-pokok pembicaraan dengan perhatian narasumber dan tariklah ke arah pokok-pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada narasumber.
  4. Ciptakan suasana yang bebas, sehingga narasumber tidak merasa tertekan dengan pertanyaan yang diajukan interviewer. Dalam keadaan seperti itu, narasumber secara leluasa dapat memberikan jawaban/informasinya.
  5. Bagi interviewer, jangan menunjukkan sikap tergesa-gesa, sikap kurang menghargai jawaban atau kurang percaya pada narasumber. Apa pun jawaban narasumber harus ditanggapi oleh interviewer dengan perhatian yang penuh.
  6. Berilah dorongan kepada narasumber agar ia memiliki perasaan sebagai orang yang dibutuhkan kerja sama dan bantuannya untuk membantu pelaksanaan penelitian.
Lancar tidaknya suatu proses wawancara sangat bergantung pada keahlian interviewer dalam melontarkan pertanyaan dan memancing jawaban yang sejujur-jujurnya dari narasumber. Oleh karena itu, untuk dapat menjadi seorang interviewer yang handal perlu adanya latihan-latihan, terutama dalam menjalin komunikasi dengan orang lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh interviewer untuk meningkatkan kecakapannya dalam menjalankan tugas wawancara sebagai berikut.
1) Pertanyaan-pertanyaan pembukaan
Untuk menciptakan suasana dan hubungan yang baik diperlukan keahlian dari pihak interviewer dalam menjalin interaksi sosial. Pada awal wawancara diajukan pertanyaan-pertanyaan yang netral, ringan dan menarik minat narasumber. Hindarkan kesan awal yang seram, tegang, penuh tekanan atau berkesan menyelidiki/curiga. Dengan demikian, narasumber akan menjawab dengan hangat dan akrab.
2) Gaya bicara
Gaya bicara sangat menentukan suasana wawancara sekaligus memengaruhi hubungan interviewer dengan narasumber. Berbicaralah terus terang, secara sederhana serta hindari pembicaraan yang berbelit-belit dan tidak jelas akar permasalahannya.
3) Nada dan irama
Suasana rileks dalam proses wawancara ditentukan pula oleh nada dan irama pembicaraan yang diucapkan oleh interviewer. Hindari nada suara yang monoton, membentak-bentak, kasar, dan cenderung menginterogasi. Hal tersebut akan menimbulkan suasana tegang dan tidak menyenangkan, sehingga dapat mengakibatkan narasumber tidak mau diwawancarai. Irama pertanyaan pun perlu diatur, jangan terlalu lamban atau terlalu cepat, sehingga narasumber dapat memahami apa yang diinginkan interviewer.
4) Sikap bertanya
Suasana yang menyenangkan dalam wawancara adalah suasana yang rileks. Proses pembicaraan, seperti berbicara dengan sahabat dan tidak kaku. Sikap interviewer yang perlu dihindari dalam interview sebagai berikut.
a) Sikap seperti seorang hakim yang sedang menginterogasi terdakwa.
b) Sikap seperti guru besar sedang memberi kuliah mahasiswanya.
c) Sikap acuh dan kurang menghargai narasumber.
d) Sikap tidak mempercayai narasumber sehingga sering menyela jawaban atau bahkan mencelanya.
5) Mengadakan paraphrase
Kadangkala narasumber kurang memiliki kemampuan untuk mengungkapkan perasaannya dalam bentuk kata-kata yang tepat atau kalimat yang runtut. Untuk itu, diperlukan peran interviewer untuk membantu merumuskan kalimat yang tepat yang dikehendaki narasumber. Dalam hal ini, interviewer berperan seolah sebagai penterjemah bebas. Akan tetapi, jangan sampai paraphrasing ini diartikan sebagai bentuk menarik kesimpulan dari apa yang diungkapkan narasumber. Paraphrasing bukan merupakan bentuk kesimpulan tetapi sekedar membantu menerjemahkan isi hati narasumber.
