Konsep Kesetaraan
- Kesetaraan
Kesetaraan menunjukkan adanya tingkatan yang sama, kedudukan yang sama, tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah antara satu sama lain. Kesetaraan bisa juga diartikan sebagai keselarasan, bahwa segala bentuk perbedaan yang ada tidak akan mampu untuk disamakan akan tetapi kata yang lebih efektif adalah selaras. Artinya bahwa setiap bentuk perbedaan itu diseleraskan agar tercapai tujuan bersama.
Kesetaraan manusia bermakna bahwa manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa memiliki tingkat atau kedudukan yang sama. Tingkatan atau kedudukan tersebut bersumber dari adanya pandangan bahwa semua manusia diciptakan dengan kedudukan yang sama yaitu sebagai makhluk mulia dan tinggi derajatnya dibanding makhluk lain.Kesetaraan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat akan meningkatkan tingkat integrasi dan toleransi setiap individu, serta mampu menjaga keharmonisan bermasyarakat.
Kesetaraan sosial sebagai tata politik bahwa setiap orang dalam masyarakat memiliki status yang sama. Kesetaraan mencangkup hak yang sama di bawah hukum, merasakan keamanan, memperoleh hak suara, memiliki kebebasan dalam berbicara, dan hak lainnya yang sifatnya personal. Kesetaraan sudah diakui oleh Negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 1. Dengan identitas pluralis dan multikulturalis interaksi dan relasi setiap masyarakat di Indonesia akan bersifat setara. Kesetaraan merupakan identitas nasional Indonesia yang wajib dijaga eksistensinya.
- Emansipasi
Terkait dengan pemaknaan emansipasi yaitu adanya ketidakadilan yang diberlakukan kepada kaum wanita dan adanya ketidaksamaaan hak yang dimiliki oleh wanita dibanding pria karena alasan gender. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan harus adil (bukan sama persis) dan proporsional. Oleh karena itu, diantara kesetaraan, emansipasi, persamaan hak, dan adil merupakan suatu kondisi yang mencoba untuk menciptakan suatu keharmonisan dalam menghadapi berbagai bentuk perbedaan yang ada dalam masyarakat.
- Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial dan perubahan budaya merupakan dua sub pokok yang tidak bisa dipisahkan, karena akan saling terkait satu dengan yang lainnya. Beberapa indikator mengenai perubahan sosial budaya, diantaranya adalah:
- Perubahan sosial dapat mengacu pada gagasan kemajuan sosial atau evolusi sosial budaya.
- Perubahan sosial dapat berlangsung dengan cepat ataupun dengan lambat dan pada umumnya tidak disadari oleh masyarakat.
- Orang hanya akan mengetahui perubahan sosial ketika dia membandingkan kehidupan sosial di masa lampau dengan masa kini.
Menurut Selo Soemardjan, pengertian perubahan sosial adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, meskipun itu terjadi secara tidak disadari. Akan tetapi, perubahan tersebut akan dirasa oleh masyarakat ketika masyarakat tersebut membandingkan dari masa lalu dengan masa kini. Perubahan tersebut dapat dilihat dari cara berpakaian, cara bertutur, cara belajar, perubahan norma, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi pada masyarakat tersebut disebabkah oleh banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi. Karenanya perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu dikatakan berkaitan dengan hal yang kompleks. Perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat terjadi karena masyarakat tersebut menginginkan perubahan.
Pembangunan, Ekologi dan Ibu-ibu Kendeng Oleh Exsan Ali Setyonugroho
Dewasa ini, pembanguan menjadi istilah yang santer dibicarakan publik luas,baik dalam aspek yang positif maupun yang negatif. Aspek positif dan kebermanfaatan pembangunan bisa dilihat dari banyaknya produksi kebutuhan hidup manusia dari primer sampai sekunder. Itu sebabnya istilah ini menjadi topik yang pasti dijunjung dan dielu-elukan di setiap negara ketika terjadi pergantian kepemimpinan. Gedung-gedung pencakar langit, jalan tol, pabrik-pabrik yang memproduksi; mobil, motor, televisi, makanan siap saji sampai bahan bangunan seperti pasir dan semen sering dianggap sebagai penanda pembanguan dan bukti kemajuan. Bahkan di banyak negara, pembangunan-pembangunan besar menjadi tolok ukur kemajuan setiap negara.
Pandangan positif pembangunan di atas tampaknya bertabrakan dengan resiko dan dampak negatifnya. Kematian alam adalah bagian utama dari dampak pembangunan di atas. Proyek manusia bernama pembangunan bersifat rakus, sampai bumi mendekati ajalnya: hutan, tanah, udara dan airnya sedang menuju ke arah kematian. Atas nama pembangunan, hutan-hutan tropis sebagai kekayaan vegetasi dan paru-paru dunia ditebang, dibakar habis atau ditenggelamkan untuk tempat pabrik atau dikeruk kekayaannya secara rakus. Dampak negatif pembangunan menelanjangi wajah indahnya sebagai jalan menuju kemajuan yang universal[1] seraya menunjukkan wajah aslinya sebagai proyek-proyek khusus dari kapitalisme global yang mencengkram dunia. Menjadi sebuah ironi, pembangunan yang dielu-elukan telah menjadi racun bagi kelangsungan hidup manusia yang secara hakiki sudah kaya dan sejahtera dengan memanfaatkan alam secara arif dan bijak.
