Konsepsi Gender pada Masyarakat

PENDAHULUAN
Belakangan ini gender ramai dibicarakan orang, peristiwa sekitar dunia perempuan mendorong berkembangnya pemikiran feminisme yang berlandaskan pada konsep hubungan gender. Banyak kajian yang tentang perempuan digelar di kampus-kampus berupa seminar, talk show, diskusi, penelitian dan sebagainya yang hampir semuanya membahas tentang diskriminasi dan ketidakadilan gender yang menimpa perempuan. Pusat studi wanita juga muncul di universitas karena sebagai cara untuk memahami konsep baru tentang kondisi dan kedudukan perempuan. Dimasukkannya konsepsi gender ini, menurut Sita van Bemmelan memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan tentang jenis kelamin. Perbedaan laki-laki dan perempuan hanya menunjuk pada biologisnya saja dan tidak melukiskan keragaman arti laki-laki dan perempuan dalam pandangan kebudayaan. Kedua, bahwa kategori laki-laki dan perempuan merupakan konstruksi sosial yang membentuk laki-laki dan perempuan. (Ibrahim dan Suranto, 1998: xxvi)
Asumsi masyarakat terhadap gender selama ini dinilai masih salah dan menimbulkan ketidakjelasan bagi masyarakat awam. Yang menjadi sorotan terhadap gender bagi sebagian orang adalah perempuan, dimana perempuan mengalami ketidakadilan, mengalami kekerasan, subordinasi, termarginalkan dan bentuk-bentuk ketidakadilan  lainnya. Gender menurut masyarakat merupakan suatu asumsi bahwa perempuan itu berbeda dengan laki-laki. Laki-laki dinilai lebih kuat, lebih berkuasa, memiliki hak lebih dari pada perempuan.
Dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami terlebih dahulu adalah apa itu gender dan jenis kelamin. Kemudian permasalah-permasalahan yang muncul di masyarakat akibat kekeliruan pemahaman tersebut. Dengan seperti ini diharapkan dapat memahami dan mengetahui tentang perspektif gender  dan mampu menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul di masyarakat agar nantinya dapat dikaji dengan perspektif gender dengan tepat.