6) Mengadakan prodding atau probing
Prodding atau probing artinya mengadakan penggalian yang lebih dalam atau melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan saksama. Interviewer harus mampu memancing narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang tepat agar narasumber bersedia memberikan penjelasan/informasi sedalam mungkin.
7) Mengadakan pencatatan
Mencatat hasil wawancara merupakan bagian yang penting dari suatu proses wawancara. Jika memungkinkan, cara yang terbaik adalah melakukan pencatatan sesegera mungkin untuk menghindari kesesatan-kesesatan recording. Oleh karena itu, interviewer perlu mengembangkan kecakapan mencatat on the spot. Di era sekarang ini pencatatan hasil wawancara bisa dikesampingkan mengingat adanya sarana perekam yang cukup canggih. Namun kadangkala narasumber merasa tidak nyaman, jika dalam pelaksanaan wawancara disertai dengan adanya alat perekam, sehingga dalam mengemukakan pendapat atau menyampaikan informasi bisa terlalu hati-hati atau bahkan terkesan dibatasi.
Melakukan pencatatan seketika saat wawancara sedang berlangsung memang mengandung unsur kelemahan. Kelemahan pencatatan seketika saat wawancara sedang berlangsung adalah sebagai berikut.
a) Kemungkinan kelancaran pembicaraan bisa terganggu karena lawan bicaranya sibuk mencatat.
b) Kemungkinan interviewer tidak mampu menulis cepat, sehingga kerap kali narasumber harus mengulang pembicaraannya.
c) Kewajaran dalam proses wawancara ikut terganggu karena narasumber terpengaruh untuk memberikan informasi yang pantas dicatat saja.
Akan tetapi, jika pencatatan hasil wawancara tidak dilakukan sesegera mungkin atau tidak secara on the spot, maka akan terjadi kelemahan sebagai berikut.
a) Kemampuan/daya ingat interviewer yang terbatas akan mengalami kesulitan untuk mengingat hasil wawancara menunggu sampai wawancara berakhir.
b) Ekspresi narasumber saat memberikan informasinya sulit diingat/direkam.
c) Memungkinkan munculnya kesalahan informasi akibat penundaan pencatatan yang menimbulkan lupa pada bagian-bagian tertentu.
8) Menilai jawaban
Ketelitian pencatatan dan paraphrase sangat bergantung pada ketetapan penilaian interviewer terhadap jawaban/informasi dari narasumber. Demikian halnya perlu tidaknya mengadakan prodding atau tepat tidaknya suatu probing sangat bergantung pada baik buruknya interviewer menilai jawaban narasumber. Validitas hasil wawancara merupakan fungsi dari kebenaran penilaian jawaban. Agar penilaian jawaban dapat dilakukan secara tepat, interviewer perlu memerhatikan hal-hal berikut ini.
a) Adanya sikap phenomenologik, yaitu kesediaan untuk meninggalkan segala bentuk prasangka maupun motif-motif subjektif lainnya.
b) Adanya sikap factual, artinya tidak terkurung oleh alur pemikirannya sendiri dan tidak menarik kesimpulan tanpa dilandasi fakta yang objektif.
Penerapan metode interview dalam upaya mengumpulkan data untuk penelitian etnografi diperlukan persiapan yang matang, terutama bagi seorang pemula. Persiapan yang perlu dilakukan sebelum melakukan wawancara (interview) sebagai berikut.
1) Menentukan topik wawancara
Topik interview disesuaikan dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai. Dalam hal ini peneliti sebagai calon interviewer harus mampu menyusun kisi-kisi yang memuat jabaran tentang data yang akan dibutuhkan dalam upaya mencapai tujuan penelitian.
2) Menentukan orang-orang yang akan diwawancarai
Untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat, maka diperlukan narasumber yang tepat. Misal: seorang peneliti ingin mengetahui berapa tingkat kelulusan siswa setiap tahun di suatu kabupaten, maka narasumber yang cocok adalah pejabat di dinas pendidikan dan bukannya mencari data ke kelurahan. Sebaliknya jika ingin mengetahui sejauh mana tingkat mobilitas warga desa, narasumber yang paling tepat adalah pejabat yang berwenang di kantor kelurahan, bukan di kantor dinas kesehatan. Oleh karena itu, diperlukan kejelian peneliti untuk mengaitkan data dengan narasumber yang tepat.