Dalam buku Bebas Dari Pembangunan, Vandana Shiva meramalkan bahwa menjelang tahun 2050 seluruh hutan tropis akan musnah dan dengan musnahnya hutan tropis, musnah pula keanekaragaman kehidupan yang ditunjangnya. Artinya jika perusakan alam atas nama pembangunan masih rakus seperti sekarang, maka di tahun 2050 bumi akan kehilangan keseimbangan. Hutan hancur dan rantai makanan putus sehingga elemen (tanah, air, udara) yang selama ini menunjang kehidupan manusia juga akan kehilangan kemurniannya. Dengan dirusaknya hutan, tanah dan air, manusia akan kehilangan sistem penopang. Perilaku merusak hutan atas nama pembangunan dan kemajuan ini secara tidak langsung akan mengancam kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri.
Di Lereng Pegunungan Kendeng bagian Utara, Rembang, Jawa Tengah sekelompok manusia yang masih sadar akan kemajuan yang sejati kini tengah menghadapi problema pembangunan yang didesakkan oleh negara dan korporasi semen. Mereka, sebagian besar terdiri dari Ibu-ibu petani, melakukan perlawanan atas pendirian pabrik semen di wilayahnya. Mereka khawatir pembangunan pabrik semen akan menghancurkan mata pencaharian mereka sebagai petani. Mereka menganggap kehidupan pertanian sudah menjadikan mereka sejahtera. Adanya pendirian pabrik semen di wilayah mereka justru akan membuat mereka kehilangan kedaulatannya sebagai petani. Artinya mereka sudah tidak merdeka, sehingga memunculkan kelompok-kelompok buruh yang tergantung pada perusahaan.
Sikap Ibu-ibu Kendeng tersebut seolah-olah membenarkan teori Vandana Shiva, bahwa kemajuan dan kesejahteraan yang dijanjikan oleh pabrik semen yang berwujud pembangunan malah membuat mereka sengsara. Relasi manusia dengan alam dan seluruh warisan pusaka[2] pertanian akan musnah diganti dengan sifat kerakusan dan pemerkosaan terhadap alam yang direpresentasikan oleh pabrik semen. Apa yang dilakukan Ibu-ibu Kendeng selama meledaknya konflik pendirian pabrik semen adalah simbol perlawanan akan kesejahteraan palsu yang diiming-imingkan atas nama “pembangunan” yang mengancam ekologi. Mereka tentu ingin maju, ingin sejahtera namun tidak merusak alam, memporak-porandakan desa, kampung halaman tanah air kita.
Mitos Kesejahteraan Pembangunan
Ilmu Pengetahuan modern dan Pembangunan berada di posisi suci ketika zaman pencerahan bermula. Banyak orang yang mendewakan kedua hal tersebut dengan sikap optimis dan semangat menggebu-nggebu untuk meraihnya. Namun, upaya manusia yang dituntun oleh Ilmu pengetahuan dan pembangunan tersebut menghasilkan kehancuran nilai-nilai kehidupan, dan keanekaragaman hayati di bumi ini.[3] Hal ini dapat dilihat dari alur pencapaian pembangunan tersebut. Berbagai infrastruktur penunjang yang dibutuhkan untuk memuluskan pembangunan mengakibatkan terjadinya eksploitasi besar-besaran atas alam maupun manusia.
Salah satu alat penunjang pembangunan yang sampai saat ini menyumbang kerusakan cukup parah bagi planet ini adalah pertambangan. Pertambangan yang merupakan salah satu alur dari pembangunan, digunakan oleh orang-orang berkepentingan untuk menyebarkan isu “kesejahteraan”. Masyarakat yang termakan isu tersebut luluh hatinya dan mendukung penuh upaya tersebut. Padahal secara langsung, pertambangan akan membunuh karakter natural masyarakat itu sendiri untuk bertahan hidup dengan cara arif dan bijak. Bahkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar yang meningkat sesuai iming-iming perusahaan seperti kemajuan teknologi, banyaknya lapangan pekerjaan, tersedianya fasilitas yang mumpuni, hanyalah isapan jempol belaka.
Tentu analisis di atas bukan tanpa dasar, Hendra Tri Ardianto dalam tulisannya yang berjudul Mitos Kesejahteraan Melalui Pertambangan[4] membuktikan bahwa pertambangan untuk kesejahteraan hanyalah sebuah mitos. Dengan mencuplik sebuah laporan dari Oxfam yang berjudul Digging to Development? A Historical Look at Mining and Economic Development, Hendra menjelaskan bahwa pertambangan tidak banyak memberikan dampak positif bagi sebuah negara. Laporan Oxfam tersebut menunjukkan dengan telak bahwa pendapatan daerah di beberapa wilayah di Amerika Serikat, Kanada dan Australia akibat pertambangan tidak lebih besar daripada pendapatan dari pertanian. Selain itu, perkembangan ekonomi lokal di sekitar daerah pertambangan bukanlah karena dampak pertambangan itu sendiri. Artinya perkembangan dan pertumbuhan ekonomi daerah tambang lebih lambat jika dibanding dengan daerah yang tidak bergerak di sektor pertambangan.