PEMBAHASAN
Gender dalam bahasa Indonesia diambil dari Bahasa Inggris, didalam kamus tidak dibedakan antara kata seks dan gender. Untuk itu perlu dibedakan antara kata gender dan kata seks. Seks atau jenis kelamin adalah pembagian dua jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. (Mansour: 1996)
Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, dimana gender adalah sesuatu yang dibentuk, disosialisasikan, masih bisa berubah dan dapat dipertukarkan karena gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial dan kultural.
Sosialisasi yang telah dibentuk pembedaan antara laki-laki dan perempuan, ditanamkan sedemikian rupa kedalam pikiran dan pribadi laki-laki dan perempuan. Kemudian anggapan bahwa kaum perempuan itu tidak rasional, emosional, lemah lembut, dan bahwa laki-laki memiliki sifat rasional, kuat dan perkasa, sudah sewajarnya dan seharusnya laki-laki untuk mendapatkan kebebasan, mendapatkan kesempatan yang lebih luas daripada perempuan. Laki-laki diberikan prioritas dan kesempatan lebih luas untuk sekolah dan menuntut ilmu lebih tinggi daripada kesempatan yang diberikan kepada perempuan. Dalam hal pekerjaan pun laki-laki mempunyai kesempatan selebar-lebarnya bekerja pada berbagai sektor publik yng dianggap maskulin, sementara perempuan lebih diarahkan pada sektor domestik dengan pekerjaan yang selama ini dianggap sebagai urusan perempuan, sehingga perempuan merasa dirugikan dan merasa tidak adil dengan ini.
Dari perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah ketika tidak melahirkan ketidakdilan, namun ternyata adanya perbedaan ini menimbulkan suatu ketidakadilan gender. Suatu ketidakadilan dimana kaum laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan gender gender antara lain marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban ganda
Perbedaan gender ini secara ekonomi merugikan perempuan dan memiskinkan kaum perempuan, yaitu timbulnya marginalisasi pada kaum perempuan. Bentuk ketidakadilan marginalisasi perempuan ini bisa terjadi karena kebijakan pemerintah, kultur atau budaya, keyakinan, atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Misalkan program pertanian yang dikenal dengan Revolusi Hijau. Yaitu penggantian bibit unggul yang mengganti ani-ani, artinya menggusur pekerja perempuan dari komunitas agraris di pedesaan. Di sisi lain pekerja laki-laki diberikan pembekalan dalam bidang pertanian. Marginalisasi ini juga bisa terjadi dalam ranah rumah tangga, dimana perempuan sebagai pekerja domestik. Sebagai contoh adalah ketika saya dan ibu menyiapkan makanan untuk berbuka puasa dirumah, ayah dan adik-adik saya memilih keluar untuk ngabuburit sekaligus mencari makanan untuk buka. Ini seolah-seolah menjadi hal yang semestinya, dan berjalan secara otomatis karena sejak dulu terbentuk bahwa perempuan bekerja didapur dan laki-laki bekerja diluar. Bahkan perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga tidak dianggap bekerja, ini memunculkan stereotipe pada kaum perempuan.
Stereotipe  ini merupakan satu bentuk penindasan yaitu pemberian label yang memojokkan kaum perempuan yang berakibat pada posisi dan kondisi kaum perempuan. Seperti ibu rumah tangga yang dianggap pekerjaannya tak menghasilkan dan memang menjadi kewajiban seorang perempuan melakukannya. Kemudian apabila istri bekerja maka pekerjaan itu hanyalah pekerjaan sambilan dan dari kesibukan bekerja itu biasanya akan timbul masalah baru, yaitu dianggap tidak bertanggungjawab pada tugas utamanya yaitu mengurus rumah tangga. Kemudian apabila terjadi perceraian maka alasan ibu bekerja itulah yang dijadikan alasan. Contoh lainnya adalah kasus pemerkosaan. Perempuan yang merupakan korban pemerkosaan tidak jarang menjadi pihak yang justru disalahkan. Ada asumsi bahwa perempuan itu berpakaian tidak tertutup dan cenderung menggoda sehingga laki-laki menjadi tergoda dan akhirnya terjadi pemerkosaan, padahal disini laki-laki lah yang menjadi pelaku utama pemerkosaan.
Dari kasus pemerkosaan itu muncullah pikiran-pikiran bahwa biasanya perempuan yang berpakaian tidak sopan, terbuka, dan berkeliaran pada malam hari adalah perempuan yang berpendidikan rendah. Perempuan dianggap sebagai identitas kemiskinan suatu negara. Alasan pendidikan rendah pada perempuan ini tidak terlepas dari adanya subordinasi pada kaum perempuan, seperti yang banyak terjadi di pedesaan dan daerah yang masih bersifat homogen, pendidikan tinggi bagi perempuan masih dianggap sebagai hal yang tidak penting, karena yang terbentuk dalam masyarakat terutama masyarakat pedesaan adalah setinggi-tingginya pendidikan perempuan maka akan kembali pada dapur juga. Apabila didalam satu keluarga terdapat anak laki-laki dan perempuan sedangkan keduanya sama-sama ingin masuk perguruan tinggi. Maka yang akan menjadi prioritas orangtuanya adalah anak laki-laki tersebut, karena nantinya anak laki-laki itu akan menjadi kepala keluarga yang harus bertanggungjawab menafkahi keluarganya.