3) Mengatur waktu dan tempat pelaksanaan wawancara
Dalam merencanakan waktu dan tempat wawancara, pihak interviewer harus berpedoman bahwa ia sebagai interviewer harus secara maksimal melayani apa kemauan narasumber. Kesibukan narasumber yang mungkin sangat padat, maka jauh-jauh hari sebelumnya perlu adanya janji kapan dan di mana bisa mengadakan wawancara. Sebagai pihak yang berperan dalam pembuatan janji ini adalah narasumber, sedangkan inteviewer sepenuhnya bergantung pada kesediaan narasumber saja. Oleh karena itu, ketepatan waktu interviewer ini harus dijaga, di samping kesabaran karena kemungkinan besar pihak narasumber karena kesibukannya bisa mengalami keterlambatan.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini memungkinkan setiap saat interviewer mengecek kesiapan dan kesediaan narasumber untuk melakukan interview sesuai janji yang telah disepakati sebelumnya.
4) Menyusun interview guide atau pedoman wawancara
Sebagai langkah terakhir dalam persiapan proses interview adalah menyusun pedoman wawancara atau interview guide yang berisi daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada narasumber.
Fungsi penyusunan interview guide sebagai berikut.
a) Sebagai pedoman atau panduan tentang pokok pembicaraan agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian.
b) Menghindarkan kemungkinan terjadinya pembicaraan yang tidak relevan, sehingga interviewer cepat-cepat mengalihkan ke tujuan pokok.
c) Meningkatkan fungsi interview sebagai metode yang hasilnya memenuhi prinsip komparabilitas.

Interview guide tidak harus dalam bentuk lembaran kertas yang terpampang di depan narasumber atau secara demonstratif digunakan sebagai panduan selama proses wawancara berlangsung, akan tetapi bisa dihafal sebelumnya. Kadangkala bagi peneliti pemula yang belum terbiasa melakukan interview, pedoman wawancara bisa dibuat dalam bentuk garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Pedoman wawancara tersebut setiap saat bisa dilihat kembali oleh interviewer selama proses wawancara untuk mengetahui mana yang telah ditanyakan dan mana yang belum ditanyakan kepada narasumber.

Untuk menyusun pedoman wawancara yang baik dan lengkap, peneliti perlu mempersiapkan kisi-kisi yang menjabarkan data-data yang akan diperlukan dalam penelitian untuk ditanyakan kepada narasumber. Misal: peneliti memerlukan data tentang natalitas (angka kelahiran) penduduk, maka hal yang ditanyakan antara lain mencakup:
a) jumlah kelahiran setiap tahun;
b) jumlah penduduk keseluruhan;
c) jumlah kematian setiap tahun;
d) jumlah puskesmas;
e) jumlah bidan;
f) dan sebagainya yang berkaitan dengan masalah kelahiran, secara lengkap sehingga dari hasil wawancara tersebut peneliti dapat menganalisis data yang berkaitan dengan data pokok yang dibutuhkan.
Dalam metode interview beberapa teknik yang dapat digunakan oleh peneliti sebagai berikut.
1) Teknik interview terpimpin
Interview terpimpin sering disebut sebagai guides interview, structured interview, controlled interview atau directed interview. Dalam interview terpimpin, pihak interviewer berfungsi bukan sekedar sebagai pengumpul data saja melainkan sebagai pengumpul data yang relevan dengan maksud-maksud penelitian yang telah dipersiapkan secara masak sebelum kegiatan wawancara dilaksanakan. Dalam pelaksanaan interview terpimpin, ada hipotesis yang dibawa ke lapangan untuk dibuktikan benar tidaknya, dan ada kerangka pokok permasalahan yang akan ditanyakan berkaitan dengan upaya pembuktian hipotesis tersebut. Jadi, interview terpimpin merupakan interview yang dilakukan dengan menggunakan pedoman yang telah ditetapkan secara tegas. Dengan demikian pihak interviewer seolah hanya sekedar membacakan apa yang harus dijawab oleh narasumber.