Selain tak memberikan kontribusi yang memadai, munculnya pertambangan atas nama pembangunan juga memicu lahirnya konflik di masyarakat. Tengok saja kemunculan pabrik semen di Rembang. Rakyat dibelah menjadi dua dengan sikap mendukung dan menolak pabrik semen. Sikap menolak pabrik semen adalah naluri yang secara natural dirasakan oleh para petani karena kawatir akan nasib anak cucu mereka. Sebaliknya, sikap mendukung pendirian pabrik semen ada indikasi pembelian sikap dari pihak yang berkepentingan. Konflik juga sempat berkecamuk ketika aparat keamanan melakukan tindak kekerasan terhadap aksi damai yang dilakukan Ibu-ibu Kendeng. Aparat keamanan melakukan hal tersebut dengan alasan pengamanan, mereka kemudian terus berjaga-jaga di depan portal pabrik semen. Sehingga kemunculan pertambangan terutama di daerah pertanian aktif akan mengulangi penjajahan Kolonial Belanda dengan politik Devide et Impera. Ketika rakyat sudah terguncang persatuan dan kesatuannya, pihak lain akan masuk dan meraup keuntungan.
Begitulah, atas nama pembangunan jutaan hektar hutan digunduli, gunung-gunung dikeruk, dan sungai-sungai banyak tercemar oleh limbah. Tentu masyarakat kecil yang dirugikan oleh ulah perusahaan-perusahaan yang tak bertanggungjawab. Dari sana akan muncul berbagai macam bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, bahkan bencana permanen seperti kasus Lumpur Lapindo yang merusak kehidupan warga Sidoarjo serta bencana pencemaran Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya.[5]
Tidaklah berlebihan jika mengatakan pembangunan yang mengesampingkan ciri khas suatu wilayah sama saja melanjutkan proses penjajahan. Pembangunan tak lain dari perluasan proyek kapitalisme dalam menciptakan kekayaan dengan cara memeras dan merusak alam serta merusak kebudayaan-kebudayaan luhur bangsa seperti pertanian. Upaya yang dilakukan oleh agen pembangunan adalah menyebar prasangka-prasangka buruk tentang pertanian atau pemanfaatan lainnya dari rakyat. Mereka menyebarkan isu bahwa alam di wilayah tertentu tidaklah produktif, pertaniannya masih terbelakang, tingkat pertumbuhan ekonominya juga rendah ditandai dengan rumah-rumah penduduk masih sangat sederhana beralaskan tanah dan berdinding bambu. Mereka juga menyebar isu sungai yang masih jernih dan stabil airnya bukanlah sumber daya yang produktif, maka sungai itu perlu dibangun disekap dengan bendungan agar menjadi produktif. Para petani yang menggunakan sungai untuk kebutuhan pengairan sawah maupun tambak ikan dianggap tidak melakukan pekerjaan produktif. Mereka harus digantikan oleh para insyinyur agar pengelolaan air menjadi lebih produktif. Akhirnya mereka tersingkir dari wilayah mereka sendiri.
Deskripsi kejahatan pembangunan itu tampak jelas dalam kasus pendirian pabrik semen di Rembang. Isu yang berkembang adalah Pegunungan Kendeng merupakan tempat yang tandus, tidak ada atau jarang ada air. Maka mengubah budaya pertanian yang banyak ditinggalkan oleh generasi muda menjadi budaya industri merupakan upaya yang cerdas.[6] Lewat instrumen kekuasaan dan pengetahuan negara dan korporasi tambang berusaha melakukan indoktrinasi masyarakat Pegunungan Kendeng yang sebagian besar hidup dalam budaya bertani. Tujuannya adalah agar mereka akan segera teracuni dengan pandangan bahwa semua kegiatan yang tidak menghasilkan laba dan memupuk modal bukanlah pekerjaan yang tergolong produktif. Di saat bersamaan mereka akan kehilangan Cultural Heritage seperti gotong-royong, pekerja keras, menghargai alam, yang berupa budaya pertanian. Pandanga-pandangan di atas secara otomatis melenyapkan paradigma kesejahteraan berbasis kearifan dan kebijaksanaan lokal. Mengutip Vandana Shiva, bahwa kemiskinan tidak bisa dilihat hanya dari rumah berlantai tanah dan fondasi dari kayu karena sesungguhnya mereka bisa memenuhi kesejahteraan sesuai apa yang menjadi kebutuhan mereka.
Bila kita kaji lebih jauh, akan tampak jelas bahwa pembangunan yang dilancarkan dewasa ini merupakan pembangunan yang timpang. Ia melanggar integritas sistem-sistem organik yang saling berkaitan dan saling bergantung. Pembangunan mendorong proses penjarahan, kepincangan, ketidakadilan dan kekerasan. Pembangunan yang timpang tidak mengenal kenyataan bahwa untuk mewujudkan keadilan yang merata mutlak perlu keselarasan alam dan langkah-langkah untuk memelihara keselarasan alam. Ucapan Gandhi bahwa “Sumberdaya di dunia cukup tersedia untuk memenuhi kebutuhan semua orang, tetapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan beberapa orang”[7] tak memiliki gaung yang kuat dalam paradigma pembangunan dewasa ini.