Perbedaan gender tersebut juga melahirkan kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan, baik secara fisik maupun mental. Kekerasan fisik biasanya terjadi karena laki-laki beranggapan dirinya kuat, laki-laki lebih berkuasa, dan perempuan itu lemah, sehingga laki-laki bisa melakukan kekerasan tanpa perlawanan yang berat dari perempuan. Kekerasan fisik bisa seperti pemerkosaan, pemukulan, penyiksaan, bahkan pemotongan genital pada kelamin perempuan. Pemotongan genital perempuan ini bisa mngambil contoh sunat perempuan di Pati, di daerah tertentu bahkan sebagian besar anak perempuan ketika bayi klitprisnya dipotong atau dibelah sebagai simbol. Pemotongan ini bertujuan agar nantinya perempuan saat berhubungan badan tidak menjadi dominan, juga agar perempuan tidak bisa menikmati kepuasan yang lebih dibandingkan laki-laki. Kekerasan juga ada dalam bentuk nonfisik, yang sering terjadi adalah pelecehan seksual seperti pelecehan didalam angkutan umum, yang menggesek-gesekkan anggota tubuh ke tubuh perempuan yang ada didekatnya, menyebabkan ketidaknyamanan bagi perempuan secara emosional. Perbedaan dan pembagian gender tersebut sebenarnya merupakan bentuk pencitraan dan mensosialisasikan kepada masyarakat, sehingga kaum perempuan sendiri menganggap bahwa kondisi dan posisi yang sekarang ini sebagai sesuatu yang normal, wajar, dan kodrati. Sehingga posisi subordinasi, stereotipe, dan kekerasan ini akan berlangsung terus-menerus dan saling terkait satu sama lain.
Namun sebenarnya tidak hanya perempuan yang mengalami perasaan yang tidak adil dan dirugikan. Laki-laki pun mengalami hal itu, misalnya saja ketika laki-laki mengalami permasalahan dalam dirinya, seperti asumsi masyarakat pada umumnya bahwa laki-laki itu harus kuat, laki-laki lebih pemberani dari perempuan, laki-laki tidak boleh menangis, dan anggapan-anggapan lainnya yang membuat laki-laki tertekan ketika ada suatu masalah. Kondisi ini membuat laki-laki menjadi bingung ketika ingin mengungkapkan perasaannya, oleh karena itu banyak dari laki-laki yang mengungkapkan bentuk emosinya melalui bentuk kekerasan pada diri sendiri seperti memukul tembok, mendorong kepalanya ke tembok, bahkan sampai menyebabkan bunuh diri. Karena hanya dengan cara seperti itu laki-laki bisa mengeluarkan bentuk emosi mereka yang sudah tidak bisa lagi ditahan. Lain hal jika tipe laki-laki itu pendiam, tidak suka dengan kekerasan seperti memukul dan lain-lain, makan ia hanya bisa berfikir dan dipendam dalam hati, justru yang seperti ini membuat suatu tekanan tersendiri didalam jiwanya, sehingga apabila seseorang benar-benar tidak bisa mengontrol maka akan terjadi gangguan kejiwaan. Menurut hasil dari beberapa riset, bahwa sebagian besar orang yang terkena penyakit jiwa aalah kaum laki-laki. Hal ini meunjukkan bahwa ketidakadilan gender tidak hanya mengancam dan merugikan kaum perempuan, ketidakadilan ini juga terjadi pada kaum laki-laki yang selama ini dianggap kuat.

SIMPULAN
Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, sesuatu yang dibentuk, disosialisasikan, masih bisa berubah dan dapat dipertukarkan. Dalam pandangan gender laki-laki adalah sosok yang kuat, pemberani, berkuasa. Sedangkan perempuan adalah kaum yang lemah lembut, tidak rasional, emosional.
Dari konsep gender tersebut mengakibatkan timbulnya ketidakadilan gender, antara lain marginalisasi, stereotipe, subordinasi, dan kekerasan. Bentuk-bentuk ketidakadilan itu berkembang dan terkonstruksi sehingga dianggap sesuatu yang wajar, normal, dan kodrati.
Namun sebenarnya ketidakadilan gender ini terjadi tidak hanya pada kaum perempuan, kaum laki-laki juga mengalaminya. Ini terjadi ketika kaum laki-laki dianggap sebagai kaum yang kuat, pemberani, maskulin. Sehingga apabila laki-laki menangis maka ia dianggap cengeng dan dipermalukan, dengan kondisi seperti laki-laki merasa tertekan.

DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto. 1998. Wanita dan Media. Bandung: Remaja Rosdakarya

You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

6 Comments »

 
 

Tinggalkan Balasan

XHTML: You can use these tags: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

 
Lewat ke baris perkakas