Pelaksanaan wawancara dengan teknik interview terpimpin memiliki kelemahan, antara lain sebagai berikut.
a) Proses wawancara berlangsung kaku, kurang dapat disesuaikan dengan suasana yang ada.
b) Hubungan antara interviewer dengan narasumber berlangsung sangat formal.
c) Data yang diperoleh kurang mendalam, karena hanya terbatas pertanyaan yang telah disiapkan dan tidak memberikan kesempatan interviewer untuk mengembangkan materi pertanyaan meskipun kemungkinan terbuka peluang untuk menggali informasi lebih dalam dari narasumber.
d) Situasi yang terjadi selama proses wawancara cenderung mengarah ke suasana interogasi layaknya hubungan hakim dengan terdakwa di persidangan.
Namun demikian pelaksanaan teknik interview terpimpin memiliki keunggulan, antara lain sebagai berikut.
a) Adanya uniformitas (keseragaman) pertanyaan memungkinkan pengkomparasian (perbandingan) hasil penelitian menjadi lebih mudah.
b) Pemecahan problematika atau pembuktian hipotesis akan lebih mudah diselesaikan.
c) Memungkinkan analisis kuantitatif dan analisis kualitatif.
d) Menghasilkan kesimpulan yang reliabel.
2) Teknik interview tak terpimpin
Berbeda dengan teknik interview terpimpin yang telah tersedia pedoman khusus untuk mengarahkan proses wawancara. Dalam pelaksanaan teknik interview tak terpimpin ini ditandai dengan tidak adanya kesengajaan dari pihak interviewer untuk mengarahkan wawancara ke pokok-pokok permasalahan yang menjadi titik fokus dari kegiatan penyelidikan.
Teknik interview tak terpimpin sering disebut sebagai nondirective interview atau unguided interview. Teknik interview tak terpimpin merupakan bentuk wawancara yang berlangsung spontan, banyak dikuasai oleh keinginan atau kecenderungan interviewer tanpa dikendalikan oleh suatu pedoman interview, sehingga cenderung mengarah kepada pembicaraan bebas atau free talk.
Pelaksanaan teknik interview tak terpimpin memiliki sejumlah kelemahan sebagai berikut.
a) Kadar ilmiahnya sangat rendah.
b) Mengakibatkan kegiatan penelitian menjadi sangat insidental.
c) Tidak dapat dipergunakan untuk keperluan pengecekan secara efisien.
d) Memakan waktu yang terlalu banyak, memboroskan tenaga, dan biaya.
e) Hanya cocok untuk penelitian-penelitian tipe eksploratif.
Meskipun demikian pelaksanaan teknik interview tak terpimpin ini memiliki kebaikan. Kebaikan pelaksanaan teknik interview tak terpimpin sebagai berikut.
a) Merupakan teknik interview yang cocok digunakan pada tahap penelitian awal.
b) Tidak menuntut keahlian yang cukup mendalam bagi seorang interviewer.
c) Tingkat kewajaran pembicaraan sangat optimal karena kondisinya dalam suasana pembicaraan bebas (free talk).
d) Memungkinkan diperoleh data yang khusus dan mendalam, karena suasana yang bebas mengakibatkan narasumber merasa leluasa untuk mengungkapkan apa yang ada dalam isi hatinya tanpa ragu.
3) Teknik interview bebas-terpimpin
Teknik interview bebas-terpimpin pada hakikatnya merupakan gabungan dari bentuk teknik interview terpimpin dan teknik interview tak terpimpin. Dalam pelaksanaan teknik interview bebas-terpimpin, suasana bebas terlihat dalam proses pelaksanaan wawancara, antara lain wawancara yang wajar, tidak dibuat-buat, dan tidak kaku, sehingga narasumber mampu mengungkapkan isi hatinya. Data yang diperoleh pun menjadi lebih mendalam akibat penciptaan suasana wawancara yang bebas tersebut. Adapun unsur terpimpin dipertahankan dalam bentuk persiapan panduan wawancara atau interview guide yang berfungsi sebagai pengarah topik pembicaraan. Dengan mempertahankan unsur terpimpin ini diharapkan hasil wawancara tersebut mampu memenuhi prinsip-prinsip komparabilitas dan reliabilitas.