Ironisnya, pembangunan yang timpang ini biasa disebut “pertumbuhan ekonomi” dengan ukuran-ukuran makro seperti Produk Nasional Bruto (PNB). Negara-negara di dunia meyakini semakin tinggi PNB suatu negara, maka semakin maju dan sejahtera pula negara tersebut. Padahal, bila PNB naik tidak berarti kesejahteraan penduduk juga meningkat. Bahkan lebih ekstrim, PNB justru semakin menjadi alat untuk mengukur kecepatan susut “kekayaan sejati”. Semakin banyak barang yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik dan uang tunai, semakin mundur kehidupan karena alam menjadi rusak dan kebutuhan masyarakat sulit terpenuhi. Para petani yang menjadi soko guru suatu negara agraris seperti Indonesia yang pertama-tama mengalami kemunduran karena mereka hidup atas hubungan yang harmonis dengan alam dan isu yang berkembang adalah posisi petani yang dianggap rendah.[8]
Dalam konteks geopolitik global, terutama dalam relasi negara bekas penjajah dengan negara bekas jajahan, pembangunan merupakan proyek pasca zaman penjajahan. Ia merupakan sebuah pilihan model kemajuan bagi seluruh dunia menurut model dan gaya modern barat bekas penjajah yang rakus. Manakala tak perlu melakukan serangan fisik seperti zaman penjajahan dahulu, mereka memasukan model dan gaya kemajuan ala penjajah ke negara jajahan sehingga otak negara bekas jajahan akan teracuni. Konsep Trisakti Bung Karno (Berdaulat di bidang politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam berkebudayaan) yang disiapkan untuk menghadapi gaya penjajahan baru ini tak terpakai, dianggap konsep usang yang hanya dihafalkan di sekolah-sekolah tanpa tahu bagaimana melaksanakannya.
Bencana Ekologi dan Sosiokultural Pembangunan
Pertambangan atas nama pembangunan telah memakan banyak korban ataupun kerugian. Hancurnya ekosistem alam merupakan kerugian yang sulit untuk dikembalikan. Butuh waktu yang sangat lama untuk memulihkan alam yang telah rusak akibat penambangan. Benarlah pendapat ed Begley Jr. ketika ia mengatakan, “Saya tidak mengerti mengapa ketika kita menghancurkan sesuatu yang dibuat oleh manusia kita sebut sebagai vandalisme, Tetapi ketika kita menghancurkan sesuatu yang dibuat oleh alam kita sebut sebagai pembangunan.” Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, hutan di Kalimantan semakin menipis. Bahkan hutan Kalimantan yang merupakan salah satu paru-paru dunia setelah hutan Amazon, menjadi korban pembukaan lahan kelapa sawit dan pertambangan. Kerusakan hutan di Kalimantan mencapai 864 ribu hektare per tahun atau 2,16%.[9]
Bukan hanya “pembangunan” yang menjadi sumber kehancuran di bumi, pada tingkat yang lebih dalam, Ilmu Pengetahuan yang melandasi proses pembangunan itu sendiri juga merupakan sumber kehancuran alam. Ilmu reduksionis modern, seperti pembangunan, ternyata merupakan proyek kapitalisme global untuk menggusur para penghuni lokal yang ahli dan paham atas wilayahnya. Artinya Ilmu reduksionis mengabaikan cara-cara pengetahuan ekologi dan holistik yang mengerti serta menghargai proses-proses alam dan kaitannya sebagai “ilmu”.[10]
Akibat dari proses instan dan memukul rata di setiap belahan bumi mengakibatkan ketimpangan dalam pembangunan. Ketimpangan pembangunan inilah yang kemudian memunculkan kerusakan ekologis bahkan sosio kultural masyarakat setempat. Kerusakan ekologis yang bisa kita lihat adalah rusaknya hutan akibat penebangan pohon secara berlebihan, tercemarnya sungai bahkan teluk, kekeringan merajalela, menipisnya cadangan oksigen dunia, menipisnya lapisan ozon serta perubahan iklim yang lebih ekstrim sehingga banyak berakibat bencana seperti banjir dan tanah longsor. Dampak sosio kultural akibat pembangunan yang timpang adalah hilangnya identitas masyarakat setempat. Akibat arus masuknya budaya luar yang dibawa oleh masyarakat pendatang dalam kegiatan perkebunan dan pertambangan akan mengakibatkan lunturnya nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Apabila pertambangan difokuskan di daerah pertanian aktif maka akan dimunculkan citra petani sebagai golongan miskin, buta huruf, kumuh dan tidak berkembang. Akibatnya semakin sedikit generasi muda yang mau menjadi petani, bahkan semakin banyak orang berhenti menjadi petani, terutama di kawasan industri Pulau jawa dan Bali (yang dianugerahi tanah paling subur di Indonesia) karena mereka tidak lagi mampu hidup bertani. Ketika produsen pangan adalah manusia-manusia termiskin di sebuah negara, maka ketahanan pangan negara itu akan terancam.[11]
Dalam kasus pembangunan pabrik semen yang akan dilakukan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, kita bisa memprediksi bencana ekologi dan sosiokultural apa yang akan menimpa masyarakatnya. Selain kerusakan ekologi, Pulau Jawa terutama Jawa Tengah yang selama ini menjadi lumbung padi bagi Indonesia akan kehilangan kedaulatan atas pertanian. Wilayah yang akan menjadi tambang pabrik semen adalah lahan pertanian aktif bagi penduduk sekitar dalam memunuhi kebutuhan pangan di Rembang dan Jawa Tengah. Selain itu, wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari PT.Semen Indonesia merupakan kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih (CAT Watuputih) yang merupakan tandon air raksasa, yang selama ini telah memenuhi kebutuhan air bagi warga kabupaten Rembang. Hal itu diperkuat dengan terbitnya Kepres No.26 tahun 2011 yang menetapkan kawasan Watuputih sebagai CAT yang tidak boleh ditambang.[12]
Di wilayah CAT Watuputih, menurut penelitian dari Semarang Caver Asisiation (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) ditemukan 49 gua dan 109 mata air. Ratusan mata air tersebut jika ditotal sehari akan menghasilkan 51.840.000 liter air. Kurang dari 10% dimanfaatkan langsung oleh warga sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan sisanya dijadikan keperluan pertanian.[13] Tempo edisi 7-13 September 2015 dalam laporan investigasi berjudul Izin Janggal Pabrik Semen juga banyak mencatat gua, sungai bawah tanah, mata air dan ponor. Misalnya Tempo menemukan Gua Menggah di Desa Timbrangan. Dokumen Amdal menyebutkan kedalaman gua 118 meter dan keadaannya kering, namun Tempo mendapati ada genangan air setinggi lutut pria dewasa dan gua tersebut hanya sekitar 20 meter.[14] Artinya daerah yang akan dieksploitasi oleh pabrik semen banyak mengandung air, dibuktikan dengan kedalaman 20 meter saja sudah ditemukan air, apalagi dengan kedalaman lebih jauh lagi. Jika pembangunan dan operasi pabrik semen tetap dilaksanakan, bisa kita bayangkan saluran-saluran mata air akan rusak, air yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat akan sulit ditemukan. Dalam konteks lebih makro, bahwa cadangan air di Pulau Jawa yang berpenduduk terpadat di Indonesia memiliki cadangan air terkecil diantara pulau-pulau besar lainnya di Indonesia.[15] Kondisi ini akan lebih parah jika masih banyak kita temukan pembatatan hutan, penghancuran sungai-sungai bawah tanah maupun mata air oleh pembangunan industri padat modal seperti semen.
Bencana ekologi lain yang mengantri adalah ancaman musnahnya berbagai macam spesies makhluk hidup. Di area CAT Watuputih yang banyak terdapat gua-gua ternyata menjadi tempat hidup dan berlindung bagi berbagai macam fauna, seperti Kalacemeti, Udang jenis baru, dan Kelelawar endemis Jawa. Bahkan kelelawar yang terdiri dari tiga jenis Miniopterus australis, Rhinolophus pusillus, dan Hipposideros larvatus yang jumlahnya ribuan tersebut sangat penting bagi ekosistem di kawasan itu. Mereka banyak memakan serangga sebagai pembendung membludaknya hama serangga bagi tanaman padi penduduk.[16]
Contoh-contoh kehancuran ekologi yang dilakukan oleh manusia mengakibatkan bencana bahkan kepunahan cukup berlimpah. Jurnal Science Advances menurunkan laporan tentang spesies makhluk hidup di bumi yang akan terus berkurang dalam jumlah yang mengerikan. Manusia menjadi salah satu korban pertama dalam proses yang dinamakan kepunahan massal tersebut. Study yang dipimpin oleh ahli dari Stanford University, Princeton University, dan University of California, Berkeley, Amerika Serikat tersebut mengatakan bahwa bumi akan memasuki peristiwa besar, yaitu kepunahan massal keenam. Dalam 4,5 miliar tahun umur bumi, sudah