Panduan wawancara yang disiapkan dalam pelaksanaan teknik interview bebas-terpimpin berupa daftar pokok pertanyaan yang mengarah pada upaya pembuktian hipotesis penelitian yang sedang dilakukan. Pokok-pokok pertanyaan yang disiapkan tersebut akan menjadi kriteria pengontrolan relevan tidaknya isi interview. Adapun suasana kebebasan yang diciptakan selama proses wawancara berlangsung akan memberikan kesempatan untuk mengendalikan kekakuan selama proses interview berlangsung. Oleh karena itu, interview bebas-terpimpin ini sering disebut sebagai interview terkontrol atau controlled interview.
Dalam kegiatan-kegiatan penelitian sosial, teknik interview bebas terpimpin paling banyak dipilih, terutama untuk mengungkap sikap-sikap sosial dari objek penelitian. Merton dan Kendall menyebut teknik interview bebas-terpimpin ini sebagai “Focussed Interview” artinya wawancara yang difokuskan pada penghayatan pribadi seseorang dalam menghadapi suatu situasi yang khusus.
Merton dan Kendall yakin bahwa focussed interview merupakan jenis interview yang serba guna, karena dengan menerapkan teknik ini, peneliti dapat:
a) mengetes validitas suatu hipotesis yang bersumber pada suatu analisis dan teori sosial psikologis;
b) memperoleh respon-respon yang tak diduga terhadap situasi tertentu, sehingga muncul hipotesishipotesis baru yang masih segar.
Jika ditinjau dari jumlah interviewee (narasumber) yang dihadapi, teknik interview dapat dibedakan menjadi dua yakni interview pribadi dan interview kelompok.
a) Interview pribadi atau personal interview adalah wawancara yang dilakukan secara berhadap-hadapan atau face to face antara interviewer dengan interviewee. Pelaksanaan interview pribadi ini memberikan suasana privacy yang maksimal, sehingga kemungkinan untuk memperoleh data yang intensif sangatlah besar. Selain itu ketelitian dan kemantapan hasil interview dapat diperoleh secara maksimal, jika pada saat wawancara berlangsung dilakukan cecking. Interviewer dapat secara mudah mengawasi segala bentuk gerak-gerik narasumber, sehingga interviewer mudah memberikan penilaian terhadap jawaban-jawaban yang diberikan oleh narasumber. Berdasarkan penilaian jawaban itu, interviewer dapat memutuskan perlu tidaknya melakukan probing atau tidak, melakukan paraphrasering ataukah tidak.
b) Interview kelompok atau group interview adalah wawancara yang dilakukan oleh interviewer terhadap beberapa orang interviewee (narasumber) sekaligus. Penerapan interview kelompok ini sangat berguna sebagai alat pengumpulan data yang sekaligus difungsikan sebagai proses check-cross check. Di mana para anggota dapat saling mengontrol jawaban rekan-rekannya, melengkapi mana yang kurang dan lebih menjelaskan mana yang nampak masih samar-samar.
Dalam melaporkan hasil interview kadangkala terjadi banyak kesalahan. Adapun sumber kesalahan tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Error of Recognition
Error of Recognition adalah kesalahan yang disebabkan karena ingatan interviewer yang tidak bekerja sebagaimana mestinya. Hal itu terjadi, jika interviewer adalah seorang yang pelupa, sulit mengingat dan merekonstruksi kembali jawaban narasumber, jarak antara pelaksanaan wawancara dengan pencatatan hasil wawancara cukup lama, adanya keinginan yang besar dari interviewer untuk memasukkan hasil pemikiran atau pendapatnya ke dalam hasil jawaban narasumber, atau penyebab lain yang menyebabkan kemampuan mengingat interviewer rendah.