ada 5 kepunahan massal yang terjadi. Salah satu kepunahan massal terjadi 65 juta tahun silam, yang membawa kepunahan dinosaurus. Dari hasil penelitian, sejak tahun 1990, lebih dari 400 vertebrata telah lenyap. Ada lagi, 69 mamalia telah hilang, 80 burung, 24 reptil, 146 jenis amfibi, dan 158 jenis ikan. Saat ini bayang-bayang kepunahan telah menyelimuti lebih dari 26% dari semua spesies mamalia dan 41% dari semua amfibi. Keberadaan manusialah yang menyebabkan terjadinya efek pemanasan global dan pengasaman air laut yang menyapu banyak spesies lain dari zona habitat mereka serta mendorong mereka ke ambang kepunahan.[17] Jika laju kepunahan ini dibiarkan begitu saja dengan masih berlanjutnya segala aktivitas perusakan alam, maka kehilangan spesies akan memiliki dampak yang signifikan (knock effect) terhadap populasi manusia dalam waktu tiga generasi. Tanaman yang diserbuki oleh serangga dan air yang termurnikan melalui proses dalam ekosistem lahan basah adalah contoh dari kebermanfaatan keanekaragaman hayati yang akan hilang dalam tiga generasi manusia. Bahkan Dr Gerardo Ceballos mengatakan, “Jika dibiarkan terus, maka diperlukan jutaan tahun lagi untuk pulih, sementara spesies manusia mungkin sudah lenyap dari muka bumi.”[18]
Ibu-ibu Kendeng Pejuang Konservasi
Saat tulisan ini sedang dikerjakan, Ibu-ibu di Lereng Pegunungan Kendeng Utara, Gunem, Rembang, Jawa Tengah, telah bertahan selama lebih dari 1 tahun di tenda perjuangan menolak pendirian pabrik semen di wilayahnya. Mereka bertahan di tenda perjuangan sejak 16 Juni 2014. Di sana pula, mereka yang merupakan ibu-ibu petani telah melewati 2 kali puasa Ramadhan dan 2 kali lebaran Idul Fitri. Pendirian tenda diawali dengan aksi Ibu-ibu Kendeng yang sejak subuh berduyun-duyun dari kampung menuju lokasi pendirian pabrik semen untuk menghalau truk dan alat berat masuk. Mereka menolak pendirian pabrik semen dengan alasan rusaknya alam (ekologi) dan hilangnya mata pencaharian mereka sebagai petani (agraria). Saat penghadangan truk dan alat berat yang masuk, ibu-ibu dihalau oleh pihak aparat keamanan. Mereka banyak diangkat oleh aparat, dan disingkirkan ke tepian jalan. Bahkan ketika ibu-ibu masih bersikukuh untuk menduduki jalanan, para aparat mulai bertindak represif dengan melemparkan ibu-ibu ke semak-semak tepian jalan yang penuh duri. Akibatnya banyak ibu-ibu yang jatuh pingsan dan bajunya robek. Jerit tangis pecah ketika itu. Maka ibu-ibu memutuskan untuk bertahan di sana dengan membuat tenda perjuangan. Mereka menggemakan sholawat nabi dan do’a bersama demi keselamatan alam pada malam harinya.[19]
Itulah salah satu titik mula perjuangan ibu-ibu Kendeng yang sampai sekarang masih berjuang mempertahankan wilayahnya dari korporasi tambang yang mengancam lingkungan dan pertanian mereka. Mereka tak kenal lelah membagi tugas untuk berjaga di tenda dan menjalani persidangan demi persidangan yang melelahkan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang atas gugatan mereka terkait izin pembangunan pabrik semen. Perjuangan mereka dalam melestarikan alam mendapat cobaan yang luar biasa berat. Berbagai cercaan, hinaan, bahkan fitnah datang bertubi-tubi.[20] Bahkan ibu-ibu tersebut difitnah sebagai anggota Gerwani yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Untung ada seorang tokoh NU, Kiai Budi Hardjono yang datang ke tenda dengan memimpin sholat Isya’, Tarawih, Istighosah dan Sholawatan di sana. Secara perlahan anggapan bahwa ibu-ibu yang bertahan di tenda adalah bagian dari Gerwani terkikis.[21] Di bawah tenda yang seadanya, dengan terik matahari yang menyengat di siang hari dan dingin yang menusuk tulang saat malam hari serta terpaan hujan deras tidak menyurutkan langkah mereka berjuang. Belasan kali selama hampir satu tahun mereka tiap 2 minggu sekali datang ke PTUN Semarang naik truk terbuka dengan ongkos swadaya sendiri. Gambaran ini merupakan realitas dari bangsa kita yang belum merdeka, karena masih ditunjukan oleh ibu-ibu Kendeng dan jutaan warga lainnya yang masih berjuang untuk kemerdekaan alamnya, budayanya, maupun pertaniannya.
Gubernur Jawa Tengah sempat menengok ibu-ibu di tenda perjuangan. Ironisnya, saat mengunjungi ibu-ibu di tenda itu Beliau melontarkan pertanyaan yang konyol, “Sudahkah membaca Amdal?” Spontan Sukinah (38), warga Desa Tegaldowo yang tak pernah mengenyam pendidikan formal tinggi, langsung menjawab dalam bahasa Jawa: “Kami ini warga desa yang kebanyakan buta huruf, bagaimana kami bisa membaca buku setebal itu, yang kami tahu adalah ancaman tambang yang akan merusak pertanian kami karena mata air yang rusak dan debu tambang yang menutupi tanaman kami.”[22]
Menurut investigasi yang dilakukan oleh Tempo yang juga telah menyusuri kawasan lindung geologi tersebut, mencatat sejumlah cacat pada perizinan dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan Semen Indonesia. Sedangkan dalam kesaksiannya untuk PT. Semen Indonesia, Heru Hendrayana sebagai pakar hidrologi dan Eko Haryono sebagai pakar karst mengatakan terkait kandungan air di Pegunungan Kendeng, Rembang dalam sidang di PTUN pada Maret 2015. Mereka mengatakan bahwa proses karstifikasi di Rembang masih bersifat awal atau muda, jadi rongga-rongga bawah permukaannya belum berkembang. Karena itu karst muda, maka dia bukan kawasan yang dilindungi. Selebihnya Heru Hendrayana dalam Tribunnews mengatakan, bahwa PT. Semen Indonesia melakukan penambangan batu gamping (kapur) sebagai bahan baku semen yang berada di wilayah yang tidak memiliki sumber air, jadi tidak ada masalah dalam pembangunan pabrik semen di Rembang dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.[23]
Kenyataannya, di CAT Watuputih yang akan dilakukan pendirian pabrik semen sekaligus Izin Usaha Pertambangan ditemukan 109 mata air, 49 gua dan 4 diantaranya terdapat sungai bawah tanah. Temuan ini berdasarkan suvey dan penelitian yang dilakukan oleh Semarang Caver Assosiation (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) merupakan masyarakat yang sejak puluhan tahun telah menghuni wilayah tersebut. Artinya daerah yang akan diekploitasi oleh pabrik semen merupakan daerah sumber air yang melimpah. Sumber air yang mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari warga kabupaten Rembang. Salah satunya adalah sumber mata air yang digunakan sebagai Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yakni mata air sumber semen yang menghasilkan debit 80 liter/detik untuk kebutuhan rumah tangga dan 477 liter/ detik untuk irigasi pertanian.[24]
Hal ini membuktikan bahwa ilmu pengetahuan yang diwakili oleh kesaksian dua saksi ahli tersebut tidak sedikitpun berpihak pada kepentingan rakyat yang sedang berjuang mempertahankan sumber mata air dan kelestarian Pegunungan Kendeng Utara dari ancaman pertambangan. Bukan hanya tidak memihak, gelar akademik yang mereka sandang juga tidak memberikan jaminan atas tumbuhnya rasa empati dan naluri yang jernih untuk memandang persoalan dari hati dan kenyataan. Ilmu Pengetahuan modern menunjukan wajah yang kurang simpatik terhadap kepentingan kemanusiaan, bahkan berhasrat kuat menjauh dari kepentingan kemanusiaan. Ilmu pengetahuan sibuk dengan dirinya sendiri dan lepas dari tanggungjawabnya mengabdi kepada kepentingan-kepentingan manusia. Kesaksian Eko Haryono dan Heru Hendrayana ini yang kemudian memunculkan seruan dari sebagian pemikir dan akademisi untuk merevitalisasi dan mengembalikan Ilmu Pengetahuan pada tanggungjawab kulturalnya demi mengabdi pada kepentingan-kepentingan manusia, yang diintegrasikan sebagai tugas suci memanusiakan manusia.[25]
Jelas menampar muka akademisi, ketika melihat ibu-ibu yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal yang berderet gelar namun mereka secara naluri sadar akan ancaman dari eksploitasi alam yang dilakukan oleh pabrik semen. Dengan berbekal ilmu seadanya dari berbagai pengalaman yang mereka dapatkan dari hidup bertani, ibu-ibu dari Pegunungan Kendeng menjadi poros utama gerakan konservasi. Mereka yang secara sadar tidak tahu apa itu istilah “konservasi” secara akademik, namun mereka mempraktikan konsep-konsep konservasi. Mereka bukan hanya pejuang konservasi alam, namun juga konservasi budaya. Ibu-ibu Kendeng sadar ketika pabrik semen berdiri di wilayahnya, bencana degradasi budaya pertanian yang luhur akan terancam, seperti hidup gotong royong, kerukunan, serta kesabaran dalam menunggu musim panen akan luntur.
Usaha berdarah-darah yang dilakukan oleh Ibu-ibu Kendeng tidak mendapatkan hasil yang diharapkan dalam ranah hukum. Dalam putusannya pada tanggal 16 April 2015, hakim PTUN Semarang mengatakan gugatan warga ditolak lantaran diklaim kaladuarsa. Perjuangan untuk mempertahankan “tanah air” mereka tersendat dengan putusan tersebut. Namun hal itu tidak menyurutkan tekad mereka untuk terus berjuang. Selain mereka masih tetap bertahan di tenda keprihatinan, mereka juga akan melakukan banding di PTTUN Surabaya. Mereka terus berjuang tentu saja karena kesadaran untuk mempertahankan hak atas tanah tumpah darah yang mereka cintai sepenuh hati. Mereka ibu-ibu Kendeng memiliki rasa cinta tanah air yang tinggi namun kenyataan sebaliknya ditunjukan oleh elit penguasa yang melakukan perbuatan memalukan dengan cara menjual harta kekayaan negerinya ke tangan asing. Dari sinilah kita seharusnya mampu belajar, bahwa guru terbaik untuk memahami kenyataan problematika masa kini bukanlah kaum elit, namun massa bawah seperti ibu-ibu Kendeng dari Rembang tersebut.[26]
Berbicara tentang konservasi yang menjelaskan tentang penjagaan dan perlindungan terhadap sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, jelas Ibu-ibu Kendeng yang berjuang menolak pendirian pabrik semen ada di dalamnya. Meskipun mereka tidak mengenal teori-teori konservasi, namun mereka sadar menolak tunduk pada ketergesaan zaman. Mereka ingin mewarisi alam kepada anak cucu mereka. Kegiatan seperti bertani, berladang yang ditunjukan oleh warga Pegunungan Kendeng merupakan pemanfaatan sumber daya alam yang arif dan bijak. Dari sana mereka dapat hidup dan menghidupi. Dari sana mereka memanfaatkan tanah, air, cuaca, iklim dan lingkungan yang sehat. Di situlah mereka mengenal arti kesejahteraan. Maka Ibu-ibu Kendeng yang sampai detik ini bertahan di tenda perjuangan untuk menolak pendirian pabrik semen merupakan para laskar konservasi yang tak terbantahkan.