2) Error of Omission
Error of Omission adalah kesalahan hasil pertanyaan yang disebabkan oleh adanya hal-hal yang seharusnya dilaporkan atau dicatat tetapi justru dilewatkan begitu saja oleh interviewer. Hal itu bisa terjadi jika pencatatan hasil wawancara secara on the spot, sehingga terburu-buru dan banyak yang terlewatkan.
3) Error of Addition
Error of Addition adalah kesalahan yang terjadi karena interviewer terlalu berlebihan dalam memasukkan pendapatnya atau terlalu berlebihan dalam mengolah hasil jawaban narasumber, sehingga justru mengaburkan informasi yang sebenarnya. Hal itu terjadi karena interviewer ingin menjadikan hasil jawaban narasumber sebagai sesuatu yang lain, misal lebih didramatisir untuk menarik minat pembaca.
4. Error of Substitution
Error of Substitution adalah kesalahan yang terjadi karena interviewer mengganti jawaban narasumber yang sulit diingatnya. Hal itu terjadi karena ada hal-hal yang terlupa pada hasil wawancara tersebut dan diganti dengan pendapat interviewer. Penggantian terhadap hal-hal yang terlupakan interviewer menggunakan kata yang menurutnya padanan dari kata yang terlupakan, atau karena interviewer tidak mengerti makna istilah yang diucapkan oleh narasumber dan diganti dengan istilah lain yang justru tidak tepat, bahkan mengaburkan makna yang sesungguhnya.
5) Error of Transpotition
Error of Transpotition adalah kesalahan yang terjadi karena ingatan interviewer tidak mampu mereproduksi urutan kejadian menurut waktu atau sesuai hubungan antara fakta-fakta seperti apa adanya, tetapi interviewer menuliskan urutan atau hubungan tersebut yang tidak sesuai apa adanya. Hal itu terjadi jika interviewer tidak memahami kronologis suatu kejadian dan mencoba untuk merangkai sendiri menurut pemahamannya, padahal itu tidak benar.
Berbagai kesalahan dari hasil laporan wawancara tersebut dapat ditekan serendah mungkin dengan menggunakan alat-alat bantu audio visual yang mendokumentasikan proses wawancara. Penerapan metode interview dalam mengumpulkan data untuk penelitian memiliki kebaikan dan kelemahan.
Kebaikan-kebaikan metode interview sebagai berikut.
  1. Merupakan salah satu metode terbaik yang dipergunakan untuk menilai keadaan pribadi.
  2. Tidak dibatasi oleh tingkatan umur dan tingkatan pendidikan subjek yang diteliti.
  3. Dalam penelitian-penelitian sosial, metode interview merupakan metode pelengkap yang selalu dipergunakan.
  4. Dengan unsur fleksibilitas/keluwesan yang dimilikinya, metode interview cocok sekali dipergunakan sebagai kriterium atau alat verifikasi terhadap data yang diperoleh dengan metode lain.
  5. Dapat dilaksanakan sambil melakukan observasi.
Adapun kelemahan metode interview sebagai berikut.
  1. Tidak efisien, memboroskan waktu, biaya, dan tenaga.
  2. Sangat bergantung pada kesediaan, kemampuan dan situasi yang ada pada interviewee (narasumber), sehingga informasi yang diperoleh ketelitiannya kurang.
  3. Proses dan isi interview sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sekitar yang memberikan tekanantekanan yang mengganggu.
  4. Diperlukan interviewer yang mampu menguasai bahasa interviewee atau mampu berkomunikasi dengan baik.
  5. Hanya sesuai untuk interviewee yang terbatas, sebab jika interviewee dalam jumlah banyak dan heterogen diperlukan banyak interviewer.

Daftar Pustaka :

Spradley,P.James.2007.Metode Etnografi.Jakarta:TiaraWacana

Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru, Jakarta.
Supriyanto. 2009. Antropologi Kontekstual : Untuk SMA dan MA Program Bahasa Kelas XII. Pusat Perbukuan Departemen Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta. p. 240.