Penutup
Seperti kata Vandana Shiva, Pembangunan tak lain dari sebuah proyek besar pasca zaman penjajahan oleh bangsa asing yang dipukul rata kepada negara-negara dengan karakteristik tertentu. Berbagai kemajuan orang barat yang megah ternyata menggiurkan bagi para penguasa negara-negara berkembang. Hal itu tentu disambut baik oleh penguasa barat yang ingin tetap berpengaruh di negara bekas jajahan. Mereka menyebar kaidah-kaidah ekonomi yang dikembangkan dari barat, menyangkut meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan priduktivitas, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Namun orang lupa bahwa pembangunan ekonomi dan pemanfaatan sumber daya alam yang ditawarkan itu berasal dari pandangan ekonomi yang berakar dan tumbuh di lahan yang khas, yakni lahan perkembangan industri dan pertumbuhan kapitalisme.
Akibatnya, atas nama pembangunan banyak sumber daya alam yang dieksploitasi sementara dampak kerusakannya dicampakan begitu saja. Banyak hutan gundul, hilangnya daerah resapan air, rusaknya sungai bawah tanah, terkikisnya lapisan ozon, banyak pulau tenggelam, naiknya permukaan air laut, perubahan iklim yang ekstrim, sampai merebaknya asap akibat kebakaran hutan membuat keterancaman kehidupan manusia mendekat. Ketergesaan zaman yang disimbolkan oleh pembangunan membuat alam tidak seimbang. Tugas kita sebagai manusia hidup di dunia sebagai penjaga bumi agar tetap lestari ternyata hanya isapan jempol belaka. Kehidupan selaras dengan alam ternyata dapat ditampik dengan kata pembangunan. Manusia yang mestinya berjuang agar mereka akan hidup satu juta tahun lagi malah membuat dan menentukan hari kiamatnya sendiri.
Perjuangan melawan perusakan alam telah dicontohkan oleh perempuan-perempuan perkasa dari Pegunungan Kendeng, Rembang. Mereka mendirikan tenda di depan tapak pabrik semen sebagai simbol perlawanan atas eksploitasi yang akan merusak alam, mengikis tradisi pertanian, mengikis adat istiadat dan tradisi gotong royong, serta mengusir perlahan-lahan mereka dari tanah airnya. Mereka para laskar konservasi, pejuang lingkungan sejati, perempuan penjaga ibu bumi, tanpa polesan keangkuhan ilmu pengetahuan modern yang eksploitatif telah menampar penguasa dan segenap intelektual organiknya dengan ajaran-ajaran keselarasan hidup dengan alam. Mereka telah menumbangkan argumen-argumen kesejahteraan yang telah banyak dijejalkan di dalam institusi pendidikan kita dan diyakini sebagai kebenaran tak terbantahkan. Mereka, para perempuan laskar konservasi ini, layak menjadi cermin setiap kali kita mengukur diri apakah kita sudah tertipu oleh gemerlap dunia yang tanpa sadar menceraikan diri kita dengan alam dan sesama manusia.
*) Tulisan merupakan juara II lomba penulisan Esai Pelangi Konservasi tahun 2015 yang diselenggarakan oleh Badan Pengembang Konservasi, Universitas Negeri Semarang. Pempublikasian ulang di simpulsemarang.org telah mendapatkan ijin dari pihak yang terkait.
Daftar Pustaka
Anonim. 2010. Pendidikan Lingkungan Hidup. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Dwicipta dan Hendra Try Ardianto.2015. #RembangMelawan. Yogyakarta: Literasi Press.
George, Susan. 2007. Pangan. Yogyakarta: Insist Press.
Hidayat, Guswakhid. 2013. Kajian Optimalisasi dan Strategi Sumber Daya Air di Kabupeten Rembang, Jawa Tengah (Tesis). Semarang: Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.
Mongabay.co.id. Manusia Terancam Lenyap di Kepunahan Massal Keenam, diakses pada 29/8/2015.
Shiva, Vandana. 1997. Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tempo. 2015. Investigasi: Izin Janggal Pabrik Semen.
https://www.simpulsemarang.org/2015/12/pembangunan-ekologi-dan-ibu-ibu-kendeng.html Diakses pada 24 Desember 2015 pukul 15.00 WIB
Recent Comments